Sabtu, 18 Juli 2020

ACEH/ ATJEH SERAMBI BIOSCOOP


ATJEH BIOSCOOP ke GARUDA THEATRE tempat sejarah 

Atjeh Bioscoop dibangun oleh Belanda di sisi barat Taman Vredespak yang kini dikenal sebagai Taman Sari Bustanussalatin, atau di sisi utara Esplanade Koetaradja yang sekarang dinamai Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Tak ada catatan sejarah, kapan tanggal pasti bioskop tertua di Aceh itu pertama kali dibangun. Perkiraannya dalam rentang tahun 1890–1900. Di antara Vredespak dan Esplanade Koetaradja, sekelilingnya merupakan bangunan perkantoran dan perumahan elite pejabat kolonial Belanda dari kalangan Eropa. Malah, untuk mendukung Atjeh Bioscoop sebagai pusat hiburan, di sisi timur Vredespak juga dibangun Juliana Club, tempat bermain musik, pertunjukan drama, dan pesta dansa digelar oleh kalangan elite masa itu. Sementara untuk pejabat kolonial rendahan, serta para serdadu bayaran, mereka mempunyai tempat hiburan tersendiri di sisi selatan Vredespak, dan Esplanade Koetaraja, sebuah tempat kumuh bekas kebun tebu yang dibangun seorang Yahudi bernama Bolchover, menjadi tempat hiburan dan lokalisasi, dikenal sebagai kebun dan tempat seks bebas.

Saat itu, tempat hiburan yang terbuka untuk umum hanya di Pantai Ceureumen, Ulee Lhee. Di sana dibangun tempat pemandian dan kios-kios makanan. Ketika nyonya-nyonya Eropa bertamasya ke sana, sering diadakan pertunjukan musik oleh Atjeh Band, meski namanya Aceh, tapi pemain musiknya merupakan para perwira Eropa. Atjeh Band ini juga sering mengiringi pesta dansa di Juliana Club. 

Hanya pertunjukan sirkus dari Group Sirkus Komedi Kuda Harmston, satu-satunya pertunjukan ala Eropa yang bisa dinikmati sebagai hiburan oleh masyarakat pribumi di Aceh. Grup ini berkedudukan di Sigli, Kabupaten, Pidie, tapi sering tampil di Koetaraja (Banda Aceh). Kembali ke Atjeh Bioscoop, ketika kekuasaan kolonial Belanda beralih ke Jepang, namanya diganti menjadi Gedung Eiga Heikyusya. Namun pada masa Jepang, perannya sebagai gedung pertunjukan telah berganti jadi gedung pertemuan. Salah satu pertemuan paling bersejarah di Eiga Heikyusya adalah ketika rakyat Aceh mendesak Jepang untuk menyerahkan kekuasaan kepada Residen Aceh yang dipimpin oleh Teuku Nyak Arief. Tapi, Jepang bersikukuh akan menyerahkan kekuasaannya kepada Sekutu. Tapi karena Sekutu tidak pernah bisa masuk ke Aceh, kekuasaan Jepang akhirnya dilucuti rakyat Aceh.

Pada 19 Agustus 1945 berlangsung rapat di Eiga Heikyusya antara pimpinan pemuda Aceh dengan pejabat tinggi Jepang, S Masubuchi. Dalam rapat itu S Masubuchi sebagai pemimpin Fujiwara Kikan menjelaskan bahwa dirinya sebagai 'pecinta Aceh' akan menggembleng para pemuda untuk melawan Sekutu, dan kekuasaan Jepang akan diserahkan kepada rakyat Aceh dalam waktu tidak lama, ia menyebutnya dengan kalimat 'sebelum jagung berbuah'.

Namun, para pemuda Aceh yang telah membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu, menolak semua hal yang disampaikan petinggi Jepang. Akibatnya, banyak perwira Jepang yang kemudian bunuh diri (harakiri) di Aceh. Salah satunya, pemimpin Kolonne V, yang menembak kepalanya sendiri dengan pistol di rumah dinasnya di Neuseu.

Sejarawan Aceh, Teuku Alibasyah Talsya, dalam buku ‘Batu Karang di Tengah Lautan’, yang diterbitkan Lembaga Sejarah Aceh (LSA) tahun 1990, mengungkapkan saat itu meski kekuasaan Jepang sudah hancur di Aceh, pada 14 Oktober 1945, Residen Jepang (Chokang) di Aceh, Syozaburo Iino, mengumpulkan sisa-sisa tentara Jepang di Esplanade Koetaradja, karena insiden anti Jepang semakin meluas. Hari itu Gedung Eiga Heikyusya sudah dikuasai oleh pemuda Aceh. Jarak antara konsentrasi tentara Jepang dengan Gedung Eiga Heikyusya tak sampai 100 meter. Di gedung itu ribuan rakyat Aceh yang dimotori oleh Teuku Nyak Arief, selaku Residen Aceh, bersama Teungku Muhammad Daod Beureueh, dan Tuanku Mahmud dari Komite Nasional Aceh melakukan show of force untuk menekan pemerintah Jepang yang kekuasaannya sudah tak lagi berjalan di Aceh. Sehari kemudian, 15 Oktober 1945, Kepala Pemerintah Jepang (Chokang) di Aceh, Syozaburo Iino, menyerahkan kekuasaanya kepada rakyat Aceh melalui Residen Aceh, Teuku Nyak Arief.

Dalam masa kemerdekaan, nama Gedung Eiga Heikyusya diubah menjadi Garuda Theatre. Pada malam 15 Juni 1948, di Garuda Theatre ini Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir Sukarno, menyampaikan pidato politik tentang revolusi nasional di hadapan pejabat sipil dan militer, tokoh masyarakat, dan pemuda Aceh. Seiring perkembangan film Indonesia, beberapa bioskop tumbuh di Banda Aceh dan seluruh Aceh. Sehari kemudian, 16 Juni 1948, Presiden Sukarno membakar semangat perempuan Aceh melalui pidato politiknya di Garuda Theatre selama 2 jam, untuk aktif bergerak menumbangkan kapitalisme. Isi pidatonya bisa dibaca dalam buku ‘Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh’. Buku ini diterbitkan oleh panitia penyambutan Presiden Sukarno di Aceh tahun 1948.

 


Selanjutnya, Garuda Theatre berfungsi sebagai bioskop yang mempersembahkan film-film terbaru Indonesia dan luar negeri. Tempat itu juga kerap memutar film-film produksi pemerintah, melalui Departemen Penerangan Republik Indonesia kala itu, maupun film-film dokumenter sejarah perjuangan Indonesia. 

BIOSKOP THUNG FANG / MERPATI
Dulu di Kota Banda Aceh terdapat tiga gedung bioskop terkenal, yaitu bioskop REX, bioskop THUNG FANG (MERPATI) dan bioskop GARUDA. Bioskop Rex dan bioskop Thung Fang keduanya terletak di pasar Peunayong. Sedangkan bioskop Garuda terletak di jalan Imam Bonjol Banda Aceh.


Gambar diatas adalah gedung bioskop Thung Fang yang kemudian dibalik nama menjadi gedung bioskop Merpati. Dibekas gedung bioskop Merpati Peuanyong sekarang sudah dibangun pertokoaan berlantai tiga.

BIOSKOP REX
Berubah menjadi kawasan Kuliner di Banda Aceh.



Di Bireuen hanya ada tiga teater; Teater Dewi, Teater Gajah, dan PHR (katanya, akronim dari Panggung Hiburan Rakyat).  
 
SINEMA DEWI, setiap kali ada pemutaran film baru Rhoma Irama (artis legenda Indonesia), antrean panjang terjadi. Bahkan banyak yang ketinggalan tiket sehingga pemutaran film yang sama dilakukan beberapa kali. Midnight terkadang memutar film dewasa. Penjaga pintu yang ketakutan, yang dikenal sebagai preman, segera mendorong keluar anak di bawah umur yang mencoba menyusup.

PHR juga ada di daerah Cunda, Lhokseumawe. Ada kejadian menarik ketika film bintang Malaysia terkenal Aceh P Ramlee diputar di sana. Dalam film itu, P Ramlee dipukuli oleh pria. Seorang paman P Ramlee yang menyaksikan serangan itu segera menggambar rencong (senjata tradisional) dan menikam gangster sambil mengutuk. Layar kosong di beberapa bagian. Peristiwa unik ini dapat dikonfirmasi pada beberapa saksi mata yang masih hidup di Cunda.

Kota-kota kecil lain di Aceh juga memiliki bioskop dengan berbagai kesederhanaan. Tidak ada rasa takut akan amoralitas di bioskop. Jika berlibur, terlihat keluarga menikmati hiburan di tempat itu. Sebuah film, selain hiburan juga merupakan media "syiar" (baca: kebesaran), sumber pendidikan, motivasi, meski ada penetrasi budaya asing yang tidak tepat juga, tetapi di sini dibutuhkan kecerdasan dalam memilih dan memilah. Di Arab Saudi sekarang ada bioskop juga.


Dalam beberapa bulan terakhir, wacana gedung bioskop di Aceh kembali bergulir dan telah menimbulkan pro dan kontra. Ada kekhawatiran bahwa bioskop akan menjadi tempat dosa dan bukan tempat hiburan. Jika itu masalahnya, kata beberapa orang, solusinya bukan menolak teater, tetapi untuk memperketat pengawasan dan memisahkan “non-muhrim” (baca: pasangan tidak sah) pria dan wanita. Dalam beberapa musik, solusi semacam itu telah dilakukan.


Kejahatan itu bukan tentang tempat, tetapi masalah niat. Jika ada niat, tempat itu bisa di mana saja, termasuk di masjid seperti yang terjadi di Banda Aceh dan Lhokseumawe. Ketika keinginan untuk nafsu melumpuhkan etika dan logika, di mana outlet bisa terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan kepada siapa pun.


Kami masih merasa sulit untuk melepaskan asumsi bahwa semua yang menyangkut hiburan adalah dosa atau kemungkinan dosa. Bahkan, ibadah dan dosa dapat terjadi di mana saja. Altar ibadah tidak selalu merupakan tempat untuk mendekatkan diri Anda dengan Tuhan, sebaliknya. Proses ibadah yang dimaksudkan untuk atau misi di luar kesenangan Allah tidak dicatat sebagai hadiah. Selain setuju untuk tidak setuju dengan bioskop, kita perlu meluruskan kesalahpahaman tentang fungsi bangunan, termasuk bioskop.



BIOSKOP GAJAH 
Di Simpang Lima, dan Pas 21 di Pasar Aceh Shopping Center. Namun semua bioskop itu sekarang sudah mati dan sama sekali tidak ada aktifitas pemutaran film lagi. Bahkan gedung bioskop itu sendiri sudah beralih fungsi menjadi pertokoan atau kepentingan yang lain.



Pun demikian, bioskop-bioskop tersebut di atas, dalam sejarahnya tidak semuanya menayangkan film-film terbaru dan “berkualitas.” Saya dan beberapa orang teman satu kos-kosan pernah pergi menonton bioskop Garuda di Jalan Muhammad Jam dekat Balang Padang tahun 1998. Saat itu harga tiket sekitar Rp. 750 untuk satu orang. Saya dengan semua teman-teman sama sekali belum pernah menonoton bioskop sebelumnya. Pilihan kami pada Garuda hanya karena tiketnya murah dan lebih terkenal dibandingkan bioskop “murah” yang lain.

Di dalam gedung besar itu kami duduk di kursi yang sudah sangat lusuh dan goyang-goyang. Teman saya kesakitan dan gatal-gatal setelah pulang dari sana karena digigit kutu busuk. Belum lagi suasana yang gelap dan pengap. Meskipun film belum diputar, lampu yang menerangi ruangan besar itu hanya beberapa watt saja dan tidak mampu menunjukkan celah dan jalan yang ada di dalam sana. Saya dengar dari beberapa teman, hal yang sama terjadi juga di bioskop Jelita dan SIB. Namun saya tidak pernah masuk ke dalam dua bioskop tersebut. Hanya saja dari sisi performa luar bangunannya, sepertinya tidak jauh beda dengan bioskop Garuda.

Film yang diputar juga bukan film baru yang sedang hangat dalam berita televisi atau koran. Di sana diputar film-film lama yang judulnya saja terkadang tidak diketahui. Pada sore harinya, di depan gedung bioskop memang dipasang spanduk tentang film yang akan diputar pada malam harinya. Namun kenyataannya, tidak semua film yang ditunjukkan di depan bioskop diputar di dalam bioskop. Beberapa bioskop bahkan memutar blue film di sela-sela film yang sedang diputar. Saat saya menonton bioskop tahun 1998 tersebut, saya juga mendengar teriakan dari penonton “puta asoe sigoe!” (putar “yang berisi” sekali). Kata “asoe” atau “berisi” berarti mereka meminta diputarkan blue film.

PAS 21 dan GAJAH THEATRE

Namun tidak semua bioskop demikian adanya. Pas 21 dan Gajah Theater adalah bioskop yang memutar film terbaru dan film-film modern. Jadwal tayangnya juga tetap dan konsisten. Bahkan mereka mempublikasi film yang akan ditayangkan di koran lokal setiap hari. Kedua bioskop ini tidak jauh berbeda dengan bioskop Pas 21 yang hampir ada di berbgaia kota di Indonesia saat ini. Namun Pas 21 berakhir setelah terjadi kebakaran (dikbakar?) hebat di Pasar Aceh Shoping Center pada tahun 2001 (?). Sejak saat itu bioskop ini tidak beroperasi lagi di Banda Aceh. Gajah Theater menjadi pemain terakhir yang menutup lapaknya setelah tsunami melanda Aceh.

Kenapa bioskop di Banda Aceh gulung tikar? Menurut saya ini adalah pertanyaan menarik untuk ditelusuri. Sebab ada beberapa kemungkinan jawaban. Mungkin “bisnis tidak menguntungkan” adalah jawaban dari pengusaha bioskop itu sendiri. Namun sebagai daerah yang memiliki tiga peristiwa “seksi”; Syariat Islam Konflik dan tsunami, kita tidak bisa bisa hanya melihat dari sisi bisnis semata. Di balik itu, ketiga peristiwa lain, menurut saya, pasti memiliki kontribusi yang menyebabkan bioskop di Banda Aceh ditutup oleh pengusahanya.



BIOSKOP JELITA 
Bioskop Jelita, kawasan Peunayong, 





 PUSPA BIOSCOOP - LHOKSEUMAWE



PUSPA BIOSCOOP adalah salah satu peninggalan bersejarah di kota Lhokseumawe yang sampai saat ini masih tersimpan jejak-jejak gemilangnya perfiliman indonesian sampai ke seluruh pelosok tanah air di Indonesia. Pada tahun 1963, sebuah gedung dengan konsep semi belanda yang di dirikan di jalan sukaramai kota lhokseumawe ini menjadi saksi betapa dunia perfiliman Indonesia saat itu sedang tumbuh dan berkembang pasca kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial belanda.

“Dulu sering diputar film-film India dan film barat di situ, anak muda yang datang untuk menonton pun cukup ramai,” ujar Nurdin, warga Gampong Mon Geudong, Banda Sakti, Lhokseumawe yang bekerja di Toko Teknik, seberang jalan depan Bioskop Puspa. Pelanggan Puspa Theater, termasuk anak-anak sekolah yang memanfaatkan hari libur untuk menonton film. “Dulu belum ada VCD dan sejenisnya, siaran televisi yang khusus memutar film-film juga tidak ada, makanya ramai pengunjung bioskop,” kata Nasir, warga Simpang Kramat, Aceh Utara.

Ketika konflik bersenjata melanda Aceh, kata Nurdin, Puspa Theater pun redup hingga tutup. Didepan gedung itu kini hanya ada penjual koran, tabloid, majalah dan rokok. “Saya jualan di sini sejak tahun 1996, waktu itu bioskop Puspa sudah tutup, mungkin tutup sejak tahun 1992,” ujar Usman A Wahab, loper koran yang membuka lapak depan gedung itu. Sepengetahuan Usman, dulu bangunan tersebut milik seorang pengusaha bernama Ibrahim yang kemudian dibeli oleh warga turunan Cina.
 

Adakalanya pemerintah harus menjadikan ini sebagai monumen bersejarah yang bisa membangkitkan kembali semangat perjuangan kita tentang bagaimana keadaan daerah kita yang mulai bangkit melalui aktifitas pariwisata yang menajdi tolak ukur sebuah daerah berkembang dengan baik. Puspa Teather atau Puspa Bioskop menjadi saksi betapa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan pasca kemerdekaan dengan mendirikan berbagai macam fasilitas terutama sebuah gedung dengan keinginan ingin melestarikan kebudayaan yang ada.


Konflik dan Syariat Islam


Suasana konflik di Aceh yang mulai memanas pada tahun 2008 memang menjadi salah satu penyebab utama. Setidaknya konflik menyebabkan dikuranginya jam penayangan film dimalam hari. Tahun 1997 saya masih jualan durian sampai jam satu malam di Pasar Aceh. Saat itu tidak ada masalah dengan tengah malam berada di luar ruamah. Namun setelah konflik mulai membesar di Aceh, jam malam mulai berlaku. Akibatnya bisoskop di Banda Aceh menutup pemutaran film di malam hari. Mereka hanya membukanya sore hari saja. Kondisi ini meyababkan bioskop SIB, Garuda dan Jelita Theater mati suri. Sebab sebelumnya pangsa pasar mereka ada di malam hari, terdiri dari pekerja dan mahasiswa yang hanya punya waktu malam hari untuk menonton.

Kemudian, pemberlakuan Syariat Islam juga mungkin menjadikan usaha ini menjadi tidak menarik bagi pengusaha. Sebab hampir diketahui bersama, dalam bioskop orang bukan hanya menonotn film saja, namun juga mengambil kesempatan bersepi-sepi, atau dalam bahasan Syariat Islam di Aceh, berhalwat. Sebuah pasangan yang masuk ke dalam gedung itu tidak hanya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan hiburan melalui film yang ditayangkan, namun juga menjadi ajang di mana mereka bisa bermesra-mesraan, peluk cium dan meraba-raba. Kondisi ini ingin dihindari oleh pemerintah Aceh setelah penerapan syariat Islam. Oleh sebab itu ada sebuah seruan agar bioskop memisahkan laki-laki dan perempuan ketika menonton. Saya memang tidak melihat hal ini dipraktekkan dengan baik di gedung bioskop. Namun setidaknya seruan ini menyebabkan pengusaha bioskop enggan membuka bioskopnya. Sebab akan sangat banyak pasangan muda yang menjadi target pasar mereka memilih tidak menonton bioskop dari pada ditangkap Wilayatul Hisbah (petugas pengawas penerapan syariat Islam) yang bertugas untuk menertipkan mereka.

Sejak konflik dan adanya penerapan syariat Islam di Aceh, operasi bioskop di Banda Aceh mulai surut. Bahkan setelah Pas 21 terbakar hanya Gajah Theater yang beroperasi. Seingat saya, tahun 2003 saya masih sempat beberapakali menonton bioskop di Gajah Theater. Di sanalah saya melihat instruksi dari pemerintah agar melakukan pemisahan penonton laki-laki dan perempuan sama sekali tidak diindahkan. Di dalam bioskop laki-laki dan perempuan tetap juga duduk bersama, seperti di berbagai bioskop kota lain di Indonesia. Namun saat itu bioskop hanya diputar sampai jam 18.30, sesaat sebelum azan maghrib. Hal ini berkaitan dengan jam malam yang diterapkan oleh pemerintahan militer yang sempat memegang kendali pemerintahan Aceh pada awal tahun 2000-an.

Bioskop Pasca Tsunami


Setelah tsunami melanda Aceh semua bioskop musnah. Gajah Theater yang bertahan sampai tsunami juga menutup usahanya hingga saat ini. Sekarang ini gedung Gajah Theater telah dipakai oleh aparat militer sebagai gudang logistik mereka. Saya tidak tahu apakah bangunan itu memang miliki militer. Sebab dari sisi lokasinya, Gajah Theater memang berada di dekat komplek militer, jadi memang memungkinkan kalau bangunan dan usaha itu memang milik mereka sebelumnya.

Apakah bioskop masih diperlukan di Banda Aceh? wallahu’a’lam. Dilihat dari sisi pengembangan kota dan kebutuhan modern masyarakat sebuah bioskop adalah keniscayaan. Apalagi belakangan ini masyarakat Aceh jelas terlihat kekurangan hiburan. Pusat-pusat hiburan dikunjungi banyak orang dan jauh melebihi kapasitasnya. Namun dilihat dari mudharatnya, terutama berkaitan dengan penerapan syariat Islam, menghadirkan bioskop mungkin perlu sebuah kajian mendalam lagi, baik dari film yang diputar, setting tempat duduk di dalam ruangan dan lain sebagainya. Saya sangat yakin, semangat Islam tidak menghalangi keinginan masyarakat untuk mendapatkan hiburan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar