Rabu, 26 Januari 2011

USIA 18 / 1980


 
Pertemuan Edo (Dyan Hasri) dan Ipah (Yessy Gusman) di sebuah kampus perguruan seni berlanjut dengan keduanya saling jatuh cinta. Hubungan mereka tampak begitu murni hingga seolah tidak berjarak, meskipun ayah Ipah (Zainal Abidin) tak menyukai hubungan Edo dan Ipah.

Ayah Edo yang bekerja di dinas kereta api, meninggal karena kecelakaan. Sebagai anak tertua Edo terpanggil untuk membantu nafkah keluarga dan bekerja di dinas kereta api di kota lain. Oleh karena itu Edo meninggalkan kuliah dan Ipah. Namun masing-masing berusaha untuk saling setia.
  
Setelah sukses dengan November 1828, Teguh mencari bentuk lain dari perjuangan di alam kemerdekaan. Problem generasi muda menjadi pilihan. Melalui Usia 18, Teguh, menampilkan bentuk lain dari perjuangan anak muda yang berjuang melawan tantangan masa puber yang penuh jebakan ke arah hidup yang buruk. Usia remaja adalah usia yang penuh tantangan. Sekali salah melangkah, masa depan akan hancur berantakan.

USIA 18 Saya hanya mengetengahkan persoalan yang 'biasa'. Memang, saya ingin mengatakan sesuatu. Tentang para remaja. Tapi dengan cara sederhana saja. -- Teguh Karya EDO (Diyan Hasri), 18 tahun, ditinggal mati ayahnya. Ia terpaksa berhenti kuliah dan bekerja di bagian mesin di bengkel kereta api -- pekerjaan yang sama dengan pekerjaan mendiang ayahnya. Sebab ia harus membantu ibu dan ketiga orang adiknya. Adalah Ipah (Yessy Gusman) -- gadis sebaya, pacar Edo -- yang menyebabkan si cowok tetap memiliki semangat. Untuk suatu ketika bisa kuliah lagi. Ayah Ipah (Zaenal Abidin, duda) adalah kawan ayah Edo. Sebagai orang mampu -- direktur sebuah biro perjalanan - ia ingin membantu Edo. Tapi entah bagaimana juntrungnya, tiba-tiba Edo digambarkan sangat tersinggung oleh uluran tangan itu. Rasa sakit hati -- yang tak jelas -- itu kemudian ternyata menjadi sebagian dari konflik yang ingin dikembangkan Teguh Karya, sutradara dan penulis skenario film Usia 18 itu. Karena itu, kurang meyakinkan. Di samping, pada dasarnya ceritanya tak memiliki konflik yang berarti yang bisa membangun situasi dramatik. Mudah dibayangkan, bagaimana jadinya sebuah cerita tanpa konflik. Tak usah disangsikan, Teguh Karya adalah sutradara yang sudah terbukti memiliki banyak kelebihan.

Kekurangannya agaknya hanya satu itu -- sebagaimana juga terlihat dalam filmnya terdahulu November 1828. Ia tak bisa menciptakan konflik dalam cerita bikinannya sendiri. Sehingga yang muncul hanya sekedar kerapian dan potret meyakinkan dari suatu ketrampilan kerja teknis saja. Apa yang ingin dikatakan Teguh lewat kedua remaja itu pun jadi kabur. Yang menonjol malah suasana percintaan bagai dalam mimpi pubertas. Indah, damai dan penuh kesetiaan. Sayang. Padahal, dalam film terbarunya ini, Teguh masih terlihat sanggup memberi pengarahan akting yang hidup pada para pemainnya. Sofia WD misalnya yang memainkan tokoh nenek dalam film ini cukup patut diperhitungkan untuk sebuah Citra.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar