10 April 2006
Rambut, kumis, cambang, dan jenggot Judy Soebroto telah memutih. Usianya kini 61 tahun. Ia masih memendam rasa kecewa yang dalam. Film garapannya, Nyoman dan Presi-den-, 17 tahun lalu dilarang hanya karena ia me-nolak mengganti judul film menjadi Nyoman dan Me-rah Putih. Sampai kini ia masih tak paham benar me-ngapa Departemen Penerangan saat itu alergi ter-hadap pemakaian kata "Presiden" sebagai judul film.
Potongan & Daftar film Seluloid dalam Laci Sensor
"Setiap zaman menuliskan kisah muramnya sendiri." (Spike Lee, sutradara Malcom X)Rambut, kumis, cambang, dan jenggot Judy Soebroto telah memutih. Usianya kini 61 tahun. Ia masih memendam rasa kecewa yang dalam. Film garapannya, Nyoman dan Presi-den-, 17 tahun lalu dilarang hanya karena ia me-nolak mengganti judul film menjadi Nyoman dan Me-rah Putih. Sampai kini ia masih tak paham benar me-ngapa Departemen Penerangan saat itu alergi ter-hadap pemakaian kata "Presiden" sebagai judul film.
Judy memperlihatkan setumpuk dokumen yang te-lah lusuh dimakan usia. Ia menunjukkan surat lolos sensor Badan Sensor Film pada 1989. Film itu telah dinyatakan lulus dengan judul Nyoman dan Presi-den. Dan menurut Judy, tak satu frame pun yang di-sensor dari film itu.
Sebuah surat panggilan dari Departemen Pene-rangan kemudian meruntuhkan harapan Judy yang ingin menyaksikan filmnya diputar di bioskop-bioskop. Judy diminta mengganti judul film dengan lima judul lain: Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, dan Nyoman dan Indonesia. "Saya menolak karena kalau judulnya diganti akan menghilangkan makna seluruh film," ucapnya kepada Tempo pekan lalu.
Ia mengungkapkan, tak ada sama sekali hal yang bisa dianggap membahayakan negara dari filmnya. Ia tak menghina presiden, juga tak mengkultuskannya. Filmnya hanya bertutur tentang seorang bocah Bali berusia 11 tahun yang terobsesi ingin bertemu Presiden. Kalau tetap memakai judul itu, ucap Judy mengutip pejabat Departemen Penerangan yang me-nemuinya, film itu bisa merongrong kewibawaan lem-baga kepresidenan.
Lantaran ia tetap menolak mengganti judul, -Nyo-man- dan Presiden dilarang beredar di bioskop -ko-mer-sial. Peraih Piala Citra FFI 1978 sebagai -penata artistik ter-baik dalam film Jakarta-Jakarta itu pun se-ketika bangkrut. Ongkos produksi sekitar Rp 700 ju-ta melayang. "Saya benar-benar jatuh miskin," ucap-nya.
Selain Judy, ada puluhan sineas lain yang ber-nasib apes karena film mereka dilarang. Dalam seja-rah film Indonesia, lebih dari 60 film yang dilarang di-putar di bioskop, tertahan bertahun-tahun di laci ba-dan -sensor, atau ditarik dari peredaran karena protes masya-ra-kat.
Ratusan film dari total produksi film Indonesia yang mencapai 2.438 film harus berurusan de-ngan Departemen Penerangan dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda)-ini lembaga pengawasan di daerah di bawah koordinasi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Orde Baru-sejak saat skenario ditulis hingga revisi judul film sebelum beredar, seperti pada kasus Nyoman. Film-film itu masih harus menghadapi kejamnya gunting Badan Sensor Film (sekarang Lembaga Sensor Film) dan keputusan Jaksa Agung yang sewaktu-waktu bisa membatalkan peredaran film.
Hantu sensor itu mengganggu para pekerja film sejak Bapak Perfilman Usmar Ismail memprotes sensor terhadap film The Long March dan Antara Bumi dan Langit dalam tulisannya di Star News pada 25 September 1954. Film Asrul Sani, Pagar Kawat Berduri, bahkan tak cuma disensor, tapi juga diganyang oleh Partai Komunis Indonesia. Film itu hanya bisa diselamatkan oleh Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.
Pemerintahan Orde Baru kemudian menggali l-ebih dalam "kuburan" bagi pelbagai film, dari mulai Romusha (1972) hingga Nyoman dan Presiden (1989). Di masa ini ada sekitar 50 film yang terganjal atau ter-tahan di meja sensor. Fenomena sensor ter-akhir -dia-lami oleh film Buruan Cium Gue (2005) yang -di-protes dai Abdullah Gymnastiar dan Majelis Ul-a-ma Indonesia.
