Rabu, 26 Januari 2011

PACAR KETINGGALAN KERETA / 1988




Kisah dimulai dengan pesta 25 tahun perkawinan Ibu dan Pak Padmo (Tuti Indra Malaon dan Rachmat Hidayat). Di sini muncul kecemburuan Bu Padmo terhadap sekretaris Pak Padmo, Tante Retno (Niniek L.Karim). Kecemburuan ini semakin menjadi, saat tahu Heru (Onky Alexander) pacaran dengan Ipah (Nurul Arifin), sedang sopirnya Martubi (Alex Komang) pacaran dengan Juminten (Nani Vidia), pembantu tante Retno. Kecemburuan itu juga mengganggu persahabatan Heru, Riri (Ayu Azhari), anak-anaknya dengan Arsal (Iwen Darmanyah), anak tante Retno. Kecemburuan ini membuat banyak salah paham, yang bisa diakhiri dengan gembira.

Skenario Film ini diadaptasi oleh Arswendo Atmowiloto dari sebuah novel berjudul Kawinnya Juminten (1985).

NOTE: Dalam kondisi film Indonesia yang mulai sesak napas menghadapi politik udara terbuka dari pemerintah. Tekanan politik pasar bebas sebagai paket sistem global yang ditawarkan oleh negara maju, memungkinkan importir film mulai bebas bergerak karena quota import mulai longgar. Bersaing dengan film import yang diproduksi dengan modal raksasa, film Indonesia kurang daya dan akhirnya secara drastis jumlah produksi menurun tajam. Pacar Ketinggalan Kereta menjadi film terakhir dalam perjalanan panjang karir Teguh Karya dan menjadi salah satu film Indonesia yang masih dipercaya masyarakat.
N.V. PERFINI

TUTI INDRA MALAON
RACHMAT HIDAYAT
NINIEK L. KARIM
NURUL ARIFIN
AYU AZHARI
ALEX KOMANG
DIDI PETET
DARMANYAH DARLIS
NANI VIDIA
CAMELIA MALIK
PIET PAGAU
RITA ZAHARA




14 Oktober 1989
Menyambung napas tiga dara


PACAR KETINGGALAN KERETA Pemain: Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, Ongky Alexander, Didi Petet, Nurul Arifin.
Skenario: Teguh Karya & Arswendo Atmowiloto
Sutradara: Teguh Karya Produksi: Perfini.
 
BAGAIMANA kalau penulis yang terampil bekerja dengan sutradara yang tak punya lagi persoalan dengan masalah-masalah teknis. Jawabannya ada dalam film tcrbaru Tcguh Karya ini, Pacar Ketinggalan Kereta (PKK) . Dalam novel Arswendo Atmowiloto, Kawinnya Juminten dan Murtuhi, ada peristiwa Martubi yang dikeluarkan dari pabrik bihun. Tetapi, kelanjutannya tak diceritakan. "Nah, film ini menceritakan apa selanjutnya yang terjadi pada lelaki itu," kata Teguh. Tetapi, PKK bukan hanya kisah Martubi dan Juminten. Ini juga cerita tentang Ibu Padmo (Tuti Indra Malaon) yang cemburu kepada Tante Retno (Niniek L. Karim), sekretaris Pak Padmo (Rachmat Hidayat). Janda itu dianggapnya berusaha merebut suaminya. Padahal, kalau Tante Retno sering menumpang mobil Pak Padmo, itu gara-gara Martubi (Alex Komang). Soalnya, sopir Pak Padmo itu selalu ingin berhubungan dengan Juminten (Nani Vidia) yang bekerja di keluarga Tante Retno. PKK adalah juga kisah cinta Heru (Ongky Alexander), putra Ibu Padmo, dengan Ipah (Nurul Arifin). Heru berperang dengan ibunya karena kepincangan Ipah dipersoalkan. Sementara itu, Riri (Ayu Ashari) adik Heru, di tengah ketegangan Ibu Padmo -- Tante Retno, sebenarnya pacaran dengan Arsal, putra Tante Retno. Ipah kemudian dekat dengan Arsal schirigga Heru cemburu. Tak cuma itu. PKK juga adalah kisah Kang Samingun (Didi Petet) yang berusaha dengan segala dayanya untuk merebut Juminten dari Martubi. Seabrek persoalan itu kemudian memuncak ketika kelompok Heru baku hantam dengan rombongan Arsal. Yang jadi korban adalah Martubi dan Cicih (Camelia Malik), sanak Martubi yang menjadi penyanyi dangdut. Namun, segala persoalan itu kemudian berhasil diselesaikan. Salah pengertian diputihkan. Martubi kembali kepada Juminten. Heru dan Ipah mendapat restu dari Ibu Padmo.

Walhasil, ini sebuah cerita yang ramai dan simpang-siur, menyangkut banyak orang dan berbagai soal. Karena semuanya harus selesai, film menjadi sibuk. Adegan-adegan bermunculan cepat dan berusaha mengulcapkan beberapa hal dalam satu kali gebrak. Hampir memusingkan. Kadangkala dialog saling tumpah tindih, membangun suasana sekaligus menyampaikan perkembangan berbagai konflik berbareng. Tempo bercerita tinggi. Penuturan meloncat-loncat sehingga penonton juga harus cekatan memilih dan mengingat serta menyambung apa yang sedang terjadi. 

Mendekat ke akhir cerita, semuanya baru mulai menukik dan menyatu. Dan semuanya selesai dengan baik. Di tengah berbagai soal yang memadat dan hampir menyesakkan itu sutradara memecahkan tekanan dcngan musik dan lagu. Para pemain menyampaikan dialog dengan menyanyi seperti dalam operet. Adegan perkelahian pun dibuat sebagai pertempuran gerak yang mengingatkan pada Bad-ny Michael Jackson. Idris Sardi sebagai penata musik dan Roy Julius Tobin Masto sebagai penata gerak telah memberikan andil besar. Film ini datang dari tangan seorang yang berpengalaman di lapangan. Skenarionya berhasil mengocok berbagai persoalan dalam satu paket yang pada akhirnya terurai jelas. Sementara itu, penyutradaraan mampu merangkum para pemain menyampaikan adegan-adegan berat dengan mulus. Ongky bermain sungguh-sungguh. Tuti (almarhumah) bermain baik. Niniek L. Karim bagus. Nurul lebih jelas lagi menunjukkan bakat besarnya. Sedangkan Didi Petet hadir dengan hangat. Bahkan, Ayu Azhari juga terasa pas. Film ini didubbing dengan bagus. Kita tidak perlu lagi mendengar suara-suara pemain yang diobral setiap kali ada gambar mulut. Tetapi, layar juga tak di sepi karena dialog sampingan yang sama pentingnya masuk, sementara dialog pokok dilepaskan. Barangkali, buat penonton yang biasa dibimbing, hal ini membingungkan. Selera gambar yang baik dan editing yang tangkas juga membuat PKK berhasil menyampaikan tumpukan persoalannya berbareng. Meskipun berlindung di balik kata sekadar ingin "menghibur", PKK adalah salah satu pencapaian yang menarik dalam perkembangan film Indonesia. Bagaimana persoalan yang sederhana di sekitar kita bisa menjadi kompleks kalau cara memandangnya sedemikian rupa. Dan, bagaimana hal-hal yang kompleks bisa menjadi segar dan menghibur kalau dipaketkan dan kemudian disampaikan oleh tangan yang terampil. Kalau Teguh berniat mencoba menyambung napas Tiga Dara-nya Usmar Ismail -- yang seperti kehilangan kesinambungannya dalam sejarah film nasional -- ia tak sia-sia. Putu Wijaya


18 November 1989
Pacar ketinggalan citra 
MUTU film Indonesia merosot! Yang mengucapkan ini bukan sembarang orang. Menteri Penerangan Harmokolah yang mengatakan itu pada sambutan singkatnya di tengah puncak acara Fetival Film Indonesia, Sabtu pekan lalu, di Balai Sidang, Jakarta. Sebelumnya, Harmoko memuji kemajuan perfilman nasional dengan menyebut produksi yang bertambah dari tahun ke tahun, dan ditonton oleh lebih banyak orang dari hari ke hari. "Adalah tidak adil jika Pemerintah tidak menyebutkan kekurangannya," kata Harmoko kemudian. Ia lantas menyebutkan persoalan yang paling mendasar: mutu merosot. Dalam situasi seperti ini, celakanya, FFI harus tetap berlangsung. Dewan Juri FFI tetap memilih film terbaik. Maka, karya Teguh Karya, Pacar Ketinggalan Kereta, dinobatkan sebagai film terbaik yang sekaligus memboyong delapan Piala Citra. Padahal, film ini bukanlah karya terbaik Teguh. Dibandingkan Ibunda atau Doea Tanda Mata, misalnya, mutu Pacar "ketinggalan kereta". Ini film ringan, soal gosip yang dipanjang-panjangkan, soal cemburu yang bertele-tele, dan gerak nyanyi seperti dalam sandiwara Teater Koma. Lewat film ini, selain Teguh sendiri, ikut kebagian Citra adalah Tuti Indra Malaon (aktris terbaik), Niniek L. Karim (pembantu wanita terbaik), dan Rachmat Hidayat (aktor terbaik). Masalahnya, kenapa Niniek tergolong pemeran pembantu dan Tuti pemeran utama, padahal porsinya sama. Pemisahan keduanya seperti memberi kesan bahwa Pacar ingin meraup semua Citra.

Apalagi dengan tampilnya Rachmat Hidayat, yang begitu mengagetkan. Aktingnya tak ada yang istimewa dalam film ini. Kekalahan Eeng Saptahadi, yang bermain bagus dalam Semua Sayang Kamu, seperti menyiratkan ada sesuatu kenapa ia harus kalah dan kenapa Rachmat harus menang. Piala Citra yang disisakan Pacar dibagi-bagi film unggulan lainnya. Pemusik Idris Sardi mendapatkan Citra kedelapan lewat film Noesa Penida. Ida Farida kebagian untuk penulisan skenario dalam Semua Sayang Kamu. Imam Tantowi mendapatkan untuk cerita asli melalui Si Badung. Sedangkan Pietradjaja Burnama meraih Citra lewat aktingnya yang bagus sebagai pelaut Bugis dalam Noesa Penida melalui kategori pemeran pembantu pria. Adapun penata fotografi -- unsur penting dalam sebuah film -- diraih W.A. Cokrowardoyo dalam Noesa Penida. Tragedi dalam FFI tahun ini menimpa film Tragedi Bintaro yang disutradarai Buce Malawau. Tak sebuah Citra pun mampir. Film ini hanya menerima penghargaan khusus Piala Kartini untuk pemeran pria anak-anak terbaik atas nama Ferry Octora. Padahal, Tragedi bukan film yang jelek dan sudah menggondol 10 nominasi. Itu kalau kita berbicara soal pemerataan Citra, bukan Citra sebagai ukuran mutu. Sebab, kalau mutu dipertaruhkan lebih tepat andai kata juri FFI 1989 meniru juri FFI 1985 di Yogya yang tidak memilih film terbaik. Memang, seperti yang juga diakui salah seorang insan film A. Rahim Latief. "Film yang merebut Citra tahun ini tak ada yang layak diikutkan dalam kompetisi pemilihan Oscar," kata Rahim. Setelah melihat hasil FFI 1989, Rahim justru khawatir Panitia Oscar akan mencabut kemudahan bagi film Indonesia mengikuti kompetisi yang bergengsi itu. Kemudahan itu adalah film Indonesia jika ikut ke arena Oscar tak lagi kena wajib putar untuk umum selama dua minggu di Los Angeles. Rahim -- pengusaha film yang kini menjadi konsultan beberapa produser -- adalah orang yang menemui Robert Wise, ketua Academy of Motion Pictures, Arts, and Sciences (penyelenggara Oscar) di Hollywood, 1987.

Di situ Rahim meyakinkan panitia Oscar bahwa film Indonesia juga mempunyai bobot seni yang tak kalah dengan film Barat. Akhirnya, Robert Wise pun menyetujui penghapusan aturan wajib putar itu untuk film Indonesia. Berkat diplomasi Rahim, Naga Bonar, sebagai film terbaik FFI 1987, sempat unjuk gigi di percaturan internasional itu. Menyusul kemudian film terbaik FFI 1988, Tjoet Nja' Dhien. "Lha, kalau diberi kemudahan tetapi tak diimbangi dengan film bermutu, kan memalukan," kata Rahim. "Mutu film memang masih memprihatinkan," kata sekretaris dewan juri FFI 1989, Dr. Salim Said. Bahkan Salim dengan terus terang mengakui, ia kurang puas dengan apa yang dihasilkan FFI kali ini. "Saya lebih sreg ketika memilih Tjoet Nja' Dhien sebagai film terbaik tahun lalu," katanya. Menurut Salim, kemerosotan itu lebih banyak terletak pada skenario, penguasaan dramaturgi, dan kelancaran logika. Apakah merosotnya mutu film itu karena buruknya apresiasi masyarakat? Bagi Salim, masyarakat Indonesia justru merupakan potensi besar menonton film bermutu. Contohnya, Tjoet Nja' Dhien berhasil meraih Piala Antemas dalam FFI 1989 sebagai film unggulan FFI 1988 yang meraih penonton terbanyak. Film Barat yang bermutu, apalagi yang meraih Oscar, kenyataannya juga dibanjiri penonton di sini. Dengan bukti seperti itu, menurut Salim, apresiasi masyarakat sebenarnya sudah bagus. "Cuma mereka sudah kehilangan kepercayaan kepada film Indonesia," kata Salim. "Ya, karena banyaknya film yang dibuat asal jadi." Amburadul. Budiono Darsono & Putu Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar