WILDAN DJA'FAR
Mohamad Wildan Ja'far Tirtobesari
1. Bahwa filem merupakan masalah yang maha penting di dalam lingkungan seni-budaya, teristimewa dalam Negara Republik Indonesia yang kini dalam pembangunan. Sebab, kecuali mempunyai sifat-sifat sebagai alat penghibur, alat pendidikan dan alat penerangan, pun ia (filem) dapat dianggap sebagai misi kebudayaan yang mempunyai penuh pertanggungan jawab bagi maju mundurnya suatu bangsa. Karena dengan cepat dan langsung ia dapat mempengaruhi serta menguasai perasaan dan pikiran diri pribadi orang-orang dan khalayak ramai. Lebih luas dari pers dan buku. Di samping ia dapat memberikan pendidikan dan teladan-teladan yang baik, ia (filem) pun dapat pula menyeret diri pribadi orang-orang ke jalan sesat dan buruk hingga ia dapat menambah bahaya pelanggaran dan ketentraman umum dan kesusilaan bangsa serta dapat pula menghancurkan kebudayaan, yang berarti merugikan negara.
2. Bahwa perusahaan-perusahaan Nasional yang telah berdiri hanya beberapa buah saja berarti masih sedikit sekali yang belum pula dapat dikatakan telah berjalan dengan stabil dan lancar, jika dibandingkan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan filem kepunyaan bangsa asing, di mana yang lebih menitikberatkan kepada mengejar keuntungan materieel sebanyak-banyaknya daripada hendak meninggikan nilai kesenian dan derajat para seniman/seniwati yang terdiri dari pada bangsa Indonesia.
3. Bahwa filem-filem Indonesia sudah mulai terkenal di luar negeri dan mendapat perhatian besar semenjak Si Pintjang (1951) mendapat hadiah dari Film Festival sehingga banyak negara-negara Eropa yang ingin mengadakan tukar-menukar filem.
4. Bahwa kelambatan dalam pembangunan menyebabkan kedudukan kita makin ketinggalan jauh hingga kita akan menghadapai kesulitan-kesulitan dalam mempertahankan diri (dalam hal ini Perusahaan Film Nasional).
5. Bahwa dengan dasar hendak ikut serta membikin negara yang kini dalam masa pembangunan yang mana hebat, dengan berusaha untuk menjunjung tinggi nilai pembikinan filem serta derajat seniman-seniwati khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, serta guna memenuhi panggilan filsafat Pancasila.
Demikianlah 5 (lima) pokok semboyan mereka dan tentu saja dengan catatan bahwa Perusahaan Film Nasional itu dijalankan secara Bedrijfs-economis (manajerial), Financieel- administratief (administratif keuangan) Cultureel-politis (budaya politis).
Memang! Kami pun insyaf dan sadar bahwa cita-cita yang seluhur itu tak dapat dicapai dengan mudah saja dan dalam waktu yang singkat. Namun demikian, gejala-gejala yang menghambat (kalau tidak boleh dikatakan akan menghancurluluhkan) perusahaan-perusahaan filem Nasional itu, kini tampak jelas dan terang. Lebih-lebih di waktu akhir-akhir ini, dengan membanjirnya filem-filem India, Filipina dan lain-lainnya yang bukan saja merupakan air bah yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan tanggul-tanggul perusahaan-perusahaan filem Nasional yang masih sangat lemah itu, di samping penyerbuan kebudayaan mereka yang dahsyat, hingga hampir seluruh lapangan bioskop dikuasai oleh filem-filem luar negeri, India teristimewanya.
Dalam hal ini, kami tak dapat menyalahkan para produser filem Indonesia—yang pada mulanya—telah berdaya upaya untuk meninggikan derajat hasil produksi. Baik dengan memilih cerita yang bernilai dan dengan para pemain yang baik serta sebagainya, tapi kemudian mereka sendiri mendatangkan filem-filem India, Filipina dan lain-lainnya yang justru merupakan algojo bagi perusahaan filem Nasional. Mereka tak dapat disalahkan kata kami, sebab walaupun ceritanya terpilih dan para pemainnya cukup baik, namun alat-alat yang ada pada mereka sekarang ini tak mampu untuk melayarputihkannya dengan sempurna, dan menyebabkan kita tak dapat menikmati jalannya cerita yang baik itu. Untuk memindahkan ciptaan-ciptaan para pujangga yang bermutu ke dalam celluloid dengan baik, senantiasa akan kandas dan gagal jika alat-alat tekniknya masih tetap seperti yang ada sekarang ini. Alat-alat teknik, yang jika di Amerika/Eropa sudah diperdagangkan para tukang rombengan di pinggir jalan…..
Bila Amerika, India, Nippon (Jepang) dan lain-lain negara, mencari pasar untuk peredaran filem-filemnya di luar negeri bukanlah disebabkan mencari bekal untuk menutup ongkos produksinya saja, tapi untuk mencari tambahan keuntungan, di samping mereka menyebarkan (memperkenalkan) kebudayaannya. Sebab di dalam negeri sendiri cukup mendapatkan keuntungan besar. Para penontonnya sudah cukup luas dan meliputi segala aliran dan tingkatan. Dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Uang yang dikeluarkan oleh penontonnya sudah dapat disesuaikan dan mereka puas melihat apa yang di layarputihkan oleh perusahaan-perusahaan filem di negerinya itu. Ceritanya baik permainan bagus dan teristimewa dari sudut teknik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tapi, bagaimana dengan kita di sini…??? Kita terpaksa menggelengkan kepala sambil menarik nafas panjang serta berkata: Masih jauh..
Kita tak boleh berteriak mengatakan bahwa para terpelajar kita masih belum insyaf, tidak mau menghargai hasil usaha sendiri dengan jalan menonton filem-filem Indonesia. Sebab apa perlunya membuang uang dan waktu jika apa yang ditontonnya itu tidak dapat memuaskan hatinya. Bahkan sebaliknya. Kejengkelan hanya yang didapatkan. Mereka datang ke bioskop dengan niat akan menghibur diri, bukan untuk mencari kekesalan hati.
Juga dari pihak penonton tidak boleh dengan sombong dan kasar menganjurkan agar produksi-produksi filem Indonesia harus disamakan dengan bikinan luar negeri dahulu, kalau mau ditonton orang. Sebab, selama alat-alat yang dipunyai oleh industri-industri filem Indonesia masih model keluaran zaman “Flash Gordon masih kecil”, maka selama itu pula janganlah diharapkan filem-filem made in Indonesia akan baik dan dapat memikat hati penonton dari segala lapisan. Dan akibat selanjutnya ialah satu demi satu perusahaan-perusahaan filem Nasional boleh menutup pintunya kembali.
Memang kita akui bahwa jumlah bioskop di Indonesia hampir setiap minggu bertambah, tapi apakah artinya itu kalau para penontonnya hanya itu-itu juga. Dan filem-filem luar negeri—India teristimewanya—masih tetap merajai di tanah air kita.
Jadi, satu-satunya jalan untuk menolong perusahaan-perusahaan filem Nasional yang hampir tergelincir ke jurang keruntuhan itu ialah pemerintah harus cepat-cepat mengulurkan tangannya. Lekas memberikan bantuan untuk memudahkan masuknya alat-alat teknik yang modern. Dengan crediet atau dengan jalan apa saja yang mudah dipikul. Teristimewa terhadap para independent producers yang kini harus cepat-cepat mendapatkan perawatan agar tidak menemui ajalnya. Dan di samping itu pemerintah harus membatasi masuknya filem-filem luar negeri yang merupakan algojo bagi perkembangan filem Nasional.
Teriakan kami seperti tersebut di atas itu sebenarnya telah lama didengungkan dan dilancarkan dengan melalui S.S.K dan majalah-majalah, tapi pemerintah-pemerintah yang lalu seolah-olah tidak mempunyai telinga atau tuli. Seolah-olah tidak mempunyai mulut, membisu senantiasa dengan seribu bahasa. Maka dengan ini—kepada Pemerintah Baru—kami ulang lagi jeritan dan teriakan yang telah berkumandang, dengan penuh harapan agar pemerintah sekarang sudi mendengarkan dan memperhatikan serta kemudian memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan. Sebab jika tidak, baik pemerintah maupun masyarakat jangan mengharapkan filem-filem baik, apalagi mengharapkan dapat merebut kejuaraan dalam film festival Asia bahkan dalam 1000 tahun yang akan datang lagi. Kita tak boleh menganggap bahwa industri filem Indonesia itu bisa tumbuh subur dengan sendirinya tanpa bantuan pemerintah seperti hidupnya rumput liar yang lebat.
Produksi filem Indonesia harus dapat dinikmati, baik oleh Pak Dul penjual oncom atau Mas Hasan directeur N.V atau Mbak Sri anggota parlemen maupun Bung Menteri juga yang dimuliakan. Dan ini hanya dapat dicapai jika alat-alat teknik untuk industri filem Nasional telah modern dan lengkap, permainan yang cukup baik, cerita yang berharga dan pimpinan (penyelenggara) yang benar-benar mengerti. Jika para pengusaha filem Indonesia pada masa ini membikin filem-filem dengan cara TJAP DJADI (asal jadi) saja, kita pun tak dapat menyalahkan mereka benar-benar. Sebab mereka berpendirian bahwa toh tidak akan berhasil dengan memuaskan walaupun para pemainnya baik cerita hebat, tapi kalau keadaan teknik tak mengizinkan, apa guna? Cukuplah dengan pemain-pemain yang hanya mau menonjolkan tampang, cerita-cerita gado-gado saja. Sebab dengan begitu ongkos pembikinan sedikit dan bisa kembali modal, dapat memungut keuntungan sekedarnya untuk menjutkan usaha. Ya… walaupun tidak semua perusahaan berbuat demikian.
Sekarang! Jika ada yang bertanya, mengapa diantara peroduser filem Indonesia—dan yang terkenal pun pada berteriak setinggi langit “memohon” agar filem-filem dari Negara Tetangga dibendung, supaya industri filem Nasional dapat bergerak maju—tapi kemudian merekalah yang kini aktif “memohon” kepada pemerintah agar diberi izin (permohonan mereka kini sudah banyak dikabulkan W. Dj) untuk mendatangkan filem-filem India dan lain-lainnya yang padahal merupakan hantu berbahaya yang setiap detik dapat menerkam leher filem Nasional dengan sekali pukul. Dan kenapa kita tidak “menuntut” ucapan para beliau gembong-gembong filem Nasional tersebut…???
Maka jawaban kami adalah seperti apa yang diterangkan di atas. Mereka tak dapat disalahkan demi untuk keselamatan perusahaan.
Dan kalau cita-cita sebagian besar para produser Indonesia yang terkandung dalam lima pokok semboyan tersebut di awal tulisan ini dianggap baik, maka kepada pemerintah (dengan tiada bosan-bosannya) kami harapkan bantuannya. Agar cita-cita mereka itu tiada merupakan fatamorgana belaka….
Mohamad Wildan Ja'far Tirtobesari
Lahir Rabu, 21 Maret 1917 di Banjarnegara. Pendidikan : Tamat HIS tahun 1931. Pendidikan madrasah, kursus pemegang buku dan bahasa Inggris (1937), semua tidak sampai selesai. Sebelum masuk film, Wildan pernah bekerja sebagai pembantu pemegang buku (1936 - 1941); tenaga administrasi SK. "Asia Raya" (1943 - 1945), wartawan perang s.k. "Republik" (1946 - 1947) dan Wakil Pimpinan Redaksi berkala Komentar Indonesia merangkap Pimpinan Redaksi majalah "Republiken" (1947 - 1948). Berkenalan dengan film dimulai sebagai Pencatat merangkap Pemain pada NV. Indonesia Film Coy (1949 - 1951). Kemudian bekerja secara lepas sebagai pembantu sutradara dan anggota bagian skenario pada Perfini, lalu di Persari, kemudian pada Bintang Surabaya (1952 - 1963). Antara 1963 - 1965 kembali kerja di pers menjadi Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi s.k. "Gelora Minggu". Jabatan lain : pernah menjadi produser dari perusahaan "Dja'far Brothers" dengan menghasilkan film "Krisis Achlak" (1955); jadi impresario pertunjukan dalam dan luar negeri.
Aneka, Nomor 22, Tahun VI, 1 Oktober, 1955
Oleh Wildan Dja’far
Di kala hendak mendirikan suatu Perusahaan Film Nasional, beberapa tokoh filem kala itu hampir semuanya bersemboyan:
1. Bahwa filem merupakan masalah yang maha penting di dalam lingkungan seni-budaya, teristimewa dalam Negara Republik Indonesia yang kini dalam pembangunan. Sebab, kecuali mempunyai sifat-sifat sebagai alat penghibur, alat pendidikan dan alat penerangan, pun ia (filem) dapat dianggap sebagai misi kebudayaan yang mempunyai penuh pertanggungan jawab bagi maju mundurnya suatu bangsa. Karena dengan cepat dan langsung ia dapat mempengaruhi serta menguasai perasaan dan pikiran diri pribadi orang-orang dan khalayak ramai. Lebih luas dari pers dan buku. Di samping ia dapat memberikan pendidikan dan teladan-teladan yang baik, ia (filem) pun dapat pula menyeret diri pribadi orang-orang ke jalan sesat dan buruk hingga ia dapat menambah bahaya pelanggaran dan ketentraman umum dan kesusilaan bangsa serta dapat pula menghancurkan kebudayaan, yang berarti merugikan negara.
2. Bahwa perusahaan-perusahaan Nasional yang telah berdiri hanya beberapa buah saja berarti masih sedikit sekali yang belum pula dapat dikatakan telah berjalan dengan stabil dan lancar, jika dibandingkan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan filem kepunyaan bangsa asing, di mana yang lebih menitikberatkan kepada mengejar keuntungan materieel sebanyak-banyaknya daripada hendak meninggikan nilai kesenian dan derajat para seniman/seniwati yang terdiri dari pada bangsa Indonesia.
3. Bahwa filem-filem Indonesia sudah mulai terkenal di luar negeri dan mendapat perhatian besar semenjak Si Pintjang (1951) mendapat hadiah dari Film Festival sehingga banyak negara-negara Eropa yang ingin mengadakan tukar-menukar filem.
4. Bahwa kelambatan dalam pembangunan menyebabkan kedudukan kita makin ketinggalan jauh hingga kita akan menghadapai kesulitan-kesulitan dalam mempertahankan diri (dalam hal ini Perusahaan Film Nasional).
5. Bahwa dengan dasar hendak ikut serta membikin negara yang kini dalam masa pembangunan yang mana hebat, dengan berusaha untuk menjunjung tinggi nilai pembikinan filem serta derajat seniman-seniwati khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, serta guna memenuhi panggilan filsafat Pancasila.
Demikianlah 5 (lima) pokok semboyan mereka dan tentu saja dengan catatan bahwa Perusahaan Film Nasional itu dijalankan secara Bedrijfs-economis (manajerial), Financieel- administratief (administratif keuangan) Cultureel-politis (budaya politis).
Memang! Kami pun insyaf dan sadar bahwa cita-cita yang seluhur itu tak dapat dicapai dengan mudah saja dan dalam waktu yang singkat. Namun demikian, gejala-gejala yang menghambat (kalau tidak boleh dikatakan akan menghancurluluhkan) perusahaan-perusahaan filem Nasional itu, kini tampak jelas dan terang. Lebih-lebih di waktu akhir-akhir ini, dengan membanjirnya filem-filem India, Filipina dan lain-lainnya yang bukan saja merupakan air bah yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan tanggul-tanggul perusahaan-perusahaan filem Nasional yang masih sangat lemah itu, di samping penyerbuan kebudayaan mereka yang dahsyat, hingga hampir seluruh lapangan bioskop dikuasai oleh filem-filem luar negeri, India teristimewanya.
Dalam hal ini, kami tak dapat menyalahkan para produser filem Indonesia—yang pada mulanya—telah berdaya upaya untuk meninggikan derajat hasil produksi. Baik dengan memilih cerita yang bernilai dan dengan para pemain yang baik serta sebagainya, tapi kemudian mereka sendiri mendatangkan filem-filem India, Filipina dan lain-lainnya yang justru merupakan algojo bagi perusahaan filem Nasional. Mereka tak dapat disalahkan kata kami, sebab walaupun ceritanya terpilih dan para pemainnya cukup baik, namun alat-alat yang ada pada mereka sekarang ini tak mampu untuk melayarputihkannya dengan sempurna, dan menyebabkan kita tak dapat menikmati jalannya cerita yang baik itu. Untuk memindahkan ciptaan-ciptaan para pujangga yang bermutu ke dalam celluloid dengan baik, senantiasa akan kandas dan gagal jika alat-alat tekniknya masih tetap seperti yang ada sekarang ini. Alat-alat teknik, yang jika di Amerika/Eropa sudah diperdagangkan para tukang rombengan di pinggir jalan…..
Bila Amerika, India, Nippon (Jepang) dan lain-lain negara, mencari pasar untuk peredaran filem-filemnya di luar negeri bukanlah disebabkan mencari bekal untuk menutup ongkos produksinya saja, tapi untuk mencari tambahan keuntungan, di samping mereka menyebarkan (memperkenalkan) kebudayaannya. Sebab di dalam negeri sendiri cukup mendapatkan keuntungan besar. Para penontonnya sudah cukup luas dan meliputi segala aliran dan tingkatan. Dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Uang yang dikeluarkan oleh penontonnya sudah dapat disesuaikan dan mereka puas melihat apa yang di layarputihkan oleh perusahaan-perusahaan filem di negerinya itu. Ceritanya baik permainan bagus dan teristimewa dari sudut teknik yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tapi, bagaimana dengan kita di sini…??? Kita terpaksa menggelengkan kepala sambil menarik nafas panjang serta berkata: Masih jauh..
Kita tak boleh berteriak mengatakan bahwa para terpelajar kita masih belum insyaf, tidak mau menghargai hasil usaha sendiri dengan jalan menonton filem-filem Indonesia. Sebab apa perlunya membuang uang dan waktu jika apa yang ditontonnya itu tidak dapat memuaskan hatinya. Bahkan sebaliknya. Kejengkelan hanya yang didapatkan. Mereka datang ke bioskop dengan niat akan menghibur diri, bukan untuk mencari kekesalan hati.
Juga dari pihak penonton tidak boleh dengan sombong dan kasar menganjurkan agar produksi-produksi filem Indonesia harus disamakan dengan bikinan luar negeri dahulu, kalau mau ditonton orang. Sebab, selama alat-alat yang dipunyai oleh industri-industri filem Indonesia masih model keluaran zaman “Flash Gordon masih kecil”, maka selama itu pula janganlah diharapkan filem-filem made in Indonesia akan baik dan dapat memikat hati penonton dari segala lapisan. Dan akibat selanjutnya ialah satu demi satu perusahaan-perusahaan filem Nasional boleh menutup pintunya kembali.
Memang kita akui bahwa jumlah bioskop di Indonesia hampir setiap minggu bertambah, tapi apakah artinya itu kalau para penontonnya hanya itu-itu juga. Dan filem-filem luar negeri—India teristimewanya—masih tetap merajai di tanah air kita.
Jadi, satu-satunya jalan untuk menolong perusahaan-perusahaan filem Nasional yang hampir tergelincir ke jurang keruntuhan itu ialah pemerintah harus cepat-cepat mengulurkan tangannya. Lekas memberikan bantuan untuk memudahkan masuknya alat-alat teknik yang modern. Dengan crediet atau dengan jalan apa saja yang mudah dipikul. Teristimewa terhadap para independent producers yang kini harus cepat-cepat mendapatkan perawatan agar tidak menemui ajalnya. Dan di samping itu pemerintah harus membatasi masuknya filem-filem luar negeri yang merupakan algojo bagi perkembangan filem Nasional.
Teriakan kami seperti tersebut di atas itu sebenarnya telah lama didengungkan dan dilancarkan dengan melalui S.S.K dan majalah-majalah, tapi pemerintah-pemerintah yang lalu seolah-olah tidak mempunyai telinga atau tuli. Seolah-olah tidak mempunyai mulut, membisu senantiasa dengan seribu bahasa. Maka dengan ini—kepada Pemerintah Baru—kami ulang lagi jeritan dan teriakan yang telah berkumandang, dengan penuh harapan agar pemerintah sekarang sudi mendengarkan dan memperhatikan serta kemudian memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan. Sebab jika tidak, baik pemerintah maupun masyarakat jangan mengharapkan filem-filem baik, apalagi mengharapkan dapat merebut kejuaraan dalam film festival Asia bahkan dalam 1000 tahun yang akan datang lagi. Kita tak boleh menganggap bahwa industri filem Indonesia itu bisa tumbuh subur dengan sendirinya tanpa bantuan pemerintah seperti hidupnya rumput liar yang lebat.
Produksi filem Indonesia harus dapat dinikmati, baik oleh Pak Dul penjual oncom atau Mas Hasan directeur N.V atau Mbak Sri anggota parlemen maupun Bung Menteri juga yang dimuliakan. Dan ini hanya dapat dicapai jika alat-alat teknik untuk industri filem Nasional telah modern dan lengkap, permainan yang cukup baik, cerita yang berharga dan pimpinan (penyelenggara) yang benar-benar mengerti. Jika para pengusaha filem Indonesia pada masa ini membikin filem-filem dengan cara TJAP DJADI (asal jadi) saja, kita pun tak dapat menyalahkan mereka benar-benar. Sebab mereka berpendirian bahwa toh tidak akan berhasil dengan memuaskan walaupun para pemainnya baik cerita hebat, tapi kalau keadaan teknik tak mengizinkan, apa guna? Cukuplah dengan pemain-pemain yang hanya mau menonjolkan tampang, cerita-cerita gado-gado saja. Sebab dengan begitu ongkos pembikinan sedikit dan bisa kembali modal, dapat memungut keuntungan sekedarnya untuk menjutkan usaha. Ya… walaupun tidak semua perusahaan berbuat demikian.
Sekarang! Jika ada yang bertanya, mengapa diantara peroduser filem Indonesia—dan yang terkenal pun pada berteriak setinggi langit “memohon” agar filem-filem dari Negara Tetangga dibendung, supaya industri filem Nasional dapat bergerak maju—tapi kemudian merekalah yang kini aktif “memohon” kepada pemerintah agar diberi izin (permohonan mereka kini sudah banyak dikabulkan W. Dj) untuk mendatangkan filem-filem India dan lain-lainnya yang padahal merupakan hantu berbahaya yang setiap detik dapat menerkam leher filem Nasional dengan sekali pukul. Dan kenapa kita tidak “menuntut” ucapan para beliau gembong-gembong filem Nasional tersebut…???
Maka jawaban kami adalah seperti apa yang diterangkan di atas. Mereka tak dapat disalahkan demi untuk keselamatan perusahaan.
Dan kalau cita-cita sebagian besar para produser Indonesia yang terkandung dalam lima pokok semboyan tersebut di awal tulisan ini dianggap baik, maka kepada pemerintah (dengan tiada bosan-bosannya) kami harapkan bantuannya. Agar cita-cita mereka itu tiada merupakan fatamorgana belaka….
TENANG MENANTI | 1952 | WILDAN DJA'FAR | Director | |
CHANDRA DEWI | 1952 | FRED YOUNG | Director | |
IRAWATY | 1950 | TOUW TING IEM | Actor Director | |
BUDI SATRIA | 1950 | WILDAN DJA'FAR | Director | |
BERCANDA DALAM DUKA | 1981 | ISMAIL SOEBARDJO | Actor | |
DHARMA BAKTI | 1955 | WILDAN DJA'FAR | Director | |
KUNANTI DI BOROBUDUR | 1955 | WILDAN DJA'FAR | Director | |
BUKAN ISTRI PILIHAN | 1981 | EDUART P. SIRAIT | Actor |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar