Minggu, 08 Juli 2018

GONJANG GANJING FFI 2006


Gonjang-ganjing Perfilman Indonesia Siapa  penerima Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) paling banyak? Rekor  Idris Sardi (10 Piala Citra dari 19 nominasi dalam 20 FFI, 1973-1992)  baru saja dipecahkan oleh Jero Wacik. Menbudpar alias Menteri Kebudayaan  dan Pariwisata itu kemarin menerima sekaligus 30 Piala Citra  (2004-2006) dari para pekerja film (kebanyakan berusia muda) yang  menyebut diri MFI (Masyarakat Film Indonesia).

Pengembalian  lambang supremasi tertinggi dalam perfilman Indonesia tersebut  merupakan kelanjutan dari protes Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata,  Joko Anwar, Hanung Bramantyo, dan seratusan pekerja film lain yang, pada  3 Januari lalu, mendeklarasikan “Surat Pernyataan Sikap Bersama” yang  ditujukan kepada Menbudpar; Presiden RI; Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan  Film Depbudpar; Sekretaris Ditjen Nilai Budaya, Seni, dan Film  Depbudpar; Direktur Perfilman Depbudpar; Ketua Badan Pertimbangan  Perfilman Nasional; dan anggota Komisi X DPR-RI.

Pada  intinya mereka memprotes dua hal. Pertama, penyelenggaraan FFI 2006  yang telah melahirkan Ekskul (Nayato Fio Nuala) sebagai Film Terbaik.  Dan kedua, sistem kelembagaan perfilman Indonesia yang masih dijalankan  oleh lembaga dan organisasi bentukan Deppen (Departemen Penerangan) di  masa Orde Baru. Berkaitan dengan itu mereka menuntut Depbudpar.

Mencabut  Piala Citra Film Terbaik untuk film Ekskul karena telah melakukan  pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik.
Menghentikan segera penyelenggaraan FFI Membubarkan lembaga-lembaga perfilman yang ada, dan membentuk lembaga-lembaga baru, secara demokratis dan transparan Mencabut UU No. 9 Tahun 1992 tentang Perfilman dan menggantinya dengan UU baru yang lebih mendukung kemajuan.
Membuat  rancangan yang strategis bagi perkembangan budaya dan ekonomi perfilman  Indonesia dengan melibatkan para pelaku aktif perfilman Indonesia Mengganti LSF (Lembaga Sensor Film) dengan sebuah Lembaga Klasifikasi Film.

Apabila  tuntutan tersebut tidak dipenuhi, MFI mengancam akan memboikot  penyelenggaraan FFI dan melakukan perlawanan secara terstruktur terhadap  segala aktivitas yang mengatasnamakan “Perfilman Indonesia”.  Pengembalian Piala Citra itu sendiri merupakan tanda keseriusan mereka  terhadap tuntutan-tuntutannya.

Sejatinya,  tuntutan membatalkan kemenangan Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006  cuma entry point buat masuk ke tuntutan yang lebih hakiki: mereformasi  politik perfilman nasional warisan Orde Baru. Namun banyak pihak yang  tidak setuju dengan cara itu, termasuk Garin Nugroho dan kawan-kawan  dalam kelompoknya. “Ekskul dan Nayato tidak punya salah apa-apa,” bela  Garin.

Menurut  saya, wacana “kemenangan Ekskul yang menggunakan musik jiplakan adalah  bukti ketidakbecusan Dewan Juri dan Panitia Penyelenggara FFI” memang  terlampau jauh dan salah alamat. Tugas Dewan Juri cuma menilai apakah  musik dalam sebuah film fungsional. Gampangnya, apakah musik itu bagus  atau tidak, cocok atau tidak, efektif atau tidak, buat membangun adegan  atau cerita atau suasana. Dalam bahasa keren: menilai teks sebagai teks

Di  dalam kredit film — juga formulir pendaftaran FFI — dengan jelas  disebutkan siapa orang yang bertanggung jawab sebagai Penata Musik (di  film Ekskul: Eric Dewantoro). Panitia dan juri tentu saja mesti percaya,  dan tak perlu menjadi detektif segala (untuk memeriksa legalitas setiap  karya yang dinilai). Jika pun juri mengetahui bahwa musik itu milik  orang lain, mereka tetap harus berasumsi baik bahwa si pemusik (atau  produsernya) sudah memenuhi kewajiban hukumnya, termasuk membayar  royalti. Toh jika kemudian ada tuntutan dari pemegang hak cipta, dan  secara hukum terbukti ada pelanggaran hak cipta, yang mesti membayar  ganti rugi atau dijebloskan ke penjara adalah pemusiknya (atau sutradara  dan produsernya) — bukan Dewan Juri atau Panitia Penyelenggara FFI.

Saya dan mungkin Anda juga belum tahu persis bagian mana saja dari UU Perfilman UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang dituntut untuk diperbarui, selain soal Sensor Film (Pasal 33 dan 34) serta Pembinaan Perfilman (Pasal 36 dan 37).

Tuntutan  membubarkan LSF, misalnya, mungkin cuma relevan untuk film bioskop.  Padahal, dalam UU tersebut, yang dianggap film — dan dengan demikian  diatur oleh UU itu — meliputi segala bentuk rekaman audio-visual yang  ditayangkan secara terbuka, termasuk film televisi dan iklan. Sungguhkah  70% penduduk Indonesia yang rutin menonton televisi menurut survei  Nielsen Media Research sudah siap menerima tayangan pornografi dan  kekerasan tanpa sensor? Sementara itu, birokrasi pembinaan perfilman,  yang menjadi sasaran utama protes MFI, detailnya diatur dalam sejumlah  Peraturan Pemerintah. Bukan di UU tersebut.

Menuruti  Peraturan-peraturan Pemerintah tersebut, saat ini pembinaan perfilman  Indonesia — termasuk penyelenggaraan FFI — dilakukan oleh sebuah lembaga  bernama Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia (BP2N). Nah, sumber  rekruitmen untuk BP2N berasal dari berbagai organisasi perfilman yang  “resmi”, yaitu PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia), Gasfi (Gabungan  Studio Film Indonesia), GASI (Gabungan Subtitling Indonesia), Perfiki  (Persatuan Film Keliling Indonesia), GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop  Indonesia), KFT (Karyawan Film dan Televisi), serta Parfi (Persatuan  Artis Film Indonesia). Ketua BP2N saat ini, Djoni Syafruddin, sebagai  contoh, adalah Ketua Umum GPBSI. Adapun Adisoerya Abdi, Ketua Pelaksana  FFI 2006, adalah Sekjen PPFI. Begitupun para aktivis BP2N dan panitia  FFI lainnya.

Persoalannya  adalah, orang-orang yang saat ini menguasasi organisasi-organisasi  perfilman “resmi” itu — dan kemudian duduk di BP2N serta menjadi panitia  FFI — oleh para pekerja film muda yang tergabung dalam MFI dianggap  sebagai orang lama, yang bukan cuma sudah tidak aktif dalam  produksi-produksi film mutakhir, tetapi juga dianggap tidak memahami  perkembangan zaman dan aspirasi terkini. Kalau dibalik: para pendukung  MFI tidak ikut berperan dalam organisasi-organisasi perfilman “resmi”  itu, sehingga tidak memiliki akses buat berkiprah dalam politik  perfilman nasional. Ibaratnya, gimana mau jadi anggota DPR jika ogah  masuk parpol?

Yang  ganjil buat saya, MFI bermaksud mereformasi alias mengubah konstelasi  politik perfilman nasional dengan meminjam tangan pemerintah. Alih-alih  mengubah dengan tangan sendiri, mereka malah menuntut pemerintah  melakukan ini dan itu. Kenapa jika tidak percaya pemerintah (jangan lagi  ikut campur tangan seperti Deppen di masa Orde Baru) malah meminta  tolong pemerintah untuk mewujudkan aspirasinya? Lepas dari itu, menurut  saya sangat keterlaluan jika pemerintah, yang seharusnya cuma menjadi  regulator dan berdiri di atas semua kepentingan, mau “dipinjam  tangannya”.

Para  pendukung MFI sendiri kelihatan enggan — atau memang tidak bisa? —  melakukan kerja politik. Yang mereka lakukan (mengembalikan Piala Citra,  memboikot FFI, dan sebagainya) sama nilainya dengan sekadar  demonstrasi. Dengan kata lain, mereka mau mengubah dunia cuma dengan  berdemo.

Saya  yakin akan lebih legitimate sekaligus terhormat jika para pekerja film  yang tergabung dalam MFI mau melakukan kerja politik buat merebut  kekuasan dari para “dinosaurus” yang kini menguasai BP2N dan kepanitiaan  FFI.

Yang  paling mudah adalah ramai-ramai masuk ke dalam organisasi-organisasi  perfilman “resmi” itu, lantas merebut kekuasan secara legal dan elegan.  Mira Lesmana, Shanty Harmayn, dan Nia Dinata jadi pengurus PPFI. Riri  Riza, Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Yudi Datau, dan lain-lain berkuasa  di KFT. Tora Sudiro, Nicholas Saputra, dan Dian Sastro aktif dalam  kepengurusan Parfi. Dengan begitu, mereka bisa mudah menguasai BP2N dan  kepanitiaan FFI. Mira Lesmana jadi Ketua BP2N, Shanty Harmayn jadi Ketua  Pelaksana FFI, Riri Riza dan para pendukung MFI lain menjadi Dewan Juri  FFI. Dijamin, film Ekskul dan Nayato Fio Nuala sampai kiamat tak bakal  bisa mendapat Piala Citra lagi, karena pemenang FFI selalu diborong  film-film para pendukung MFI. Hahaha….

Jika  sudah terlanjur alergi (atau mungkin tak mampu merebut kepercayaan  anggota lama yang masih menguasai) organisasi-organisasi perfilman  “resmi” itu, mereka bisa mendirikan organisasi-organisasi baru, lantas  mendesak pemerintah untuk mengakuinya. Presedennya ada: AJI (Aliansi  Jurnalis Independen) kini telah diakui sebagai stakeholder Dewan Pers,  sejajar dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) bentukan Orde Baru.

Berbarengan  dengan itu, mereka sudah harus mulai menyusun draft UU Perfilman baru  yang menurut mereka ideal — berikut berbagai rancangan pelaksanaannya —  untuk segera diserahkan kepada DPR dan pemerintah. Lantas melakukan  berbagai lobi politik — bukan berdemo terus :-) — buat memuluskan dan  mempercepat pengesahannya.

Eloknya  memang semua komponen perfilman — yang lama maupun baru, yang tua  maupun muda — tetap duduk bersama mengurusi perfilman Indonesia. Tak  perlu ada pihak yang merasa lebih penting dan berhak, apalagi sampai  saling mengancam. Jika para pekerja film muda itu benar-benar memboikot  FFI, apakah mereka sudah siap jika ada komponen lain yang melakukan hal  serupa, misalnya GPBSI memboikot pemutaran film-film pendukung MFI di  semua bioskop?

Duh.  Saya kok jadi semakin yakin, warisan terburuk Orde Baru sebetulnya  bukanlah kesanggupan mereka mengerdilkan kehidupan politik di negeri  ini, tetapi justru keberhasilannya menciptakan generasi baru bangsa yang  apolitis: naif dan mau serba instan. Kepingin apa-apa tinggal  menadahkan tangan pada pemerintah. Dan satu-satunya cara berpolitik yang  dikenal cuma berdemo, alias unjuk rasa sembari mengancam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar