Tampilkan postingan dengan label CHAERUL UMAM 1975-2009. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CHAERUL UMAM 1975-2009. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

BINTANG KEJORA / 1986

BINTANG KEJORA


Saat pertama sekali saya menonton film ini agak aneh, bingun dan menjengkelkan, tetapi di tengah film baru kita tahu apa semua itu. Ternyata film ini adalah membuat tokohnya berubah semua dengan hadirnya sang bintang kejora (El Manik) yang menyakinkan bisa mendatangkan hujan sesuai dengan pesanan. Pasti satu keluarga itu (keluarga Mang Udel) tidak percaya. Selain penampilan Kejora yang aneh dan tidak masuk akal membuat seluruh keluarga mencurigainya.


Ada yang membingungkan dari cerita ini, dari mana El Manik sebagai Bintang Kejora yang tidak kenal dengan siapa-siapa dikampung itu dia bisa berada di depan rumah Mang Udel. Seoral-olah tokoh itu datang dari langit dan jatuh di depan rumah Mang Udel, mungkin ini juga yang diharapkan Pak Mamang, tapi kenapa harus naik sepeda motor? Namnya juga cerita aneh, dan nanti kita akan tahu anehnya kenapa saat film itu di tengah.





Hanya Mang Udel sebagai kepala keluarga yang percaya pada Kejora, sedang keluarga yang lain tidak. Memang sudah lama desa ini tidak hujan, oleh karena itu Mang Udel ingin Kejora bisa mendatangkan Hujan. Karena sudah lamanya tidak hujan maka kekeringan di desa itu juga sama dengan kekeringan hati sebuah sebuah keluarga ini masing-masing. Tidak adanya hasrat hidup, tidak adanya cinta dalam diri mereka. Hujan adalah simbol dalam film ini yang membawa kecerahan hati dan suasana.


Pelan-pelan apa yang disuruh oleh Kejora harus dilakukan oleh semua keluarga agar hujan yang dipesan tercapai. Memang sedikit aneh apa yang disuruh kejora, tetapi dibalik itu ada sebuah pelajaran yang terjadi sehingga si Kakak yang perawan tua yang sudah tidak merawat lagi kecantikannya karena putus asa cinta tidak di temukannya, pelan-pelan berubah mulai dandan dan memiliki sifat wanitanya lagi, tidak tomboi lagi. Anik laki-laki mereka yang malas bekerja sudah mulai bekerja, sedang kaka kandung mereka yang dimainkan Ikra Negara yang pelit sekali atas bendahara rumah mulai lunak mengeluarkan uang untuk hal yang lainnya. Bagi dia yang tidak penting mengeluarkan uang adalah pemborosan, semuanya di hitung. Bahkan untuk beli bedak saja harus dihitung,...tapi lambat-laut berubah. Mang Udel yang awalnya orang percaya terhadap Kejora sebenarnya adalah tokoh yang sudah lama menginginkan adanya perubahan dalam keluarganya yang gersang ini. Begitu kejora datang semuanya berubah....karena itu ia dibilang bintang kejora.


Film ini diawali dari bingung awal menonton menit pertamanya, tetapi setelah kita tahu simbol dari karakter tokoh masing-masing itu, maka film ini sangat luar biasa sekali menurut saya. Syarat dengan symbol yang baik.


P.T. ARIYO SAKA NUSA FILM

RINI S. BONO
EL MANIK
NETTY HERAWATI
IKRANAGARA
MANG UDEL
AMI PRIJONO
PAUL POLII
MANG DIMANG
SJAEFUL ANWAR
RONNY M. TOHA
LINDA LEMAN
RONNY KARLINA

Synopsis


Film ini berkisah tentang keluarga PaK Rusdi (drs. Poernomo, aka Mang Udel, aka Pak Broto dalam Losmen), dan ketiga anaknya Dahlia (Rini S. Bonbon, eh Bono), Subrat (Ikranegara) dan Sopan (Roni M. Toha) di sebuah desa yang keliatannya sih di Jawa (keliatan dari bentuk rumahnya) ketika musim kemarau membuat keluarga itu mudah uring-uringan dan gampang jadi pemarah.

Karakter lainnya adalah seorang encim Neti Herawati (ini nama pemerannya) dengan cucu perempuannya yang masih cilik, (Sui Ha) dan seorang engkong Paul Poli’I (ini juga nama aslinya) beranak Ling Ling yang ditaksir sama si Sopan.

Pak Rusdi was-was karena Dahlia belum juga dapat jodoh. Ga ada lelaki yang mau sama dia karena penampilan dan sikap dia yang cenderung kasar dan kayak lelaki. Tapi Subrat seneng-seneng saja kakaknya ga dandan kayak si LingLing, sebab berarti ga ada pengeluaran buat bedak atau gincu. Sementara Sopan sama was-wasnya dengan pak Rusdi tapi buat alasan yang beda. Dia kebelet kawin sama Ling Ling tapi bapaknya ga ngijinin sebelum kak Dahlia bersuami.

Adegan dan dialognya asik, seru dan tanpa slapstick.Ami PrijonoTanpa sepengetahuan Dahlia, Pak Rusdi menyuruh anak-anaknya mengundang Mas Kendro (Ami Priyono), duda setengah baya yang penyuluh pertanian (cie.. penyuluhan ni yee.. serasa banget 80-annya!). Hihihi, dialog waktu membicarakannya lucu. Pak Rusdi menyuruh mengundang makan, tapi kalau ngundang makan, berarti makanannya harus istimewa. Ini yang ditentang Sobrat yang sangat strict dengan pengeluarannya. Akhirnya jalan tengah dari Sobrat adalah, mengundang mas Kendro ke rumah untuk bicara-bicara.

Acara mengundang den Kendro ternyata gak sukses. Si Mas Penyuluh itu sadar dia mau diumpankan sama perawan tua yang gak laku. Dia tolak mentah-mentah malahan sempet rada berantem sama Sopan yang merasa si Mas kendro berlaku tidak sopan.
  
Dahlia yang tahu bahwa dirinya mau dijodohin marah dan tersinggung. Bukan karena Mas Kendro duda, atau setengan baya. Tapi dia bilang pembantu2nya saja pada ga betah karena suka dicuekin. Ga pernah disuruh ini itu, ga pernah ditanya ini itu, pokoknya ga ada komunikasi. Pak Penyuluh sukanya ngobrol sama tanaman doang. Jadi kebayang dong terhinanya. Apalagi setelah tahu si Sopan matanya rada2 biru.

Pada saat rame-rame inilah muncul tokoh karakter yang menjadi judul film ini, Bintang Kejora.

Bintang Kejora ternyata pedagang keliling yang spesialis menjual hujan (nah lho). Promosinya, dia bisa menurunkan hujan dalam seminggu. Di tengah hiruk pikuk keluarga yang berantem itu dia muncul dengan kepribadian yang menarik, dan kemampuan menjualnya yang luar biasa. Sobrat yang tahu bahwa orang itu pun tak lebih sekedar penipu dibuat tak berdaya karena pak Rusdi ternyata memutuskan untuk meneken perjanjian sama si Bintang untuk menurunkan hujan. Nilainya untuk masa itu, di kampong pula lumayan besar. 50 rebu perak, (sedangkan harga karcis bioskop masih 250 perak dan sebotol sirup 150 perak).

Isi kontrak:

1. DP Rp. 25 ribu , sisanya dibayarkan seminggu pada saat hujan turun

2. Anak-anak pak Rusdi harus turut aktif dan melakukan kewajiban-kewajiban sbb:
* Dahlia harus menanam bunga di dalam rumah

* Sobrat membikin garis putih lurus sepanjang 200 m di halaman dan harus membuat sapi kesayangannya berjalan mundur

* Sopan harus membunyikan gendang, sebagai bagian dari ritual minta hujan.


Sementara pak Rusdi dan si Bintang malah bersantai-santai sambil ngupi-ngupi dan main catur Jawa.


Dulu aku merasa tokoh si Bintang itu kurang ajar banget. Datang tak diundang, ehh malah memporakporandakan tatanan yang sudah ada. Sementara Pak Rusdi juga bego saja mau dikadalin sama Bintang, dan berseberangan dengan anak-anaknya.

Belakangan barulah ketahuan bahwa begitu cara pak Rusdi meningkatkan kualiteit keluarganya. Dia sebenarnya tahu si BIntang itu ga bisa nurunin hujan, tapi keberadaan bintang dengan syarat-syarat konyolnya itu dilihatnya sebagai cara untuk mengganti pertengkaran dan menggantinya dengan senyuman.

Yup, Bintang membuat rumah itu ceriah, dengan musik, lagu dan bunga-bunga. Prasyarat yang dia bin buat anak-anak pak Rusdi adalah symbol. Sobrat dibuatnya mau berdendang, dengan hati riang, karena konon sapi mau ditarik buntunya biar jalan mundur kalau dinyanyiin dulu. Terus si Sopan, membunyikan gendangnya dengan hati senang dan irama dangdud, tidak lagi dengan perasaan seperti sebuah kewajiban. Sementara Dahlia? Dia menjadi bunga rumah itu, dengan tumbuhnya self-esteem bahwa dirinya cantik seperti yang dibilang si Kejora.










Harusnya film itu selesai disini. Tapi Asrul Sani punya ending yang yahud...

Sobrat tambah gondok, karena pengeluaran lipat banyak. Dahlia jadi doyan dandan, dan minta anggaran kebutuhannya ditambah satu untuk perawatan salon. Hari itu juga dia cabut ke kota mau dandan habis-habisan.

Sobrat pun berencana mengadukan Bintang ke pak lurah dengan tuduhan tidak punya ijin usaha. Juga mengadukan ke polisi dengan dakwaan wan prestasi kalau hujan yang dijanjikan seminggu itu tidak turun, Dia pun kembali menghubungi Mas Kendro agar mau datang ke rumah berkenalan dengan kakaknya. Sambutan Mas Kendro berubah drastis. Sobrat ga tahu bahwa sebelum dia datang, Mas Kendro melihat Dahlia yang baru turun dari bis keliatan ayu tenan setelah dangdan habis-habisan di salon.

Bintang bukannya ga tahu dia bakal diserang Sobrat. Sebelum hari Sabtu dia sudah menghubungi pak Lurah yang berseragam putih dengan epolet birokrat, dan minta surat ijin usaha dari beliau. Pak Lurah keberatan, karena belum ada peraturan yang dibikin buat penjual hujan. Paniklah doi. Dan dia pun kabur.

Hari Sabtu adalah puncak menuju ending film ini.

Engkong bapaknya LingLing datang dan marah-marah nuduh Sopan bikin anaknya kabur ke Jakarta pengen jadi artis. Neneknya Sui Ha membela dan mereka berantem pake bahasa Cina. Pak Rusdi yang ngedengerin santai saja ngomentarin agar mereka kawin. Sobrat kemudian datang dan nyari-nyari surat perjanjian yang mau digunakan buat menuntut BIntang ke polisi. Ternyata pak Rusdi sudahmerobek-robek surat perjanjian itu. Sobrat ngedumel dan bilang dia rugi 25 rebu buat DP. Tapi Dahlia yang sekarang cantik terus dan ga jutek lagi mengganti duit yang 25 rebu itu dan langsung dimasukin ke kantong baju.

Lagi seru-serunya ngumpul itulah.... Hujan turuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuun.....!



Semua senang, semua riang. Si engkong dan encim yang suka berantem itu menari-menari di bawah hujan. Dan kayaknya jadi deh bakal kawin. Bintang kemudian muncul juga dengan motor gedenya, dan berteriak..." Dahliaaaaa......" yang disambut dengan Dahlia yang berlari menerobos hujan dan langsung menclok di belakang. Motor pun melaju di tengah hujan sambil diiringi anak-anak yang berlari dan berteriak-teriak.

Oke, harusnya di sini tamat... tapi ternyata belum.

Mas Kendro yang diundang datang, muncul gagah dengan baju penganten tradisional lengkap dengan blangkon sambil membawa pot tanaman yang gede. Basah kuyup dia waktu bertanya", Ini ditaroh dimana?"

Si Sopan yang masih musuhan ketawa ngakak," Sudah telat.. rasain!"

Tinggallah Mas Kendro berdiri terpaku di tengah hujan masih memegang pot. Sesaat kemudian muncul tulisan :

SEKIAN





Film ini meski dah 20 tahun tapi isinya masih relevan. Salah satunya adalah waktu adegan Sopan dan Sobrat membicarakan Dahlia. Sopan bilang pingin Dahlia cepet dapat suami, karena si LingLing bilang kalau kelamaan ga dilamar juga, dia mau cabut ke Jakarta jadi bintang film. Dan dia ga janji bakal terus setia. Komentar Sobrat,
" Mana ada bintang film yang setia...."

Heheheh

Where Are They == cast of characterz"


* El Manik : masih tetep wara wiri di sinetron

* Rini S. Bonbon, eh Bono : putri aktor almarhum S. Bono dan adek aktres Debby Chintya Dewi ini ga pernah muncul lagi semenjak jadi nyonya Ricardo Gelael. Dan Ahmad Albar pun tetep menduda. Darah aktingnya nurun sama Fachri, anaknya.

* Ikranegara: di DC. Istrinya kan emang bule,

* Mang Udel : sudah almarhum

* Netty Herawati : sudah almarhum juga dari tahun 80an. Sering berpasangan suami istri dengan suamni benerannya (H. Darussalam). Pak Haji itu juga sudah meninggal dan pernah dapet piala Citra aktor pembantu dalam film Kodrat, arahan Slamet Rahardjo. Psstt.. film Kodrat ga kongruen sama sinetronnya. So jangan dibandingkan.

* Ami Priyono : aktor yang sutradara juga. Sudah meninggal. Kalau di sinetron dia jadi babenya si Sarah dalam si Doel Anak Sekolahan.

* Paul Poli’i : aselinya pelawak Srimulat. Sudah meninggal juga. Ciri khasnya adalah bila menyebutkan namanya... phooooll.., desahan bercampur abab. Reaksi lawan main, pasti menutup hidung atau muka karena ada muncratan

* Roni M. Thoha : kalau ga salah dulunya Teater Koma juga. Tapi dia lebih terkenal jadi ikon buat Matahari Department Store, sebagai Jhon Banting,. Lalu semenjak krismon, dia berubah jadi ikon sabun deterjen DAIA. Dandanannya sih tetep mirip. Badut2an dengan warna2 meriah.

NEWS
17 Januari 1987

Memang lucu, hujan di musim kemarau
.



BINTANG KEJORA Skenano: Asrul Sani, diilhami karya S. Nash Pemain: Rini S. Bono, Mang Udel, Ikranagara, El Manik Sutradara: Chaerul Umam MEMILIKI perawan tua, bagi sebuah keluarga di sebuah dusun di Jawa, memang masih jadi persoalan. Maka, Dahlia (Rini S. Bono) oleh ayah (Mang Udel) dan dua saudara lelakinya "ditawar-tawarkan". Umpamanya, ia dikirimkan ke kota, ke rumah salah satu famili ayahnya, agar, siapa tahu, ketemu jodoh. Tapi Dahlia pulang, masih dengan gaya jalannya yang perkasa. Dan yang membuat ayah dan kedua saudaranya prihatin, perawan tua itu masih sendiri juga. Setelah Kejarlah Daku Kau Kutangkap, sekali lagi seorang penulis skenario dan seorang sutradara bekerja sama menyuguhkan sebuah film komedi yang baik. Asrul Sani dan Chaerul Umam, dalam sejarah perfilman Indonesia setelah masa Usmar Ismail, boleh dicatat sebagai penyuguh film lucu yang bukan slapstick - bersama Nya' Abbas Akub.


 
Dan Chaerul, atau Mamang panggilan akrabnya tampaknya memang cocok buat film-film kocak. Ia, misalnya bisa mengubah Rini S. Bono menjadi iain. Bintang cantik itu dalam Bintang Kejora benar-benar tampil sebagai perawan desa yang telat menikah, yang mencari kompensasi sebagai penyelenggara rumah tangga yang perkasa. Dahlia-lah yang mencari kayu bakar sekaligus memikulnya pulang, yang memasak, yang tak ragu mengangkat kopor dan meletakkannya di pundaknya lalu, dengan ringan, membawanya pergi. Dan jalannya itu, yah, sama sekali tak mengesankan sebagai perempuan: seluruh tubuhnya ikut bergerak beserta langkah kakinya. Lalu ada Mang Udel, seorang ayah yang siang malam mencari akal agar gadis tuanya menemukan pasangan. Dan bila perintahnya tak dituruti oleh anak-anaknya, bapak ini segera ngambek. Ia ingin mati saja, dan menurutlah anak-anak itu. Anak kedua si bapak adalah Sobrat (Ikranagara), yang tak pernah tampak tersenyum. Ia berperan menjadi kasir keluarga, yang sangat disiplin dalam mengeluarkan uang. Karena keketatannya itulah, katanya, keluarga ini tidak jatuh miskin. Lalu anak ketiga, Sopyan, yang lagi mabuk kepayang dengan Ling-ling, anak tetangga. Sialnya, ia tak mungkin melamar Ling-ling, bila Dahlia belum menikah, karena begitulah amanat bapak mereka. Sementara itu, datang ancaman dari Ling-ling, bila tak cepat dilamar, ia akan menjadi bintang film, dan tak ada jaminan baginya lagi untuk tetap setia. Ditambah dengan seorang pengelana bernama Bintang Kejora (El Manik) yang kadang menjadi pengamen, kadang jual obat, kisah pun berlangsung di sebuah dusun yang lagi dilanda kemarau. 

Film ini dibuka dengan tangkas. Penggambaran siapa Bintang Kejora sangat menarik. Satu saat ia digambarkan jual obat, lalu menjadi pengamen. Tampangnya Jagoan, tapi ternyata hatinya kecut.

Ia tak berani melawan ketika sopir truk yang dilemparinya dengan batu minta ganti rugi, padahal truk itu cacat pun tidak. Maka, sampailah si Bintang dengan sepeda motornya ke dusun Dahlia. Awalnya mau mengamen, entah bagaimana meluncur begitu saja dari mulutnya, bahwa ia sebenarnya bisa mendatangkan hujan di dusun kemarau itu. Dan ayah Dahlia sangat berminat, meski perjanjiannya sungguh muskil. Hujan bisa datang bila keluarga itu melakukan hal-hal ini: menarik ekor sapi hingga sapi itu berjalan mundur, Sopyan harus memukul gendang terus-menerus di halaman, dan Dahlia diminta menanam bunga di dalam rumah. Bayangkan hati si Sobrat, bila untuk uang Rp 250 yang digunakan Sopyan membeli es diributkan, kini ia harus membayar si Pawang Hujan Rp 25.000 - dan itu baru uang muka. Sebagian besar adegan berkisar sekitar rumah. Memang profil keluarga inilah yang jadi pokok cerita. Tapi lain dari Kejarlah Daku, yang dengan kaya melukiskan suka duka pasangan muda secara karikatural. Bintang Kejora terasa tak begitu mendalami masalahnya. 

Dahlia, yang menanggung usia, tak begitu meyakinkan. Dialog-dialog dalam keluarga ini - ketika Dahlia pulang dari kota, ketika adegan menunggu makan bersama seorang undangan - memang tersaji dengan bagus. Cuma bagaimana sebenarnya hati Dahlia menghadapi itu semua, terasa kurang jelas. Boleh jadi Rini S. Bono kurang tuntas bermain.

Tapi bisa pula karena skenano memang menjanjikan yang pas-pasan saja. Yang kemudian berkesan sampai film habis justru Sobrat, yang memang diperankan sepenuh hati oleh Ikranagara. Permainan Sobrat-lah, terutama, yang membuat film ini enak ditonton. Kurang jelas seberapa jauh adaptasi telah dilakukan Asrul Sani terhadap naskah sandiwara Richard Nash, (The Rainmaker) pengarang Amerika itu. Saduran sandiwara ini sendiri di Indonesia cukup dikenal. Awal 1960-an Wahyu Sihombing pernah mementaskannya, dan beberapa grup teater remaja juga pernah membawakan Pawang Hujan. Hollywood pun pernah memfilmkannya, 1956. Dan dalam The Rainmaker itu Katherine Hepburn, pemeran utama wanita, masuk nominasi (meski tak sampai menang) Oscar. Yang jelas, di tangan Chaerul Umam, skenario Asrul memang jadi hiburan segar, beberapa adegannya cukup mengesankan. Jual jamunya si pengelana itu, misalnya, atau adegan Sobrat dan Sopyan membujuk penyuluh pertanian untuk makan ke rumah dan berkenalan dengan kakak mereka. Memang, dalam beberapa hal, dialog-dialog masih terasa sebagai dialog panggung. Tapi, di luar itu, silakan ketawa. Bambang Bujono

FATAHILLAH / 1996

FATAHILLAH



Anda boleh menyebutnya film religi. Tapi tak salah juga mengatakan ini film perang. Fatahillah adalah seorang ulama sekaligus panglima yang berperang melawan Portugis. Hasilnya tak mengecewakan. Saya ingat, bioskop penuh wanita berjilbab saat film ini hadir. Padahal saat itu bioskop kita dipenuhi film esek-esek-nya Sally Marcellina dkk.

Sangat setuju kalau Pak Mamang (Chairul Umam, biasa disebut), tengah bingung membuat film ini, antara Pahlawan, Agama, etnis China di Batavia yang perlu diangkat juga untuk menunjukan bahwa banyak juga etnis China yang melakukan perjuangan. Saya ingat sekali, film ini dibuat atas dana pemerintah untuk mendanai film-film yang bermutu, sebelumnya banyak film yang tidak bermutu Horor murahan dan sex murahan juga (sampai tahun berapa pun ini akan terus muncul, hilang dan muncul lagi,....dan hati-hati, itu namanya tandanya film akan mati suri lagi kalau penonton sudah meninggalkan film Nasional seperti tahun-tahun dulu lagi).

Tetapi sayang, mungkin karena dana pemerintah yang saat itu tergolong tinggi sekali untuk sebuah film, bahkan menjadi bincangan orang film juga, karena merasa dana besar itu tidak jatuh ke mereka,...hahhah....tapi film ini terlalu banyak yang ingin disampaikan sehingga, terus terang...membosankan. Apalagi tidak ada yang banyak tahu di masyarakat siapa itu Fatahilla. Kalau Diponegoro anak SD sangat hafal sekali, tapi tidak dengan tokoh yang satu ini. Karena itu Pak Mamang mengangkatnya, karena dana pemerintah dan DKI juga mendukung makanya pahlawannya harus dari Jakarta. Selama ini kurang banyak dikenal pahlawan dari kalangan Betawi atau Jakarta, paling juga tokoh legenda si Pitung. Apa ia benar ada atau tidak/hanya hayalan saja, tidak ada yang tahu. Makanya tokoh fatahilla ini lah yang diangkat. Banyak orang yang tidak tahu saat itu, mereka kita Fatahilla adalah gedung tua yang ada di kota itu/ atau film mengenai itu. Ternyata bukan.





Set yang paling mahal dan dibicarakan banyak orang film adalah pertempuran di kapal. Tetapi tidak sedasyat yang dibayangkan orang saat itu yang sering menonton film Hollywood. Jadi sehingga tampak biasa saja, atau malah terlihat cemen (Kt anak muda).

Cerita kurang mendukung sama sekali sebagai film perjuangan, karena mau fatahilla kalah atau menang, tidak ada yang peduli, penonton kurang familier sama tokoh ini, dan cerita kurang memperkenalkan tokoh ini secara khusus dalam adegan yang bisa membuat penonton simpatik.

Synopsis
Kecewa melihat negerinya, Pasai dihancurkan Portugis, Fadhillah Khan, kemudian dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan (Igo Ilham), selesai menuntut ilmu di Mekah, lalu bergabung dengan Sultan Trenggono (Abdi Wiyono) yang memerintah Kesultanan Demak, ia mendapat posisi terhormat sebagai ulama, bahkan lalu menikah dengan adik Sultan, Ratu Pembayun (Linda Jatmika) dan Ratu Ayu (Yuni Sulistyawati), janda Adipati Unus yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis di perairan Malaka.

Portugis yang makin merajalela, ingin mendirikan benteng di Sunda Kelapa lewat persekutuaanya dengan Raja Pajajaran, Kesultanan Demak terpanggil melakukan perang terhadap Portugis. Fatahillah terpilih sebagai panglima perang. Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan digandi nama menjadi Jayakarta yang kemudian menjadi Jakarta.

Fatahillah menceritakan tentang tokoh ulama yang berjuang mengusir Portugis dan kemudian mendirikan Jayakarta atau Kota Jakarta sekarang. Proyek ini pernah disebut menghabiskan lebih dari anggaran sebesar antara Rp 3 - 4 miliar.
 SINEMA ABAD DUASATU

IGO ILHAM
LINDA DJATMIKA
ABDI WIYONO
AMAK BALJUN
ASPAR PATURUSI



NEWS
Fatahillah: Kebangkitan Film Nasional?

Salim Said

Ke Cirebon, biasanya orang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Tapi akhir-akhir ini di Cirebon, untuk sementara, muncul objek ziarah baru: Imam Tontowi dan Chairul Umam. Dua nama yang baru saya disebutkan ini bukanlah nama wali, melainkan nama sutradara film pemenang Citra. Imam dan Tontowi berada di Cirebon beberapa bulan terakhir ini untuk menggarap film Fatahillah , yang diproduksi dengan biaya yang berasal dari Pemerintah DKI Jakarta.
Fatahillah adalah film tentang ulama dan pahlawan perang yang mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mendirikan Kota Jayakarta yang kini dikenal sebagai Jakarta. Karena berhubungan dengan sejarah Jakarta itulah tentu maka Gubernur Soerjadi Soedirdja bersedia mengucurkan dana hampir tiga miliar rupiah untuk membuat film kolossal tersebut. Gubernur Suryadi sadar bahwa dirinya bukanlah orang yang tahu banyak seluk-beluk perfilman. Karena itulah dimanfaatkannya pengetahuan, pengalaman, dan jaringan kerja H.M. Johan Tjasmadi, pimpinan Gabungan Pemilik Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), yang juga Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).


Para penziarah yang datang menengok kerja Imam Tontowi dan Chairul Umam terdiri dari macam-macam orang, mulai dari anggota kabinet, kiai, pengurus mesjid, wartawan, turis lokal, sampai para pedagang film. Masing-masing tentu dengan minat dan harapan yang berbeda-beda. Para pejabat pemerintah berharap film ini bisa mengangkat citra film nasional yang terpuruk sejak 1991, sehingga sejumlah produksi merosot dengan mutu yang fantatis melorotnya; para kiai dan pengurus mesjid berharap film ini bisa jadi media yang meningkatkan syiar Islam, para wartawan berharap film ini bisa bermutu agar ada film Indonesia yang dapat diulas di media masing-masing; dan para pedagang film berharap agar film ini bisa menjadi lokomotif yang sanggup menarik perfilman Indonesia dari jurang keterbelakangannya secara kuantitatif, kualitatif, maupun komersial. Walhasil, para penziarah film ke Cirebon berharap banyak dari "wali" Chairul Umam dan Imam Tontowi.
Melihat cara persiapan, cara kerja, besarnya dana yang tersedia, serta hasil kerja masa lalu Chairul Umam dan Imam Tontowi, rasanya kita tidak perlu mencemaskan mutu film itu nanti. Yang tampaknya harus dibicarakan adalah, bisakah Fatahillah menjadi juru selamat film Indonesia. Untuk itu, marilah kita letakkan masalah film dan perfilman Indonesia dalam perspektif sejarahnya.
Setelah terpuruk di masa Orde Lama oleh himpitan politik yang merangsek ke mana-mana dan beban inflasi yang tak terpikulkan, pada awal Orde Baru film nasional, oleh bantuan pemerintah, mulai bangkit kembali. Mula-mula sambutan publik sangat antusias. Selain karena film Indonesia tampil dengan warna-warni, juga kisahnya tidak asal jadi. 

Ini adalah zaman ketika masyarakat disuguhi film-film Pengantin Remaja, Nyi Ronggeng, Mat Dower, Big Village, Bernapas dalam Lumpur, Bunga-bungan Berguguran , dan beberapa lagi lainnya. Karena mendapat sambutan publik, tentu saja film-film ini menghasilkan uang banyak. Melihat uang banyak inilah maka dunia film diserbu oleh macam-macam manusia yang mencoba mengadu untung. Hasilnya adalah film-film buruk yang berangsur menghilangkan kepercayaan orang banyak kepada film nasional.
Dalam masa Orde Baru ini, paling sedikit ada tiga Menteri Penerangan telah berusaha menolong perfilman nasional lewat berbagai kebijakan dan proteksi. Tak cukup dengan itu, maka pada suatu hari di tahun tujuh puluhan dilibatkan pula Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Semua kebaikan hati pemerintah ini ternyata tak banyak menolong perfilman nasional. Mengapa?
Saya kira ada dua soal yang menyebabkan nasib film dan perfilman Indonesia masih belum beruntung. Pertama , sasaran bantuan itu kurang pada titik strategis. Kedua , dunia film Indonesia tidak mempunyai dinamika untuk mempertahankan altitude yang dicapainya setelah mendapat bantuan pemerintah.
Strategi bantuan pemerintah selama ini ditujukan terutama pada pembuatan dan peningkatan jumlah film. Padahal, sasaran tersebut sebenarnya adalah bagian ekor dari masalah perfilman di Indonesia. 

Persoalan paling serius yang dihadapi perfilman Indonesia adalah --secara berurutan-- masalah langkanya sumber daya manusia (SDM), tak tersedianya modal dan peralatan yang up to date, dan apresiasi masyarakat yang rendah terhadap film-film Indonesia.
Akibat tidak tersedianya SDM, maka lahirlah film-film asal jadi dengan mutu buruk. Film-film seperti inilah yang menyebabkan penonton menjauhi film Indonesia. Film seperti ini juga yang merusak kepercayaan penonton terhadap film-film Indonesia, sehingga satu dua film yang baik --memenangkan Citra pada FFI-- akhirnya juga tidak mendapat penonton.
Karena modal tak tersedia, maka para pedagang yang tidak tahu watak bisnis film, dan cuma ingin cepat meraup keuntungan, berlomba merubung dunia industri film. Produser atau pemilik modal seperti inilah yang tidak punya halangan memanfaatkan SDM yang bermutu rendah, antara lain karena bayarannya juga murah. Keadaan ini diperburuk oleh kurangnya peralatan yang up to date, ketika dunia film internasional sudah begitu canggih. Hasilnya adalah film-film Indonesia yang berselera rendah dengan teknik yang amat ketinggalan zaman.
Apresiasi masyarakat terhadap film belum pernah mendapat perhatian serius di negeri ini. Di sekolah kita dahulu, dan di sekolah anak-anak kita sekarang, ada pelajaran menari, menggambar, menyanyi, main drama, dan membaca puisi. Sementara seni yang sangat dekat kepada kita, dan besar pengaruhnya kepada pertumbuhan anak-anak, yakni film atau citra bergerak, sama sekali tak mendapat perhatian. 

Sejarah sastra Indonesia diajarkan, puisi Chairil Anwar dihafalkan, sandiwara Arifin C. Noer dimainkan, tapi nama Usmar Ismail, sejarah kebangkitan film Indonesia di tahun 1950 sama sekali tak digubris, dan nama beberapa film dan sutradara Indonesia yang mendapat penghargaan internasional sama sekali disepelekan. Maka tidaklah mengherankan kalau kita pada masa kecil suka nonton film Indonesia, tapi begitu kita sudah beranjak dewasa, ketika kita makin terdidik, kita meninggalkan film Indonesia untuk jadi penonton film-film Amerika.
Mengapa demikian? Ya, karena kita makin pintar dan selera kita makin baik, sementara film-film Indonesia tetap berkubang di situ-situ saja. Kalau ada beberapa film Indonesia yang bagus dari puluhan yang buruk, kita terlanjur kehilangan kepercayaan, karena kita memang tidak pernah diajak mengapresiasi film-film kita tersebut. Inilah penjelasan mengapa akhirnya film-film Indonesia terutama hanya menjadi tontonan kelas bawah saja. Mengingat daya beli kelas bawah yang rendah, maka lama-kelamaan industri film adalah industri rumah pinggiran yang magnitud -nya makin kecil dan, karena itu, kemampuannya meningkatkan mutu dan teknik juga makin mengecil saja.
Dengan produksi sejumlah 37 film pada 1996 dibandingkan dengan produksi sebesar 112 judul film pada tahun 1991, dan dengan mutu yang jauh melorot, apakah film Indonesia berangsur-angsur mati? Tergantung bagaimana melihatnya saja. Pada saat yang sama, perhatikan peningkatan luar biasa jumlah sinetron cerita yang diproduksi di Indonesia enam tahun terakhir ini.


Pada 1991 diproduksi hanya 233 judul, dan terus meningkat hingga mencapai 3.217 judul pada tahun silam. Kalau diketahui bahwa yang membuat sinetron itu adalah orang-orang yang dulu membuat film Indonesia, dan bahwa mutu sinetron kita sama saja dengan rata-rata mutu film Indonesia, maka tidak terlalu salah untuk menyimpulkan film Indonesia tetap hidup berkembang dengan kebiasaan lamanya. Cuma medianya kini bukan gedung bioskop, melainkan layar televisi.
Media layar televisi ini memanjakan pembuat dan produser tontonan citra bergerak tersebut. Ketika menggunakan media gedung bioskop, penonton harus aktif datang dan mengeluarkan biaya. Melewati media layar kaca, penonton cukup duduk pasif tanpa membeli tanda masuk, dan tidak membayar transportasi. Dalam hal terakhir ini mereka tidak akan menuntut banyak, sebab yang membayar tontonan itu adalah pemasang iklan. Dalam keadaan seperti ini tak banyak tuntutan kepada pembuat sinetron untuk memperbaiki mutu dan teknik tontonan produksi mereka. Maka ancaman satu-satunya bagi sinetron Indonesia adalah pasar bebas serta pelipatgandaan saluran televisi lewat satelit dengan tontonan mancanegara yang berkualitas dan berteknik tinggi.
Sekian tahun setelah rumah tangga kita dibanjiri sinetron melewati sejumlah saluran televisi domestik, kerinduan menonton film yang lebih berbobot dalam ruang gelap, sejuk tanpa gangguan tamu, telepon atau ketukan pintu secara mendadak, kini muncul kembali. Sejarah pertelevisian di Amerika Serikat telah membuktikan betapa televisi tak pernah berhasil menghabisi riwayat peranan gedung bioskop. Tapi sejarah film Amerika juga menunjukkan betapa survival film dicapai lewat sejumlah usaha penciptaan hal-hal yang sulit ditandingi oleh televisi. 

Dalam proses inilah munculnya nama-nama Stephen Spielberg, George Lucas, Francisco Ford Coppola, dan sejumlah nama anak muda yang merupakan SDM yang tak kunjung habis dalam terus memompakan roh baru pada Hollywood.
Sebagai salah seorang juri Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun silam, saya bisa mengerti dan merasakan kerinduan banyak orang untuk menyaksikan film-film Indonesia yang mengandung sesuatu tinimbang sejumlah sinetron yang kebanyakn kisahnya diperoleh dari film-film asing dengan teknik alakadarnya. Dalam rangka inilah kita sebaiknya melihat besarnya perhatian dan harapan kepada pembuatan film Fatahillah di Cirebon itu.
Apakah Fatahillah bisa menjadi lokomotif mempelopori kebangkitan film-film Indonesia? Dalam menjawab pertanyaan ini, haruslah disadari bahwa film Indonesia yang kita kenal sebagai tontonan kelas bawah sebenarnya tidaklah memerlukan kebangkitan sebab film-film demikian berjaya di seluruh saluran televisi kita sekarang. Maka, jika kita berbicara tentang kebangkitan film Indonesia, yang kita bicarakan adalah film-film yang dibuat dengan serius oleh SDM yang siap dengan modal yang cukup serta peralatan yang up to date. Sayangnya, saya belum melihat persiapan ke arah itu. Mudah-mudahan saya keliru, tapi saya melihat Fatahillah nanti masih akan berjalan tanpa pengiring.