Selasa, 17 November 2009

SOEMARDJONO (EDITOR FILM)



Beruntung masih sempat mengajar saya di IKJ, kesan pertama saya melihat sosoknya sangat tegas sekali, sisiplin dan enggak pernah tekat kalau kuliah. Ingat dia yang paling khas adalah kostum dia selalu putih-putih, juga mobil fiat kunonya juga warna putih. Dia akan marah sekali kalau ada mahasiswa yang tidak mendengarkan kuliah dia, dia akan menyuruh untuk keluar kelas saja. Kalau mengajar dia tidak perlu lagi buku, mungkin sudah rutinitasnya memberikan pelajaran teori film.

Yang paling terkesan dalam kuliah ketika saya menyodorkan film Natural Born killer Oliver Stone kepadanya saat kita membahas editing film dan teorinya. Dia tidak kaget, dan hanya bilang cukup kreatife. Setelah itu saya berikan lagi dengan sutradara yang sama dan editor yang sama juga DP yang sama, Heaven And earth, dan dia terkagum juga lihat film yang kontras itu dengan sebelumnya. Dia hanya bilang, ini lebih baik, dengan klalimatnya yang masih saya hafal, editing adalah menyusun dan merangkai shot demi shot sesuai skenario serta membentuk drmatiknya".

Dia lebih banyak menganalisa film dalam karirnya, dan itu muncul di buku-bukunya serta terjemahannya dari buku asing juga banyak sekali artikel dia di koran-koran saat itu.

Nama :Soemardjono Demang Wiryokusumo
Lahir :Suryotarunan, Yogyakarta, 31 Maret 1927
Wafat :28 Agustus 1998
Pendidikan :
SR Pamardi Putro di Yogyakarta (1941),
SLP darurat/perjuangan di Yogyakarta (1946),
SLA darurat/perjuangan di Yogyakarta (1948),
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1950-1953),
Sanggar Kino Drama Stiching Hiburan Mataram (1949-1950),
Latihan kerja di studio film PINEWOOD, London, Inggris (1954),
British Film Institute, Inggris (1954-1955)

Karier :
Pembantu Montir Mobil di Yogyakarta (1942-1943),
Penjaga Pintu sandiwara Mardi Wandowo (1943-1944),
Sekretaris Menteri Pertahanan, Jawatan V, Daerah Besar I dengan pangkat Letda ,Anggota ABRI sejak BKR-TNI (1945-1950),
Guru Taman Dewasa Klaten, Solo (1950-1951),
Kepala Bagian Editing NV Perfini (1952-1959),
Dosen Akademi Teater Nasional Indonesia,
Dosen Akademi Film Nasional Universitas Jayabaya,
Dosen Akademi Film dan Teater Universitas Sawerigading,
Kepala Biro Studio NV Perfini Jakarta (1959-1967),
Anggota Dewan Pembina Perfilman Nasional (1965),
Anggota Dewan Film Nasional (1969-1979),
Dekan Akademi Sinematografi LPKJ (1973-1979),
Anggota Dewan Kesenian Jakarta (1973-1979),
Dewan Penyantun Siaran Nasional (1975),
Ketua Senat Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1975-1977),
Wakil Ketua Dewan Film Nasional (1979-1982),

Sutradara, Editor, Penulis Komentar

Penghargaan :
Mendapat beasiswa Colombo Plan untuk belajar film di British Film Institute (1954-1955)
Pemenang FFI 1960 untuk Editing Terbaik dalam film Asmara Dara,,
Pemenang FF International di Phnom Penh, Vietnam, untuk film dokumenter Ngaben,
Pemenang FFI 1976 Piala Akademi Sinematografi untuk editing terbaik dalam film Laila Majnun,
Mendapat Hadiah Djamaludin Malik dari Dewan Film Nasional tahun 1986

Filmografi :
Terimalah Laguku (1952),
Kafedo (1953),
Krisis (1953),
Harimau Tjampa (1953),
Lewat Djam Malam (1954),
Tamu Agung (1955),
Tiga Dara (1956),
Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959),
Pedjoang (1960),
Toha Pahlawan Bandung Selatan (1964),
Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1962),
Anak-Anak Revolusi (1964),
Si Buta Dari Gua Hantu (1970),
The Big Village (1970),
Atheis (1974),
Janur Kuning (1979),
Inem Pelayan Seksi I (1977),
Inem Pelayan Seksi II (1977),
Usia 18 (1980),
Kartini (1982),
Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1982)




Prihatin memikirkan jodoh yang tak kunjung datang, suatu hari ia mampir ke rumah Mpek Wong Kam Fu. Untuk konsultasi. Jadinya malah sedih. Sang astrolog bilang, nasibmu memang buruk. Sebagai seorang berbintang Aries, simbol zodiaknya seekor bandot, terus-menerus menjadi korban. Menurut horoskop Cina, ia lahir pada tahun kelinci. Selalu menjadi makhluk percobaan.

Soemardjono Demang Wiryokusumo adalah anak bungsu dari 4 orang bersaudara. Setahun setelah lulus SR, ia mulai bekerja sebagai pembantu montir mobil. Tak kerasan, ia pindah menjadi penjaga pintu sandiwara keliling Mardi Wandowo. Darisinilah asal-muasal jenjang karir yang ditapakinya kemudian. Muncul sebagai pemain, pembantu penata artistik, editor, sutradara, ia terlibat dalam kurang lebih 100 film. Diantaranya : Enam Jam di Yogya, Lewat Jam Malam, Tiga Dara, Pejuang, dan masih banyak lagi, termasuk film dokumenter dan iklan.

Mulanya ia gemar melukis, kemudian mengarang cerita-cerita ketoprak. Mendapat hadiah FFI tahun 1960 untuk editing terbaik dalam film Asmara Dara, sepuluh tahun kemudian ia memenangkan hadiah FF International di Phnom Penh, Vietnam, untuk film dokumenter Ngaben, sebagai sutradara, editor, penulis komentar. Piala Akademi Sinematografi diterimanya lewat FFI tahun 1976 di Bandung, untuk editing terbaik II dalam film Laila Majnun. Sempat uduk sebagai anggota MPR RI tahun 1977 mewakili Golkar.

Dinas ketentaraan ditinggalkannya pada tahun 1950. Pada tahun itu pula Perfini membuat film Long March di Yogya. Soemardjono memulai karir sebagai pembantu umum. Ikut dalam berbagai pertempuran di Jawa Tengah. Antara lain serangan umum 1 Maret 1949. Mengenang Usmar Ismail, tokoh yang sangat dikaguminya, ia ingat suatu hari. Ketika itu film sedang sepi, 1968. Ia datang menemui Usmar ke toko Serba Ada Sarinah. Membawa petis manis dari Yogya. Minta sepucuk surat rekomendasi. Agar petis dapat dijual di Sarinah. Usmar menulis surat, dengan mata berlinang. Usmar mengira nasib Djon sudah sedemikian parahnya, hingga perlu berjualan petis. Padahal petis itu buatan kakak ipar Djon di Yogya, yang berniat meluaskan usahanya ke Jakarta. Soemardjono sendiri saat itu sedang menangani film Tikungan Maut bersama Nya’ ’Abbas Akup.

Dirumahnya yang tenang di Condet,. Pada saat-saat senggang ia berolahraga lari santai dan memperbaiki mesin mobilnya sendiri. Ia sempat melontarkan gagasan mengenai wawasan Nusantara dalam perfilman nasional. Ia berharap pembuatan film tidak semata-mata terpusat di Jakarta, melainkan menyebar ke daerah-daerah.

NEWS
27 September 1986

Kasus Dice: dua jejak dari jalan, melacak pembunuh Dice
BEBERAPA mobil malam itu berdatangan dan berhenti, dalam waktu yang hampir bersamaan, di Jalan Dupa, Jakarta Selatan. Jalan yang panangnya tak sampai 500 meter, yang biasanya lengang dan sepi, itu jadi terasa ramai. Para penumpang mobil yang kemudian turun, terlihat menyebar.

Dengan cermat mereka mengamati Tempat Kejadian Perkara (TKP), tempat ditemukannya bekas peragawati dan foto model Dice Budimuljono 36, tewas tertembak dalam mobilnya, Senin malam dua pekan lalu. Prarekonstruksi. Itulah yang dilakukan Rabu malam pekan lalu itu. Terlihat antara lain Letkol Muzirman (Sesdit Serse Polda Metro Jakarta), Letkol Nugroho Jayusman (Kapolres Jakarta Selatan), Mayor Roni (Kapolsek Mampang), dan Letda Bereh (Ka Unit Serse Polsek Mampang). Para pejabat kepolisian ini memang antusias sekali untuk mengungkap misteri kematian Dice. "Kami yakin kasus ini akhirnya akan bisa terungkapkan," ujar sebuah sumber di kepolisian. Bisa dimengerti semangat para penegak hukum itu. Dice bukan cuma peragawati yang memenangkan berbagai kontes ratu, misalnya Ratu Kaca Mata dan Ratu Kebaya. Juga bukan hanya karena wanita yang pendiam tapi ramah itu laris sebagai model iklan -- misalnya iklan pembersih lantai Axi, Fuji Film, dan iklan Vitamin E. Lebih dari itu semua karena kemudian diketahui korban punya hubungan dengan sejumlah orang penting. Sampai Senin pekan ini, petugas memang kian banyak menemukan petunjuk hingga penyidikan menjadi lebih terarah. Dari prarekonstruksi di TKP, misalnya, bisa diperoleh dugaan yang lebih masuk akal tentang saat terjadinya pembunuhan dan bagaimana kira-kira penembakan itu dilakukan. Dice, seperti diketahui, ditemukan tewas dalam mobilnya, sedan Honda Accord B 1911 ZW warna putih. Ada lima luka tembak di tubuhnya sebelah kanan, masing-masing pada belakang telinga, leher, ketiak, dan dua lainnya di bagian punggung. Korban duduk di belakang kemudi, mengenakan gaun batik biru berdasar putih, bersandal hitam.

Kepalanya terkulai di tempat duduk kiri depan, tubuhnya di tempat duduk pengemudi. Darah mengalir dari luka di lehernya. Ibu dua anak berwajah ayu ini diketahui meninggalkan rumahnya di Jalan Guru Alip Duren Tiga, Jakarta Selatan, sekitar pukul 19.00, setelah menerima telepon dari seorang wanita. Ini mungkin sebuah telepon pancingan. Tak ada yang tahu pasti, ke mana sebenarnya malam itu Dice pergi. Kepada suaminya, Budimuljono, ia mengatakan akan pergi ke salonnya, Puri Citra Ayu, yang terletak di perumahan mewah Kalibata Indah. Tetapi kepada pembantunya, ia mengatakan akan menagih utang. Tiga jam kemudian, sekitar pukul 22.05, Honda Accord B 1911 ZW itu terlihat melaju masuk Jalan Dupa. Tapi tetap tak jelas, apakah mobil itu masuk dari arah kompleks perumahan Kalibata Indah, artinya dari arah selatan, ataukah dari utara, dari Jalan Kalibata. Mobil meluncur dengan kecepatan sedang. Tiba di pertigaan Jalan Mesjid, menurut beberapa saksi mata, mobil memperlambat jalannya, lalu berhenti agak melewati pertigaan. Bukan untuk parkir sebab mobil itu kemudian mundur, masuk ke Jalan Mesjid. Bemper belakang mobil, menurut prarekonstruksi itu, hampir menabrak tembok rumah yang terletak persis di pertigaan, yang bangunannya memang agak mepet ke jalan. Lantas, masih dengan kecepatan sedang, mobil berbalik ke arah semula, ke barat. Gerak ini, tampaknya bukan tanpa tujuan. Agaknya ini gerak menyelidik. Dengan berhenti di pertigaan itu, praktis yang di dalam mobil segera tahu situasi sepanjang Jalan tersebut, umpamanya ramai tidaknya. Nah, ketika dia yakin keadaan aman, yang di dalam mobil lalu menjalankan rencananya.

Mobil mundur, berbalik ke arah semula, dan setelah melewati pintu gerbang PT Dupa, mobil berhenti. Kabarnya ada yang melihat, ketika itu penumpangnya ada dua orang. Satu wanita, yang duduk di belakang kemudi, dan satunya pria yang duduk di sebelah kirinya. Kuat dugaan, tak lama setelah mobil dihentikan itulah si pembunuh melepaskan tembakan secara beruntun ke arah korban. Dari prarekonstruksi bisa diperkirakan bahwa tembakan pertama dan kedua adalah yang diarahkan ke bagian punggung. Sebuah sumber menyebutkan, tersangka kemungkinan memang duduk di kiri depan, yang mula-mula mungkin berlagak mengajak untuk bermesraan. Ketika itulah tembakan dilepaskan. Tembakan, agaknya, dilepas tanpa diduga oleh korban. Begitu tubuh korban miring ke kiri, tersangka mungkin sedikit beringsut dan kembali melepas tembakan yang mengenai bawah telinga kanan, leher, dan ketiak. Sebuah sumber menyebutkan, pistol yang digunakan kemungkinan besar jenis revolver kaliber 25. "Kalau kaliber 22, kelihatannya kok terlalu kecil. Sebaliknya, kalau kaliber 32 terlalu besar, dan akan mengakibatkan luka yang lebih meruyak," ujarnya. Dugaan tentang jenis revolver ini, karena tak ditemukannya selongsong peluru di TKP. Dan sumber ini sekaligus yakin, pistol kaliber 25 silinder yang dipakai si penembak, berasal dari jenis yang langka. Artinya, pistol jenis itu amat sedikit yang memilikinya, di Indonesia. Di dalam mobil hanya ditemukan sebuah proyektil peluru. Susah diduga jenis senjata hanya dari proyektilnya. Itu sebabnya, seperti ditulis TEMPO minggu lalu, ada pula yang menduga jenis pistol kaliber 22 yang dipakai. Tapi kaliber berapa pun yang dipakai, tampaknya senjata pembunuh itu bukan dari senjata organik ABRI. Usai melakukan eksekusi, si pelaku agaknya tak hendak berlama-lama dengan Dice yang sudah menjadi mayat. Maka, dia pun membuka pintu dan melangkah ke luar kendaraan.

Di saat itulah, menurut sumber TEMPO, secara tak sadar tersangka sedikit menempelkan tangan kanannya, yang ada bekas darah merah, ke bodi mobil. Dan bekas darah pun menempel, di pintu belakang kiri. Pelaku sangat mungkin lantas berjalan ke barat, ke arah pertigaan antara Jalan Dupa dan jalan menuju kompleks Kalibata Indah. Memang, bisa juga ia berjalan ke arah timur laut, menuju jalan besar, Jalan Kalibata. Di sini, pada malam hari sekalipun, cukup banyak kendaraan umum -- dari dan menuju ke Jalan Dewi Sartika -- yang bisa distop dan ditumpangi untuk menghilang. Masalahnya, untuk mencapai jalan dari timur ini, dari TKP agak jauh juga letaknya. Hingga, kemungkinan baginya untuk berpapasan dengan orang lain, yang kebetulan lewat, sangat besar. Hal itu, tentunya, harus dihindarkan, 'kan? Maka, lebih menguntungkan baginya bila ia berjalan ke arah barat, yang untuk sampai ke Jalan Kalibata lebih singkat, sekitar 200 meter. Dan siapa tahu, di mulut jalan itu memang sudah ada kendaraan yang datang menjemput? Teori bahwa tersangka berjalan menuju ke barat diperkuat dengan kesaksian Zaenal. Karyawan pabrik sepatu Bata ini malam itu memang bekerja lembur. Ia pulang dari tempatnya bekerja -- tak berapa jauh dari PT Dupa, hanya di seberang rel kereta api -- pada pukul 22.00.

Ia menyusur jalan menuju ke kompleks Kalibata Indah, dan kemudian membelok ke Jalan Dupa. Ketika itu jam menunjukkan sekitar pukul 22.05. Nah, di mulut Jalan Dupa itu, Zaenal mengaku berpapasan dengan seorang pria berjaket hitam dan berbaju putih. Pria tadi berjalan agak tergesa-gesa. Di belakang si pria tampak ada sebuah mobil diparkir di tepi jalan. Mesinnya masih hidup dan lampu sein kirinya menyala. Semula, Zaenal mengira penumpang mobil sedang pacaran, sebab di sepanjang jalan yang diapit tembok pagar PT Dupa dan kebun karet itu memang suka ada yang pacaran. Tapi, Zaenal tak melihat ada orang di dalam mobil. (Tentu, sebab tubuh korban memang sudah rebah ke kiri). Sebab itu, dia lantas menghubungi Muntako, koordinator Sapam PT Dupa. Muntako itulah, yang datang sekitar sepuluh menit kemudian, yang menyenter ke dalam mobil dan melihat ada wanita ayu tergolek tak bergerak di jok depan. Ketika itu pukul 22.15. Seperti Zaenal, Muntako malam itu juga keluar dari kantornya pada pukul 22.00. Oleh Zaenal, ia memang didatangi di rumahnya, yang terletak tak berapa jauh dari PT Dupa. "Saya sempat menyorotkan lampu batere ke kiri dan ke kanan jalan, begitu keluar pintu gerbang. Tidak ada apa-apa," katanya kepada TEMPO. Jadi, Honda Accord putih B 1911 WZ agaknya memang muncul di Jalan Dupa tak lama setelah Muntako meninggalkan kantornya. Sumber TEMPO memperkirakan, terjadinya penembakan antara pukul 22.00 dan 22.15. Dl sekitar waktu ini, Salas, seorang pencari beling yang tinggal di tepi rel kereta api, kabarnya, seperti mendengar suara tembakan, sedikitnya dua kali. Namun, ketika ia dimintai ketegasannya ia malah ragu sendiri, dan menyatakan jangan-jangan yang didengarnya adalah suara orang menutup pintu mobil. Kawasan itu memang sepi. Bila tak sedang ada kereta api lewat, atau mobil melaju, suara pintu mobil yang ditutup keras-keras bisa terdengar dari jarak lebih dari 50 meter. Petugas Satpam PT Dupa yang malam itu bertugas di rumah jaga di halaman pabrik mengaku tak mendengar bunyi apa-apa. Ini bisa dimaklumi, meski rumah jaga itu dekat pagar tembok halaman pabrik yang cukup tinggi, malam itu mesin pabrik bekerja. Dari luar pagarlah, kesunyian malam baru terasa benar.

Lalu, ke mana sajakah Dice sempat pergi sekeluar dari rumah sampai sekitar pukul 22.15 ketika ia ditemukan tewas dalam mobil? Ada waktu lebih dari tiga jam, sedangkan jarak rumah di Jalan Guru Alip dan kompleks Kalibata Indah hanya sekitar 2 km. Tidak terlalu mudah untuk memperkirakan, ke mana saja bekas foto model itu singgah. Tapi satu hal hampir pasti, bahwa yang ditemuinya tentunya teman dekat. Karena korban hanya mengenakan pakaian bersahaja. Sumber TEMPO memang memperkirakan, orang yang ditemui korban beberapa saat sebelum tewas, agaknya orang yang sudah dia kenal baik. Dan karenanya, dia tak merasa perlu berpakaian rapi, seperti biasa dilakukan bila ia pergi meninggalkan rumah. Menurut beberapa temannya, Dice memang senang berdandan, maklum bekas peragawati. Di siang hari sebelum kejadian, misalnya, Dice terlihat begitu rapi, tubuhnya bau wangi parfum saat ia muncul di salonnya. Dari salon, yang pengelolaannya diserahkan kepada adik bungsunya, Sri Rejeki, ia tak langsung pulang. Ia meminta sopirnya, Bang Rum, untuk mengantar ke tempat Bu Fatma di bilangan Tebet. Yang disebut terakhir ini seorang pedagang barang antik. Beberapa waktu sebelum itu, korban memesan, antara lain, dua buah guci porselen buatan Cekoslovakia, sebuah tempat lilin kristal, dan sebuah vas bunga dan sepasang asbak. Total nilainya Rp 1,880 juta. Barang-barang itu sudah dia bawa ke rumah, dan hari itu -- sesuai perjanjian -- Dice membayar sebagian. Menurut seorang anak Bu Fatma, Dice meneken cek senilai Rp 675 ribu. Pembayaran selebihnya akan di cicil lewat tiga kali pembayaran dan akan lunas pada Desember 1986 nanti.

Cek yang dikeluarkan Dice, adalah cek dari Bank Bumi Daya Cabang Kartika Chandra, bertanggal 6 September dengan nomor account 08519. Dice tampaknya memang menjadi nasabah di bank ini. Menurut sementara teman dekatnya, pembelian sejumlah barang antik oleh Dice itu dinilai agak aneh. Benar, Dice menggemari barang bagus dan barang antik. Dia juga menyenangi mobil bagus dan pakaian serta lipstik Yves Saint Laurent, parfum mahal, hingga banyak yang terkesan bahwa Dice mempunyai selera tinggi. Memang bukan yang termahal, tapi setidaknya tasnya setidaknya bermerk Gucci, parfum paling rendah Diva buatan Prancis, lalu sepatu yang biasa dipakainya adalah merk Peter Caiser yang terkenal itu. Konon, di bulan-bulan terakhir ini Dice sering mengeluh kesulitan keuangan. Itu sebabnya dia merencanakan menjual salonnya di Kalibata Indah, yang senilai Rp 250 juta, kepada seorang kenalannya bernama Wati. Salon ini, agaknya, dinilai kurang menguntungkan. Untuk gaji karyawannya saja sudah sekitar Rp 800 ribu per bulan. Sementara itu, pemasukan salon tersebut kurang memadai karena tak begitu laris. Ataukah di hari-hari terakhir itu Dice tiba-tiba memperoleh sejumlah uang hingga bisa membayar barang antik yang dipesannya? Entahlah. Yang jelas, sebuah mobil Honda Accord hijau miliknya belum lama ini ternyata juga sudah ditukar dengan Mercy putih yang tentunya lebih mahal. Sementara itu Bu Fatma, sampai Senin pekan ini belum menguangkan cek yang dibuat dan ditandatangani Dice, dengan bolpoin warna biru.

Bukan karena ia khawatir cek itu tak ada dananya, melainkan karena cek itu akan dijadikannya bukti bahwa barang-barang yang dibeli Dice belum lunas. "Waktu datang siang itu, wajah Dice kelihatan pucat," kata anak Bu Fatma kepada TEMPO. Dari situ, Dice ternyata juga masih belum ingin pulang. Ia menuju salon Ernalita di Jalan Semarang, Jakarta Pusat, milik kenalannya. Di sini ia mencuci muka. Dan tak lama, menurut sumber TEMPO, telepon berdering. Ketika diangkat, ternyata itu telepon untuk Dice. "Bapak 'kan tahu saya sedang cuci muka," begitu konon kata Dice dengan wajah yang menunjukkan ketidaksenangan. Tak jelas, siapa penelepon itu. Dari salon Dice langsung pulang ke rumah. Ketika itu, hari sudah agak sore juga. Dan siapa kira-kira pembunuh Dice? Sumber di kepolisian merasa optimistis bahwa perkara ini bakal bisa dipecahkan, tak lama lagi. "Petunjuk yang ada sudah betul-betul kuat. Tapi untuk melakukan penangkapan, kami jelas tak bisa gegabah. Diperlukan bukti yang cukup sebelum kami bisa bertindak lebih jauh," kata sumber ini. Menurut sumber TEMPO, motif pembunuhan tampaknya seperti yang sudah diduga sejak awal: masalah yang berkaitan dengan soal cinta dan pemerasan.

Sebut saja seseorang bernama Mr. X, yang sejak beberapa tahun terakhir dikabarkan punya hubungan dekat, bahkan sangat dekat, dengan korban. Dia ini seorang karyawan perusahaan swasta, berwajah ganteng, dan belakangan konon tak punya kerja tetap. Pria ini, kabarnya, cukup dekat juga dengan Budimuljono, suami korban. Dan Mr. X ini, kata sebuah sumber, agaknya tahu persis bahwa Dice punya affair dengan, setidaknya, seorang bekas pejabat yang kini menjadi pengusaha dan seorang pengusaha lainnya. "Kartu truf" ini lantas dimainkan oleh Mr. X. Singkat cerita, ia sering meminta ini-itu kepada Dice yang, karena takut, selalu saja diluluskan oleh yang bersangkutan. Konon, Dice pernah menjual gelang yang dipakainya dan uangnya diberikan kepada Mr. X, yang tinggal di Jakarta Selatan dan sudah punya anak istri. Bisa jadi, Mr. X inilah yang disebut-sebut oleh Dice sebagai orang yang meminjam Rp 10 juta kepadanya. Sebenarnya suami Dice tak setuju istrinya pinjam-meminjamkan uang. "Jangan utang, jangan piutang. Nanti malah ribut, bikin masalah," kata Budi sendiri kepada TEMPO mengulangi pesannya kepada istrinya. Namun, bila yang meminjam uang itu sembari mengancam, umpamanya, apa yang bisa Dice perbuat? Tapi mengapa Mr. X ini tiba-tiba punya pikiran untuk menghabisi Dice? Kata sumber TEMPO, ada kemungkinan ia berkomplot dengan salah seorang kerabat dekat Dice, yang diam-diam juga merasa tak senang. Sebab, mungkin saja Dice dianggap terlalu merajalela. Sejak suaminya menderita separuh tubuhnya lumpuh, karena diserang penyakit darak tinggi, Dicelah yang memegang kendali rumah tangga. Budi, kini 56, menurut catatan polisi, sendiri mengakui, sejak ia terserang kelumpuhan pada 1980 ia menyerahkan semua soal keuangan kepada istrinya, yang dikawini tahun 1970 lalu itu. Saat menjual rumah di Jalan Kediri, Jakarta Pusat, dan sebidang kebun, juga ketika merencanakan membuka salon di Kalibata Indah dua tahun lampau, semua Dice yang mengurus dan memutuskan.

Sementara itu, pihak keluarga ini juga langsung atau tidak langsung -- mengetahui bahwa Dice ada main di luaran. Petugas polisi yang sejak setahun lampau terus berjaga-jaga setiap malam di rumah di Jalan Guru Alip tahu persis, betapa Dice suka pulang larut malam. Polisi itu, dari Polsek Mampang, memang diminta oleh keluarga Dice untuk menjaga rumah yang, katanya, sering diincar maling. "Bukan sekali dua ia pulang diantar naik mobil, antara lain dengan sebuah Mercy putih," kata sebuah sumber. Mercy itu, katanya, mengantar sampai Jalan Duren Tiga. Artinya, tak persis di muka rumah Dice. Masih diperlukan jalan kaki sekitar 50 meter guna sampai ke rumah. Melihat keadaan yang begini, pihak keluarga bisa jadi setuju dengan rencana Mr. X untuk membuat perhitungan terhadap korban. Masing-masing, tentunya, dengan alasannya sendiri. Join, begitulah kira-kira. Memang, Mr. X dan pihak keluarga cukup dekat. Bukan berarti tak mungkin ada kemungkinan ketiga. Yakni Mr. X ternyata diorder oleh pihak lain, untuk membungkam korban karena sesuatu hal. Siapa tahu. Menurut sumber di kepolisian, melihat latar belakang Mr. X, ia tak akan sulit memperoleh pistol. Dulu, kata sumber, orang itu menjadi anggota sebuah gang di Bandung, yang cukup dikenal dan ditakuti. Ketika itulah ia berkenalan dengan korban. Ada petunjuk lain yang lebih bisa dijadikan dasar mencurigai Mr. X. Kata sumber TEMPO, istri Mr. X sempat datang melayat saat jenazah Dice akan dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir.

Tapi ia sendiri seolah-olah belum tahu bahwa Dice telah mati. Masa, sebagai suaminya dia sampai tak tahu istrinya ikut melayat? Kecuali, mungkin, Mr. X baru kembali dari luar kota atau luar negeri, dan baru mendengar kabar tentang penembakan di Jalan Dupa. Seberapa jauh kebenaran teori ini, masih perlu pembuktian, memang. Polisi pun tak mau gegabah bertindak, dan tak ingin sampai melakukan salah tangkap. Semua kemungkinan terus dilacak. Misalnya, seorang saksi penentu, kini terus dicari untuk dimintai keterangannya secara lebih terinci. Adalah seorang pria, yang di malam kejadian berada di seputar Jalan Dupa. Saksi ini, sebagaimana Zaenal karyawan pabrik sepatu Bata itu, kebetulan berpapasan dengan seorang pria yang tingkahnya mencurigakan. Dia malah sempat bertanya kepada pria tadi, yang dijawab dengan sangat gugup dan terburu-buru. Dialah yang diharapkan polisi menjadi kunci peristiwa ini. Akan halnya Budimuljono, suami yang kehilangan itu, kondisinya tampaknya memang payah. Ketika dimintai keterangan, Selasa pekan lalu, ia sering terlihat menopangkan kepalanya ke meja pemeriksa di Polsek Mampang. Dan ketika dipanggil untk kedua kalinya, ia tak bisa hadir dengan alasan kondisinya tak mengizinkan.

Dia malah menunjuk Jefferson, pengacara sekaligus kerabat dekatnya, untuk bertindak sebagai kuasa hukumnya. Tak seperti dsebutkan di koran-koran dan kepada TEMPO pekan lalu, pangkat terakhir Budi bukan letkol melainkan letnan muda CPN. Soemardjono, dosen di Institut Kesenian Jakarta, tokoh fim dan kini menjadi Ketua Kerasi Film Nasional (Kofina), menyatakan kenal Budi pada 194-an. Budi, katanya, berasal dari Kampung Ngampilan, Yogyakarta. Ayahnya seorang wartawan senior di surat kabar Kedaulatan Rakyat, yang biasa mengisi Pojok dengan nama samaran Semar. Pada 1947, Soemardjono bertemu lagi dengan Budi di Bumiayu, Jawa Tengah. Ketika itu ia sudah masuk dinas tentara di kesatuan yang disebut Field Preparanon (FP) dengan pangkat Sersan. Waktu itu pemuda yang akhirnya menjadi suami Dice ini bertugas sebagai juru telegraf. Pada 1950, Soemardjono mengundurkan diri dari dinas tentara dengan pangkat terakhir letnan dua, dan masuk bekerja di Perusahaan Film Nasional (Perfini). Ternyata, Budi sudah lebih dulu bekerja di situ. "Budi pandai bergaul dan ketika itu dialah orang Perfini yang paling makmur. Rumahnya di Jalan Garut, kemudian pindah ke Jalan Sukabumi Jakarta Pusat," Soemardjono mengenang. Pada 1962 setelah Soemardjono dan Budi sama-sama keluar dari Perfini, keduanya bertemu kembali. Soemardjono heran, melihat Budi berpakaian tentara dengan pangkat mayor AD. Padahal Budi sudah tak aktif sebagai serdadu. "Di depan saya dia lalu melepaskan semua tanda pangkatnya sambil tertawa-tawa," katanya.

Orang film yang lain, Misbach Yusa Biran, kini Kepala Sinematek, pusat dokumentasi perfilman nasional, di Jalan Rasuna Said, Jakarta, pernah mengenal Budi sebagai kepala administrasi studio di Perfini. Waktu itu, Budi adalah tangan kanan Usmar Ismail (almarhum), sutradara kenamaan, katanya. Sumber TEMPO yang lain mengatakan bahwa Budi dikenal sebagai "laris". Setelah cerai dengan istri pertamanya, Suprapti (menikah 1953, cerai 1959) dan dikaruniai satu anak wanita yang diberi nama Sekar Arum, yang biasanya dipanggil Nien. Budi pun sempat punya hubungan dengan para bintang film. Dan sekeluar dari Perfini, Budi bekerja pada Mayjen Hartawan -- Menteri (bukan dirjen, seperti disebutkan TEMPO minggu lalu) Bina Marga di zaman Orde Lama dulu. Ketika itu, tugasnya tak menentu. Adakalanya ia menjadi pengemudi, mengantar surat, atau membersihkan mobil. Budi kemudian lebih banyak berhubungan dengan Harimurti, adik Hartawan, yang banyak menggarap proyek pembangunan. "Budi itu kalau bekerja cermat, teliti, dan terencana," kata sebuah sumber.

Pada 1970, barulah Budi menikahi Dice. Dan pasangan ini dikaruniai dua anak: Indra Miranda (bukan Mira Madyamirana seperti tertulis di TEMPO pekan lalu), seorang remaja putri kini, dan Dino, adiknya. Akan halnya Dice, mssih keturunan bangsawan. Kakeknya pernah menjadi patih di Batavia, yakni Raden Demang Wirahadikusumah. Sedang buyutnya, Raden Aria Adipati Kanjeng Wiraadidedaha, adalah bupati di Sukapura, Tasikmalaya, Jawa Barat. Lalu menapa dia harus dibunuh? Siapa pula di balik peristiwa ini? Hari-hari ini langkah polisi tampaknya semakin menuju ke sasaran. Hasil prarekonstruksi pekan lalu memang membawa hasil. Setidaknya ada dua orang yang telah bersimpang jalan, bahkan bertegur sapa dengan orang yang dicurigai berurusan dengan mobil putih yang lampu sein kirinya berkedip-kedip, semua pintu terkunci kecuali pintu kiri depan. Dan, di dalamnya tergeletak seorang peragawati yang laris -- yang karena diduga punya hubungan dengan sejumlah orang yang dikenal masyarakat, kematiannya jadi menarik perhatian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar