Pernah ada masanya di mana bioskop menjadi tempat paling gaul bagi anak-anak muda. Itu terjadi di negeri ini di era Orde Baru sekitar tahun 1980-an. Pada masa itu bioskop menjadi primadona bagi kalangan muda-mudi untuk menikmati hiburan di perkotaan.
Sebelum era 1970-an sarana hiburan rakyat untuk menonton film baru terbatas pada layar tancap alias bioskop keliling. Layar tancap yang biasanya digelar pada saat pasar malam ini memang gratis dan ditujukan sebagai sarana hiburan masyarakat kecil di daerah.
Dari masa inilah kemudian dikenal istilah 'misbar' atau 'gerimis bubar' karena layar tancap biasa digelar di lapangan-lapangan terbuka yang luas tempat rakyat bisa berkumpul sehingga jika gerimis datang penonton pun harus bubar pulang kandang. Di gedung bioskop orang tidak perlu khawatir lagi dengan misbar.
Pada tahun 1970-an televisi (TV) muncul sebagai sarana hiburan baru. Tapi ketika itu TV masih tergolong barang mewah dan mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat bisa memilikinya. Tayangan TV juga masih minim memutar film-film sebagai hiburan.
Sejak itu bioskop mulai diminati sebagai sarana hiburan menonton film di perkotaan. Di masa itu bioskop sekaligus menjadi dunia pemasaran perfilman di Indonesia.
Sebetulnya bioskop pertama di Indonesia sudah muncul sejak Desember 1900 di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kejayaan bioskop sebagai tempat paling diminati untuk menonton film bersama teman, pacar, keluarga, atau kerabat itu terjadi sekitar 1980-an hingga puncaknya di 1990-an.
Pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai masa emasnya dengan 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar. Ketika itu produksi film nasional mencapai 112 judul per tahun.
Dulu orang mengartikan bioskop adalah satu gedung dengan satu layar pertunjukkan. Namun kini telah terjadi pergeseran. Sekarang orang cenderung mengartikan bioskop sebagai tempat menonton film yang mempunyai lebih dari satu layar dan biasanya berada di kompleks pertokoan, mall ataupun pusat perbelanjaan yang menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.
Tempat pertunjukkan dengan konsep gedung bioskop lebih dari satu layar itu kini disebut sinepleks. Konsep ini sebenarnya sudah muncul di tahun 1978 dengan didirikannya Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono, menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987.
Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop-bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.
Zaman kemudian berganti. Di akhir tahun 1980-an kehadiran siaran televisi asing melalui antena parabola dan layanan TV kabel berbayar perlahan mulai menggerus pesona bioskop sebagai tempat menonton film.
Di awal 1990-an kemunculan Laser Disc (LD) atau pemutar film berbentuk piringan hitam kian menggerogoti kejayaan film layar lebar di bioskop. Hal itu ditambah hadirnya teknologi video compact disc (VCD) Player yang semakin meminggirkan selera masyarakat untuk pergi menonton ke bioskop. Dengan VCD Player yang tersambung ke TV dan meminjam VCD dari jasa penyewaan, orang bisa menonton film di rumah dengan lebih murah dan nyaman. Apalagi sejak itu pembajakan film melalui media VCD kemudian Digital Video Disc (DVD) mulai marak.
Masa 1991-1998 adalah masa paling kelam dalam industri perfilman dan bioskop Indonesia. Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Pada masa ini hanya sedikit dan bisa dihitung jari gedung-gedung bioskop lama yang berdiri di tahun 60-an dan 70-an yang masih bertahan.
Dengan kemunculan film Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho, setelah itu Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) di tahun 1998 yang sukses di pasaran, industri perfilman Indonesia kembali bangkit dan bergairah.
Kini dengan kemajuan teknologi TV yang bisa menghadirkan TV layar datar, Plasma hingga High Definition Televition (HDTV), dan jaringan bioskop dengan layanan mewah serta teknologi suara digital (Dolby Digital), layar Tiga Dimensi (3D), pesona bioskop-bioskop legendaris masa silam semakin memudar.
Salah satu di antara sedikit gedung bioskop lama yang masih bertahan dan tetap eksis sampai sekarang adalah Grand Theatre yang terletak di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, atau di simpang lima Jl Kramat Raya. Bioskop Grand, begitu biasa disebut didirikan pada pertengahan tahun ’60-an. Gedungnya masih kokoh berdiri tapi jauh dari kesan apik. Film-film yang diputar adalah film-film asing dan nasional yang lama.
Zaman berganti, bioskop jadul tak lagi diminati.
Sebelum era 1970-an sarana hiburan rakyat untuk menonton film baru terbatas pada layar tancap alias bioskop keliling. Layar tancap yang biasanya digelar pada saat pasar malam ini memang gratis dan ditujukan sebagai sarana hiburan masyarakat kecil di daerah.
Dari masa inilah kemudian dikenal istilah 'misbar' atau 'gerimis bubar' karena layar tancap biasa digelar di lapangan-lapangan terbuka yang luas tempat rakyat bisa berkumpul sehingga jika gerimis datang penonton pun harus bubar pulang kandang. Di gedung bioskop orang tidak perlu khawatir lagi dengan misbar.
Pada tahun 1970-an televisi (TV) muncul sebagai sarana hiburan baru. Tapi ketika itu TV masih tergolong barang mewah dan mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat bisa memilikinya. Tayangan TV juga masih minim memutar film-film sebagai hiburan.
Sejak itu bioskop mulai diminati sebagai sarana hiburan menonton film di perkotaan. Di masa itu bioskop sekaligus menjadi dunia pemasaran perfilman di Indonesia.
Sebetulnya bioskop pertama di Indonesia sudah muncul sejak Desember 1900 di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kejayaan bioskop sebagai tempat paling diminati untuk menonton film bersama teman, pacar, keluarga, atau kerabat itu terjadi sekitar 1980-an hingga puncaknya di 1990-an.
Pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai masa emasnya dengan 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar. Ketika itu produksi film nasional mencapai 112 judul per tahun.
Dulu orang mengartikan bioskop adalah satu gedung dengan satu layar pertunjukkan. Namun kini telah terjadi pergeseran. Sekarang orang cenderung mengartikan bioskop sebagai tempat menonton film yang mempunyai lebih dari satu layar dan biasanya berada di kompleks pertokoan, mall ataupun pusat perbelanjaan yang menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.
Tempat pertunjukkan dengan konsep gedung bioskop lebih dari satu layar itu kini disebut sinepleks. Konsep ini sebenarnya sudah muncul di tahun 1978 dengan didirikannya Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono, menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987.
Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop-bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.
Zaman kemudian berganti. Di akhir tahun 1980-an kehadiran siaran televisi asing melalui antena parabola dan layanan TV kabel berbayar perlahan mulai menggerus pesona bioskop sebagai tempat menonton film.
Di awal 1990-an kemunculan Laser Disc (LD) atau pemutar film berbentuk piringan hitam kian menggerogoti kejayaan film layar lebar di bioskop. Hal itu ditambah hadirnya teknologi video compact disc (VCD) Player yang semakin meminggirkan selera masyarakat untuk pergi menonton ke bioskop. Dengan VCD Player yang tersambung ke TV dan meminjam VCD dari jasa penyewaan, orang bisa menonton film di rumah dengan lebih murah dan nyaman. Apalagi sejak itu pembajakan film melalui media VCD kemudian Digital Video Disc (DVD) mulai marak.
Masa 1991-1998 adalah masa paling kelam dalam industri perfilman dan bioskop Indonesia. Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Pada masa ini hanya sedikit dan bisa dihitung jari gedung-gedung bioskop lama yang berdiri di tahun 60-an dan 70-an yang masih bertahan.
Dengan kemunculan film Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho, setelah itu Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) di tahun 1998 yang sukses di pasaran, industri perfilman Indonesia kembali bangkit dan bergairah.
Kini dengan kemajuan teknologi TV yang bisa menghadirkan TV layar datar, Plasma hingga High Definition Televition (HDTV), dan jaringan bioskop dengan layanan mewah serta teknologi suara digital (Dolby Digital), layar Tiga Dimensi (3D), pesona bioskop-bioskop legendaris masa silam semakin memudar.
Salah satu di antara sedikit gedung bioskop lama yang masih bertahan dan tetap eksis sampai sekarang adalah Grand Theatre yang terletak di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, atau di simpang lima Jl Kramat Raya. Bioskop Grand, begitu biasa disebut didirikan pada pertengahan tahun ’60-an. Gedungnya masih kokoh berdiri tapi jauh dari kesan apik. Film-film yang diputar adalah film-film asing dan nasional yang lama.
Zaman berganti, bioskop jadul tak lagi diminati.