Tampilkan postingan dengan label TEGUH KARYA 1960-1992. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TEGUH KARYA 1960-1992. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Januari 2011

DI BALIK KELAMBU / 1983

DI BALIK KELAMBU


FULL MOVIE

Film ini mengisahkan tentang Hasan (Slamet Rahardjo), anak menantu Abah (Maruli Sitompul). Diceritakan bahwa Abah sangat tidak bahagia dengan Hasan karena dia membandingkannya dengan anak menantunya yang lain, Bakri (August Melasz) yang kaya dan mempunyai pabrik. Keadaan menjadi lebih buruk ketika karena Hasan dan Nurela (Christine Hakim) istrinya masih tinggal di paviliun ibu mertua Hasan. Dari sinilah masalah mereka mulai timbul sepanjang cerita.

NOTE: Pada periode ini, Teguh sangat dekat dengan problem masyarakat yang ada di sekitarnya. Gaya penyutradaraannya terasa lebih sederhana dan menghindari pendekatan romantis. Konflik ceritanya berjalan realistis karena digarap secara pendekatan semi dokumenter. Pada periode ini, para pemain mendapat porsi lebih luas dalam berkreasi. Berbeda dengan gaya penyutradaraan tahun tujuh-puluhan yang cenderung membentuk pemain secara ketata dan jika perlu menirukan gesture dan ekspresi yang dicontohkan. Teguh nampak lebih matang dalam penyutradaraan.

News
Dengan judulnya yang komersial, plus adegan ranjang yang cukup panjang dan sedikit erotis, film ini sama sekali tidak menjajakan barang dagangan murahan. Sebaliknya lewat gambar-gambar yang matang dan editing yang ketat, Di Balik Kelambu terasa unik. Ia berhasil merampas segenap perhatian untuk sebuah tema yang sebetulnya kurang meyakinkan, yakni konflik menantu lawan bapak mertua dalam setting Jakarta yang sangat tidak spesifik Jakarta. Penonton yang waspada akhirnya akan mengetahui bahwa sutradara bukan memfilmkan drama rumah tangga tapi mendramatisasi cekcok keluarga. Kendati demikian Teguh tetap mempesona. Penonton terpikat bukan karena simpati pada tokoh Leila atau Hasan, tapi karena gambar-gambar yang menjerat, menggebu, dan menyeru-nyeru. Christine Hakim, dan hampir semua pemain, tampil dengan baik. Namun penokohan yang dipercayakan pada mereka terbatas untuk pengembangan kemampuan berperan. Penyutradaraan Teguh sepenuhnya terserap untuk gaya dan pemotretan bagus, bukan mewakili penuturan cerita dalam segala dimensinya. Seluruh unsur telah dikerahkan untuk penyampaian sebuah gaya, sebuah ekspresi, hingga kreativitas terpusat di sana. Di luar gaya itu, film ini boleh dipujikan untuk editing yang ditangani secara meyakinkan oleh George Kamarullah.

 P.T. SUKMA PUTRA FILM

SLAMET RAHARDJO
CHRISTINE HAKIM
MARULI SITOMPUL
RIMA MELATI
NUNGKY KUSUMASTUTI
SYLVIA WIDIANTONO
SANDY SUWARDI HASSAN
MARK SUNGKAR
HELMY SUNGKAR
SOFIA WD
HENDRO DJAROT
NUNUK CHAERUL UMAM

 











 




IBUNDA / 1986

IBUNDA
  MOTHER
 

Film ini menceritakan sebuah kisah di kota Jakarta, ketika Ibu Rakhim (Tuti Indra Malaon) seorang janda priyayi, menghadapi dua masalah terpisah dalam keluarganya. Fitri anak perempuan bungsunya, mempunyai pacar Luke (Alex Komang) yang dibenci oleh Farida (Niniek L. Karim), kakak Fitri, dan suaminya yang kaya dari kalangan bangsawan Jawa, Gatot, karena Luke adalah seorang Papua bukan Orang Jawa. Pada saat yang bersamaan anak laki-lakinya, Fikar, meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk tinggal dengan seorang artis. Film ini berusaha menunjukkan sisi psikologi dari seorang ibu dan hubungan moral diantaranya dalam menyelesaikan masalah keluarganya. Masalah muncul dari tingkah laku Zulfikar anak ketiga yang jadi bintang film. Zulfikar berkeluarga dengan satu anak, menimbulkan soal karena menjadi piaraan seorang perempuan setengah baya yang tampaknya berada di belakang suksesnya bintang layar ini. Masalah lain terjalinnya cinta Fitri (Ria Irawan) anak bungsu dengan pemuda simpatik dan terpelajar asal Irian Jaya. Diakhir cerita kedua persoalan terselesaikan dengan baik -ketika seluruh keluarga berkumpul dan makan pagi bersama di rumah sang Ibu. Hal yang paling terpenting dari film ini adalah Gambarannya manis tentang keluarga ini. Pada sebelumnya film Teguh, keluarga tampil dengan kondidi buruk. Keluarga adalah bencana.

Tapi film ini menarik bukan hanya gambaran tentang keluarga yang lain dari pada yang lain, seperti yang digambarkan Teguh dalam film sebelumnya, tapi penyajian ceritanya. Sebuah film Indonesia bagus, karena ia beda dengan film cerita yang ada/kebanyakan. Itu kriteria termudah, dan film ini juga begitu. Tampil dengan cerita yang sederhana kehidupan sehari-hari yang kita kenal, dialog yang wajar, pas, yang tanpa meminta perhatian. Ibu Rahim dan anak-anaknya menghadapi persoalan Zulfikar yang menjadi piaraan dan soal Fitri yang menghilang karena hubungannya dengan pemuda Irian dibendung keluarga. Tapi keluarga menangani persoalan itu dengan wajar sebagaimana mestinya keluarga yang berlatar belakang priyai.

Istri Zulfikar (Ayu Azhari) malah menyembunyikan pada mertuanya kenyataan bahwa suaminya sudah lama tidak pulang. Tidak ada tangisan yang meratap dalam film ini seperti film Indonesia kebanyakan saat itu.Bahkan istri merasa malu karena ulah suaminya. Dan istri ini malah sempat sekongkol dengan ipar-iparnya untuk menyembunyikan Fitri, ketika yang terakhir ini menyatakan protesnya atas sikap sebahagian keluarga mengenai hubungannya dengan si pemuda Irian itu. Soal itu sendiri akhirnya teratasi bukan karena kotbah tentang perlunya interigitasi nasional atau tentang harga manusia yang sama di mata Allah. Sang ibu hanya menjelaskan keluarganya juga blasteran dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menerima orang lain. Bagi sebahagian anggota keluarga, soalnya juga tidak begitu serius, sebab seperti layaknya anggapan anak muda sekarang, baik Irian, Jawa maupun Timor itu adalah urusan masing-masing lah. Mungkin kesalahan dalam cerita ini adalah lepasnya Zulfikar terhadap tante. Tapi lembaga tante girang ini dari semula memang sebuah tanda tanya. Memang ada???Atau sekedar lanjjutan cerita-cerita tahun empat puluhan. Cerita yang baik, skenario yang bagus, penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuk lewat para pemainnya yang hampir sempurna. Memang Teguh orang teater harus menampilkan persiapan dan pemain yang sempurna. Penanganan Teguh atas cerita dan dialog yang baik membuka kemungkinan permainan yang mengesankan. Film cerita keluarga yang bagai musik dengan nada rendah selalu bisa terjatuh dalam suatu monotoni. Kemampuan sinematograpfis Teguh berhasil mengatasi hal demikian. Ada irama yang terjaga rapi. Dan berbeda dengan pada film terdahulu. Kecenderungan artistik dalam film Teguh (ia mulai dari art director), kini menemukan bentuknya dalam sebuah konfigurasi berbagai aspek kebolehan yang diperolehnya sejak mulai membuat film Wajah Seorang Lelaki. Film ini karya terbaik Teguh.
P.T. SATRIA PERKASA ESTHETIKA FILM
P.T. SUFIN
TUTI INDRA MALAON
NINIEK L. KARIM
ALEX KOMANG
AYU AZHARI
WAWAN SARWANI
GALEB HUSEIN
ROSSY S. DRADJAT
RIA IRAWAN
ONNY MAYOR


NOTE: Melanjutkan semangat perjuangan yang mengimbas dari film Doea Tanda Mata, Teguh memilih cerita tentang seorang ibu yang memiliki banyak anak yang berbeda watak dan keinginannya, tetapi mampu diatasi berdasarkan cinta kasih yang timbul dari rasa memiliki. Tokoh Ibunda diibaratkan sebagai ibu pertiwi yang memiliki banyak masalah karena berbagai perbedaan suku bangsa dan adat istiadat, tapi segalanya tetap bersatu dan mengatasi masalahnya dengan cinta kasih karena menyadari bahwa pada dasarnya kita sebangsa dan setanah air.

News
19 Juli 1986 
Ibu yang wajar, keluarga yang wajar


IBUNDA Cerita, skenario, sutradara: Teguh Karya Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ria Irawan, Galeb Husin, Niniek L. Karim Produser: PT Satrya Perkasa Esthetika Film. PT Suptan Film INI kisah sebuah keluarga sederhana. Ibu Rahim (Tuti Indra Malaon) adalah janda dengan beberapa anak. Tiga sudah kawin, dua masih ikut ibu. Dan ibu serta dua anak ini, yang tinggal di rumah bersahaja di sebuah gang di Jakarta hidup dari bantuan sang menantu, Mas Gatot (Galeb Husin), suami Farida (Niniek L. Karim), anak tertua. Para penonton berkenalan dengan keluarga Ibu Rahim lewat dua masalah yang menjalin cerita. Masalah pertama muncul dari tingkah laku Zulfikar (Alex Komang), anak ketiga yang jadi bintang film. Zulfikar, berkeluarga dengan satu anak, menimbulkan soal karena menjadi piaraan seorang perempuan setengah baya yang tampaknya berada di belakang sukses bintang layar putih ini. Masalah lain ialah terjalinnya cinta Fitri (Ria Irawan) anak bungsu, dengan pemuda simpatik dan terpelajar asal Irian Jaya. Di akhir cerita, kedua persoalan terselesaikan dengan baik ketika seluruh keluarga berkumpul dan makan pagi bersama di rumah sang ibu. Bagi mereka yang mengamati film-film Teguh Karya, satu hal yang dengan segera mengesankan dari Ibunda ialah gambaran manis tentang keluarga. Pada sebagian besar karya Teguh, keluarga selalu tampil dengan konotasi buruk. Keluarga adalah bencana.

Tapi jika film ini menarik, tentulah bukan karena sikap Teguh yang baru itu. Melainkan, karena cara menyampaikan kisahnya. Sebuah film Indonesia bagus karena ia berbeda dari kebanyakan film Indonesia lain. Paling tidak, itu kriteria termudah dan itu pula yang terasa pada Ibunda. Berlainan dari kebanyakan film kita yang ceritanya bombastis dan dialognya melambung-lambung, Ibunda tampil dengan cerita sederhana, bahkan datar -- seperti hidup sehari-hari yang kita kenal -- dengan dialog yang wajar, pas, tanpa tanda seru yang meminta perhatian. Juga, berbeda dengan kebanyakan film Indonesia yang menjejalkan pesannya lewat cerita -- yang sesungguhnya masih dalam tingkat gagasan -- serta dialog yang hanya mungkin ditemukan dalam sandiwara propaganda, Ibunda mencapai bentuk bercerita yang subtil. Ibu Rahim dan anak-anaknya menghadapi soal Zulfikar yang jadi piaraan dan soal Fitri yang menghilang lantaran hubungannya dengan si pemuda Irian dibendung keluarga. Tapi keluarga itu menangani soal dengan cara wajar, sebagaimana mestinya reaksi suatu kalangan menengah bawah dengan latar belakang priayi. Istri Zulfikar (Ayu Azhari) malah menyembunyikan kepada mertuanya kenyataan bahwa suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah. Tidak ada tangis, apalagi dialog meratap yang kita kenal menjadi ciri khas film nasional itu. Bahkan sang istri merasa malu oleh ulah suaminya. Dan istri yang malang ini masih pula sempat "bersekongkol" dengan ipar-iparnya untuk menyembunyikan Fitri, ketika yang terakhir itu menyatakan protesnya terhadap sikap sebagian anggota keluarga mengenai hubungannya dengan si pemuda Irian. Penolakan terhadap pemuda Irian itu sendiri akhirnya teratasi bukan karena khotbah tentang perlunya integrasi nasional atau tentang harga manusia yang sama di mata Allah. Sang ibu hanya menjelaskan, keluarganya juga blasteran, dan karena itu tidak ada alasan untuk tidak menerima orang lain. Bagi sebagian anggota yang lain dari keluarga itu, soalnya sebenarnya juga tidak begitu serius -- sebab, seperti layaknya anggapan anak muda sekarang, baik Irian, Jawa, maupun Timor, itu urusan masing-masinglah.

Yang barangkali masih mungkin diperbaiki ialah proses lepasnya Zulfikar dari sang tante. Tapi lembaga "tante girang" ini dari semula memang sebuah tanda tanya. Memang ada? Atau sekadar lanjutan cerita-cerita tahun enam puluhan, yang tumbuh banyak novel murahan? Ada kesan, dalam Ibunda "tante girang" diciptakan Teguh hanya sebagai cantolan bagi masalah yang timbul dari Zulfikar -- termasuk, dengan menjadikan pemuda ini piaraan seorang tante yang dekat dengan para produser film, langkah kakinya untuk menjadi bintang film. Dan terbukalah kesempatan bagi Teguh Karya untuk menampilkan adegan film dalam film, yang mengingatkan kita pada The French Lieutenant Woman. Sayang, Teguh tidak setrampil Harold Pinter, penulis skenario film asing itu: adegan film pada Ibunda hanya terasa dilekatkan untuk mendapatkan efek. Penonton tampaknya dibujuk untuk menerima bahwa, pada gilirannya lewat peranannya dalam film pulalah, antara lain Zulfikar akhirnya sadar untuk kembali kepada istri dan anaknya. Tapi lantaran jatuhnya Zulfikar ke sang tante tidak digambarkan dengan meyakinkan, tobatnya pun tidak berhasil membujuk penonton untuk yakin. Semua itu sambil tak mengingkari bahwa adegan film dalam film adalah tontonan tersendiri yang memikat -- kalau kita suka menyaksikan dua tontonan lewat sebuah film. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuknya lewat para pemain yang tampil hampir sempurna. Dan Teguh Karya -- orang teater -- memang tertuntut menampilkan pemain dengan persiapan rapi. Tidak semua pemeran Ibunda punya latar belakang teater, yang berarti akting. Tapi penanganan Teguh atas cerita dan dialog yang baik membuka kemungkinan permainan yang mengesankan. Tuti Indra Malaon, seperti biasanya bermain bagus: sosok dan watak Ibu Rahim serta riwayat panjang keluarga itu muncul anggun lewat aktris ini. Kecuali Alex Komang, rata-rata pemain memang membawakan peranan dengan baik. Tapi yang rasanya menonjol adalah Niniek L. Karim. Kemampuannya dalam memerankan tokoh anak tertua dan tersukses, yang memegang fungsi penghubung dalam keluarga, itulah terutama, saya kira, yang membuat cerita mengalir, utuh, dan hidup.

Film dengan cerita keluarga yang bagai musik dengan nada rendah selalu bisa terjatuh dalam suatu monotoni. Kemampuan sinematografis Teguh berhasil mengatasi hal demikian. Ada irama yang terjaga rapi. Dan, berbeda dengan pada film-filmnya terdahulu media untuk menyatakan irama itu kini telah merupakan bagian integral, bukan lagi tempelan. Kecenderungan artistri Teguh (ia mulanya seorang art director) kini telah menemukan bentuknya yang tepat dalam sebuah konfigurasi berbagai aspek kebolehan yang diperolehnya sejak mulai membikin Wajah Seorang Laki-Laki -- yang secara bersama menjadikan film ini tontonan memikat. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut Ibunda karya terbaik Teguh hingga saat ini. Salim Said

PACAR KETINGGALAN KERETA / 1988




Kisah dimulai dengan pesta 25 tahun perkawinan Ibu dan Pak Padmo (Tuti Indra Malaon dan Rachmat Hidayat). Di sini muncul kecemburuan Bu Padmo terhadap sekretaris Pak Padmo, Tante Retno (Niniek L.Karim). Kecemburuan ini semakin menjadi, saat tahu Heru (Onky Alexander) pacaran dengan Ipah (Nurul Arifin), sedang sopirnya Martubi (Alex Komang) pacaran dengan Juminten (Nani Vidia), pembantu tante Retno. Kecemburuan itu juga mengganggu persahabatan Heru, Riri (Ayu Azhari), anak-anaknya dengan Arsal (Iwen Darmanyah), anak tante Retno. Kecemburuan ini membuat banyak salah paham, yang bisa diakhiri dengan gembira.

Skenario Film ini diadaptasi oleh Arswendo Atmowiloto dari sebuah novel berjudul Kawinnya Juminten (1985).

NOTE: Dalam kondisi film Indonesia yang mulai sesak napas menghadapi politik udara terbuka dari pemerintah. Tekanan politik pasar bebas sebagai paket sistem global yang ditawarkan oleh negara maju, memungkinkan importir film mulai bebas bergerak karena quota import mulai longgar. Bersaing dengan film import yang diproduksi dengan modal raksasa, film Indonesia kurang daya dan akhirnya secara drastis jumlah produksi menurun tajam. Pacar Ketinggalan Kereta menjadi film terakhir dalam perjalanan panjang karir Teguh Karya dan menjadi salah satu film Indonesia yang masih dipercaya masyarakat.
N.V. PERFINI

TUTI INDRA MALAON
RACHMAT HIDAYAT
NINIEK L. KARIM
NURUL ARIFIN
AYU AZHARI
ALEX KOMANG
DIDI PETET
DARMANYAH DARLIS
NANI VIDIA
CAMELIA MALIK
PIET PAGAU
RITA ZAHARA




14 Oktober 1989
Menyambung napas tiga dara


PACAR KETINGGALAN KERETA Pemain: Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, Ongky Alexander, Didi Petet, Nurul Arifin.
Skenario: Teguh Karya & Arswendo Atmowiloto
Sutradara: Teguh Karya Produksi: Perfini.
 
BAGAIMANA kalau penulis yang terampil bekerja dengan sutradara yang tak punya lagi persoalan dengan masalah-masalah teknis. Jawabannya ada dalam film tcrbaru Tcguh Karya ini, Pacar Ketinggalan Kereta (PKK) . Dalam novel Arswendo Atmowiloto, Kawinnya Juminten dan Murtuhi, ada peristiwa Martubi yang dikeluarkan dari pabrik bihun. Tetapi, kelanjutannya tak diceritakan. "Nah, film ini menceritakan apa selanjutnya yang terjadi pada lelaki itu," kata Teguh. Tetapi, PKK bukan hanya kisah Martubi dan Juminten. Ini juga cerita tentang Ibu Padmo (Tuti Indra Malaon) yang cemburu kepada Tante Retno (Niniek L. Karim), sekretaris Pak Padmo (Rachmat Hidayat). Janda itu dianggapnya berusaha merebut suaminya. Padahal, kalau Tante Retno sering menumpang mobil Pak Padmo, itu gara-gara Martubi (Alex Komang). Soalnya, sopir Pak Padmo itu selalu ingin berhubungan dengan Juminten (Nani Vidia) yang bekerja di keluarga Tante Retno. PKK adalah juga kisah cinta Heru (Ongky Alexander), putra Ibu Padmo, dengan Ipah (Nurul Arifin). Heru berperang dengan ibunya karena kepincangan Ipah dipersoalkan. Sementara itu, Riri (Ayu Ashari) adik Heru, di tengah ketegangan Ibu Padmo -- Tante Retno, sebenarnya pacaran dengan Arsal, putra Tante Retno. Ipah kemudian dekat dengan Arsal schirigga Heru cemburu. Tak cuma itu. PKK juga adalah kisah Kang Samingun (Didi Petet) yang berusaha dengan segala dayanya untuk merebut Juminten dari Martubi. Seabrek persoalan itu kemudian memuncak ketika kelompok Heru baku hantam dengan rombongan Arsal. Yang jadi korban adalah Martubi dan Cicih (Camelia Malik), sanak Martubi yang menjadi penyanyi dangdut. Namun, segala persoalan itu kemudian berhasil diselesaikan. Salah pengertian diputihkan. Martubi kembali kepada Juminten. Heru dan Ipah mendapat restu dari Ibu Padmo.

Walhasil, ini sebuah cerita yang ramai dan simpang-siur, menyangkut banyak orang dan berbagai soal. Karena semuanya harus selesai, film menjadi sibuk. Adegan-adegan bermunculan cepat dan berusaha mengulcapkan beberapa hal dalam satu kali gebrak. Hampir memusingkan. Kadangkala dialog saling tumpah tindih, membangun suasana sekaligus menyampaikan perkembangan berbagai konflik berbareng. Tempo bercerita tinggi. Penuturan meloncat-loncat sehingga penonton juga harus cekatan memilih dan mengingat serta menyambung apa yang sedang terjadi. 

Mendekat ke akhir cerita, semuanya baru mulai menukik dan menyatu. Dan semuanya selesai dengan baik. Di tengah berbagai soal yang memadat dan hampir menyesakkan itu sutradara memecahkan tekanan dcngan musik dan lagu. Para pemain menyampaikan dialog dengan menyanyi seperti dalam operet. Adegan perkelahian pun dibuat sebagai pertempuran gerak yang mengingatkan pada Bad-ny Michael Jackson. Idris Sardi sebagai penata musik dan Roy Julius Tobin Masto sebagai penata gerak telah memberikan andil besar. Film ini datang dari tangan seorang yang berpengalaman di lapangan. Skenarionya berhasil mengocok berbagai persoalan dalam satu paket yang pada akhirnya terurai jelas. Sementara itu, penyutradaraan mampu merangkum para pemain menyampaikan adegan-adegan berat dengan mulus. Ongky bermain sungguh-sungguh. Tuti (almarhumah) bermain baik. Niniek L. Karim bagus. Nurul lebih jelas lagi menunjukkan bakat besarnya. Sedangkan Didi Petet hadir dengan hangat. Bahkan, Ayu Azhari juga terasa pas. Film ini didubbing dengan bagus. Kita tidak perlu lagi mendengar suara-suara pemain yang diobral setiap kali ada gambar mulut. Tetapi, layar juga tak di sepi karena dialog sampingan yang sama pentingnya masuk, sementara dialog pokok dilepaskan. Barangkali, buat penonton yang biasa dibimbing, hal ini membingungkan. Selera gambar yang baik dan editing yang tangkas juga membuat PKK berhasil menyampaikan tumpukan persoalannya berbareng. Meskipun berlindung di balik kata sekadar ingin "menghibur", PKK adalah salah satu pencapaian yang menarik dalam perkembangan film Indonesia. Bagaimana persoalan yang sederhana di sekitar kita bisa menjadi kompleks kalau cara memandangnya sedemikian rupa. Dan, bagaimana hal-hal yang kompleks bisa menjadi segar dan menghibur kalau dipaketkan dan kemudian disampaikan oleh tangan yang terampil. Kalau Teguh berniat mencoba menyambung napas Tiga Dara-nya Usmar Ismail -- yang seperti kehilangan kesinambungannya dalam sejarah film nasional -- ia tak sia-sia. Putu Wijaya


18 November 1989
Pacar ketinggalan citra 
MUTU film Indonesia merosot! Yang mengucapkan ini bukan sembarang orang. Menteri Penerangan Harmokolah yang mengatakan itu pada sambutan singkatnya di tengah puncak acara Fetival Film Indonesia, Sabtu pekan lalu, di Balai Sidang, Jakarta. Sebelumnya, Harmoko memuji kemajuan perfilman nasional dengan menyebut produksi yang bertambah dari tahun ke tahun, dan ditonton oleh lebih banyak orang dari hari ke hari. "Adalah tidak adil jika Pemerintah tidak menyebutkan kekurangannya," kata Harmoko kemudian. Ia lantas menyebutkan persoalan yang paling mendasar: mutu merosot. Dalam situasi seperti ini, celakanya, FFI harus tetap berlangsung. Dewan Juri FFI tetap memilih film terbaik. Maka, karya Teguh Karya, Pacar Ketinggalan Kereta, dinobatkan sebagai film terbaik yang sekaligus memboyong delapan Piala Citra. Padahal, film ini bukanlah karya terbaik Teguh. Dibandingkan Ibunda atau Doea Tanda Mata, misalnya, mutu Pacar "ketinggalan kereta". Ini film ringan, soal gosip yang dipanjang-panjangkan, soal cemburu yang bertele-tele, dan gerak nyanyi seperti dalam sandiwara Teater Koma. Lewat film ini, selain Teguh sendiri, ikut kebagian Citra adalah Tuti Indra Malaon (aktris terbaik), Niniek L. Karim (pembantu wanita terbaik), dan Rachmat Hidayat (aktor terbaik). Masalahnya, kenapa Niniek tergolong pemeran pembantu dan Tuti pemeran utama, padahal porsinya sama. Pemisahan keduanya seperti memberi kesan bahwa Pacar ingin meraup semua Citra.

