Sabtu, 18 Juli 2020

BIOSCOOP DI TANAH MINANG (SUMBAR)

PADANG

Padang dengan wilayah yang bagus dan pelabuhan yangbesar pintu masuk dari berbagai negara juga, sehingga kebudayaan dan modrenisasi cepat, tidak heran wilayah ini paling cepat menikmati film.

Di Padang saja tak kurang ada 23 bioskop. Dengan luas wilayah 694,96 km persegi, berarti ada satu bioskop di setiap 30 km. 

Jalan Raya Padang-Indarung merupakan jalur terbanyak tempat bioskop berada. Mulai dari Indarung Theatre, Bandar Buat Theatre, Aru Theatre di Lubuk Begalung, Simpangaru Theatre, Bhakti Theatre di Tarandam, Raya Theatre, Karia Theatre, Padang Theatre, Satria Theatre, Imam Bonjol Theatre dan Mulia Theatre. Ke arah utara akan ditemukan Arjuna Theatre, Jati Theatre, Alai Theatre, Siteba Theatre, President Theatre, Saranggagak Theatre, Indah Theatre, dan Angkasa Theatre. Sedangkan ke arah utara tercatat, Kencana (Buana) Theatre, Purnama Theatre, Paraklaweh Theatre dan Gauang Theatre.

Di luar daerah bisa ditemukan Karia Pariaman, Karia dan Wirayudha di Solok, bioskop Karia dan Jaya di Padangpanjang, Gloria, Eri di Bukittinggi dan Adikaria di Pasaman.

Banyaknya bangsa eropha Belanda yang mendiami wilayah itu karena sumber alamnya, menjadikan butuh hiburan yang bersifat modern, waktu itu gambar hidup masih sebuah fenomena modern yang di gemari. Dan acara nonton film bersama dengan para pembesar pun di lakukan di ruangan-ruangan khusus. Tidak banyak film yang di putar, paling hanya film Dokumenter untuk propagandasaat itu, Jepang melawan Soviet dan lainnya. Mereka senang karena takjub akan gambar bergerak itu. 

Bioskop-bioskop baru berdiri pada dekade 1920an. Empat bioskop pertama di Padang, yakni Cinema Bioscoop, Apollo Bioscoop, Rio Bioscoop, Capitol Bioscoop dan New Rex, dimiliki oleh pengusaha Cina dan Eropa. 

Sampai sekarang belum diketahui letak persisnya keempat bioskop itu. Pada masa itu, pengusaha Cina memang banyak menanam saham untuk membangun bioskop, karena usaha perbioskopan begitu menjanjikan. Selain itu, para pengusaha Cina juga menganggap pengusaha Eropa telah gagal dalam berbisnis bioskop. Mereka yakin mereka bisa lebih baik dari orang-orang Eropa. Dalam berbisnis bioskop, pengusaha Cina cenderung mendirikan banyak bioskop dalam satu payung kepemilikan. Contohnya adalah Cinema Bioskop, yang dirintis pada 1921 oleh perusahan Maskapay Handle Industri. Ang Eng Kwan, pemimpinnya, kemudian mendirikan Appolo Bioscope pada 1926 dan Rio Bioskop pada 1936

Waktu itu harga karcis terbagi menjadi tiga klasifikasi: kelas satu ƒ 1,25; kelas dua ƒ 0,75; kelas tiga ƒ 0,25. Kelas menentukan posisi tempat duduk: kelas satu paling belakang, kelas dua di tengah, dan kelas tiga di depan. Penempatan ini selaras dengan stratifikasi sosial yang ditegaskan pemerintahan kolonial kala itu: kelas satu untuk orang-orang Belanda; kelas dua untuk orang Cina, India, Amerika, dan Eropa; dan kelas tiga untuk kaum pribumi atau Kelas Kambing yang duduk di lantai depan kursi kelas tiga. Mereka selalu berbisik, meribut seperti kambing. Mereka berisik karena terpukaunya dengan gambar bergerak itu sehingga emosional pun larut dalam film. Apa lagi kalau ada cewek cantik dan sexynya,...bisa ramai sekali. 

 

Melihat potensi penonton yang tinggi di kalangan penonton pribumi, para pengusaha Cina membuka bioskop mereka sepenuhnya untuk orang pribumi. Di Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh sudah mulai bertumbuhan bisokop.Walhasil, banyak yang pulang menonton dengan gaya layak koboi, dengan cara merokok dan sedikit aksyen ala jagoan, bahkan banyak yang meniru adegan sehingga banyak kasus kejahatan yang meniru salah satu adegan film, contohnya penjahilan tukang minyak keliling yang bocor sehingga minyaknya tercecer.

1930'an perang dunia 1 terjadi sehingga import film pun terganggu sehingga otomatis bioskop pun tidak ada film. Dan menghasilkan Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda. Holthaus dari Centraale Theater, Buitenzorg (Bogor), terpilih sebagai ketua; Liono, manajer perusahaan film Remaco, terpilih sebagai sekretaris; dan Van Der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, terpilih sebagai bendahara. Ada pula Yo Hen Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace, Batavia, terpilih sebagai komisaris. Pertemuan itu juga menetapkan iuran bioskop per bulan berdasarkan kelasnya: ƒ 15 untuk bioskop kelas I, ƒ 10 kelas II, dan ƒ 5 kelai III. Di Padang, bioskop kelas I meliputi Cinema Bioscoop, Rio Bioscoop, Capitol Bioscoop, dan Rex Bioscoop. Bioskop kelas II hanya Apollo Bioscoop.

Masuknya Jepang,  mendirikan Sindenbu alias Badan Propaganda dan Penerangan. Salah satu dampak dari kehadiran Sindenbu adalah pelatihan dan pendidikan seniman Indonesia, termasuk para sineas. Dampak lainnya adalah penutupan atau pengambilalihan semua bioskop milik warga Cina peranakan. Jepang tidak percaya kepada orang-orang Cina. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Jepang mendatangkan film-film dari negeri mereka, lengkap dengan subtitel supaya mudah dipahami warga setempat. Jepang juga mengatur harga karcis menjadi lebih murah, kira-kira 10 sen, sehingga warga pribumi miskin sekalipun bisa menonton di bioskop. Selain itu, Jepang turut menyelenggarakan pemutaran di ruang terbuka untuk daerah-daerah kecil yang tidak berbioskop.

Sehingga film pun berubah, sebuah film tentang pesawat tentara Jepang yang menembak jatuh pesawat sekutu.Hal ini untuk meyakinkan dan kegirangan penonton karena ikut merasakan kekuatan dari pasukan Jepang. pasukan Jepang adalah pasukan nomor satu di dunia. Selain film-film yang didatangkan dari Jepang, cuma ada film-film produksi sineas setempat yang diizinkan Jepang, dan jumlahnya tidak banyak. Pemutaran selalu diulang-ulang. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda Sumatera Barat tidak kunjung membaik.

Saat Jepang kalah tanpa syarat, tidak sehebat di filmnya, Indonesia pun merdeka. Film-film dari luar Indonesia kembali banyak, tidak saja dari Amerika, tapi juga Uni Soviet dan Prancis. Bioskop-bioskop di Padang, salah satunya Capitol Bioscoop, juga kembali sering menayangkan film baru. 

Bioskop kala itu hanya mengadakan satu pemutaran tiap harinya, yakni pada jam tujuh malam. Selang satu dekade, hadir Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berusaha menghentikan pemutaran “film-film imperialis” di bioskop. Beberapa kader PKI, juga Lekra, membentuk PAPFIAS alias Panitia Aksi Penggayangan Film-film Imperialis Amerika Serikat sebagai ekpsresi ketidakpuasan terhadap masuknya pengaruh budaya barat, terutama Amerika, ke Indonesia. Bioskop pun berhenti menayangkan film-film Amerika, namun tetap memutar film-film dari Hongkong, Cina, Jepang, dan Italia. Budi dan Susi jadi tak antusias pergi ke bioskop lantaran tak suka atau tidak tahu filmnya. Selain itu, situasi nasional yang tak menentu 

Setelah peristiwa 30 September 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama bioskop berbau asing ke nama yang lebih Indonesia. Cinema Bioscoop ganti nama jadi Bioskop Karia, Apollo Bioscoop jadi Bioskop Satria, Rio Bioscoop jadi Bioskop Mulia, Capitol Bioscoop jadi Bioskop Raya, dan New Rex jadi Bioskop Kencana.

Dekade 1970an sampai 1990an Boleh dibilang masa itu adalah masa keemasan bioskop di Padang. Masa-masa mencekam sudah berakhir, dan orang-orang kembali aktif berkegiatan di luar rumah.

Menonton di bioskop kala itu menghadirkan pengalaman yang khas. Selain perangkat pemutaran film dan tata suara bioskop, setiap studio turut dilengkapi skuadron nyamuk, pendingin ruangan yang entah ke mana, dan suara ribut orang-orang. Namun yang paling menjengkelkan adalah film yang mendadak berhenti di tengah-tengah pemutaran. Sebabnya adalah gulungan rol film berisikan paruh kedua film belum sampai di bioskop. Di tengah-tengah layar akan muncul tulisan “Mohon Maaf”. sepontan semua teriak,...dan memaki-maki,...pemilik bioskop yang keturunan Cina.

Seperti kota-kota lainnya, pembagian penonton menurut selera, Di Padang, misalnya, Bioskop Karia lebih banyak menayangkan film-film asing, dari Amerika, Eropa, Cina, Hongkong, dan Taiwan. Beberapa film Mandarin tonton di Karia adalah The Chance (1977), Hit Team (1982), dan Chow Yun Fat The Killer (1982). Bioskop Mulia adalah spesialis film India, sementara Bioskop Raya lebih sering memutar film-film Indonesia, seperti Lelaki Binal, Susuk Nyi Roro Kidul, Kenikmatan Tabu, Bernafas dalam Lumpur, Raja Copet, dan Raja Dangdut.

BUKIT TINGGI

Bukittinggi juga sama menariknya. Bioskop Eri cenderung memutarkan film India dan film-film misteri. Bioskop Sovia lebih dekat dengan film-film drama Indonesia macam Catatan Si Boy (1987), sementara Bioskop Gloria banyak menayangkan film-film Barat seperti Breakdance (1987) dan Top Gun (1987).


SOLOK
Di Solok, ketika sedang menonton di Bioskop Karia, bioskop itu selalu membicarakan tentang Roma Irama, Amitabacan, dan Sanjadut.

Animo masyarakat yang begitu tinggi mendorong pengusaha bioskop di Padang untuk mengembangkan bioskop-bioskop murah atau THR, karena masyarakat yang ingin menonton tidak bisa ditampung lagi oleh bioskop yang ada. 

Kehadiran bioskop-bioskop baru ini menambah jumlah bioskop di Padang mencapai 28 bioskop: Bioskop Karia, Bioskop Satria, Bioskop Raya, Purnama Theater, Kencana Theater, THR Irama Bahari, Padang Theater, Indah Theater, Bioskop Buana, THR Purnama, THR Angkasa, THR Bhakti, THR Imam Bonjol, THR Simpang Haru, THR Jati, THR Alai, THR Siteba, THR Karia Bandar Buat, THR Lubuk Begalung, THR Teluk Bayur, THR Bungus, THR Sarang Gagak, Indarung Theater, THR Yani, Arjuna Theater, Bioskop President, dan THR Parak Laweh.

Sarana menonton lainnya yang tersedia bagi masyarakat Sumatera Barat adalah bioskop misbar alias gerimis bubar. Pemutarannya berlangsung di lapangan terbuka, dengan harga tiket yang relatif murah, mulai dari Rp. 100 sampai Rp. 10.000, tergantung posisi tempat duduk yang ditentukan oleh warna tiket: merah, kuning, dan hijau. Bioskop Raya memiliki harga tiket paling mahal, yakni Rp. 10.000.

Masa kejayaan bioskop di Sumatera Barat tidak berlangsung lama. Tanda-tanda keruntuhan bioskop sudah terbaca sejak 1985, ketika teknologi video tape memungkinkan orang untuk menonton film di televisi. Maraknya pembajakan film membuat orang-orang lebih memilih menonton film dengan video tape yang diputar di televisi mereka (jika ada) atau tetangga mereka (jika tidak ada).


BUYA HAMKA PUN NONTON BIOSKOP
“Di bawah panggung itu, karena kenakalan anak-anak itu, telah mereka tembus sengaja dan mengintip dari sana dengan sepuas-puas hati. Rupanya kelakuan djahat ini ketahuan oleh pendjaga panggung, sehingga pendjaga panggung, melumar lobang-lobang intipan itu dengan ‘tahi ajam’. Alangkah lutjunya seketika segumpal tahi ajam melekat di hidung kawan kita. Dengan berbisik-bisik karena kebusukannja, diadjaknja kawan-kawannja itu ‘mengundurkan diri’ dari sana. Ada jang kena badjunja, ada jang kena hidungnja, dan ada pula jang kena kain sarung sembahjangnya. Pendjaga panggung terdengar tertawa terbahak-bahak” (Hamka, 1951:32-33).

BIOSCOOP CINEMA / KARIA


Dalam bukunya, Kenang-Kenangan Hidup, terbitan 1951, Buya Hamka menuturkan kenangan masa kecilnya saat nonton bioskop. Sayang, meski sudah mencoba mengintip layar dengan hati-hati, penjaga bioskop tetap saja tahu.

Hamka bercerita, penjaga bioskop kala itu terpaksa melumeri lubang-lubang di dinding bioskop dengan kotoran ayam. Alhasil, Hamka dan teman-temannya undur dari dari tayangan film gratisan yang mereka saksikan.

"Alangkah lutjunya seketika segumpal tahi ajam melekat di hidung kawan kita. Dengan berbisik-bisik karena kebusukannja, diadjaknja kawan-kawannja itu mengundurkan diri dari sana. Ada jang kena badjunja, ada jang kena hidungnja, dan ada pula jang kenal kain sarung sembahjangnya. Pendjaga panggung terdengar tertawa terbahak-bahak!" tulis Buya Hamka dalam bukunya.

Begitu pula di Kota Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatra Barat sekaligus gerbang budaya Eropa untuk masuk ke Tanah Minang. Padang merupakan kota pertama di Sumatra yang mengecap kemajuan teknologi perfilman pada zamannya.

Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas Anatona mengungkapkan, keberadaan bioskop bisa memberikan gambaran bagaimana kehidupan masyarakat Padang dalam bersosialisasi. Seiring majunya teknologi, khususnya gambar bergerak, Padang menjadi kota di Sumatra pertama yang diincar pengusaha Belanda dan Cina untuk mengembangkan usaha bioskop.

Anatona juga menambahkan, keberadaan bioskop sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat akan hiburan. Bioskop Mulia yang berada di area Pasar Raya, misalnya, dengan setia menayangkan film-film India.

Bioskop Purnama terkenal dengan film-film aksi Hollywood. Sementara bioskop Raya, Karya, dan New Rex yang berada di Pondok tergolong bioskop elite yang memfasilitasi kaum Eropa dan pribumi berduit saat itu.

Pakar filologi Universitas Leiden Belanda, Suryadi, mengungkapkan Padang pada masa kolonial erat kaitannya dengan segala perkembangan yang terjadi di Batavia. Ia memisalkan, bila suatu media sudah dikenalkan di Batavia, tak lama berselang akan merambat ke Kota Padang.

Hal ini bisa dilihat dari perkembangan mesin bicara atau phonograf yang mulai dikenalkan di Padang pada 1898, setelah teknologi ini ditularkan dari Eropa ke Jawa beberapa tahun sebelumnya. Menyusul setelahnya, teknologi fotografi yang berkembang dan perfilman di era 1900-an yang masuk ke Batavia

Akhirnya, sejak awal abad ke-20 tersebut warga Kota Padang sudah mulai menyicip rasanya nonton layar lebar atau bioskop, yang diserap dari kata bioscoop dalam bahasa Belanda. Suryadi, dalam penelitiannya, merangkum terdapat empat bioskop pertama yang dibangun di Padang.

Empat bioskop tersebut yakni Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scala Bioscope dan Cinema Theatre. Memasuki 1920-an, bioskop juga dibangun di Padang Panjang, Fort de Kock (Bukittinggi), dan Payakumbuh.

Seiring berjalannya waktu, seni perfilman yang dinikmati masyarakat Minang pada awal abad ke-20 memengaruhi tatanan budaya saat itu. Misalnya, nonton bioskop dianggap sebagai suatu identitas kemodernan.

Suryadi menilai, fenomena tersebut sejalan dengan semakin berkurangnya angka buta huruf. Pada masa kolonial, kegiatan membaca surat kabar atau buku-buku saja sudah dianggap intelek. Seiring berkembangnya budaya membaca, masyarakat Minang memang gemar cerita-cerita berbalut kisah romantisme anak muda.

Saat itu, roman-roman seperti Melati van Agam, Roos van Pajacomboe, Njai Sida: Roos van Sawah Loento, Orang Rantai dari Siloengkang, Hantjoer-leboernja Padang Pandjang, Zender Nirom, dan roman lainnya laris di pasaran. Di dalamnya sering ditemukan narasi mengenai tokoh-tokoh utamanya yang bergaya pergi nonton bareng ke bioskop.

Dalam penelitiannya, Suryadi juga menyebutkan keberadaan bioskop di Tanah Minang di medio 1920-1950 belum lekat dengan citra sebagai tempat untuk bergaya. Maksudnya, bioskop saat itu belum mampu membuat anak-anak muda berpakaian kebarat-baratan, meski saat itu masih berseliweran noni-noni Belanda yang ikut menikmati gambar bergerak di bioskop.



Pada masa lampau, menurut Suryadi, orang nonton film di bioskop masih mengenakan sarung dan peci. Bahkan, sebelum demam rok dan blus merebak, perempuan-perempuan Minang masih gemar mengenakan kebaya untuk ke bioskop.

Artinya, busana yang dikenakan pemuda-pemudi saat pergi ke masjid atau surau dan bioskop, sama saja.  "Harus diakui bahwa Padang sudah lama menjadi kota bandar yang ‘modern’. Sayang sekali belum ada studi historis yang komprehensif tentang  sejarah urban entertainment di Padang. Keberadaan bioskop tua, tentu harus ada upaya-upaya untuk menjaga nilai sejarahnya," kata Suryadi saat diwawancara via surat elektronik

Raya dan Karya merupakan bioskop peninggalan Belanda yang masih bertahan. Berdasarkan catatan Mardanas Safwan dkk dalam buku Sejarah Kota Padang, hingga dekade 1970-an masih bertahan tujuh bioskop peninggalan Belanda.

Ketujuh bioskop tersebut adalah Raya yang dulunya bernama Capitol Theatre, Karya yang dulunya Cinema, Satria, Purnama, New Rex Theatre, Padang Theatre, dan Mulia. Satu dekade berikutnya pada 1980-an, jumlah bioskop di Padang melonjak hingga 14 buah, termasuk bioskop Indah di Ulak Karang dan Terandam.

Kini, tiga dekade setelahnya, hanya dua bioskop tua yang bisa bertahan hidup. Itu pun, keduanya berjuang merebut hati penonton yang semakin hari semakin beralih ke jaringan-jaringan bioskop modern.

Persoalan penonton menjadi tantangan nomor wahid yang dihadapi pengelola bioskop sejak dulu kala, termasuk Karya dan Raya. Medio 1990-an, sejak industri perfilman Indonesia meredup dan ditambah dengan 'berkuasanya' grup 21, pemain-pemain bioskop lokal di daerah mulai kehabisan napas. Kondisi ini juga terjadi di Kota Padang, di mana perlahan bioskop-bioskop tua bertumbangan.

Hingga masuk 2000-an, hanya Karya dan Raya yang bisa bertahan. Namun, Karya dan Raya harus berbenah kalau ingin bertahan dalam kompetisi dengan jaringan bioskop modern.

Yolanda mengatakan perbaikan fasilitas, mulai dari sistem tiket hingga kursi, memang menjadi syarat untuk bertahan. “Dulu pernah nonton Jailangkung, saking banyaknya yang nonton, nggak kebagian kursi. Terpaksa ngampar di tangga sama penonton lain," ujar ibu muda ini.

Dedi (25 tahun), seorang pekerja swasta, mengatakan akan sangat disayangkan kalau bioskop Karya dan Raya tak bisa mengimbangi kemauan pasar. Menurut dia, pembenahan menyeluruh perlu dilakukan terhadap fasilitas bioskop-bioskop tua.

Dedi mengaku mengagumi kondisi gedung-gedung bioskop tua yang masih bisa bertahan hingga saat ini. "Dua bioskop itu bioskop bersejarah di Padang. Renovasi bisa menjadi jalan keluar. Dengan mempertahankan ornamen asli, bioskop-bioskop tua pasti akan diminati kembali. Namun tentu, butuh investor," ujar dia.

Masukan yang disuarakan oleh penonton seperti Yolanda dan Dedi seolah menggambarkan permintaan masyarakat pada umumnya. Padang merupakan Ibu Kota provinsi yang relatif besar. Sejumlah kampus mentereng bisa dijumpai di kota pinggir laut tersebut, dan 'memasok' belasan hingga puluhan ribu pendatang yang menuntut ilmu. Alhasil, Padang kebanjiran anak-anak muda yang mulai menggilai modernisasi. Hal ini juga berdampak dengan bioskop


 BIOSKOP CAPITOL / RAYA





 
PAYAKUMBUH

BIOSKOP KARYA



 
BUKIT TINGGI

BIOSKOP SOVIA


Semasa les itulah kami cabut – atau bolos bahasa Orang Jakartanya – dan kemudian pergi menonton ke Bioskop Gloria yang ada di Pasa Ateh Bukit Tinggi. Jam menontonnya ialah dari pukul dua hingga pukul empat atau setengah lima, tiket kalau kami tak salah ialah Rp.1.500 s/d Rp. 2.500,-. Jam menonton siang dengan jam menonton malam dibedakan harganya. Tidak ada pembedaan harga tiket berdasarkan jenis tepat duduk, sama saja dan bergantung kepada keberuntungan kita.

Terkadang kami menonton bersama kawan-kawan, terkadang kami hanya sendiri saja masuk, kelam setibanya di dalam, kami meraba-raba. Tempat duduk di sini masih dari rotan, ada yang telah dicoret-coret, ditempeli permen karet, ataupun telah rusak. Kami suka duduk di bagian tengah-tengah, kalau terlalu ke muka akan tidak nikmat menontonnnya, kalau terlalu ke belakang tidak pula suka, karena terlalu jauh.


 
Bioskop ini memiliki wc pada pintu yang berlawanan arah, apabila kita keluar dari ruangan tempat menonton maka kita harus berbelok ke kiri dimana di sanalah wc, apabila kita berbelok ke kanan maka kita akan sampai ke pintu yang diberi teralis dimana di mukanya terdapat orang berjualan rokok. Bagi penonton yang perokok maka mereka akan membeli rokok di sana dan menghisapnya di sana, ada jua yang merokok di dalam bioskop, asapnya akan tampak melayang-layang apabila terkena lampu sorot dari proyektor ke layar. Demikianlah kerja kami kalau cabut.


Sebenarnya Bukit Tinggi memiliki dua bioskop lainnya, satu terletak di samping Hotel The Hills sekarang, Sovia namanya, satu lagi di dekat Kantor Pegadaian (atau dekat bangunan tempat parkir sekarang) Bioskop Eri namanya. Pada saat sekarang, hanya Bioskop Eri yang masih jalan, itupun hanya satu-satu saja lagi filem yang diputar, entah ada jua yang menonton, entah tidak.

 Dahulu Bioskop Sovia jarang buka, sesekali saja, padahal gedungnya merupakan yang paling menarik, indah, dan mewah. Di bioskop inilah kami menonton filem Titanic untuk pertama kalinya, diputar pukul empat petang, akibatnya kami terlambat pulang. Pulang malam ialah terpantang, bisa mendapat murka. Dan memang itulah yang kami dapat.


Adapun dengan Bioskop Eri merupakan bioskop yang khusus memutar filem India atau filem-filem lokal yang judul beserta poster filemnya memprovokasi orang untuk menonton. Kami hanya sekali pernah menonton filem disini, dibawa oleh kawan, filem India yang tiada sampai usai kami tonton.


Pada saat penutupan filem melantun sebuah lagu “Itu Michel Jackson yang menyanyi ya tuan..” Tanya isteri kami.

“Entahlah..” jawab kami sambil terus searching di internet, setelah dapat synopsis filemnya “Hebat dinda, benar tebakan dinda rupanya..” seru kami. Isteri kamipun tersenyum kegirangan.

Demikianlah, filem Free Willy terbilang sukses meraup untung dan dibuat beberapa lanjutannya selepas filem pertama ini.

Kami berharap suatu saat kelak bioskop di Bukit Tinggi akan kembali hidup..

BIOSKOP ERI 


 
 
 
 

Bioskop Eri merupakan dua dari tiga bioskop yang masih bertahan hingga saat ini, bioskop ini merupakan sentra perfilman di Bukittinggi pada tahun 1980.

Bioskop Eri ini adalah satu-satunya bioskop jadul berkonsep PHR (panggung hiburan rakyat) dengan kursi kayu-rotan yang masih beroperasi di Bukittinggi, menayangkan film Indonesia dan film impor yang waktu rilisnya 5-6 tahun lalu dengan HTM 15 ribu rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar