24 Desember 1977
Film kita dan Tuti Adhitama
(Badan Sensor Film)
Aduuuh...
ORANG film Indonesia memang tak perlu banyak mengeluh. Tiap akhir bulan sejak 1976 di TVRI dalam acara jam 20.00 penyiar Tuti Aditama memimpin acara "Film Kita Bulan Depan." Tujuannya: membikin film Indonesia lebih disenangi masyarakat Indonesia. Biasanya acara diisi oleh sejumlah sutradara atau bintang. ruti mewawancarai mereka. Penonton agaknya ingin tahu bagaimana wajah mereka di luar film, dan pengalaman kerja mereka di balik layar putih. Bagaimana Leny Marlina bisa nangis? Bagaimana caranya bikin adegan silat yang seru? Itu ular betul atau karet?
Dan Tuti Adhitama memang sering nampak memancing supaya dapat cerita macam itu. Kadang berhasil, kadang tidak. Bila tidak -- seperti akhir-akhir ini sering terjadi - sutradara atau bintang hanya bersemangat memuji filmnya. Atau menepuk dada tentang niat baiknya untuk masyarakat. Kesempatan promosi nampaknya tak mau dilewatkan. Seperti kata Yudi Astono, seorang produser dari Bashkara Indah Film: "Ka]au saya di mana ada kesempatan mengatakan film saya baik, ya saya katakan." Membabi-buta Tak semua pihak setuju. Penulis kritik film Harian Kompas, Kris JB, mengecam: "Dengan cara promosi yang membabi-buta seperti itu, ini bisa disebut penipuan pada penontom" Padahal, seperti diakui sutradara Ami Prijono (Karmila), "penampilan dalam acara itu saja sudah satu promosi:" Ke harian Kompas memang banyak datang surat kritik kepada acara itu. Untuk menjawabnya, pekan lalu Ishadi S.K. dari Direktorat Televisi menjelaskan pelbagai kesulitan yang dihadapi TVRI. Harus juga dipertimbangkan, kata Ishadi, pihak produser yang telah mempertaruhkan modal yang cukup besar "berkepentingan agar promosi filmnya tidak dirugikan." Tuti Adhitama sendiri menyatakan kepada TEMPO: "Forum ini bukan forum kritik, sehingga saya sendiri juga tak mau mengutik walaupun saya juga banyak melihat kelemahan film kita." Penyiar ini, yang di tahun 1960-an lulus dari George Washington University sambil ia bekerja di VOA menyatalan tak mau "gagah-gagahan mengritik" dalam acara TVRI itu. "Saya hanya sebagai pewawancara," katanya. Kalau mau menunjukkan pengetahuannya tentang film, dan penilaiannya sendiri, ia bisa melakukannya di tempat lain misalnya di Femina, kata Tuti pula yang kini juga penyumbang majalah wanita tersebut.
Di samping itu, Tuti Adhitama memandang film nasional sebagai "anak yang masih perlu disayang." Ibaratnya anak, kata Tuti - dia ibu dari dua anak yang remaja -- "jangan selalu dimarahi." Wim Umboh, sutradara dari pelbagai film laris dan pemenang beberapa piala Citra, nampaknya tak begitu enak dengan dianggap sebagai anak yang masih perlu disayang. "Kita sudah cukup dewasa," kata Wim, "kalau mau mengritik silakan." Tapi nampaknya menyadari bahwa tak semua orang film termasuk satu kaliber, dia mengusulkan, agar dalam acara "Film Kita Bulan Depan" itu ada seleksi terhadap film yang ditampilkan. Wim setidaknya didukung sutradara Wahyu Sihombing. Orang film yang jadi dosen teater di LPKJ ini menyebut adanya banyak sutradara yang membuat film asal jadi, hingga selain promosi, dalam acara itu boleh juga ada kritik.
Aduh Penonton memang bisa merasa dibohongi, oleh orang film yang mau agar filmnya diselonongkan sebagai nomor wahid -- sementara di bioskop film itu aduh. Dan sementara penjual film dapat kesempatan bersuara seenaknya, para pembeli film -- yang juga pembayar iuran TVRI - seperti cuma dianggap kuping kosong. Karena itu agaknya tokoh Lembaga Konsumen, Permadi, menilai acara "Film Kita Bulan Depan" sebagai "penipuan" jika dimasukkan sebagai acara wawancara. Menurut dia, acara itu harus masuk siaran niaga. Biar penonton tahu itu iklan. Di TV London, kata Permadi, ada acara yang mirip, tapi jelas seratus persen komersiil. Siapa saja dapat memasukkan. Konsumen dengan begitu tidak jadi bingung, mana yang berharga menurut penilaian TVRI, dan mana yang berharga menurut si penjual barang. Singkatnya: promosi ke arah penghargaan terhadap film Indonesia memang perlu tapi melindungi kepentingan penonton Indonesia juga perlu. Untuk itu harapan tentu ditujukan kepada para orang film yang jadi tamu TVRI. Tuti Adhitama sendiri, sebagai nyonya rumah mereka, 'kan tidak bisa bilang "Stop, jangan ngecap"?