Apalagi dengan tampilnya Rachmat Hidayat, yang begitu mengagetkan. Aktingnya tak ada yang istimewa dalam film ini. Kekalahan Eeng Saptahadi, yang bermain bagus dalam Semua Sayang Kamu, seperti menyiratkan ada sesuatu kenapa ia harus kalah dan kenapa Rachmat harus menang. Piala Citra yang disisakan Pacar dibagi-bagi film unggulan lainnya. Pemusik Idris Sardi mendapatkan Citra kedelapan lewat film Noesa Penida. Ida Farida kebagian untuk penulisan skenario dalam Semua Sayang Kamu. Imam Tantowi mendapatkan untuk cerita asli melalui Si Badung. Sedangkan Pietradjaja Burnama meraih Citra lewat aktingnya yang bagus sebagai pelaut Bugis dalam Noesa Penida melalui kategori pemeran pembantu pria. Adapun penata fotografi -- unsur penting dalam sebuah film -- diraih W.A. Cokrowardoyo dalam Noesa Penida. Tragedi dalam FFI tahun ini menimpa film Tragedi Bintaro yang disutradarai Buce Malawau. Tak sebuah Citra pun mampir. Film ini hanya menerima penghargaan khusus Piala Kartini untuk pemeran pria anak-anak terbaik atas nama Ferry Octora. Padahal, Tragedi bukan film yang jelek dan sudah menggondol 10 nominasi. Itu kalau kita berbicara soal pemerataan Citra, bukan Citra sebagai ukuran mutu. Sebab, kalau mutu dipertaruhkan lebih tepat andai kata juri FFI 1989 meniru juri FFI 1985 di Yogya yang tidak memilih film terbaik. Memang, seperti yang juga diakui salah seorang insan film A. Rahim Latief. "Film yang merebut Citra tahun ini tak ada yang layak diikutkan dalam kompetisi pemilihan Oscar," kata Rahim. Setelah melihat hasil FFI 1989, Rahim justru khawatir Panitia Oscar akan mencabut kemudahan bagi film Indonesia mengikuti kompetisi yang bergengsi itu. Kemudahan itu adalah film Indonesia jika ikut ke arena Oscar tak lagi kena wajib putar untuk umum selama dua minggu di Los Angeles. Rahim -- pengusaha film yang kini menjadi konsultan beberapa produser -- adalah orang yang menemui Robert Wise, ketua Academy of Motion Pictures, Arts, and Sciences (penyelenggara Oscar) di Hollywood, 1987.

Di situ Rahim meyakinkan panitia Oscar bahwa film Indonesia juga mempunyai bobot seni yang tak kalah dengan film Barat. Akhirnya, Robert Wise pun menyetujui penghapusan aturan wajib putar itu untuk film Indonesia. Berkat diplomasi Rahim, Naga Bonar, sebagai film terbaik FFI 1987, sempat unjuk gigi di percaturan internasional itu. Menyusul kemudian film terbaik FFI 1988, Tjoet Nja' Dhien. "Lha, kalau diberi kemudahan tetapi tak diimbangi dengan film bermutu, kan memalukan," kata Rahim. "Mutu film memang masih memprihatinkan," kata sekretaris dewan juri FFI 1989, Dr. Salim Said. Bahkan Salim dengan terus terang mengakui, ia kurang puas dengan apa yang dihasilkan FFI kali ini. "Saya lebih sreg ketika memilih Tjoet Nja' Dhien sebagai film terbaik tahun lalu," katanya. Menurut Salim, kemerosotan itu lebih banyak terletak pada skenario, penguasaan dramaturgi, dan kelancaran logika. Apakah merosotnya mutu film itu karena buruknya apresiasi masyarakat? Bagi Salim, masyarakat Indonesia justru merupakan potensi besar menonton film bermutu. Contohnya, Tjoet Nja' Dhien berhasil meraih Piala Antemas dalam FFI 1989 sebagai film unggulan FFI 1988 yang meraih penonton terbanyak. Film Barat yang bermutu, apalagi yang meraih Oscar, kenyataannya juga dibanjiri penonton di sini. Dengan bukti seperti itu, menurut Salim, apresiasi masyarakat sebenarnya sudah bagus. "Cuma mereka sudah kehilangan kepercayaan kepada film Indonesia," kata Salim. "Ya, karena banyaknya film yang dibuat asal jadi." Amburadul. Budiono Darsono & Putu Setia