26 Juli 1975
FFI 1975
Mandarin di medan
FFI 1975
Mandarin di medan
SEJALAN usaha pembauran murid "pribumi" dengan murid keturunan Tionghoa di sekolah-sekolah SNPK (Sekolah Nasional Proyek Khusu) di Sumatera dan Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu fihak Kowilhan I menyerukan agar pemutaran film Mandarin di dua daerah ini bisa dibatasi. Pembatasan ini dengan maksud agar para keturunan Tionghwa lebih cepat mengintegrasikan diri ke kalangan "pribumi", selain diharapkan bisa "berjiwa Indonesia". Ini disusul dengan menutup koran fanan Indonesia berbahasa Cina yang terbit di Medan (sudah tidak terbit lagi).
Medan memang berbeda dengan kota-kota di Jawa, di mana integrasi kebudayaan sudah lebih jelas, misalnya di bidang bahasa dan hiburan. Di Loh A Yok kampung di Jalan Asia Medan, orang iebih mudah mendengar siaran radio berbahasa Cina dari pada bahasa Indonesia. Sementara di Pajak Hongkong dekat Jalan Pandu Medan, atau di beberapa toko Jalan Thamrin, beberapa tempat khusus masih tersedia banyak bacaan novel, majalah, piringan hitam atau kaset asal Hongkong atau Singapura. Tentu dalam tulisan dan bahasa Mandarin. Juga film Mandarin begitu subur di Medan. Sekalipun sudah banyak aturan dibuat di Sumatera Utara dalam kasus ini. Di Medan sendiri sejak beberapa waktu yang lalu juga sudah ada Badan Pengawas Perfilman Daerah, yang salah satu tugas pokoknya "menertibkan" film Mandarin. Toh di bioskop-bioskop film Mandarin boleh pula terus ramai diputar.
Banyak pejabat yang dihubungi mengelak membicarakan kenapa begitu. Menurut beberapa kalangan perbioskopan, "memutar film Mandarin lebih menguntungkan. Panggung bisa penuh dan karcis biasanya selalu tejual habis" Menurut satu sumbel TEMPO, "malah film Mandarin sekarang lebih banyak berekspansi ke desa-desa di Sumatera Utara". Katanya lagi, mobil-mobil unit turut menyebarkan film Mandarin sampai ke desa" Insturksi Sebelum itu pada 17 September tahun lalu gubernur Marah Halim telah mengeluarkan instruksi (dengan SK No: 444/19)/GSU) supaya hanya sepuluh film Mandarin setiap bulannya yang boleh diputar di bioskop di Sumatera Utara dan memberi prioritas pada film nasional. Ketika FFI yang lalu malah film Mandarin dilarang diputar di bioskop Medan. Tapi instruksi ini tidak jalan. Kalau dilanggar, instruksi ini tak ada pula sanksinya. Marah Halim memang ada meminta, agar 20% dari jam pertunjukan tetap dipergunakan untuk film nasional. Tapi malah bioskop milik Pemerintah Daerah (seperti Ria, Raya dan Riang) lebih banyak memutar film Mandarin.
Satu-satunya bioskop ber-AC di Medan hanya Astanaria-lah yang tetap bertahan lebih banyak memutar film nasional (omzetnya cukup baik) dan menolak memutar film Mandarin. Menonjolnya bioskop di Medan memutar film Mandarin itu dapat dilihat dari adanya semacam "perang-iklan" setiap harinya di sementara surat kabar Medan. Beberapa waktu lalu Kejaksaan Tinggi melarang adanya iklan film yang memakai aksara Cina, tapi ini bukan halangan. Toh, tulisan tersebut dapat dihilangkan. Justru sekarang pemilik Panggung Hiburan Rakyat (PHR) yang dulunya lebih banyak memutar film nasional, beralih ke mata pencaharian memutar film Mandarin. "Film Mandarin dapat mengeruk uang penonton, apa harus kita tolak?", kelak mereka. Maka selain di bioskop mewah yang ada di Medan (16 buah), PHR (panggung mereka lebih dari 30 buah) pun ikut arus pasar. Akhirnya, pencinta film Mandarin bukan saja warga keturunan Tionghwa saja. Sekarang juga banyak "pribumi". Rata-rata perbulannya film Mandarin di Medan diputar sekitar 15 buah. Dan nampaknya Ciprodtin cabang Sumatera Utara tak bisa berbuat apa-apa. Ketuanya, Ibrahim Sinik melontarkan kekesalannya pada TEMPO: "Kita tak pernah diajak mempersoalkan fim Mandarin ini. Malah Giprodfin Smatera Utara juga tak ada duduk dalam Badan Pengawas Film Daerah". Menanggapi slogan "film nasional harus jadi tuan rumah di negeri sendiri" Ibrahim yang juga pengurus PWI cabang Medan itu berucap: "Film nasional rata-rata diputar di Medan sekitar 3 buah setiap bulan. Dari 15 distributor yang ada di Medan ada yang mau mengedarkan film nasional lebih banyak, tapi tak ada bioskop yang mau putar, karena ada sementara distributor yang telah menguasai bioskop agar lebih getol memutar film Mandarin. Jadi kita mau bilang apa?". Lagi pun kata Sinik lagi, "Giprodfin tak punya wewenang untuk bertindak keras ke dalam, karena organisasi ini kedudukannya serba tanggung. Apa lagi kita tak bisa memberi rekomendasi atau memaksa film nasional diputar di setiap bioskop". Untuk SK Tiga Menteri mengenai policy pemutaran film nasional yang akan berjalan pada Agustus nanti, Ibrahim memberi resep: "Kalau SK Tiga Menteri ini mau berjalan lancar di daerah, maunya jangan terlalu banyak campur tangan dari fihak yang tidak berwenang". Tambah produser film Batas Impian itu lagi: "Pemda juga harus berani main tangan besi supaya ketentu.
24 Mei 1975
Keinginan idris sardi
TENTU saja Idris Sardi tak menyembunyikan kegembiraannya, ketika puterinya--Santi--beroleh kemenangan sebagai pemain cilik terbaik dalam FFI 75 yang lalu. Namun sebaliknya Idris wanti-wanti: "Saya tidak ingin Santi terus main film". Paling banter izin buat anaknya itu cuma untuk 4 atau 5 film lagi. Idris tidak menyebut alasan yang jelas. Hanya ditekankannya, "lebih baik dia jadi yang lain sajalah". Bagaimana bila Santi ingin main musik? Idris menggeleng. Tapi Santi yang berusia 6 tahun itu kini mungkin sudah mulai merasa keren bisa main film. Hal ini memang sudah dikuatirkan ayahnya. Sehingga ketika akan bertolak ke Medan, Idris membisikkan pada Santi: "kita pergi diajak oom Wim". Dengan begitu Idris ingin memberi kesan bahwa sang anak ke Medan bukan sebagai bintang film, melainkan lantaran ajakan Wim Umboh. Akan halnya Santi sendiri pada usianya sekarang tentu belum mungkin diminta memilih. Tapi lihat saja, bila Idris kelak uzur dan sang anak mungkin mampu jadi tambang-emas di bidang film, apa Idris bakal tetap ngotot ?
24 Mei 1975
Aktris terbaik
RUANG auditorium Pusat Kesenian Medan yang semula hening mendadak riuh serentak nama Tanty Yosepha muncul sebagai aktis terbaik. Bagaimana Tanty sendiri? Ini benar-benar bikin dia terkesiap. Kontan dia sesenggukan. Mengenakan kebaya panjang hitam, sejak semula dia tak mimpi bakal ketiban rezeki itu. "Bagaimana bisa saya menang", komentarnya, "bintang lain kan banyak yang lebih baik dari saya". Disebutnya Lenny Marlina dalam Ranjang Pengantin. Tapi juri toh memilih lain. Sebagai aktris yang bertitel the best, Tanty mengumumkan sesuatu. "Saya tak akan pasang tarif tinggi. Sebab produser toh lebih tahu berapa tarif saya setelah ini". ujarnya. Mulai main film sejak Mama, hingga kini sudah memhintangi 15 film. Pernah tersohor sebagai penyanyi, Tanty yang berusia 6 tahun kini ibu dari seorang anak (4 tahun). Suaminya Enteng Tanamal bukan nama asing di kalangan musik. "Sekarang saya tidak menyanyi lagi", kata Tanty. Mungkin karena lama tak naik di pentas musik, Tanty nampak gamang lagi ketika angkat suara di Panggung Sejuta Bintang FFI 75 di Medan barusan. Tapi suaranya toh masih lumayan.
31 Mei 1975
Festival medan (susulan)
FESTIVAL Film Indonesia 1975 penghujung April yang lalu di Medan (TEMPO 10 Mei) ternyata ada buntutnya di kota itu. Tak sampai seminggu kemudian, berlangsung pula semacam "festival". Tapi yang difestivalkan bukanlah filmnya. Cuma "aktor dan aktrisnya". Ceritanya begini. Menjelang akan berlangsungnya FFI 1975 di Medan, gubernur Marah Halim telah bermurah hati mengeluarkan Rp 50 Juta kepada tiga produser asal kota itu untuk membantu mereka membuat tiga film. Ketiga film tersebut dipaksa siap pada waktunya agar dapat diburu ikut FFI. Tersebutlah tiga film anak Medan itu: Butet, produksi PT Orando FiIm, setulus Hatimu produksi PT Surya Indonesia Medan Film dan Batas Impian produksi bersama CV Sinar Film Medan dengan PT Sapta Januar Film dari Jakarta. Dalam film-film ini banyak anak-anak Medan ikut main. Nah, gaya permainan merekalah yang mau dinilai sehingga nanti akan dipilih menjadi apa yang dinamakan "aktor dan aktris terbaik Medan 1975". Hebat bukan? Akan hal ketiga film tersebut di dalam FFI, memang tak satu pun dapat nomor apa-apa. Kecuali bagi Tanty Yosepha yang dipilih sebagai aktris terbaik FFI 1975 lewat film Setulus Hatimu.
Sedangkan film atas Impian yang berdasarkan cerita Ibrahim Sinik, oleh Ketua Juri FFI, Prof. Soelarko disebutnya sebagai "sebuah film konyol" seperti disiarkan harian waspada Medan. Akan hal Butet yang pernah ricuh soal cerita dan skenarionya itu (TEMPO 8 Pebruari), juri FFI menghargai dengan sekedar surat penghargaan kepada gubernur Marah Halim yang "telah berkenan memberikan bantuan kepada perfilman nasional untuk menggali sejarah perjoangan rakyat Sumatera". Sekedar basa-basi obat pelipur lara saja. Tanpa Cingcong 1 Mei, Seksi Wartawan Film PWI Cabang Medan mengeluarkan surat kepada suatu dewan juri yang akan memilih "aktor dan aktris terbaik" itu. Juri terdiri dari kolonel A. Wahid Lubis (Ketua) Drs Bistok Sirait, Dra Yusmaniar Noor, Sabaruddin Ahmad, B.A. dan Djohan A. Nasution. Pada 3 Mei ketiga film tersebut diputar non stop di biosIop Raya Medan. Sekaligus untuk dinilai oleh dewan juri tersebut. Tanpa banyak cingcong dan setelah mata juri (3 di antaranya dosen Bahasa Indonesia) melihat para pendukung asal Medan dalam film-film tersebut dari segi mimik dan ekspresi, gerak serta penghayatan, pada 6 Mei sang juri sudah siap "menilai". Sedangkan siapa pemenangnya barulah pada 8 Mei malam diumumkan dalam satu upacara meriah di Balai Wartawan PWI Cabang Medan di Jalan Adinegoro. Setelah mengingat dan menimbang, maka inilah pemenang-pemenang menurut keputusan dewan juri versi Seksi Wartawan Film Medan itu: pemain pria terbaik I Aziz Harahap B.A. (pegawai TVRI Medan yang sering main drama) yang menjadi ayah Diana dalam film Butet.
Pemenang kedua Anif, kapten Belanda dalam Butet juga. Sedangkan Zainuddin A, tukang kebun dalam film Setulus Hatimu dapat nomor tiga. Dan pemain harapan Nicholas Pulungan, sebagai si Malik dalam Butet. Pemain wanita terbaik I Rita Frieda Pangaribuan, sebagai Rita dalam Setulus Hatimu, kedua: Ernie Tanjung, teman Malik (juga) dalam Batas Impian, Nurhafni yang jadi anak dalam Butet kebagian nomor tiga sementara yang harapannya adalah Anneke Saodah, ibu Mila dalam film Setulus Hatimu. Selain itu juri juga sepakat untuk memilih pemain anak-anak terbaik I: Faris yang jadi Irman dalam Batas Impian, II, Adi Rangkuty, anak paman Aldi dalam Setulus Hatimu. Pemain anak-anak wanita I: Ida Syahir, adik Aldi dalam Setulus Hatimu dan pemenang kedua Anisah, jadi Farida kecil dalam film Batas Impian. Mungkin karena istilah "aktor dan aktris" terlalu gede bagi mereka ternyata dalam surat piagam akhirnya disepakati ditulis dengan sebuah "pemain terbaik". Tapi pada malam itu bukan mereka saja yang kebagian piala, bahan kosmetik, obat batuk, piagam dan vandel Sie Wartawan Film PWI Medan. "Semua pendukung-pendukung dari ketiga film itu juga kita berikan", kata Asmas Tatang Amara, sang ketua. Dan, "gagasan mengadakan pemilihan ini memang berasal dari kami sebelum adanya FFI 1975 di Medan. Tujuannya untuk menggairahkan para produser film Medan agar mereka dapat memproduksi kembali". Dan pendapat A. Ganie Rahman, produser Setulus Hatimu: "Kita perlu memberi semangat kepada artis-artis Medan. Perasaan mereka perlu kita hibur". Tapi kenapa baru setelah FFI 1975 permainan mereka dijurii? "Ada maksud sebelum FFI berlangsung. Tetapi nanti tentu pandangan orang lebih tidak baik lagi. Bisa saja kita dikatakan mau mendahului FFI. Lagi pun ketiga film anak Medan itu pada waktu itu belum ke luar dari sensor", balas Ali Soekardi, salah seorang pengurus PWI Cabang Medan yang menjadi kordinator di Seksi Wartawan Film tersebut. Nah, mungkin pemain-pemain film dari Medan itu sekarang sudah bisa berpuas-puas diri. Hanya yang gagal, niat untuk memberikan tropi kepada gubernur Marah Halim sebagai "pembina perfilman nasional di Sumatera Utara" dan kepada Walikota M. Saleh Arifin yang dianggap "pengarah perfilman nasional di Medan". Marah Halim berdasarkan nota dari pembantnya, Tengku Putera Aziz "menolak". Kabarnya ia "ingin semua unsur seniman dan budayawan mengangkat dia, baru beliau mau". Sedangkan kepada walikota tak jelas apa sebabnya hasrat Seksi Wartawan Film Medan diurungkan, kecuali, "tak tepat timingnya". Sedangkan di antara penerima tropi pada malam itu, dikabarkan siangnya ada yang membelinya dengan uang sendiri. Lalu pada malam itu diserah terimakan kembali kepadanya. Dan ia pun merasa "puaslah" sebagai salah seorang "aktor". Toh tepuk tangan hebat juga malam itu.
Keinginan idris sardi
TENTU saja Idris Sardi tak menyembunyikan kegembiraannya, ketika puterinya--Santi--beroleh kemenangan sebagai pemain cilik terbaik dalam FFI 75 yang lalu. Namun sebaliknya Idris wanti-wanti: "Saya tidak ingin Santi terus main film". Paling banter izin buat anaknya itu cuma untuk 4 atau 5 film lagi. Idris tidak menyebut alasan yang jelas. Hanya ditekankannya, "lebih baik dia jadi yang lain sajalah". Bagaimana bila Santi ingin main musik? Idris menggeleng. Tapi Santi yang berusia 6 tahun itu kini mungkin sudah mulai merasa keren bisa main film. Hal ini memang sudah dikuatirkan ayahnya. Sehingga ketika akan bertolak ke Medan, Idris membisikkan pada Santi: "kita pergi diajak oom Wim". Dengan begitu Idris ingin memberi kesan bahwa sang anak ke Medan bukan sebagai bintang film, melainkan lantaran ajakan Wim Umboh. Akan halnya Santi sendiri pada usianya sekarang tentu belum mungkin diminta memilih. Tapi lihat saja, bila Idris kelak uzur dan sang anak mungkin mampu jadi tambang-emas di bidang film, apa Idris bakal tetap ngotot ?
24 Mei 1975
Aktris terbaik
RUANG auditorium Pusat Kesenian Medan yang semula hening mendadak riuh serentak nama Tanty Yosepha muncul sebagai aktis terbaik. Bagaimana Tanty sendiri? Ini benar-benar bikin dia terkesiap. Kontan dia sesenggukan. Mengenakan kebaya panjang hitam, sejak semula dia tak mimpi bakal ketiban rezeki itu. "Bagaimana bisa saya menang", komentarnya, "bintang lain kan banyak yang lebih baik dari saya". Disebutnya Lenny Marlina dalam Ranjang Pengantin. Tapi juri toh memilih lain. Sebagai aktris yang bertitel the best, Tanty mengumumkan sesuatu. "Saya tak akan pasang tarif tinggi. Sebab produser toh lebih tahu berapa tarif saya setelah ini". ujarnya. Mulai main film sejak Mama, hingga kini sudah memhintangi 15 film. Pernah tersohor sebagai penyanyi, Tanty yang berusia 6 tahun kini ibu dari seorang anak (4 tahun). Suaminya Enteng Tanamal bukan nama asing di kalangan musik. "Sekarang saya tidak menyanyi lagi", kata Tanty. Mungkin karena lama tak naik di pentas musik, Tanty nampak gamang lagi ketika angkat suara di Panggung Sejuta Bintang FFI 75 di Medan barusan. Tapi suaranya toh masih lumayan.
31 Mei 1975
Festival medan (susulan)
FESTIVAL Film Indonesia 1975 penghujung April yang lalu di Medan (TEMPO 10 Mei) ternyata ada buntutnya di kota itu. Tak sampai seminggu kemudian, berlangsung pula semacam "festival". Tapi yang difestivalkan bukanlah filmnya. Cuma "aktor dan aktrisnya". Ceritanya begini. Menjelang akan berlangsungnya FFI 1975 di Medan, gubernur Marah Halim telah bermurah hati mengeluarkan Rp 50 Juta kepada tiga produser asal kota itu untuk membantu mereka membuat tiga film. Ketiga film tersebut dipaksa siap pada waktunya agar dapat diburu ikut FFI. Tersebutlah tiga film anak Medan itu: Butet, produksi PT Orando FiIm, setulus Hatimu produksi PT Surya Indonesia Medan Film dan Batas Impian produksi bersama CV Sinar Film Medan dengan PT Sapta Januar Film dari Jakarta. Dalam film-film ini banyak anak-anak Medan ikut main. Nah, gaya permainan merekalah yang mau dinilai sehingga nanti akan dipilih menjadi apa yang dinamakan "aktor dan aktris terbaik Medan 1975". Hebat bukan? Akan hal ketiga film tersebut di dalam FFI, memang tak satu pun dapat nomor apa-apa. Kecuali bagi Tanty Yosepha yang dipilih sebagai aktris terbaik FFI 1975 lewat film Setulus Hatimu.
Sedangkan film atas Impian yang berdasarkan cerita Ibrahim Sinik, oleh Ketua Juri FFI, Prof. Soelarko disebutnya sebagai "sebuah film konyol" seperti disiarkan harian waspada Medan. Akan hal Butet yang pernah ricuh soal cerita dan skenarionya itu (TEMPO 8 Pebruari), juri FFI menghargai dengan sekedar surat penghargaan kepada gubernur Marah Halim yang "telah berkenan memberikan bantuan kepada perfilman nasional untuk menggali sejarah perjoangan rakyat Sumatera". Sekedar basa-basi obat pelipur lara saja. Tanpa Cingcong 1 Mei, Seksi Wartawan Film PWI Cabang Medan mengeluarkan surat kepada suatu dewan juri yang akan memilih "aktor dan aktris terbaik" itu. Juri terdiri dari kolonel A. Wahid Lubis (Ketua) Drs Bistok Sirait, Dra Yusmaniar Noor, Sabaruddin Ahmad, B.A. dan Djohan A. Nasution. Pada 3 Mei ketiga film tersebut diputar non stop di biosIop Raya Medan. Sekaligus untuk dinilai oleh dewan juri tersebut. Tanpa banyak cingcong dan setelah mata juri (3 di antaranya dosen Bahasa Indonesia) melihat para pendukung asal Medan dalam film-film tersebut dari segi mimik dan ekspresi, gerak serta penghayatan, pada 6 Mei sang juri sudah siap "menilai". Sedangkan siapa pemenangnya barulah pada 8 Mei malam diumumkan dalam satu upacara meriah di Balai Wartawan PWI Cabang Medan di Jalan Adinegoro. Setelah mengingat dan menimbang, maka inilah pemenang-pemenang menurut keputusan dewan juri versi Seksi Wartawan Film Medan itu: pemain pria terbaik I Aziz Harahap B.A. (pegawai TVRI Medan yang sering main drama) yang menjadi ayah Diana dalam film Butet.
Pemenang kedua Anif, kapten Belanda dalam Butet juga. Sedangkan Zainuddin A, tukang kebun dalam film Setulus Hatimu dapat nomor tiga. Dan pemain harapan Nicholas Pulungan, sebagai si Malik dalam Butet. Pemain wanita terbaik I Rita Frieda Pangaribuan, sebagai Rita dalam Setulus Hatimu, kedua: Ernie Tanjung, teman Malik (juga) dalam Batas Impian, Nurhafni yang jadi anak dalam Butet kebagian nomor tiga sementara yang harapannya adalah Anneke Saodah, ibu Mila dalam film Setulus Hatimu. Selain itu juri juga sepakat untuk memilih pemain anak-anak terbaik I: Faris yang jadi Irman dalam Batas Impian, II, Adi Rangkuty, anak paman Aldi dalam Setulus Hatimu. Pemain anak-anak wanita I: Ida Syahir, adik Aldi dalam Setulus Hatimu dan pemenang kedua Anisah, jadi Farida kecil dalam film Batas Impian. Mungkin karena istilah "aktor dan aktris" terlalu gede bagi mereka ternyata dalam surat piagam akhirnya disepakati ditulis dengan sebuah "pemain terbaik". Tapi pada malam itu bukan mereka saja yang kebagian piala, bahan kosmetik, obat batuk, piagam dan vandel Sie Wartawan Film PWI Medan. "Semua pendukung-pendukung dari ketiga film itu juga kita berikan", kata Asmas Tatang Amara, sang ketua. Dan, "gagasan mengadakan pemilihan ini memang berasal dari kami sebelum adanya FFI 1975 di Medan. Tujuannya untuk menggairahkan para produser film Medan agar mereka dapat memproduksi kembali". Dan pendapat A. Ganie Rahman, produser Setulus Hatimu: "Kita perlu memberi semangat kepada artis-artis Medan. Perasaan mereka perlu kita hibur". Tapi kenapa baru setelah FFI 1975 permainan mereka dijurii? "Ada maksud sebelum FFI berlangsung. Tetapi nanti tentu pandangan orang lebih tidak baik lagi. Bisa saja kita dikatakan mau mendahului FFI. Lagi pun ketiga film anak Medan itu pada waktu itu belum ke luar dari sensor", balas Ali Soekardi, salah seorang pengurus PWI Cabang Medan yang menjadi kordinator di Seksi Wartawan Film tersebut. Nah, mungkin pemain-pemain film dari Medan itu sekarang sudah bisa berpuas-puas diri. Hanya yang gagal, niat untuk memberikan tropi kepada gubernur Marah Halim sebagai "pembina perfilman nasional di Sumatera Utara" dan kepada Walikota M. Saleh Arifin yang dianggap "pengarah perfilman nasional di Medan". Marah Halim berdasarkan nota dari pembantnya, Tengku Putera Aziz "menolak". Kabarnya ia "ingin semua unsur seniman dan budayawan mengangkat dia, baru beliau mau". Sedangkan kepada walikota tak jelas apa sebabnya hasrat Seksi Wartawan Film Medan diurungkan, kecuali, "tak tepat timingnya". Sedangkan di antara penerima tropi pada malam itu, dikabarkan siangnya ada yang membelinya dengan uang sendiri. Lalu pada malam itu diserah terimakan kembali kepadanya. Dan ia pun merasa "puaslah" sebagai salah seorang "aktor". Toh tepuk tangan hebat juga malam itu.