Tampilkan postingan dengan label BULAN DI ATAS KUBURAN / 1973. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BULAN DI ATAS KUBURAN / 1973. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

BULAN DI ATAS KUBURAN / 1973

BULAN DI ATAS KUBURAN


Judul film ini mengingatkan orang atas karangan Sitor Situmorang atas sajaknya berjudul Malam Lebaran. Saat itu Sitor di penjara karena dianggap kaum kiri (komunisme), ini adalah tafsiran baru dari Asrul terhadap kalimat atau bait tunggal sajak itu.

Dan inilah film Indonesia yang pertama mengisahkan tentang urbanisasi orang Batak ke Jakarta. Sabar ( Aedy Moward), Tigor (Muni Cader) dan Sahat (Rahmat Hidayat) yang Sabar, perantauan orang Batak ke Jakarta yang kurang berjaya. tetapi bergaya kampung halaman dengan gambar bintang film dan janji ketemu menteri Perindustrian. Tigor, pemecah batu di tepi danau Toba yang mengimpikan Jakarta sebagai Sorga. Sahat, pengarang yang mengharapkan Jakarta akan menjadi penerbitnya. Akhir cerita ketiga orang Batak ini dengan pahit menerima kekalahan mereka atas kota Jakarta. Bulan Di Atas Kuburan kata Togar kepada Sahat ketika cobaan pertama (Sabar sebagai supir taxi mendapat kecelakaan fatal) menimpa perantau-perantau itu. Dan bulan diatas kuburan menghantui hidup para urban dari sekitar Danau Toba itu selama mereka berada di Jakarta. Dengan tekat dan hasrat yang keras, sahat dan Tigor mula-mula memang nampak berhasil. Tigor yang berani dan nekad sempat menguasai pelataran parkir yang tadinya diusahakan oleh Kris Biantoro. Bahkan pacar si tukang parkir sempat digaet si Tigor. Sempat menjadi kepala tukang parkir, melebarkan usaha dengan pencucian mobil. Dalam pertikaian memperebutkan wilayah cuci mobil itulah Tigor tewas tertikam. Sedangkan Sahat berhasil menjadi menantu seorang penerbit. Pertemuan Sahat dan Mona (Mutiara Sani) sudah membayangkan akhirnya tragis. Sebagai orang yang diperkenalkan dan muncul dengan harga diri yang teguh, lamaran Mona yang kesepian amat mengejutkan ketika dengan segera diterima oleh Sahat. Diakhir cerita Sahat menceritkan alasannya, Waktu aku mencintaimu, sebenarnya aku tidak mencintaimu. Waktu itu aku memerlukan jalan pendek untuk hidupku.

Jalan pendek itu pun tidak ia peroleh meski pun pada Maruli (Kusno Sudjarwadi), mertuanya, Sahat sudah rela berkompromi dalam hal mutu karangan yang harus dihasilkan. Tetapi Sahat masih lebih beruntung dari dua temannya. Masih tersisa baginya pekerjaan menjual majalah porno setelah di kampung ia bermimpi menjadi penyair besar.

Bagi peminat film Indonesia dari Zaman hitam putih hingga Zaman gemerlap, tema yang digarap Asrul Sani ini sesungguhnya tidak terlalu baru. Kisah orang desa masuk kota sudah dari dulu menjadi makanan sedap bagi para pembuat film yang suka mencari makan di leluconan yang lahir dari kekonyolan orang udik di kota. Tema-tema seperti ini terus menarik sesuai perkembangan jamannya.

Asrul cukup berani dengan memilih orang Batak sebagai objeknya. Pilihan ini membawa konsekuensi berat. Kalau Asrul tidak mengenal watak dan motivasi urban orang Batak, ia toh akhirnya hanya menjadi salah satu nomor dari banyak nomor sutradara film urban sebelumnya. Film ini terasa sekali bataknya.

 P.T. MATARI FILM

AEDY MOWARD
RACHMAT HIDAYAT
KUSNO SUDJARWADI
KRIS BIANTORO
MUTIARA SANI
SOFIA WD
CHITRA DEWI
SAM SUHARTO
MUNI CADER
YANA YUANITA


Film ini Asrul sangat lincah dalam cerita dan juga tokohnya lebih hidup. Awal film saja sudah menarik, Sabar menarik perhatian penonton sambil memancing teka-teki tentang rencana pertemuannya dengan menteri perindustrian setelan putih kemeja merah serta uang yang dibagi-bagikannya kepada para pemain musik, semua ini konon khas perantau Batak yang pulang kampung dan selalu ingin memberi kesan sukses di perantauan. Gaya macam inilah yang sesungguhnya hanya tabir dari kegiatannya sebagai supir taksi di Jakarta yang kemudian ikut mempercepat arus Urbanisasi. Orang macam Sabar, ini tidak pernah menyadari bahwa ketika ia mencoba memberikan gambaran salah tentang dirinya, ia juga telah menjual impian palsu tentang kota yang kadang lebih garang dari yang bisa dibayangkan orang desa yang bersahaja itu.

Sabar yang tidak terlalu beruntung itu tidak pula terlalu risau akan nasibnya. Kecuali keributan dengan Minar (Charita Dewi) semua soal menjadi rutin baginya. Dalam keadaan gawatvdengan istrinya yang melayangkan piring dan sendok, Batak Sabar masih punya humor yang cukup kreatif.Dengan menyodorkan microphon dan merekamnya ke mulut istrinya, ternyata Sabar berhasil menghentikan omelan istrinya.

Selain itu juga solidaritas Batak digambarkan Asrul melalui sikap Sabar kepada Tigor dan Sahat yang terpaksa menumpang di pondok buruknya pinggur rel kereta. Serta optimisme, percaya diri dan sedikit rasa superior juga digambarkan Asrul dengan toko Tigor dengan mudah pendatang baru itu bisa menguasai lapangan parkir berikut sejumlah anak buah untuk akhirnya merencanakan suatu perusahaan pencucian mobil. melalui perjuangan yang berat, Tigor yang banyak diilhami oleh karangan-karangan temannya, Sahat, pada suatu hari sampai pada kenyataan yang pahit. Setelah tertikam ia kembali menjadi manusia biasa. Tergeletak di kereta dorong rumah sakit Tigor menaikan bendera putih. Menyerah kepada Jakarta. Dan Jakarta yang angkuh dan dingin itu hanya menyibakkan sedikit kainnya bagi tempat istrahat jasad Tigor tumpas itu.

Film ini mengisahkan kehidupan nyata manusia yang kita kenal, dengan pemain yang baik mainnya.

Melihat Sabar (Aedy Moward) memamerkan suksesnya di kampung, maka dua Batak muda, Tigor (Muni Cader) dan Sahat (Rachmat Hidayat) datang ke Jakarta berbekal alamat Sabar. Impian dan harapan langsung musnah. Sabar tinggal di gang kampung kumuh yang mencarinya setengah mati, dan hanya seorang sopir oplet, dan kehidupan rumahtangganya dipenuhi cekcok dengan istrinya, karena Sabar sendiri penuh khayal. Maka Sahat dan Tigor berusaha hidup di Jakarta dengan caranya masing-masing. Tigor yang merasa akan melipat Jakarta, lalu menjadi penguasa sebuah kawasan parkir, mati dikeroyok tukang parkir dan cuci motor. Sahat yang bercita-cita jadi penulis besar, merelakan diri mengawini Mona, putri seorang penerbit buku untuk melancarkan jalannya. Sabar sendiri mati saat kendaraannya terguling. Semua tak menemukan bulan yang dicari. Boleh dikata ini film Asrul Sani yang terbaik, selain "Apa jang Kau Tjari Palupi". Aedy Moward juga bermain sangat gemilang.



Urbanisasi ke Jakarta, entah itu dari pulau Jawa sendiri, entah itu dari Sumatera, Sulawesi dll. adalah merupakan persoalan yang ruwet bagi Pemda DKI. Dari Tapanuli (Batak) tercatat pula sebagai pendatang yang cukup banyak Dasar inilah yang dijadikan cerita oleh Drs. Asrul Sani menjadikannya sebuah film dengan judul BULAN DIATAS KUBURAN.

Bulan Diatas Kuburan, punya rasa sentuh yang halus, yang bicara lewat banyolan-banyolan umum, lewat kenyataan dan cara menghadapi kepahitan. Tetapi sebagai hiburan yang "konsumtif", Insya Allah masih akan merupakan hidangan yang cukup sedap bagi lidah masarakat.



NEWS
21 September 1974
Zakarta, zakarta
JUDUL film terbaru Haji Asrul Sani: Bulan Di Atas Kuburan. Dan para peminat sastra segera saja mengenali judul tersebut sebagai baris satu-satunya dari sajak Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Nama Sitor tidak ikut tersorot ke layar lebar ketika film berwarna dengan layar lebar ini dipertontonkan. Tentu karena Sitor Situmorang masih berada dalam status tahanan. Tapi bagi mereka yang bakal sempat menonton film ini, bisa juga diharapkan alasan itu berdasar pada tafsiran baru yang diberikan Asrul Sani kepada kalimat dan bait tunggal sajak penyair asal Batak itu. 

Dan inilah film Indonesia pertama yang secara khusus mengisahkan urbanisasi orang-orang Batak ke Jakarta. Di awal film, Asrul memperkenalkan tiga tokoh utama: Sabar (Aedy Moward), Tigor (Muny Cader) dan Sahat (Rahmat Hidayat). Yang pertama adalah perantau Batak yang kurang berjaya di Jakarta -- tapi bergaya di kampung halaman dengan gambar bintang film dan janji ketemu Menteri Perindustrian. Yang kedua adalah pemecah batu di tepi danau Toba yang mengimpikan Jakarta sebagai sorga yang melambai-lambai. Yang ketiga adalah pengarang yang mengharapkan Jakarta bakal menjadi penerbit karangan-karangannya.
Kris Biantoro Di akhir cerita, ketiga-tiga orang Batak ini, dengan pahit menerima kekalahan mereka atas kota Jakarta. "Bulan di atas kuburan", kata Tigor kepada Sahat ketika cobaan pertama (Sabar sebagai sopir taksi mendapat kecelakaan fatal) menimpa perantau-perantau itu. Dan bulan di atas kuburan memang selalu menghantui hidup para urban dari sekitar danau Toba itu selama mereka berada di Jakarta. Dengan tekad dan hasratnya yang keras, Sahat dan Tigor mula-mula memang nampak berhasil. Tigor yang berani dan nekad sempat menguasai pelataran parkir yang tadinya diusahakan oleh Kris Biantoro. Bahkan pacar si tukang parkir sempat digaet oleh Tigor. Sempat menjadi kepala para tukang parkir, Tigor melebarkan usahanya dengan kegiatan mencuci mobil. Dalam perebutan tempat cuci mobil dengan gerombolan lain itu ia akhirnya tewas tertikam . Sahat berhasil menjadi mantu seorang penerbit. Tapi dari semula, pertemuan sang pengarang dengan calon isterinya, Mona (Mutiara Sani) sudah membayangkan akhir yang tragis. Sebagai orang yang diperkenalkan dan muncul dengan harga diri yang teguh, lamaran Mona yang kesepian amat mengejutkan ketika dengan segera diterima oleh Sahat. Di akhir kisah perkawinan mereka, Sahat menjelaskan soalnya: "Waktu aku mengawini kau, aku tidak mencintaimu. Waktu itu aku memerlukan jalan pendek untuk hidupku". Jalan pendek itupun tidak ia peroleh, meskipun kepada Maruli (Kusno Sujarwadi) mertuanya, Sahat sudah rela berkompromi dalam hal mutu karangan yang harus ia hasilkan. Tapi Sahat masih lebih beruntung dari dua temannya. 

Masih tersisa baginya pekerjaan menjual majalah porno setelah di kampung ia bermimpi menjadi penyair besar. Bagi para peminat film Indonesia dari zaman hitam putih hingga zaman kelir gemerlapan, tema yang digarap Asrul Sani ini sesungguhnya tidak terlalu baru. Kisah orang desa masuk ke kota sudah dari dulu menjadi makanan sedap bagi para pembuat film yang suka mencari makan dari lelucon yang lahir dari kekonyolan orang udik di kota. Di zaman film berwarna dengan layar lebar, Turino Djunaidi tidak ketinggalan. Film Bernafas Dalam Lumpur adalah juga kisah urbanisasi yang berakhir tragis. Yanti (Suzana), si pelacur, mati setelah terperas habis oleh germo Rais (Farouk Afero). Film Anjing-Anjing Geladak punya Niko Pelamonia juga sebuah kisah yang keras tentang orang-orang desa yang bermimpi indah tentang kota yang menawarkan seribu kemungkinan.
Akhir cerita: juga tragis. Kendatipun demikian, tema-tema demikian akan tetap menarik, persis seperti arus pasang daya tarik urbanisasi terhadap kantor walikota dan para ahli-ahli ilmu sosiologi. Lebih dari sekedar daya tarik kisah urban, film Asrul Sani yang baru ini telah menempatkan dirinya jauh lebih terlibat ke dalam latar belakang tokoh-tokohnya. Baik film urban zaman hitam putih, maupun karya Turino atau Niko Pelemonia, semuanya hanya sekedar berkisah tentang orang Indonesia dari desa masuk kota. Asrul lebih berani. Ia memilih orang Batak sebagai obyeknya. Pilihan ini membawa konsekwensi berat. Kalau Asrul tidak kenal watak dan motifasi urban orang Batak, ia toh akhirnya hanya menJadi salah satu nomor dari banyak nomor sutradara film urban sebelumnya. Dan Asrul selamat dari sekedar menjadi nomor sekian. Tanpa nama-nama Batak saja, tokoh-tokoh yang ditampilkannya terasa sekali ke-Batakan-nya: keras, optimis, sedikit merasa superior, tapi masih tetap manusia. Yang terakhir inilah yang amat penting, manusia. Asrul Sani telah berkisah tentang manusia yang kebetulan kelahiran Batak. 

Di Dan Sebagai Entah disadari entah kebetulan, tapi niat membuat film Indonesia yang betul-betul Indonesia terasa berada di balik pemilihan obyek yang dilakukan Asrul. Sepanjang disepakati para ahli ilmu kebudayaan dan ilmu-ilmu sosial. Indonesia ini baru satu dalam sejarah, bahasa, politik dan cita-cita untuk masa depan. Ini tidak bisa lain kecuali berarti bahwa secara kulturil baru sejumlah kecil orang di kota besar yang barangkat bebas dari kebudayaan bapak, ibu dan embah buyutnya nun di kampung sana. Dalam hal-hal yang kritis -- sebagai yang suka diperlihatkanl pada klimaks film manapun -- reaksi setiap orang nyaris tak terbebas dari pola dasar kultur asalnya. Nah, kalau mau bikin film Indonesia, jelas pilihannya hanya dua: manusia kota yang jumlahnya teramat kecil -- dikisahkan Asrul melalui Apa Yang Kau Cari Palupi -- atau orang Indonesia yang kebetulan lahir di dan sebagai orang Batak atau suku mana saja. Berlainan dengan film-filmnya terdahulu, kali ini Asrul bercerita lebih lincah dengan tokoh-tokoh yang jauh lebih hidup. Dari sejak muncul di layar, Sabar (Aedy Moward) sudah menarik perhatian sambil juga memancing suatu teka-teki. Lagaknya berbicara tentang rencana pertemuannya dengan Menteri Perindustrian setelan putih kemeja merah serta uang yang dibagi-bagikannya kepada para pemain musik, semua itu konon khas perantau Batak yang pulang kampung dan selalu ingin memberi kesan sukses di perantauan.
Gaya macam inilah -- yang sesungguhnya hanya tabir dari kegiatannya sebagai sopir taksi di Jakarta -- yang kemudian ikut mempercepat arus urbanisasi. Orang macam Sabar ini tidak pernah menyadari bahwa ketika ia mencoba memberikan gambaran salah tentang dirinya, ia juga telah menjual impian palsu tentang kota yang kadang-kadang lebih garang dari yang bisa dibayangkan orang-orang desa yang bersahaja itu. Dan Sabar yang tidak beruntung itu tidak pula terlalu risau akan nasibnya. Kecuali keributan dengan Minar (Citra Dewi), semua soal menjadi haruslah rutin saja baginya. Dalam keadaan gawat dengan isterinya yang melayangkan piring-sendok, Batak perantau satu ini masih saja punya humor yang cukup kreatif. Dengan menghadapkan mikropon yang dihubungkan dengan alat perekam ke mulut isterinya, ternyata Sabar berhasil menghentikan omelan dan amarah sang isteri. Setelah itu, solidaritas khas perantau Batak digambarkan Asrul Sani melalui sikap Sabar kepada Tigor dan Sahat yang terpaksa menumpang di pondok buruknya di pinggir jalan kereta api itu. Tertikam Optimisme, percaya diri sendiri dan selikit rasa superior juga digambarkan dengan plastis oleh Asrul melalui tokoh Tigor. 

Dengan mudah pendatang baru ini bisa menguasai lapangan parkir berikut sejumlah anak buah -- untuk akhirnya merencanakan suatu perusahaan pencucian mobil. Melalui perjuangan yang berat, Tigor yang banyak diilhami oleh karangan-karangan temannya, Sahat, pada suatu hari sampai pada kenyataan yang pahit. Setelah ia tertikam, ia kembali menjadi manusia biasa. Tergeletak lunglai di kereta dorong rumah sakit, Tigor menaikkan bendera putih. Menyerah kepada Jakarta. Dan Jakarta yang angkuh dan dingin itu hanya menyibakkan sedikit kainnya bagi tempat istirahat jasad Tigor yang tumpas itu. Kekalahan demi kekalahan itu barangkali akan lebih terasa tragis kalau saja Asrul Sani secara teknis sanggup menggambarkannya dengan baik. Rasanya sudah menjadi kebiasaan Asrul ini kalau bikin film, bagian-bagian permulaan dikerjakan dengan baik, tapi ekor-ekornya lalu terseret. Bulan Di Atas Kuburan ini pun tidak selamat dari kebiasaan kurang terpuji itu. Adegan beralihnya Sahat menjadi pengabdi mertua terasa kurang digarap dengan baik, sehingga terasa sulit dicerna penonton.
Dan Sabar yang hidup dari menjalankan mobil itu tidak pernah sekalipun -- kecuali adegan kematiannya -- tampil bersama mobil yang dikemudikannya. Adegan kematian Tigor juga tidak digambarkan dengan baik. Tapi adegan macam ini -- adegan di rumah sakit -- nampak menjadi kelemahan umum sutradara Indonesia. Sementara seorang tertikam terus menerus kekurangan darah, sudah jelas sang suster tidak akan terbengong-bengong membiarkan Sahat menahan Tigor di lorong rumah sakit. Adalah kemalasan untuk mencari penyelesaian lain yang tidak bertentangan dengan kebiasaan kerja para dokter dan suster dalam menghadapi kasus darurat macam Tigor yang tertikam di perut. Kekurangan-kekurangan ini jelas sekali berakar pada sikap Asrul yang terlalu percaya pada dialog. Semakin percaya seorang sutradara film terhadap dialog, semakin filmnya kekurangan gambar, dan semakin film itu berbau sandiwara. 

Dan Bulan Di Atas Kuburan, meskipun saya anggap film berwarna terbaik karya Asrul, toh masih menderita kekurangan gambar seraya beberapa gambar terlalu lama muncul di layar lebar tanpa perubahan sudut pemotretan (perhatikan adegan perpisahan suami isteri Sahat-Mona). Dengan segala bau sandiwara dan kekurangan gambarnya, film Asrul Sani yang terbaru ini betul-betul menarik untuk ditonton. Paling sedikit untuk melihat embrio sebuah film Indonesia yang lahir dan berpijak di buminya sendiri. Pasti karena yang dikisahkannya adalah manusia nyata di bumi yang nyata itulah yang menyebabkan tokoh-tokoh dalam film ini terasa hidup, akrab dan seperti kita kenal. Dan hanya dalam film-film macam inilah kita seharusnya berbicara tentang akting para aktor. Tidak dalam film-film yang ceritanya dicuri dari film India sebelum akhirnya diramu dengan resep-resep olahan para produser sendiri. Melalui produksi terbaru PT Matari Film ini -- setelah sukses dengan Si Mamat oleh Sjuman Djaja -- Asrul telah memotret dengan jelas wajah Jakarta yang bengis, sedang Aedy Moward dan Muny Cader telah memperlihatkan permainan cemerlang yang sebelumnya tidak pernah sempat mereka tampilkan. Salim Said