Sebagaimana Judy, produser Romusha Ny. Julies Rofi'ie juga tekor modal lantaran pelarangan. Ia telah mengeluarkan uang Rp 150 juta untuk membuat film yang mendeskripsikan kekejaman Jepang terhadap pekerja paksa pribumi di zaman prakemerdekaan. Badan Sensor Film pun sudah mengeluarkan surat lulus sensor. Namun, saat Julies hendak mengambil empat copy film di badan itu, sebuah larangan jatuh dari "langit". Bukan dari Badan Sensor, melainkan langsung dari Istana Presiden. Julie dipanggil oleh Sudjono Humardhani. Menurut Julies, Asisten Pribadi Presiden Soeharto itu mengatakan, "Film buatanmu itu bisa merusak hubungan dengan Jepang."
Jenderal Angkatan Udara itu, kata Julies, kemudian menjanjikan pihak Jepang akan mengganti biaya produksi. Sang jenderal menyebut angka Rp 1 miliar. Julies pun kontan mengangguk-angguk. Namun, bertahun-tahun kemudian, meski Julies telah bolak-balik ke kantor dan ke rumah Humardhani, uang tak kunjung turun. "Bagaimana ini, Pak? Saya bisa gulung tikar," ucap Julies kepada sang jenderal. Pecah-nya peristiwa Malari dan kemudian wafatnya Humar-dhani di Tokyo pada 1986 segera memupus segala harapan Julies hingga kini.
Titah, bisikan atau celoteh pejabat yang ber-pe-ngaruh di zaman Orde Baru bisa menghentikan pe-r-edar-an sebuah film. Dengan cukup angkat telepon, i-mpian sineas bisa buyar seketika. Inilah sensor di atas sensor. Di atas Badan Sensor Film dan Departemen Pe-nerangan-Direktur Bina Film menjadi titik kekuasa-an absolut-masih ada lapisan sensor lain yang se-waktu-waktu bisa mengintervensi masalah estet-ika film. "Sensor tidak satu pintu. Pihak lain tak berhubungan dengan film bisa mempengaruhi," kata S.M. Ardan, kurator film.
Sikap pengawasan berlebihan itu, kata Ardan, menja-di ironis di kala pemerintah pada 1970-an meng-gen-carkan produksi film dengan memberikan suntikan- se-besar Rp 7,5 juta untuk setiap produksi film. P-ada kurun waktu 1970-1980 itu pun produksi melo-njak menjadi sekitar 604 judul film. "Produ-ser dibe-ri pin-jam-an tanpa bunga. Ramai-ramai buat film. Kasar-nya, tukang cabe pun bisa bikin film." kata Ardan.
Tapi Menteri Penerangan kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 224 Tahun 1977. Surat ini dianggap sebagai penyebab lesunya produksi film nasio-nal. Konsep "kultural edukatif" yang mesti dipunyai oleh sebuah film, sebagaimana diatur dalam surat itu, dianggap tak jelas. Definisi "kultural eduka-tif" pada akhirnya dimonopoli oleh tafsir sepihak Departemen Penerangan.
Sutradara Jasso Winarto, misalnya, menjadi ko-r-ban tafsir sepihak itu. Film Bandot Tua (1978) arahan-nya dilarang beredar hanya karena kata "Bandot" dinilai bermakna negatif. Film ini beredar setelah dipangkas habis dan berganti judul menjadi Cinta Biru. "Bandot menjadi film pertama dan terakhir saya," ujar Jasso yang kemudian banting setir mendirikan lembaga riset Sigma Research Institute, Jakarta.
Bukan cuma sekali itu Jasso kepentok. Dalam Wasdri (1977), skenario yang ia tulis dicorat-coret Direktur Bina Film Deppen. Izin produksi kemudian tak dikeluarkan. Alasannya, skenario Jasso bisa me-nyinggung pejabat Jaksa Agung. Wasdri diangkat dari kisah nyata buruh angkut di Pasar Senen. "Dalam cerita, Wasdri hanya dibayar jasanya Rp 10 oleh Ibu Jaksa, sete-ngah dari tarif biasa yang ia terima," kata Jasso.
Kasus Wasdri menjadi kasus besar setelah ratus-an seniman menandatangani petisi Melawan Pema-sungan Kreativitas. Para seniman juga mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tapi pemerintah kukuh melarang.
Beberapa judul film lain tertahan di laci Badan Sensor, seperti Saijah dan Adinda, Yang Muda yang Bercinta, Bung Kecil, Jurus Maut, Kuda-kuda Binal, Cinta Biru, dan Petualang-petualang. Film lain bahkan dicabut karena membuat heboh seperti Tiada Jalan Lain (1972) dengan produser Robby Tjahjadi-ia terlibat kasus penyelundupan mobil mewah masa itu-dan Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang mengeksploitasi seks.
Intervensi Deppen terhadap perubahan judul juga muncul dalam film Inem Pelayan Seksi yang semula berjudul Inem Babu Seksi. Max Havelaar ber-alih menjadi Saijah dan Adinda. Bahkan judul kom-edi Warkop, Kanan Kiri OK, adalah hasil perubahan dari Kiri Kanan OK. "Kalau kata 'Kiri' didulukan, kesannya PKI. Pokoknya asal omong," ujar Ardan geleng-geleng kepala.
Pengalaman Sophan Sophiaan lain lagi. Saat membuat film Tinggal Landas, yang diangkat dari novel Bondan Winarno, ia disarankan oleh Dirjen Radio Televisi dan Film waktu itu untuk menambahkan kata "Buat Kekasih". "Kata Tinggal Landas itu tak boleh dipakai karena Indonesia sedang berada dalam masa tinggal landas," kata pria asal Makassar itu seraya terbahak.
Di judul film Buah Hati Mama, karya Sophan selanjutnya, Deppen menyoal dialog seorang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan Hoegeng (mantan Kapolri). Dialog itu digunting habis. Kala itu, Hoegeng yang populer lewat acara Hawaiian Senior di TVRI dianggap sensitif di zaman Soeharto.
Penyair W.S. Rendra yang baru menghirup u-dara kebebasan "diincar" ketika main film bersama Yati Octavia dalam Yang Muda yang Bercinta. Karya sutradara Syuman Djaja itu tak boleh beredar di wi-layah hukum Kodam Jaya. Waktu itu -Kepala -Pe-nerangan Laksusda Jaya, Letkol Anas Malik, memberi keterangan, film itu mengakomodasi teori revo-lusi dan kontradiksi paham komunis yang di-larang di Indonesia.
Tak hanya menyangkut isi, judul film bisa berubah total. Ditambah, atau dibolak-balik. Apalagi, bila ada adegan yang menyinggung pejabat yang berkuasa, jangan diharap film tersebut bisa melenggang mulus ke layar bioskop.
Pengawasan serba ketat itu bagi insan film merupa-kan awal dari kemunduran film Indonesia masa depan. "Zaman dulu, film Indonesia sudah dibatasi kreativitasnya, makanya jadi jelek sampai sekarang," kata Sophan pesimistis.
Kini zaman berubah. Masa lalu, meminjam ucapan Spike Lee, "Mungkin telah menuliskan kisah muramnya sendiri." Di saat angin kebebasan berhembus, para sineas masa kini bisa menuangkan ide-ide mereka kepada publik. Dan publik dapat menerima-nya dengan bijak.
Yos Rizal S., Evieta Fadjar P., Kurie Suditomo, Nurdin Kalim
DILARANG DAN TAK PERNAH BEREDAR
Romusha (1972) Produksi Sri Agung Utama Film
Film sudah lolos sensor, tapi tidak beredar karena ditahan Departemen Penerangan, dengan alasan mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. Kedutaan Jepang sendiri tidak pernah resmi melakukan protes, tapi produser Ny Julies Rofi'ie mengaku bahwa pihak Jepang keberatan. Penyelesaiannya, produser minta ganti rugi atas seluruh biaya produksi film itu, tapi uang ganti rugi yang dijanjikan tak pernah ada.
Wasdri (1977) Produksi PT Bola Dunia Film
Film dilarang meski baru pada tahap penulisan skenario. Departemen Penerangan menilai film yang skenarionya ditulis Yasso Winarto dan disutradarai Nico Pelamonia itu bisa merongrong kewibawaan pemerintah, karena memojokkan pejabat-pejabat pemerintah. "Jika ditonton orang luar negeri," kata Sunaryo St. Direktur Bina Film Departemen Penerangan waktu itu, "mereka akan mendapat kesan negara kita ini bobrok."
Para Perintis Kemerdekaan (1977) Produksi PT Taty and Sons Jaya Film
Film ini dilarang memakai judul Di Bawah Lindungan Ka'bah dan diganti menjadi Para Perintis Kemerdekaan. Meski diambil dari cerita karangan Hamka, Ka'bah dinilai punya konotasi pada lambang Partai Persatuan Pembangunan. Apalagi pada 1977 sedang berlangsung Pemilu.
Bung Kecil (1978) Produksi PT Dipa Jaya Film
Film ini tertahan di Badan Sensor Film selama lima tahun, setelah ada pemotongan baru lulus sensor pada 1983. Tapi, menurut sutradara Sophan Sophiaan, film ini kemudian sama sekali tak pernah beredar di bioskop. Ia pun tak pernah menyaksikannya dalam format VHS.
Nyoman dan Presiden (1989) Produksi PT Jantera Sidha Dyatmika
Departemen Penerangan meminta judul film diganti, karena penampilan Presiden Soeharto di film itu terkesan hanya tempelan. Ini dikhawatirkan akan mengganggu kewibawaan lembaga kepresidenan. Departemen Penerangan menggantinya menjadi Nyoman dan Merah Putih. Judul pengganti ini justru ditolak aparat Korps Polisi Militer karena terkesan berbau PKI. Sutradara Judy Soebroto menolak pergantian judul. Film pun akhirnya dilarang diputar di bioskop-bioskop.
TERTAHAN DI MEJA SENSOR
Max Havelaar (1975)- Saijah dan Adinda Produksi PT Mondial Motion Picture, Fons Rademaker Productie BV
Film ditolak Badan Sensor Film pada 1 April 1977. PT Mondial Motion Pictures (Indonesia) dan Fons Rademaker BV (Belanda) diminta melakukan revisi. Revisi dilakukan, tapi Saijah dan Adinda baru lolos 10 tahun kemudian. Di luar negeri, film besutan sutradara Belanda Fons Rademaker itu justru menuai banyak penghargaan.
Bandot Tua (1977)- Cinta Biru Produksi PT Nusantara Film, PT Candi Dewi Film
Tertahan di Badan Sensor Film beberapa tahun, dua kali berganti judul. Dari Bandot Tua, judul yang dipakai dalam surat izin produksi, lalu berubah jadi Bandot. Departemen Penerangan berkeberatan dengan kata "bandot" apalagi bertutur tentang seorang jenderal yang berselingkuh. Film ini akhirnya lolos sensor setelah mengalami pemotongan dan hampir menghabiskan inti film.
Yang Muda Yang Bercinta (1977) Produksi Matari Artis Jaya Film
Meski sudah lolos sensor pada 15 April 1978 dengan potongan 18 menit, film ini dilarang beredar pada Mei 1978 dengan wilayah hukum Kodam Jaya karena dinilai ada propaganda, agitasi dan menghasut generasi muda. Cukup berlarut, pembicaraan pada tingkat Kopkamtib, pada September 1993 baru diputar di Jakarta dan mendapat Citra pada FFI 1978 untuk pemeran pembantu terbaik, Nani Widjaya.
Jurus Maut (1978) Produksi PT Sinabung Raya Film
Tertahan selama empat tahun, dengan alasan tidak jelas. Ada sumber lain menyebut karena kritik terhadap beberapa pejabat dan adegan kekerasan berlebihan, setelah produser protes dan dipotong beberapa adegan, baru lulus sensor.
Petualang Petualang (1978) Produksi PT Jaya Bersaudara Film, PT Internasional Aries Angkasa Film
Film ini tertahan di Badan Sensor selama enam tahun. Film berjudul asli Koruptor-Koruptor ini lolos setelah dipotong tak kurang dari 319 meter, atau sekitar 20 menit. Judul pun harus diganti. Upaya mematikan semua tokoh dalam adegan terakhir juga atas inisiatif Badan Sensor. Saking parahnya pemotongan, kata "Tamat" sampai harus diukir di atas seluloid dengan menggunakan paku. "Ceritanya kacau, editing kacau. Seperti film misbar," kata Jajang Pamuntjak, istri sutradara Arifin C. Noer.
DICABUT DARI PEREDARAN
Tiada Jalan Lain (1972) Produksi PT Tunggal Djaya Film dan Spoon Brothers Film Co Hongkong
Sempat membuat ricuh organisasi film Indonesia yang menarik kembali rekomendasinya. Dan sempat dilarang beredar di seluruh Indonesia oleh Jaksa Agung RI dengan alasan bisa merusak kepribadian Indonesia, karena banyak menonjolkan kemewahan.
Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) Produksi PT Soraya Intercine Film
Film yang menghebohkan karena banyak mengeksploitasi seks, setelah mendapat protes dari masyarakat, ditarik dari peredaran oleh BSF. Ketika disensor ulang pada 1994, masa tayangnya jadi 80 menit.