Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia's great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja 'Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Uma is killed in an ambush. 'Dhien's charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. Written by Anonymous .
Another Trax.
Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia’s great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja ‘Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Umar is killed in an ambush. ‘Dhien’s charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. First Indonesian film ever to be screened in Cannes Film Festival.
Another Trax.
Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia’s great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja ‘Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Umar is killed in an ambush. ‘Dhien’s charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. First Indonesian film ever to be screened in Cannes Film Festival.
Teuku Umar (Slamet Rahardjo) memimpin rakyat Aceh dalam memerangi penjajah Belanda. Teuku Umar didampingi istrinya, Tjoet Nja Dhien (Christine Hakim) dan putrinya, Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti). Teuku Umar tewas tertembak oleh musuh. Tjoet Nja Dhien ganti jadi panglima perang. Setelah mengalami berbagai pertempuran dan pengkhianatan, tubuh Tjoet melemah dan akhirnya buta. Film ini ingin menegaskan bahwa kekuatan iman adalah segalanya.
Saya pernah menyebut film ini masterpiece. Dan tetap begitu buat saya. Sebuah film yang dibuat dengan darah dan air mata sineasnya (menghabiskan waktu 2 tahun dan miliaran rupiah). Hasilnya adalah sebuah hikayat perang sebuah kelompok yang tak kenal kata kalah. Lihat bagaimana Tjoet Nja’ (Christine Hakim yang dahsyat!) yang nyaris buta masih menghunuskan pedangnya saat ditangkap Belanda—berkat pengkhiatan seorang pengikutnya yang kasihan padanya. Entah kenapa Eros tidak membuat film lagi, terakhir adalah Kantata Takwa kolaborasi dengan Gatot Prakosa.
Entah kenapa cerita yang dipilih lain dari pada yang lain kebanyakan film perjuangan Indonesia, disini lebih pada menggambarkan kesolitan tentara Aceh, dengan dipadu konflik penghianatan yang dilakukan anak buah Tjoet. Perjuangan Tjoet disini lebih perkasa digambarkan dari pada pahlawan perempuan Indonesia lainnya. Bagaimana ambisiusnya, dan juga ternyata saat tertangkap Belanda Tjoet hanya seorang wanita tua renta yang buta lagi,...sangat tidak disangka, seorang pemimpin pejuang yang bagi Belanda sulit sekali ditaklukan dengan persenjataan dan serdadu mereka, ternyata pasukan Aceh dipimpin seorang wanita tua renta dan buta lagi. Seperti foto asli Tjoet saat tertangkap oleh Belanda.
Gambar yang dilakukan George sangat baik sekali, tetapi kemampuan tehnis saat itu bisa dimaklumi saat ini, beberapa scene out door hujan/ day,...tampak backgraoundnya terang sekali. Tapi terlepas dari itu Christien memang total, dan Eros sangat piawai, dan George Kamaruyllah sangat peka...maka film ini bagus.
Kalau film ini dibuat Black White, mungkin semakin bagus lagi, memiliki arti tersendiri sebagai special, karena memang tidak ada warna yang baik dalam set film itu kecuali hanya hutan, yang sudah pasti warna hijau dan tanah dominan.
P.T. EKAPRAYA FILM
P.T. KANTA INDAH FILM
CHRISTINE HAKIM SLAMET RAHARDJO PITRAJAYA BURNAMA HENDRA YANUARTI RITA ZAHARA HERMIN CENTHINI ROY H. KARYADI FRITZ G. SCHADT JOHN ISKANDAR TUANKU FJALIL JOES TERPASE EKO HANDOKO |
15 Oktober 1988
Film terbaik, tjoet nya' dhien ?
FILM yang lolos Komite Seleksi tahun ini memang lebih banyak, 18 film. Juri yang kini diketuai Asrul Sani cuma menilai film yang lolos, walau mungkin mutu film ini ada yang lebih rendah dari film yang tidak diloloskan. Ke-18 film itu, menurut abjad, Akibat Kanker Payudara (sutradara Franky Rorimpandey), Ayahku (Agus Ellias), Ayu dan Ayu (Sopkan Sophiaan), Catatan Si Boy I (Nasri Chepy), Cinta Anak Zaman (Buce Malauw), Irisan-lrisan Hati (Djun Saptohadi), Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing), Kasmaran (Slamet Rahardjo), Mekar Diguncang Prahara (Hasmanan), Nada-Nada Rindu (Muklis Raya), Pernikahan Berdarah (Torro Margens), Pernikahan Dini (Yaman Yazid), Saur Sepuh (Imam Tantowi), Selamat Tinggal Jeanette (Bobby Sandi), Seputih Pasir Semerah Luka (Wim Umboh), Tatkala Mimpi Berakhir (Wim Umboh), Terang Bulan di Tengah Hari (Chaerul Umam), Tjoet Nya' Dhien (Eros Jarot). Arifin C. Noer gagal merampungkan Jakarta '66 sampai saat-saat akhir, dan Teguh Karya macet dalam menggarap Pacar Ketinggalan Kereta. Yang tidak jelas Gema Kampus '66, karya Nico Pelamonia, tak lolos komite seleksi atau ada masalah lain. Untuk pertama kalinya film dangdut Rhoma Irama (Nada-Nada Rindu) masuk film pilihan. Dan yang sulit dimengerti, film seperti Catatan Si Boy dan Cinta Anak Zaman bisa lolos. Jika mau dibandingkan, Penginapan Bu Broto masih lumayan juntrungannya, dan toh tak lolos. Dengan peta kekuatan seperti ini -- dan jumlah yang banyak itu agaknya untuk meramaikan pekan film di 11 kota -- bisa dibayangkan Tjoet Nya' Dhien akan memborong Citra. Tak ada aktor baru yang akan muncul. Christine Hakim dan Slamet Rahardjo boleh jadi akan mendapat Citra untuk aktris dan aktor terbaik lewat penampilannya sebagai Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar, sementara Pitrajaya Burnama yang bermain sebagai Pang La'ot dalam film karya pertama Eros Djarot itu bisa meraih Citra untuk peran pembantu pria. Cuma ia dibayangi W.D. Mochtar dalam Ayahku. Peran pembantu wanita mungkin diperebutkan Rita Zaharah (Tjoet Nya' Dhien) dan Ria Irawan -- yang bermain bagus sebagai pembantu dalam Selamat Tinggal Jeanette. Skenario Misbach Yusa Biran cukup menonjol dalam Ayahku. Tapi ia dibayangi dua saudara, Eros Djarot (Tjoet Nya' Dhien) dan Slamet Rahardjo (Kasmaran). Film terbaik? Kalau memang harus ada tak ada lain selain Tjoet Nya' Dhien, dan itu berarti FFI ini hanya melahirkan sutradara: Eros Jarot, yang sebelumnya dikenal sebagai penata musik. Putu Setia
Between 3 Worlds now has rights to distribute this highly acclaimed film internationally on both video and DVD . The video is available in both PAL ( UK & Australia) and NTSC (USA) electronic systems. The DVD is a single layered DVD in PAL system and is Region Coded O. It can be played on computers in most countries or on most recent DVD players connected to PAL compatible TV monitors or to any video projector. A study guide for the film is provided with both videos and DVDs.
One of the most famous films ever made in Indonesia, Tjoet Nja' Dhien tells the epic story of the Indonesian national heroine, Tjoet Nja' Dhien, who led a band of guerrillas fighting against Dutch colonial forces in the mountains of Aceh in Sumatra in the early twentieth century. Despite a series of besetting intrigues caused by changing loyalties among Acehnese chiefs, some of whom were persuaded to side with the colonisers, for six years Tjoet and her group evaded and harassed Dutch forces sent out to capture them, her charismatic presence and her powers of survival stirring the local people to continue opposition to the Dutch.
Tjoet Nja Dhien was the first Indonesian film invited to Cannes and also won nine Citra awards at the nationally prestigious Indonesian Film Festival held in Jakarta in 1988, establishing Eros Djarot as a formidable director. The film stars the internationally acclaimed Indonesian actress Christine Hakim in a remarkable performance that shows the full range of her commitments and skills as an actress. A visually stunning film, some of its most powerful images are based on notorious Dutch photographs of the war in Aceh, the longest continuous war in Dutch history.
Tjoet Nja Dhien was the wife, chief strategist and political mentor of the rebel leader Teuku Umar in the strongly Islamic Aceh region in the north of Sumatra island. After her husband's death in a Dutch ambush in February 1899, Tjoet Nja' Dhien took over leadership of the band of guerrillas. This compelling portrait of Tjoet Nja' Dhien provides insight into Indonesian colonial history, emphasising the historical importance of Islam in the resistance to Western colonialism in Indonesia, and the right to survival of indigenous cultures. This story of a woman as a charismatic rebel leader in a colonial war, and of her daughter, who continued her mother's struggle, exemplifies a politics of cinema that challenges the more stereotyped portraits of women in film in Indonesia.
News
31 Desember 1988
Penyair sebagai penggelinding
FILM Tjoet Nja' Dhien (TND) adalah potret sejarah, juga sebuah puisi bagus. Riset yang teliti, pakaian dan properti yang detail dan akurat, gambarnya sempurna, editingnya prima. TND bukanlah "film" risalah perang, tetapi karya kesenian. Perang Aceh dimulai setelah ultimatum Belanda, Rabu 26 Maret 1873. Ketika ekspedisi pertama, Jenderal J.H.R. Kohler, yang memimpin 7.500 serdadunya, pada 15 April 1873 tewas di depan Masjid Baiturrahman Banda Aceh, 8 hari setelah ia di sana. Waktu itu bertakhta Sultan Mahmudsyah yang berusia 17 tahun. Perang telah membuat Tjoet Nja' Dhien (lahir pada 1857) teguh dengan keyakinannya. Masa kecilnya tak tercermin di dalam film itu. Ia anak ketiga dari Teuku Tjhik Nanta Setia, yang diangkat Sultan Sulaiman Iskandarsyah menjadi uleebalang VI Mukim dari Sagi XXV, Aceh Besar. Suaminya, Teuku Ibrahim Lam Nga, seorang panglima, tewas 29 Juni 1878. Janda muda ini tak bermaksud menikah lagi, kecuali bila ada pemuda yang mampu membalas kematian Teuku Ibrahim. Teuku Umar kemudian muncul di hati Tjoet. Mereka menikah pada tahun itu juga. Padahal, Teuku Umar sudah menikah dengan Tjoet Nja' Alooh binti Teuku Maharaja di Lhokseumawe. Alooh adalah kemanakan Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima tertinggi angkatan perang Aceh. Dalam film tak terinformasikan ihwal Tjoet Gambang. Apakah gadis ini anak dari hasil perkawinan Tjoet Nja' Dhien dengan Teuku Ibrahim atau dengan Teuku Umar. Teuku Umar, sebelum tewas, berpesan agar Gambang menikah dengan seorang anak Teungku Tjhik Di Tiro. Kisah tak cepat mengalir ke fokus Tjoet Nya' Dhien. Sutradara Eros Djarot memberi porsi berlebih untuk Teuku Umar, yang menyerah kepada Belanda, 30 September 1893 -- kemudian digelari "Johan Pahlawan" oleh Jenderal Deijkerhoff. Tapi 29 Maret 1896 Teuku Umar aneuk Meulaboh itu kembali bergabung ke tengah pasukan Muslimin di dalam rimba. Dan itu semua, atas bujukan Tjoet sendiri yang sangat benci pada "kaphe". Karena pengkhianatan Teuku Leubee, pada 11 Februari 1899 Teuku Umar tewas di Suak, Ujong Kalak. Mayatnya dilarikan lasykarnya, lalu dikebumikan di Mon Tulang, di udik Meulaboh, Aceh Barat. Leubee -- yang dikawal marsose -- menebus perbuatannya itu di ujung rencong Tjoet Nja' Dhien, dalam satu sergapan ketika ia hendak ke Kutaraja. Seandainya tentang Teuku Umar dipadai hanya sebatas "catatan kaki" melalui beberapa flashback, kisah tentu tidak terasa mendua dalam satu film. Sebab, tentang Teuku Umar, bisa menjadi sebuah film lain. Demikian pula dengan adegan Belanda, porsinya juga terasa berlebihan. Kecuali yang dramatik -- sebagai gambaran keseluruhan tentang perang yang ganas dan panjang itu -- antara lain 561 penduduk, termasuk wanita dan anak-anak, dibunuh. Pembantaian pada Juni 1904 di Kota Reh, Aceh Tengah, itu dilakukan oleh Van Daalen. Yang hidup cuma si cilik Agam. Ia diselamatkan oleh penyair ke tempat persembunyian Tjoet, yang menggantikan almarhum suaminya memimpin pasukan. Dalam film ada penyair, tokoh sisipan.
Dia bagai si pembanyol, seperti dalam kisah Robinhood atau Sinbad. Padahal, hampir di setiap rumah tangga Aceh ada penyair, karena ada hikayat, tembang, amsal, dan satir. Penyair itu ibu-ibu. Ia telah senyawa dalam tradisi sastra lisan -- perempuan yang tidak cuma "penghubung" riwayat. Penyair, perempuan-perempuan itu, narator dalam sejarah hidupnya, yang alami. Apa kala sutradara menampilkan penyairnya sejak awal, sesungguhnya ia terkait utuh sebagai pembawa narasi atau penjalin dalam strory line pada TND. Penyair bukan cuma tempat saluran ekspresi dan suara hati perempuan bangsawan ini, namun sebagai penggelinding cerita, sehingga lebih mengalir ke fokusnya. Bayangan kita: adegan pembukaannya yang siluet itu diteruskan dengan munculnya si penyair menembangkan Didong di atas bukit bersama kornya itu. Lalu diisi musik yang excellent dari Idris Sardi. Sebelum memimpin perang -- seperti dipidatokan Teuku Umar -- Tjoet juga mengingatkan para Bunda yang lain agar mereka mendendangkan anaknya dalam ayunan, dengan syair atau melagukan Hikayat Perang Sabil karangan Teungku Tjhik Pante Koeloe. Hikayat ini telah membangkitkan keyakinan para lasykar untuk berperang fisabilillah dan mencari mati syahid. Hikayat ini, bersama Hikayat Kompeni yang ditulis Do Karim, kata Profesor Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda, ibarat dinamit raksasa yang tak terkendalikan. Tenaga penggeraknya lebih hebat dari dentuman meriam marsose. Lalu dalam bukunya De Atjehers, Snouck mencatat: "Aceh itu fanatik dan mereka terkenal karena siasat tipunya." Dan jangan lupa.
Tjoet sebagai seorang ibu, juga penyair. Dengarkan ia berdendang: Dokuda idi, dokuda idang/ Seulayang blang putoh taloue/ Rayeuek aneuk bah beureujang/ Jak tulong prang bila nanggroeu/ Rayeuek sinyak banta sidi/ Jak prang sabi bila agama. Artinya, Dodoi di dodoi, tidurlah sayang/ Layangan di sawah putus talinya/ Besarlah anak lekaslah sayang/ Ikut berperang membela negeri/ Wahai anak cepatlah besar/ Berperang sabil membela agama. Zakaria M. Passe
31 Desember 1988
Tahun-tahun gerilya tjoet nya'dhien
TJOET NJA' DHIEN Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Pietradjaja Burnama, Rudy Wowor, Ibrahim Kadir Skenario & Sutradara: Eros Djarot APAKAH film Tjoet Nja' Dhien bercerita tentang kepahlawanan, atau tentang perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara? Pertanyaan ini timbul karena untuk bercerita semata-mata tentang kepahlawanan Dhien, adegan perang yang kolosal, dan sistem Dolby Stereo agaknya bukanlah keharusan yang mutlak. Mengapa? Sederhana saja masalahnya. Kepahlawanan Dhien baru menyata dan mengkristal dalam perang gerilya yang dipimpinnya, bukan dalam perang terbuka yang frontal dan menuntut penyajian kolosal. Perang gerilya Dhien dengan strategi berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang -- sebenarnya adalah tema yang tidak kurang pekat untuk digarap. Didampingi putri tunggalnya, Tjoet Gambang, entah berapa ratus kilometer yang ditempuh wanita luar biasa ini -- selama lebih kurang lima tahun -- menyeberang dari kampungnya di Lam Padang, menuju Meulaboh, dan berakhir di Beutong. Dan semua itu dilakukan di bawah ancaman pengejaran tentara kaphe Belanda, yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, kekuatan pasukan dan logistik. Andaikan tema itu, misalnya, bisa diperkuat dengan bahan-bahan sejarah, niscaya kisah kepahlawanan Dhien akan lebih kaya, biarpun tentu, kurang bergelora dan kurang darah. Kontak-kontak senjata dengan taktik hit and run yang khas gerilya tentu kurang menggugah. Visualisasi semacam inilah agaknya yang mau dihindari sutradara Eros Djarot. Ia pada dasarnya ingin mengagungkan Dhien, tapi pada saat yang sama berusaha memberi bingkai sejarah yang gegap gempita untuk kepahlawanan wanita bangsawan ini. Maka jadilah sebuah film spektakuler, berkisah tentang Perang Aceh dengan kepahlawanan Dhien sebagai tema pokok. Bila ditilik lebih tajam, sebenarnya ada dua tema yang diangkat bersama-sama: satu episode Perang Aceh (1873-1904) dan profil Tjoet Nja' Dhien.
Tema ganda ini membawa konsekuensi tersendiri: peta dan proses perang menjadi kurang jelas dan fragmentaris, sementara pribadi Dhien kurang tergali. Tak ditemukan cuplikan dari masa kecilnya, katakanlah misalnya momen-momen penting saat ia dibesarkan di sisi seorang ayah yang juga pejuang ternama: Panglima Nanta Setia. Juga tidak terkilas bagaimana corak hidupnya ketika Teuku Umar, suami kedua selama tiga tahun menyeberang ke pihak musuh, dengan tujuan mencuri senjata dan mempelajari siasat perang Belanda. Singkatnya, informasi disajikan terbatas, hingga pemahaman penonton tentang Dhien juga terbatas. Kalaupun semua itu bisa disebut sebagai cacat, maka bagaikan torehan tipis, cacat itu hampir-hampir tak kentara. Sebagian besar kekuatan film ini terutama ada pada suasana yang secara bersama-sama ditunjang oleh pemotretan (George Kamarullah), musik (Idris Sardi), dan penyuntingan gambar (Karsono Hadi). Kendati proses perang Aceh tak terungkap dengan baik, editing yang cermat telah menyajikan jalan cerita yang acap kali membuat penonton menahan napas. Mereka melihat sosok perang yang lain. Musik yang membawa getaran magis, obor-obor yang bergerak semakin cepat dan semakin banyak, kelewang (pedang) yang berkelebatan. Dramatis. Belum lagi adegan dengan teknik gerak lambat, yang melukiskan kebiadaban pasukan Van Dalen di sebuah kampung di Tanah Gayo. Di sini ritme cerita sedemikian terpelihara, hingga dalam adegan slow motion pun, ritme itu mengalami sinkronisasi yang pas. Tak ada ekspresi kengerian atau putus asa -- seperti yang, misalnya, dengan artistik sekali digoreskan oleh Goya dalam lukisannya Tiga Mei -- namun adegan pejuang yang roboh, disusul wanita dan anak-anak yang berlari, tapi juga kemudian roboh, telah amat mencekam.
Gambar-gambar yang bisu itu seakan melukiskan kengerian dan kesakitan, tanpa satu wajah pun -- disorot khusus. Namun, terasa sapuan Goya hadir di sana, lewat bidikan kamera dan gunting editor. Di balik itu semua, tentulah gagasan dan kreativitas sang sutradara yang menentukan. Simak saja dialog dan pidato Teuku Umar -- diperankan dengan baik oleh Slamet Rahardjo Djarot yang dengan alasan artistik terucapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Aceh campur aduk. Mungkin bagi telinga pribumi Aceh sesekali terkesan janggal, tapi penonton lain menerimanya sebagai hal baru, yang asing namun tidak mengganggu. Eksperimen itu melatih penonton untuk menerima adanya warna lokal, unsur yang memang terbawa dalam eksistensi kita sebagai bangsa. Hal lain yang juga eksperimental adalah menampilkan seorang penyair (Ibrahim Kadir) sebagai tokoh antagonis buat Tjoet Nja' Dhien. Terlepas dari tokoh ini fiktif atau tidak, kehadirannya dipertanyakan. Terkadang ia arif bijaksana, tapi lebih sering tampak konyol. Suatu saat ia mencela perang, tapi kali lain ia berkata, "Tjoet Nja' harus tetap hidup." Celotehnya acap kali membingungkan, hingga bagi Dhien ia merupakan lawan dialog yang serba tanggung, sementara bagi yang lain mirip pelipur lara yang menjengkelkan. Ada kesan, kehadiran penyair dipakai hanya untuk lebih menonjolkan kebesaran Dhien. Fungsinya sama dengan pedagang senjata dan dua pengkhianat: Teuku Leubee dan Fatma. Mereka bukan orang bodoh, tapi oportunistik. Begitu pula dua tentara Belanda, Voorneman dan Veltman (Rudy Wowor dan Roy Hadyanto Karyadi memerankan dengan pas kedua tokoh itu). Mereka hanya dua sekrup dari mesin perang kolonialis Belanda.
Orang-orang semacam ini memberi dimensi manusiawi yang negatif, sementara Dhien begitu sempurna. Tapi Eros cukup jeli untuk tidak "mendewakan" Dhien. Dengan melanjutnya usia, wanita yang tangguh ini mengalami erosi mental. Ia tidak bisa tegas terhadap pengkhianat seperti Fatma, ia juga bersikap mendua terhadap Perang Fisabilillah. "Akhirnya kita hanya saling bunuh," cetusnya suatu kali, ketika mendengar bahwa pasukannya berhasil membantai sejumlah besar marsose Belanda. Ada erosi tipis pada Dhien, sementara erosi yang lebih fatal menimpa Pang Laot (dimainkan dengan sangat baik oleh Pietradjaj Burnama). Tokoh yang selama bertahun-tahun menjaga keselamatan Dhien ini akhirnya menyerahkan sang pahlawan begitu saja ke tangan Kapten Voorneman, dengan membocorkan tempat persembunyiannya. Alasan Pang Laot: kondisi fisik Dhien -- buta dan digerogoti encok -- sudah terlalu parah. Film besar ini diakhiri dengan sebuah adegan besar, yang sulit dilupakan. Christine Hakim telah menghidupkan adegan penangkapan Dhien dalam kemampuan akting yang tidak ada duanya. Posisinya yang membungkuk, ekspresi wajah yang sulit ditebak, dikir yang seakan-akan begitu responsif terhadap penjelasan Pang Laot, dan tusukan rencong yang cepat dan begitu tiba-tiba. Disusul ledakan amarah seoran panglima perang. Itulah Dhien, tak bisa lain. Film ini berakhir ketika rombongan tandu yang membawa sang pahlawan bergerak saat hari mulai gelap.
Di layar ada memo penutup: Tjoet Nja' Dhien wafat tahun 1906 di Sumedang, jauh dari tanah dan rakyat Aceh yang sangat dicintainya. Eros Djarot telah menghidupkan kisah kepahlawanan ini dalam ungkapan keimanan seorang muslim yang kental, dan tekad baja yang tak pernah pudar. Sedangkan Perang Aceh, yang menjadi pentas untuk Dhien, hanya terangkat secara nyata dalam esensinya -- sebagai perang melawan kaphe (Belanda) dan membela tanah air. Perang itu sendiri tak bisa dibandingkan dengan perang mana pun di Indonesia berlangsung paling lama (30 tahun), menewaskan puluhan ribu manusia, dan menguras sampai ke dasar dana pemerintah Hindia Belanda. Kalau saja Eros melengkapi filmnya dengan sedikit narasi dan petunjuk pada peta, denyut perang tentulah akan lebih terasa. Isma Sawitri
Tahun-tahun gerilya tjoet nya'dhien
TJOET NJA' DHIEN Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Pietradjaja Burnama, Rudy Wowor, Ibrahim Kadir Skenario & Sutradara: Eros Djarot APAKAH film Tjoet Nja' Dhien bercerita tentang kepahlawanan, atau tentang perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara? Pertanyaan ini timbul karena untuk bercerita semata-mata tentang kepahlawanan Dhien, adegan perang yang kolosal, dan sistem Dolby Stereo agaknya bukanlah keharusan yang mutlak. Mengapa? Sederhana saja masalahnya. Kepahlawanan Dhien baru menyata dan mengkristal dalam perang gerilya yang dipimpinnya, bukan dalam perang terbuka yang frontal dan menuntut penyajian kolosal. Perang gerilya Dhien dengan strategi berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang -- sebenarnya adalah tema yang tidak kurang pekat untuk digarap. Didampingi putri tunggalnya, Tjoet Gambang, entah berapa ratus kilometer yang ditempuh wanita luar biasa ini -- selama lebih kurang lima tahun -- menyeberang dari kampungnya di Lam Padang, menuju Meulaboh, dan berakhir di Beutong. Dan semua itu dilakukan di bawah ancaman pengejaran tentara kaphe Belanda, yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, kekuatan pasukan dan logistik. Andaikan tema itu, misalnya, bisa diperkuat dengan bahan-bahan sejarah, niscaya kisah kepahlawanan Dhien akan lebih kaya, biarpun tentu, kurang bergelora dan kurang darah. Kontak-kontak senjata dengan taktik hit and run yang khas gerilya tentu kurang menggugah. Visualisasi semacam inilah agaknya yang mau dihindari sutradara Eros Djarot. Ia pada dasarnya ingin mengagungkan Dhien, tapi pada saat yang sama berusaha memberi bingkai sejarah yang gegap gempita untuk kepahlawanan wanita bangsawan ini. Maka jadilah sebuah film spektakuler, berkisah tentang Perang Aceh dengan kepahlawanan Dhien sebagai tema pokok. Bila ditilik lebih tajam, sebenarnya ada dua tema yang diangkat bersama-sama: satu episode Perang Aceh (1873-1904) dan profil Tjoet Nja' Dhien.
Tema ganda ini membawa konsekuensi tersendiri: peta dan proses perang menjadi kurang jelas dan fragmentaris, sementara pribadi Dhien kurang tergali. Tak ditemukan cuplikan dari masa kecilnya, katakanlah misalnya momen-momen penting saat ia dibesarkan di sisi seorang ayah yang juga pejuang ternama: Panglima Nanta Setia. Juga tidak terkilas bagaimana corak hidupnya ketika Teuku Umar, suami kedua selama tiga tahun menyeberang ke pihak musuh, dengan tujuan mencuri senjata dan mempelajari siasat perang Belanda. Singkatnya, informasi disajikan terbatas, hingga pemahaman penonton tentang Dhien juga terbatas. Kalaupun semua itu bisa disebut sebagai cacat, maka bagaikan torehan tipis, cacat itu hampir-hampir tak kentara. Sebagian besar kekuatan film ini terutama ada pada suasana yang secara bersama-sama ditunjang oleh pemotretan (George Kamarullah), musik (Idris Sardi), dan penyuntingan gambar (Karsono Hadi). Kendati proses perang Aceh tak terungkap dengan baik, editing yang cermat telah menyajikan jalan cerita yang acap kali membuat penonton menahan napas. Mereka melihat sosok perang yang lain. Musik yang membawa getaran magis, obor-obor yang bergerak semakin cepat dan semakin banyak, kelewang (pedang) yang berkelebatan. Dramatis. Belum lagi adegan dengan teknik gerak lambat, yang melukiskan kebiadaban pasukan Van Dalen di sebuah kampung di Tanah Gayo. Di sini ritme cerita sedemikian terpelihara, hingga dalam adegan slow motion pun, ritme itu mengalami sinkronisasi yang pas. Tak ada ekspresi kengerian atau putus asa -- seperti yang, misalnya, dengan artistik sekali digoreskan oleh Goya dalam lukisannya Tiga Mei -- namun adegan pejuang yang roboh, disusul wanita dan anak-anak yang berlari, tapi juga kemudian roboh, telah amat mencekam.
Gambar-gambar yang bisu itu seakan melukiskan kengerian dan kesakitan, tanpa satu wajah pun -- disorot khusus. Namun, terasa sapuan Goya hadir di sana, lewat bidikan kamera dan gunting editor. Di balik itu semua, tentulah gagasan dan kreativitas sang sutradara yang menentukan. Simak saja dialog dan pidato Teuku Umar -- diperankan dengan baik oleh Slamet Rahardjo Djarot yang dengan alasan artistik terucapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Aceh campur aduk. Mungkin bagi telinga pribumi Aceh sesekali terkesan janggal, tapi penonton lain menerimanya sebagai hal baru, yang asing namun tidak mengganggu. Eksperimen itu melatih penonton untuk menerima adanya warna lokal, unsur yang memang terbawa dalam eksistensi kita sebagai bangsa. Hal lain yang juga eksperimental adalah menampilkan seorang penyair (Ibrahim Kadir) sebagai tokoh antagonis buat Tjoet Nja' Dhien. Terlepas dari tokoh ini fiktif atau tidak, kehadirannya dipertanyakan. Terkadang ia arif bijaksana, tapi lebih sering tampak konyol. Suatu saat ia mencela perang, tapi kali lain ia berkata, "Tjoet Nja' harus tetap hidup." Celotehnya acap kali membingungkan, hingga bagi Dhien ia merupakan lawan dialog yang serba tanggung, sementara bagi yang lain mirip pelipur lara yang menjengkelkan. Ada kesan, kehadiran penyair dipakai hanya untuk lebih menonjolkan kebesaran Dhien. Fungsinya sama dengan pedagang senjata dan dua pengkhianat: Teuku Leubee dan Fatma. Mereka bukan orang bodoh, tapi oportunistik. Begitu pula dua tentara Belanda, Voorneman dan Veltman (Rudy Wowor dan Roy Hadyanto Karyadi memerankan dengan pas kedua tokoh itu). Mereka hanya dua sekrup dari mesin perang kolonialis Belanda.
Orang-orang semacam ini memberi dimensi manusiawi yang negatif, sementara Dhien begitu sempurna. Tapi Eros cukup jeli untuk tidak "mendewakan" Dhien. Dengan melanjutnya usia, wanita yang tangguh ini mengalami erosi mental. Ia tidak bisa tegas terhadap pengkhianat seperti Fatma, ia juga bersikap mendua terhadap Perang Fisabilillah. "Akhirnya kita hanya saling bunuh," cetusnya suatu kali, ketika mendengar bahwa pasukannya berhasil membantai sejumlah besar marsose Belanda. Ada erosi tipis pada Dhien, sementara erosi yang lebih fatal menimpa Pang Laot (dimainkan dengan sangat baik oleh Pietradjaj Burnama). Tokoh yang selama bertahun-tahun menjaga keselamatan Dhien ini akhirnya menyerahkan sang pahlawan begitu saja ke tangan Kapten Voorneman, dengan membocorkan tempat persembunyiannya. Alasan Pang Laot: kondisi fisik Dhien -- buta dan digerogoti encok -- sudah terlalu parah. Film besar ini diakhiri dengan sebuah adegan besar, yang sulit dilupakan. Christine Hakim telah menghidupkan adegan penangkapan Dhien dalam kemampuan akting yang tidak ada duanya. Posisinya yang membungkuk, ekspresi wajah yang sulit ditebak, dikir yang seakan-akan begitu responsif terhadap penjelasan Pang Laot, dan tusukan rencong yang cepat dan begitu tiba-tiba. Disusul ledakan amarah seoran panglima perang. Itulah Dhien, tak bisa lain. Film ini berakhir ketika rombongan tandu yang membawa sang pahlawan bergerak saat hari mulai gelap.
Di layar ada memo penutup: Tjoet Nja' Dhien wafat tahun 1906 di Sumedang, jauh dari tanah dan rakyat Aceh yang sangat dicintainya. Eros Djarot telah menghidupkan kisah kepahlawanan ini dalam ungkapan keimanan seorang muslim yang kental, dan tekad baja yang tak pernah pudar. Sedangkan Perang Aceh, yang menjadi pentas untuk Dhien, hanya terangkat secara nyata dalam esensinya -- sebagai perang melawan kaphe (Belanda) dan membela tanah air. Perang itu sendiri tak bisa dibandingkan dengan perang mana pun di Indonesia berlangsung paling lama (30 tahun), menewaskan puluhan ribu manusia, dan menguras sampai ke dasar dana pemerintah Hindia Belanda. Kalau saja Eros melengkapi filmnya dengan sedikit narasi dan petunjuk pada peta, denyut perang tentulah akan lebih terasa. Isma Sawitri
26 November 1988
Bustanil bersama tjoet nja' dhien
SENIN malam pekan lalu, (sejumlah artis menyatroni) kediaman Menteri Koperasi Bustanil Arifin, di Jalan Hang Tuah, Jakarta. "Serbuan" dadakan itu ternyata tak mengejutkan tuan rumah. "Kami sedang mengadakan syukuran. Memang sangat mendadak, karena kru film pingin datang ke rumah saya. Jadi, saya buatkan sekalian upacara selamatan," kata Bustanil dengan senyum cerah. Dua hari sebclumnya, Christine Hakim menelepon Nyonya Bustanil. Ia dan rekan-rekannya ingin sowan. "Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan Bustanil Arifin dalam pembuatan film Tjoet Nya' Dhien," kata Eros Djarot, mewakili sejawatnya. Tapi karena hari itu kebetulan seorang cucunya ulang tahun, Bustanil minta mereka datang pada Senin malam. Keberhasilan Tjoet Nya' Dhien sebagai film terbaik FFI 1988 ternyata membahagiakan Bustanil sekeluarga. Sampai-sampai, menteri yang tinggi besar itu perlu menyelenggarakan peusejuk alias tepung tawar. Acara ini khusus dipersembahkan kepada Christine Hakim dan Slamet Rahardjo pemeran Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar. Mengapa Menteri Koperasi yang juga Ketua Bulog ini begitu bersemangat? Tersebutlah ketika Menteri selaku fungsionaris Golkar berkunjung ke Aceh pada tahun 1986. Di sana ia bertemu dengan para pendukung film Tjoet Nya' Dhien yang sedang macet karena kekurangan dana. Kontan sang Menteri membuka pundi-pundi dan memberikan Rp50 juta. Spontanitas itu sempat disemprot nyonya Bustanil. "Kok, seperti sinterklas saja, dalam lima menit mengeluarkan uang Rp50 juta," ujar Bustanil, menirukan ucapan istrinya, sambil tergelak.
Bustanil bersama tjoet nja' dhien
SENIN malam pekan lalu, (sejumlah artis menyatroni) kediaman Menteri Koperasi Bustanil Arifin, di Jalan Hang Tuah, Jakarta. "Serbuan" dadakan itu ternyata tak mengejutkan tuan rumah. "Kami sedang mengadakan syukuran. Memang sangat mendadak, karena kru film pingin datang ke rumah saya. Jadi, saya buatkan sekalian upacara selamatan," kata Bustanil dengan senyum cerah. Dua hari sebclumnya, Christine Hakim menelepon Nyonya Bustanil. Ia dan rekan-rekannya ingin sowan. "Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan Bustanil Arifin dalam pembuatan film Tjoet Nya' Dhien," kata Eros Djarot, mewakili sejawatnya. Tapi karena hari itu kebetulan seorang cucunya ulang tahun, Bustanil minta mereka datang pada Senin malam. Keberhasilan Tjoet Nya' Dhien sebagai film terbaik FFI 1988 ternyata membahagiakan Bustanil sekeluarga. Sampai-sampai, menteri yang tinggi besar itu perlu menyelenggarakan peusejuk alias tepung tawar. Acara ini khusus dipersembahkan kepada Christine Hakim dan Slamet Rahardjo pemeran Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar. Mengapa Menteri Koperasi yang juga Ketua Bulog ini begitu bersemangat? Tersebutlah ketika Menteri selaku fungsionaris Golkar berkunjung ke Aceh pada tahun 1986. Di sana ia bertemu dengan para pendukung film Tjoet Nya' Dhien yang sedang macet karena kekurangan dana. Kontan sang Menteri membuka pundi-pundi dan memberikan Rp50 juta. Spontanitas itu sempat disemprot nyonya Bustanil. "Kok, seperti sinterklas saja, dalam lima menit mengeluarkan uang Rp50 juta," ujar Bustanil, menirukan ucapan istrinya, sambil tergelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar