MAKASSAR
BIOSKOP DE ATER
Di kurun tahun 1950-an terdapat tiga belas bioskop yang cukup terkenal di Kota Makassar, yakni; Bioskop Capitol, Bioskop Alhambra, Bioskop City, Bioskop Cathy, Bioskop Empress, Bioskop Sirine, Bioskop Taman Gembira, Bioskop Murni, Bioskop Nam Seng, Bioskop Sin Kong, Bioskop Asmara, Bioskop Roxy, dan Bioskop Sempurna.
Jika di masa kolonial Hndia-Belanda kelas-kelas bioskop
tercipta akibat pengaruh ras antara orang Belanda dengan Bumi Putera (Inlander). Maka kelas-kelas bioskop di Kota Makassar pada dekade 1950-an tercipta akibat perbedaan ekonomi masyarakat.
Kemudian, era 1970-an pengkelasan bioskop di Kota Makassar (Kotamadya
Ujung Pandang saat itu) dipengaruhi oleh jenis film yang diputar,
sehingga muncul bioskop yang khusus memutar Film India, Film Barat, Film
Hongkong maupun Film Mandarin, serta Film Indonesia tentunya
Tahun 1977 pemerintah Kota Makassar (Kotamadya Ujung Pandang
saat itu) pernah mengeluarkan suatu regulasi penetapan golongan atau
kelas serta harga tanda masuk bagi bioskop yang berada di Makassar
(Ujung Pandang saat itu) melalui SK. No. 299/S.Kep/71/77 tertanggal 22
Nopember 1977. Pengklasifikasian atau penggolongan kelas bioskop di bagi
atas lima golongan. Pertama, golongan I/A atau golongan yang
paling utama. Bioskop yang masuk dalam golongan ini adalah Bioskop Artis
yang terletak di Jalan Gunung Lompobattang dengan harga tiket masuk
dibandrol Rp. 300 – RP. 1.000. Kedua, golongan I/B. Bioskop
yang masuk kategori ini ialah Bioskop Madya, Bioskop Istana, Bioskop
Dewi, Bioskop Benteng, Bioskop Ratu, Bioskop Anda, dan Bioskop
Arini—yang harga tiket masuknya berkisar antara Rp. 300 – Rp. 750. Ketiga, golongan
II/A. Bioskop yang masuk dalam golongan ini adalah Bioskop Jumpandang
dan Bioskop Mutiara dengan HTM (Harga Tiket Masuk) berkisar antara Rp.
200 – Rp. 500. Keempat, golongan II/B—dengan Bioskop Jaya dan
Bioskop Apollo, adapun harga tiket masuk berkisar Rp. 200 – Rp. 500. Dan
terakhir, golongan III yang meliputi Bioskop Surya, Bioskop Kolam
Renang, Bioskop Mesra, Bioskop Pelita, Bioskop R.K.M dan Bioskop Jalaria
dengan HTM berkisar antara Rp. 100 – Rp. 200
BIOSKOP BENTENG
BIOSKOP ARINI
Keseluruhan bioskop yang disebutkan di atas telah tiada dan tinggal
kenangan. Beberapa bangunan bioskop tersebut juga telah beralih fungsi,
semisal Bioskop Istana—dahulu namanya Empress Theater—yang terletak di
simpang Jalan Ranggong dan Jalan Sultan Hasanuddin kini telah menjadi
ruko. Demikian pula dengan Bioskop Capitol yang terletak di Jalan
Penghibur telah menjelma menjadi Zona Café
Bisokop kelas B, dengan fasilitas sedikit di bawah bioskop kelas A beranggotakan ARINI THEATRE (Jl. Rusa-sekarang gedungnya masih ada tapi sudah jadi showroom meubel), ARTIST (Jl. Gn. Lompobattang- sekarang lokasinya sudah jadi pusat pertokoan), MALL THEATRE (Jl. Cendrawasih-terakhir setahu saya bekas gedungnya masih ada, tapi sudah jadi puing-puing),bioskop ISTANA (Jl. Slt. Hasanuddin-bekasnya sekarang jadi deretan ruko). Terakhir ada bioskop PARAMOUNT dan DEWI yang sudah saya ceritakan sepintas di atas. Biasanya bioskop kelas B ini harga tiketnya antara Rp. 2500,- s/d Rp. 3000.
Kelas berikutnya, atau kelas C (tanpa AC yang memadai dan tanpa Dolby
Stereo dengan kursi dari rotan tapi masih cukup nyaman), beranggotakan
bioskop BENTENG (Jl. Penghibur-sekarang jadi Colors Pub), dan bioskop
MUTIARA (sekitaran Jl. Veteran-belakangan kualitasnya menurun dan jadi bisokop kelas D, terakhir satahu saya puingnya masih ada). HTM bioskop kelas C ini biasanya antara Rp. 1000 s/d Rp. 1500.
Kelas
terakhir, kelas D dengan fasilitas seadanya (hanya memakai kipas angin,
dengan kursi rotan yang sebagian kondisinya sudah rusak dan tanpa
peralatan stereo) beranggotakan bioskop JAYA (Jl. Gn.
Bulusaraung-sekarang sudah menjadi ruko) dan bioskop APOLLO (Jl. Gn.
Latimojong-bioskop ini bahkan sudah tidak saya kenali bekas-bekasnya).
Sementara
itu, bioskop MADYA yang sebenarnya adalah kelas B dan cinta pertama
saya pada bioskop justru telah lebih dulu tutup dan berubah jadi gedung
bank.
Saat
masih duduk di SMP itu bioskop sasaran kami adalah bioskop-bioskop
kelas C dan D yang harga tiketnya masih bisa kami jangkau dengan cara
menyunat uang jajan selama seminggu. Untuk keperluan itu kami harus
sering-sering mengikuti perjalanan film-film incaran kami lewat koran.
Dari sini kami jadi hapal jalur distribusi film-film menurut jenisnya.
Untuk film-film Hollywood kelas 1 pasti masuknya lewat MAKASSAR THEATRE
dan belakangan STUDIO 21. Setelah tayang selama
seminggu atau tergantung dari laku tidaknya film tersebut maka jalur
selanjutnya adalah ARINI, MALL THEATRE dan ARTIST. Lepas dari situ film
akan turun ke BENTENG dan terakhir ke APOLLO sebelum hilang dari
Makassar. Nah, waktu yang tepat untuk nonton film tersebut tergantung dari
kondisi keuangan, bila agak longgar maka nonton di bioskop kelas C
adalah kemewahan tersendiri bagi kami. Tapi lebih sering kami terpaksa
nonton di bioskop kelas D, yang penting filmnya jangan sampai lewat.
Karena masih ABG, biasanya yang jadi incaran adalah film-film yang full
action dengan bintang-bintang seperti Sylvester Stallone, Jean Claude
Van Damme, Steven Seagal, Brandon Lee,dll. Pokoknya asal ada
gebuk-gebukan atau tembak-tembakannya, soal kualitas cerita nomor sekian
lah…
Sementara
itu untuk distribusi film-film Hongkong, biasanya setelah dari MAKASSAR
THEATRE dan STUDIO 21, jatuhnya sama ke ARINI dan ARTIST, setelah itu
jatuh ke ISTANA dan terakhir ke MUTIARA. Jadi bioskop ISTANA dan MUTIARA
ini terkenal sebagai bioskop spesialis film-film Hongkong. Nah, khusus
bioskop DEWI, PARAMOUNT, dan JAYA yang tergabung dalam satu grup, mereka
memiliki spesialisasi dan jalur distribusi sendiri. PARAMOUNT biasanya
memutar film-film Hollywood kelas 2 (biasanya film-film yang asal action
dan semi bokep). Bila telah turun, film tersebut akan jatuh ke bioskop
JAYA, yang letaknya hampir berada di depannya. Pada waktu-waktu tertentu
PARAMOUNT juga akan memutar film-film Indonesia yang biasanya
didominasi oleh film milik Warkop DKI, film kolosal atau film bertema
hantu plus sedikit adegan hot yang tetap bertahan saat perfilman
Indonesia sedang sekarat. Sementara bioskop DEWI terkenal sebagai
spesialis film-film Bollywood sambil sesekali diselingi film-film
Indonesia, mirip bioskop RIVOLI di Jakarta. Ini tidak mengherankan
mengingat sang pemilik yang berdarah India dan jika ingin mendengarkan
lagu-lagu india, silakan anda nongkrong di lobby DEWI mulai jam 12 siang
sampai jam 10 malam, ditanggung kenyang lagu India….
Menonton
di bioskop-bioskop kelas C dan D ini membuat kami mendapatkan berbagai
pengalaman unik dan menarik, pengalaman yang tentunya tidak bisa
didapatkan dari pengalaman nonton di bioskop kelas B dan A. Ambil contoh
bioskop APOLLO, nonton di sini artinya anda harus berbagi tempat dengan
nyamuk atau kutu busuk.
Kursi-kursi
rotan dipasang berjejer dengan satu lorong di bagian tengah. Bila
biasanya di bioskop-bioskop kelas A anda mendapatkan kondisi kemiringan
yang nyaman,maka di APOLLO jangan harap anda akan menemukan kondisi yang
seperti itu. Kemiringan memang ada, tapi sangat landai hingga nyaris
tidak terasa, lantainya dibuat dari papan dengan kondisi yang rusak di
beberapa tempat. Pendingin ruangan menggunakan kipas angin yang
tergantung di langit-langit dan para penonton bebas untuk merokok,
terbayang kan pengapnya ?. Bagaimana dengan kursinya ?, sebenarnya lebih
tepat disebut bangku, karena memang terbuat dari kayu dan rotan,
silakan anda membayangkan bagaimana rasanya duduk di bangku rotan yang
kadang jalinan rotannya sudah rusak dan berisi kutu busuk. Bioskop ini
biasanya terkenal sebagai langganan para tukang becak karena harganya
yang murah meriah ini. Well, apapun itu sebagai anak-anak penggemar film
dengan kantong yang tipis, itu semua tentu tak ada artinya. Oya, ada
satu hal lagi yang unik. Biasanya di pertengahan film, atau pada saat
penggantian rol, ada waktu jeda selama kurang lebih 10-15 menit. Waktu
ini dimanfaatkan penonton untuk buang air kecil atau sekedar mencari
udara segar di luar.
Nah,
di bioskop JAYA ada hal yang unik lagi. Bioskop yang terkenal dengan
poster filmnya yang hot ini menjadi pilihan kami saat usia memasuki masa
remaja. Bioskop ini juga sering kami juluki “bioskop tunduk”, alasannya
karena bioskop ini terkenal sering memutar film ecek-ecek yang
tergambar dari posternya, jadi pada saat bubaran kami musti nunduk agar
tidak keliatan orang yang berlalu lalang karena posisi bioskop ini yang
pas berada di pinggiran jalan, malu kalau sampai ketahuan… Kondisi
bioskop ini tidak jauh beda dengan kondisi bioskop APOLLO, kecuali
keadaan bangkunya yang sedikit lebih nyaman. Istirahat “turun minum”
juga berlaku di sini. Film-film yang diputar adalah film-film Hollywood
kelas 2 yang saya yakin tidak akan anda temui di pagelaran Academy
Award. Biasanya lagi nih, dalam satu pemutaran film seringkali ada
potongan film-film semi porno (XX) yang diselipkan sepanjang kira-kira
3-5 menit, yang terjadi beberapa kali. Ini adalah momen favorit kami. Di
hari Minggu, ada pemutaran extra jam 10 pagi. Film yang diputar
biasanya film-film yang “tidak masuk akal”, semisal : “Sunan Kalijaga”
yang waktu itu pun sudah sering diputar di TV. Sepintas memang tidak
masuk akal bukan ?, tapi tunggu dulu…rupanya ada yang ekstra dari film
ini. Penyisipan adegan-adegan semii porno biasanya jadi lebih
sering..!!!. Tapi tidak jarang juga penonton tertipu, sudah bela-belain
beli karcis untuk film-film yang “tidak masuk akal” itu tapi selipan
tidak ada sama sekali, kacian deh Looo..(kami juga pernah jadi korban,
hehehe..).
Saat
mulai berseragam putih abu-abu perlahan-lahan kami mulai “naik kelas”
dengan lebih sering mengunjungi bioskop kelas B, sambil tetap sesekali
menengok bioskop JAYA (karena ekstra-nya tadi..). Sementara bioskop
APOLLO sudah mulai hilang dari daftar, paling sial nontonnya di bioskop
BENTENG. Kesempatan nonton di bioskop kelas A akhirnya datang juga,
kalau tidak salah ingat waktu itu saya habis dapat order bikin kartu
lebaran, dibayar Rp. 5000 plus 2 bungkus Dji Sam Soe. Karena sudah lama
bermimpi, akhirnya duit itu terpakai buat nonton di STUDIO 21 Jl. DR.
Sam Ratulangi, yang waktu itu masih baru. Filmnya ‘DEMOLITION MAN” punya
Sylvester Stallone dan Wesley Snipes. Wuihhh..senangnya luar biasa, seumur-umur baru kali itu kami nonton film dengan kualitas Dolby Stereo yang oke banget.
Booming
VCD-yang lebih praktis- yang mulai sekitar tahun 1995-1996 kemudian
menggeser keberadaan bioskop-bioskop tersebut, termasuk Laser Disc yang
hanya sempat bertahan sebentar menggantikan Video VHS dan Betamax. Bak
hukum rimba, hanya yang kuat yang kemudian mampu bertahan. Satu persatu
bioskop-bioskop tersebut tutup, sebagian besar berubah fungsi menjadi
pusat pertokoan namun beberapa diantaranya masih bisa kita lihat
sisanya. Yang bertahan kemudian hanya STUDIO 21 (yang pernah dianggap memonopoli dunia perbioskopan di tanah air) dan MAKASSAR THEATRE.
Bioskop
DEWI sendiri sebagai spesialis pemutar film-film Bollywood kemudian
ber-reinkarnasi menjadi bioskop REWA (letaknya satu gedung dengan REWA
busana Jl. S.Saddang kompleks Maricaya Plaza). Tapi ini pun tidak
bertahan lama. Sang pemilik yang juga terkenal sebagai pedagang kain
besar di Makassar kemudian membuka bioskop baru di dalam lokasi Mall
Ratu Indah, sekitar tahun 2002 dengan nama ZWE ZE. Ini juga tidak bisa
bertahan lama karena jenis film yang diputar tidak jauh dari kualitas
film yang dulu diputar PARAMOUNT, film Hollywood kelas 2. Sekarang bekas
bioskop ZWE ZE diambil alih STUDIO 21, sementara gedung bekas STUDIO 21
di Jl. DR.Sam Ratulangi masih ada namun suda dalam keadaan kosong.
Hari
ini masyarakat Makassar hanya mengenal 2 bioskop. MAKASSAR THEATRE dan
STUDIO 21 (di Mall Ratu Indah dan Mall Panakkukang). Rasanya sangat
mustahil untuk menghidupkan kembali almarhum bioskop-bioskop tersebut di
tengah “monopoli” sebagian pengusaha bioskop dan serbuan produk VCD dan
DVD (utamanya yang bajakan). Apapun itu, saya sangat ingin berterima
kasih kepada para pengusaha dan kru almarhum bioskop-bioskop tersebut
yang telah pernah menggoreskan memori indah dalam perjalanan hidup saya
dan teman-teman.
PALOPO
Masa-masa dekade 80 sampai awal 90an merupakan masa-masa keemasan bioskop tidak terkecuali di kota kecil bernama Palopo yang berjarak 300 KM dari Makassar. Saya masih ingat setiap pekan biasanya hari Jumat sebuah mobil berkeliling dalam kota dengan sebuah pengeras suara sedang promosi film yang akan di putar di malam minggu (sabtu malam). Tidak hanya pengeras suara, tapi pamplet dan sebuah gambar yang menggoda sengaja di ikutkan sebagai promosi film.
Bioskopnya Appollo Theathre di Jalan Diponegoro, waktu itu harga karcisnya lumayan murah hanya 1000 rupiah. Pulang dari bioskop, bapak saya sudah menunggu di depan rumah, rupanya dia barusan tiba dari Kendari, saya kena marah besar karena berkeliaran di siang bolong.
Di kota Palopo ada 4 bioskop yaitu Artana Theathre di samping Jalan
Belimbing, lalu bioskop Appollo di Jalan Diponegoro tidak jauh dari
Appollo ada bioskop Ampera, sekitar 100 Meter dari Ampera di Salubulo
ada bioskop Muda. Masing-masing bioskop punya ciri khas. Di Artana
theathre sering diputar film Mandarin atau film Barat harga karcisnya
juga mahal sekitar 1500-3000 rupiah. Seingat saya, saya hanya 2 kali
nonton di bioskop ini yang pertama karena di traktir teman yang kedua
karena habis dapat kiriman.Dibanding ketiga bioskop lainnya, bioskop
Artana termasuk baru dan yang terbaik waktu itu. Lalu di Apollo sering
di putar film lokal Indonesia (siang) dan kalau malam biasanya di putar
film barat, harga karcisnya 1000-3000 rupiah. Bioskop ini mudah dikenali
karena pas terletak di persimpangan dan terletak di ujung jalan.
Bioskop
idola saya kala itu adalah bioskop Ampera yang letaknya tidak jauh dari
Appollo. Harga karcisnya lumayan murah sekitar 500 rupiah (siang) dan
1000 (malam), film-film unggulannya kalau siang adalah film Indonesia
seperti Saur Sepuh, Si Gobang,Si Buta dari Gua Hantu dll. Kalau malam
diputar film India. Didalam bioskop panas dan kalau mau buang air kecil
harus ke keluar ke samping bioskop, sebagian besar penontonya anak ABG.
Kalau
film di Ampera tidak bagus biasanya saya dan adik lari ke bioskop Muda.
Di bioskop ini sering diputar film Mandarin dan barat, entah mengapa
bioskop ini sepi penonton. Dibanding bioskop Ampera dan Appollo, gedung
Bioskop Muda kelihatan lebih baik. Perkiraan saya bioskop Muda dulunya
bioskop terbesar dan teramai di kota Palopo. Sayangnya pengelola kala
itu kalah bersaing. Sering kali kalau nonton di bioskop Muda penontonnya
tidak lebih dari 20 penonton, benar-benar sepi sangat berbeda dengan
ketiga bioskop yang lain. Oh, ya tiket masuknya sekitar 500-1500 rupiah.
Saya ingat penjaganya seorang bapak tua yang kadang tidak ramah kepada
penonton.
PALU
Kota Palu telah punya sejarah panjang bioskop. Belanda menyebut sebuah bioskop di Paloe bernama Elite, bertitimangsa 1920. Elite menjadi cikal-bakal bioskop di Palu yang timbul tenggelam dengan beragam nama: Fujiyama, Istana, Karya, Surya. Gedung Manggala milik TNI/AD dulu ABRI yang hari ini telah berubah fungsi menjadi gedung serbaguna untuk acara pernikahan dan konser musik, di era 80an adalah gedung bioskop yang ditata amphiteater. Di era ketika Soeharto masih berkuasa, gedung itu telah jadi saksi pemutaran rutin tahunan setiap akhir bulan September film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) karya Sutradara Arifin C. Noer, dan saksi bagi baik buruknya nilai murid untuk pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) di sekolah dasar.
tu belum Kota Donggala dan di sepanjang Pantai Barat di kabupaten itu
yang dahulunya juga punya sejarah yang tak kalah panjangnya perihal bioskop.
Terlebih Banawa, ibukota Donggala yang dahulunya ramai oleh sibuk pelabuhan. Donggala
tentu lebih panjang kisah dinamika sosialnya dari Palu yang menjadi salah satu
kecamatannya, sebelum pada akhirnya mekar menjadi kota administratif di rentang
antara tahun 1974 hingga 1978.
Di Tanjung Padang, Sirenja, kampung Sineas Yusuf Radjamuda melewati
masa kecilnya, sebuah bioskop telah ikut memberi pengaruh besar pada sejarah sosial
kampung. Film-film produksi Bollywood yang diputar di sana telah menjadikan
beberapa nama kawan sebayanya diberi nama orang tua mereka, nama-nama yang
identik India. Kumar, untuk menyebut salah satunya.
Dalam sebuah wawancara dengan pengelola bioskop Palu Studio yang tidak
ingin disebutkan namanya, sebuah gambaran bisnis bioskop diterangkan. Agar bisa
bertahan, menurutnya, investasi saham mesti fifty-fifty
agar sama-sama merasa memiliki bisnis yang dijalani. Nama Palu Studio itu lahir
karena besar saham lebih dimiliki investor lokal. Saham sisanya hanya jaringan
distribusi film dan promosi. Masa itu pita film-film box office dijadwalkan. Terminator 1 yang booming, sold out selama 1 minggu pemutaran di dua studio. Tapi
jadwal hanya seminggu, padahal animo penonton masih besar. Film Indonesia mati
suri. Produksi film nasional masa itu hanya hantu-hantu sexy. Sayangnya kebangkitan
film nasional pasca Petualangan Sherina (Riri Riza, 2000) dan Ada Apa Dengan
Cinta (Rudi Soedjarwo, 2002) tak bisa bikin Palu Studio kembali buka layar. Film-film
sebelum Palu Studio gulung layar adalah film-film mandarin. Di waktu yang
bersamaan, peminjaman film dan film-film bajakan marak di pinggir jalan dalam
bentuk cakram.
Hari ini Kota Palu memang tak lagi punya gedung bioskop. Jika pun ada
pemutaran-pemutaran film, yang lebih sering ilegal karena tak dapat restu
rumah produksi, didorong oleh beragam motif: bisnis, semangat mengapresiasi,
atau kombinasi dari dua hal itu. Pilihan tempatnya hanya di gedung pertunjukan
Taman Budaya atau di Madamba Pura punya RRI.
Untungnya kota ini punya bioskop dalam arti yang lain, yang menjelma
menjadi apa saja yang berbau bioskop: memutar film, mendiskusikannya, berjejaring
dengan komunitas seminat di luar kota, mencatat gejala yang timbul olehnya, mengajak
warga kota untuk tak sekadar mengapresiasi film sebagai hiburan belaka, tetapi
juga refleksi bersama bagi interaksi di antara sesama mereka yang menonton film,
bahkan menjadi tempat memberi stimulus dan tantangan buat beberapa yang sering
terlibat untuk melahirkan karya serupa: film. Mereka menamakan keisengan itu
sebagai Bioskop Jumat yang awalnya bersepakat untuk punya ritus bersama di
setiap jumat malam untuk menonton. Lalu tak lagi hari jumat dan menjadikan
setiap malam bisa menjadi bioskop.
Tidak seperti ibukota propinsi lainnya di pulau
Sulawesi macam Makassar, Manado, Kendari, atau Gorontalo yang baru saja buka
bioskop pada Mei 2014 lalu, hari ini Palu tak lagi punya bioskop. Pertimbangan
bisnis rasanya menjadi yang utama dalam soal itu. Mungkin berkaitan dengan jumlah
penduduk atau daya beli dari jumlah itu terhadap hiburan khususnya menonton
film di bioskop. Hal yang sama berlaku juga dengan bisnis lain macam toko buku
berjejaring, waralaba, franchise.
Tetapi untungnya ada Bioskop Jumat yang mulai besok (26/8) kembali bekerjasama dengan lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institut, untuk kali kedua setelah tahun 2013 lalu, akan memutar film-film terbaik Jerman selama 3 hari di gedung auditorium Madamba Pura RRI setiap jam 14.00, 16.00, dan 19.30. Kerinduan pada suasana bioskop yang gelap dan dingin akan coba kembali disuguhkan untuk menyegarkan kenangan mereka yang pernah merasakan. Mari datang menonton dan mengapresiasi film. Gratis!
Tantangan terbesar Bioskop Jumat adalah nyamuk, yang seringkali jadi penonton lain di manapun pemutaran film yang mereka lakukan.
Tetapi untungnya ada Bioskop Jumat yang mulai besok (26/8) kembali bekerjasama dengan lembaga kebudayaan Jerman, Goethe Institut, untuk kali kedua setelah tahun 2013 lalu, akan memutar film-film terbaik Jerman selama 3 hari di gedung auditorium Madamba Pura RRI setiap jam 14.00, 16.00, dan 19.30. Kerinduan pada suasana bioskop yang gelap dan dingin akan coba kembali disuguhkan untuk menyegarkan kenangan mereka yang pernah merasakan. Mari datang menonton dan mengapresiasi film. Gratis!
Tantangan terbesar Bioskop Jumat adalah nyamuk, yang seringkali jadi penonton lain di manapun pemutaran film yang mereka lakukan.
DONGGALA
Sejarah bioskop di Kota Donggala kala itu adalah bagian dari sejarah panjang kejayaan pelabuhan di kota ini. Pelabuhan Donggala kala itu menjadi salah satu pelabuhan penting ketika Nusantara menjadi penyuplai 29 % kebutuhan kopra dunia saat terjadinya Booming Kopra di tahun 1920 - 1939.
Ramainya aktivitas perdagangan serta interaksi dengan wilayah lainnya di dunia melalui pelabuhan Donggala kala itu, juga mendorong perbaikan ekonomi masyarakat di kota pelabuhan ini. Bioskop kemudian menjadi salah satu pusat interaksi kultural penting antara awak kapal yang melabuhkan sauhnya di pelabuhan dengan penduduk Kota Donggala.
Jamrin Abubakar dalam buku berjudul Donggala Donggalata. Dalam Pergulatan Zaman, mencatat hingga pertengahan dekade 1990-an di Kota Donggala masih beroperasi tiga gedung bioskop.
Ketiga bioskop tersebut adalah Bioskop Megaria yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Banawa, Bioskop Muara yang terletak disimpangan jalan Mutiara dan Nuburi yang berdekatan dengan kawasan Pelabuhan Donggala dan Bioskop Gelora yang terletak di jalan Pettalolo.
Keberadaan Bioskop Megaria, yang sebelumnya telah bernama Bioskop Express yang dibangun tahun 1949 dan beroperasi di tahun 1950 itu tidak hanya menjadi bagian dari sejarah kepelabuhanan namun juga menjadi penanda kultural bagi masyarakat di Kota Donggala. Masyarakat disekitar bangunan bioskop Megaria ini kemudian menamai jalan yang ada didepan bioskop tersebut sebagai Jalan Bioskop yang hingga kini masih digunakan.
Bioskop yang bernama Mustika ini tak jauh dari rumah si pemilik, H. Nawir di Desa Tanjung Padang, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Hanya lima rumah sebelah barat dari rumah sang pemilik dan langsung berhadapan dengan garis pantai Laut Makassar di mana perahu-perahu nelayan ditambatkan.
Ramainya aktivitas perdagangan serta interaksi dengan wilayah lainnya di dunia melalui pelabuhan Donggala kala itu, juga mendorong perbaikan ekonomi masyarakat di kota pelabuhan ini. Bioskop kemudian menjadi salah satu pusat interaksi kultural penting antara awak kapal yang melabuhkan sauhnya di pelabuhan dengan penduduk Kota Donggala.
Jamrin Abubakar dalam buku berjudul Donggala Donggalata. Dalam Pergulatan Zaman, mencatat hingga pertengahan dekade 1990-an di Kota Donggala masih beroperasi tiga gedung bioskop.
Ketiga bioskop tersebut adalah Bioskop Megaria yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Banawa, Bioskop Muara yang terletak disimpangan jalan Mutiara dan Nuburi yang berdekatan dengan kawasan Pelabuhan Donggala dan Bioskop Gelora yang terletak di jalan Pettalolo.
Keberadaan Bioskop Megaria, yang sebelumnya telah bernama Bioskop Express yang dibangun tahun 1949 dan beroperasi di tahun 1950 itu tidak hanya menjadi bagian dari sejarah kepelabuhanan namun juga menjadi penanda kultural bagi masyarakat di Kota Donggala. Masyarakat disekitar bangunan bioskop Megaria ini kemudian menamai jalan yang ada didepan bioskop tersebut sebagai Jalan Bioskop yang hingga kini masih digunakan.
Bioskop yang bernama Mustika ini tak jauh dari rumah si pemilik, H. Nawir di Desa Tanjung Padang, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Hanya lima rumah sebelah barat dari rumah sang pemilik dan langsung berhadapan dengan garis pantai Laut Makassar di mana perahu-perahu nelayan ditambatkan.
Arsyad adalah para pekerja hiburan yang loyal di Pantai Barat. Selain menjadi penjaga bioskop di Tanjung Padang itu, ia juga seorang publisis film apa yang diputar di lima bioskop di antero di tiga kecamatan yang ada di Pantai Barat.
Titik mula Arsyad memulai mengumumkan film apa yang diputar di hari itu di Desa Tambu yang berada di utara. Tiga desa yang disasar bioskop Mustika di Desa Labean itu adalah Tambu, Meli, dan Labean itu sendiri. Semuanya berada di Kecamatan Balaesang.
Lalu, setelah melewati Gunung Bosa, memasuki Lende, Lompio, Tompe, dan bergerak ke desa atas, Sibado. Turun ke Balintuma, Tanjung Padang, naik ke Sipi dan Jono Oge. Turun lagi ke desa-desa di tepian pantai, seperti Dampal, To
Dengan sarana jalan yang masih buruk dan melewati beberapa sungai besar, perkiraan saya, Arsyad sudah mulai jalan sekira pukul 10 pagi di Desa Tambu hingga berakhir malam hari di Batusuya. Di desa terakhir ini ia menunggu pekerja film lainnya seperti Liong yang datang dari Kota Palu atau Kota Donggala (Banawa) membawa “kaleng” film baru. Lengkap dengan poster filmnya.
Tentu saja, semua film yang datang ke Pantai Barat sebelumnya pernah diputar di Palu Studio (Kota Palu), Megaria, Muara, maupun Gelora (ketiga yang terakhir bioskop di Kota Donggala).
Sosok yang awalnya rekan kongsi dagang hasil perkebunan H. Nawir di Sinar Dagang ini lupa bagaimana ia ditunjuk menjadi pelantang film. Yang ia tahu persis, ia tiap hari melakukannya selama 20-an tahun hingga bioskop tutup karena datangnya medium hiburan baru lewat televisi. Ia dibantu sekondannya bernama Nasir. Namun, dirinyalah yang mendapatkan jatah terbanyak.
Di sepanjang dua dekade itu, Arsyad sudah mengumumkan ribuan judul film di atas motornya. Dengan suara yang serak dengan artikulasi yang bersih, suara Arsyad sudah terdengar sejauh satu kilometer. Kecepatan menjadi 20 km per jam ketika motor sudah memasuki suatu desa.
Saat pengumuman dibacakan, telinga yang sedang berada di rumah-rumah, di balai desa, maupun di kebun-kebun akan menyimak baik-baik. Sebab, bisa jadi, film yang diputar hari itu menjadi film dari jenis yang disukai. Film Amerika macam spy James Bond 007 mendapatkan penonton yang lumayan. Atau, silat dan drama Cina dan Hongkong yang dibintangi Bruce Lee.
Bagi penikmat India, mesti bersiap untuk tidak tidur semalam suntuk menyaksikan Mithun Chakraborti, Amitabh Bachchan, Dharmendra, Shakti Kapoor, dan Hema Malini. Atau, film karate Indonesia, kolosal, perjuangan, maupun drama percintaan remaja.
Dan, siapa tahu ada film Rhoma Irama yang ditunggu tiap tahun seperti menunggu tema hiburan paling ajaib yang membuat bioskop menjadi lautan manusia. “Semua film Rhoma Irama pernah saya umumkan informasinya di atas motor saya. Berkelana, Begadang, Gitar Tua, Melody Cinta, Satria Bergitar, Penasaran, Doa dan Perjuangan, Menggapai Matahari … semuanya,” jelas Arsyad.
Dari atas motor RX King, nyaris informasi semua film yang dikeluarkan di tahun 70-an, 80-an, dan 90-an yang berada di katalog yang disusun J.B, Kristanto, Katalog Film Indonesia, pernah melewati mikropon dan TOA Arsyad. Antara lain, Pengkhiantan G30S/PKI, Janur Kuning, Nagabonar, Saur Sepuh, Tutur Tinular, Lebak Membara, Chips, dan Unyil.
Teknologi publisis di atas motor itu sederhana saja. Ada aki, lalu tape kecil untuk menyetel lagu, perangkat audio system untuk menyetel lagu dan pelantang warna putih yang diletakkan di atas kap lampu paling depan.
“Aki 46 amphere, amplifier, dan tape saya pangku dengan diikat karet ban dalam motor. Kalau tidak ada rumah dilewati, saya putar lagu. Kalau bertemu lagi desa, tape dikecilkan dan saya berbicara,” tutur sosok yang belajar public speaking dari pengalaman.
“Saya paling sulit kalau film asing seperti Amerika dan Hongkong karena harus mengucapkan judul dan nama pemain secara benar. Saya kadang lihat kamus. Selebihnya, asal bicara saja, yang penting terdengar fasih,” sambung Arsyad sambil terkekeh.
Kefasihannya itu yang mendorong warga berbondong-bondong datang ke bioskop, baik berjalan kaki maupun dengan gerobak sapi yang diparkir di pantai. “Ada orang tua di Desa Sipi yang tiap hari menonton. Film apa saja. Lupa nama, tetapi saya ingat wajahnya karena tiap malam saya lihat beli karcis,” kenang Arsyad.
Panggilan suara Arsyad juga membuat guru-guru kewalahan membendung siswa-siswa mereka untuk memasuki bioskop yang dianggap “mengganggu” pel-AJAR-an di dunia pengajaran.
Selain sebagai pelantang, tugas lain Arsyad adalah singgah di tiap-tiap bioskop untuk menempelkan apa yang disebut “gambara kodi”, poster yang berukuran A0.
Ada dua model poster film; poster di atas kertas dan lukisan di kain tebal yang besar. Poster di kertas itu menampilkan segala informasi, mulai nama pemain dan kru, juga potongan-potongan adegan yang paling ikonik dari film yang bakal diputar.
Demikian pula, poster di atas kain besar yang biasanya digantung di halaman bisokop. Umumnya, film-film Indonesia dan baru, memiliki poster jenis ini yang dikerjakan para seniman lukis, baik di Yogya maupun di Jakarta.
Tentu saja, tidak semua informasi dibacakan Arsyad. Selain jenis film, judul, negara asal, yang wajib dibacakan adalah bintang-bintang utama. Sebut saja bintang-bintang film India dan Indonesia yang tenar di era 70-an hingga 90-an, Arsyad pasti bisa menyebutkannya secara fasih.
Di atas motor tunggangan Arsyad, ada sejarah hiburan yang panjang dan bergemuruh. Suaranya yang lantang dari desa ke desa adalah suara sejarah film yang tampil di Indonesia hingga di muaranya terjauh, bioskop desa.
Nawir, juragan Arsyad, yang rumahnya berhadapan dengan masjid Al-Munawwar di perempatan besar di Desa Tanjung Padang, adalah yang berjasa besar membangun dunia perfilman di Pantai Barat. Lima bioskopnya yang bernama Mustika yang ia dirikan di Labean (Balaesang), Tompe (Sirenja), Tanjung Padang (Sirenja), Tondo (Sirenja), dan Oti (Sindue Tobata) merupakan bakti bisnisnya bahwa film dengan segala imajinasi yang disemburkannya dari “kaleng-kaleng” yang berisi pita seluloid pernah tumbuh di antero Pantai Barat.
Juga, melahirkan pekerja-pekerja bioskop yang loyal semacam Arsyad ini. Sosok ini bisa ditemui di bengkel kerjanya yang “bakubelakang” dengan bekas bioskop Mustika di Tanjung Padang.
MANADO
BIOSKOP FLORA
Bioskop Benteng dan President Theater merupakan beberapa di antara 'saksi bisu'' kejayaan bisnis bioskop di Kota Manado.
Pengelola kedua bioskop papan atas di Manado ini pernah merasakan masa keemasan bisnis film layar lebar, karena saat itu orang dari kampung- kampung di Minahasa datang ke ibu kota Sulut, hanya untuk menonton film bioskop.
Dan gedung eks Bioskop Benteng hingga saat ini masih berdiri di kompleks Pasar 45. Tempat ini dari tahun 1960-an hingga 1990-an merupakan bioskop yang menayangkan film-film Hollywood (barat) dan film nasional terbaik.
Bioskop Flora
Het Flora bioscoop-theater aan de Kemaweg te Manado
Bioskop Flora di Kema kota Manado
Kema adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi
Utara, Indonesia. Batas wilayah Kecamatan Kema adalah di sebelah utara
berbatasan dengan Kota Bitung, di sebelah timur dengan Laut Maluku, di
sebelah selatan dengan Kecamatan Kombi, Kabupaten Minahasa, dan di
sebelah barat dengan Kecamatan Kauditan. Desa Kema yang sekarang sudah
terbagi menjadi Kema I, Kema II, dan Kema III merupakan ibu kota
kecamatan dan kota pelabuhan ikan di belahan timur Minahasa yang memasok
ikan laut untuk kawasan kecamatan-kecamatan yang ada di pesisir pantai
timur seperti Kema, Kombi, dan Lembean Timur. Di samping itu, kecamatan
ini sebagai daerah wisata dengan objek wisata pantai Batu Nona dan
pantai pasir putih Lilang. Kema merupakan daerah kelahiran Pahlawan
Nasional yaitu Maria Walanda Maramis.
BIOSKOP GEMENTEE
Jl. Maramis
Bioskop Benteng dan President Theater merupakan beberapa di antara 'saksi bisu'' kejayaan bisnis bioskop di Kota Manado.
Pengelola kedua bioskop papan atas di Manado ini pernah merasakan masa keemasan bisnis film layar lebar, karena saat itu orang dari kampung- kampung di Minahasa datang ke ibu kota Sulut, hanya untuk menonton film bioskop.
Dan gedung eks Bioskop Benteng hingga saat ini masih berdiri di kompleks Pasar 45. Tempat ini dari tahun 1960-an hingga 1990-an merupakan bioskop yang menayangkan film-film Hollywood (barat) dan film nasional terbaik.
Saat ini gedung semi permanen itu telah
berubah menjadi tempat usaha game online, warnet, tempat jualan suvenir,
tempat pangkas rambut dan usaha lainnya.
Lane, pedagang Coto Makassar yang mengais rezeki di kompleks eks
bioskop itu mengatakan, eks Studio Benteng ini sudah beberapa kali
beralih fungsi.
"Dulu setelah Bioskop Benteng ditutup, beralih menjadi bengkel, Cafe
Hot Gosip lalu usaha makanan, '' ujar Lane kepada Tribun Manado,
kemarin.
Sedangkan Amran Pontororing, pria paroh baya yang mengaku mengikuti
perjalanan sejarah bioskop di Manado memiliki banyak kenangan dengan
Bioskop Benteng.
Dia mengaku sering menikmati asyiknya menonton film di Bioskop
Benteng, yang pada akhirnya ditutup karena terjadi pembunuhan di WC
bioskop itu.
"Studio Benteng dibuka sekitar tahun 60-an. Namun sejak ada kasus
pembunuhan dengan korban kalau tidak salah Haslinda Marjun, mahasiswa
Fakultas Teknik Unsrat yang dibunuh di WC Studio Benteng, akhirnya
tempat ini ditutup pada tahun 1990-an, '' ujarnya.
Dia mengatakan, masih terkenang sewaktu usia remaja menonton film di
sini dengan teman-teman sebayanya menyaksikan film favorit mereka.
"Torang paling suka bauni film koboi Jenggo
Texas. Karena layar yang besar, sekitar enam meter, jadi itu penonton
leh seakan-akan berada dalam suasana film. Kita sendiri merasa menjadi
koboi," kenangnya lalu tertawa kecil.
Selain layar besar, kata Amran, Studio Benteng juga dilengkapi dengan
kursi yang terbuat dari kayu. "Depe kursi nda talalu tinggi, tapi
dibuat dari tempat duduk paling rendah hingga paling tinggi. Depe harga
tiket pernah cuma Rp 500, kemudian naik hingga Rp 2.500, '' ujar pria
berusia 56 tahun ini.
Senasib dengan Studio Benteng, Bioskop President kini juga sudah
dialihfungsikan menjadi tempat billiard bernama Presiden Billiard
Center, dan LKP atau Salon Shinta.
Namun sebagian bangunan bekas bioskop itu digunakan sebagai gudang, untuk menampung barang-barang yang sudah tidak terpakai.
Amran, yang juga Security Shopping Center mengatakan, Bioskop
Presiden ditutup sekitar tahun 2010. "Dibuka dari tahun 1982 hingga
tahun 2010," kata pria yang sudah bekerja sejak 14 tahun yang lalu ini.
Dia menambahkan, ditutupnya bioskop ini karena pajak bioskop yang
besar. "Mungkin karena pajak yang tinggi. Apalagi sejak masuk tahun
2000-an, dari enam studio yang ada, cuma satu studio yang dipakai,"
ujarnya.
Alhasil, bioskop ini pun ditutup. "Film terakhir yang diputar depe
judul Bangku Kosong, setelah itu langsung ditutup," ujar pria yang
berdomisili di Kecamatan Tuminting, Kelurahan Mahawu, Lingkungan III
Manado ini.
Fredrik Watania, salah satu penggemar film perang, yang sempat
menikmati pertunjukan di Studio Benteng mengharapkan gedung bekas Studio
Benteng dapat dimanfaatkan pemerintah untuk lokasi wisata bersejarah.
"Sebenarnya bangunan tersebut harus dilestarikan kalau perlu dibuat
sebagai tempat wisata. Karena itu adalah bioskop pertama yang didirikan
di Kota Manado," ujarnya.
Sebenarnya selain kedua bioskop ini, dulu pernah ada beberapa bioskop
lain yang sempat ikut berjaya. Misalnya, Bioskop Star yang terletak di
Sarapung, Bioskop Manado di samping Aula Ignatius dan lainnya
BIOSKOP SURYA
Bioskop Surya dibangun sekitar tahun 70an awal. Di mana bioskop tersebut dibangun oleh Pengusaha Tionghoa bernama Frans. Tapi karena dulu tidak boleh orang Cina buka usaha di Bulukumba jadi bioskop ini dulu mengatasnamakan orang lokal yang punya pengaruh seperti tentara. Bioskop Surya tersebut juga dulunya merupakan salah satu tempat di mana karakter dan pengetahuan masyarakat Bulukumba dibentuk melalui Film. Sampai hari ini, Bioskop Surya adalah satu-satunya bioskop yang hits di Bulukumba. Sebelumnya juga ada Bioskop Aneka Jaya, namun bioskop ini tidak mampu bersaing dengan Bioskop Surya karena bangunan Bioskop Surya lebih layak dibandingkan Bioskop Aneka Jaya yang dindingnya hanya terbuat dari papan kayu.
Bioskop Surya pada masanya adalah ikon Bulukumba. Inilah tempat atau titik berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat yang ingin menikmati film. Gedung yang kini tak terurus dan di dalamnya penuh tumbuhan liar ini, pernah berjaya. Pengunjung yang datang mencari hiburan tidak hanya orang kota Bulukumba, tapi datang dari berbagai pelosok di Kabupaten Bulukumba. Kapasitas gedung bisa menampung 300 sampai 500 orang. Dengan membeli tiket seharga 150 sampai 500 perak, kita sudah bisa masuk. Duduk di bangku yang terbuat dari kayu (mirip bangku sekolah, red) menyaksikan film-film favorit. Di pintu samping Bioskop ini juga banyak kios jualan, saat jeda film atau yang dikenal dengan istilah ‘Setengah Main’ penonton berbondong-bondong memenuhi kios untuk membeli makanan dan minuman ringan dan juga rokok per bungkus atau per batang.
Sebelum film diputar pada malam hari petugas bioskop pada siang harinya berkeliling kota dengan menggunakan kereta kuda mempromosikan film yang akan diputar agar menarik minat masyarakat untuk datang menyaksikan film tersebut. Bioskop Surya juga kerap dijadikan sebagai lokasi pertempuran antarkelompok pemuda di Bulukumba. Sejak itulah masyarakat takut dan enggan untuk berkunjung.
BULUKUMBA
BIOSKOP SURYA
Bioskop Surya dibangun sekitar tahun 70an awal. Di mana bioskop tersebut dibangun oleh Pengusaha Tionghoa bernama Frans. Tapi karena dulu tidak boleh orang Cina buka usaha di Bulukumba jadi bioskop ini dulu mengatasnamakan orang lokal yang punya pengaruh seperti tentara. Bioskop Surya tersebut juga dulunya merupakan salah satu tempat di mana karakter dan pengetahuan masyarakat Bulukumba dibentuk melalui Film. Sampai hari ini, Bioskop Surya adalah satu-satunya bioskop yang hits di Bulukumba. Sebelumnya juga ada Bioskop Aneka Jaya, namun bioskop ini tidak mampu bersaing dengan Bioskop Surya karena bangunan Bioskop Surya lebih layak dibandingkan Bioskop Aneka Jaya yang dindingnya hanya terbuat dari papan kayu.
Bioskop Surya pada masanya adalah ikon Bulukumba. Inilah tempat atau titik berkumpulnya berbagai lapisan masyarakat yang ingin menikmati film. Gedung yang kini tak terurus dan di dalamnya penuh tumbuhan liar ini, pernah berjaya. Pengunjung yang datang mencari hiburan tidak hanya orang kota Bulukumba, tapi datang dari berbagai pelosok di Kabupaten Bulukumba. Kapasitas gedung bisa menampung 300 sampai 500 orang. Dengan membeli tiket seharga 150 sampai 500 perak, kita sudah bisa masuk. Duduk di bangku yang terbuat dari kayu (mirip bangku sekolah, red) menyaksikan film-film favorit. Di pintu samping Bioskop ini juga banyak kios jualan, saat jeda film atau yang dikenal dengan istilah ‘Setengah Main’ penonton berbondong-bondong memenuhi kios untuk membeli makanan dan minuman ringan dan juga rokok per bungkus atau per batang.
Sebelum film diputar pada malam hari petugas bioskop pada siang harinya berkeliling kota dengan menggunakan kereta kuda mempromosikan film yang akan diputar agar menarik minat masyarakat untuk datang menyaksikan film tersebut. Bioskop Surya juga kerap dijadikan sebagai lokasi pertempuran antarkelompok pemuda di Bulukumba. Sejak itulah masyarakat takut dan enggan untuk berkunjung.