Tampilkan postingan dengan label GEDUNG TUA MENOLAK TUA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label GEDUNG TUA MENOLAK TUA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Desember 2012

JAMAN BERUBAH ATAU TIDAK ADA PILIHAN.


Pernah ada masanya di mana bioskop menjadi tempat paling gaul bagi anak-anak muda. Itu terjadi di negeri ini di era Orde Baru sekitar tahun 1980-an. Pada masa itu bioskop menjadi primadona bagi kalangan muda-mudi untuk menikmati hiburan di perkotaan.

Sebelum era 1970-an sarana hiburan rakyat untuk menonton film baru terbatas pada layar tancap alias bioskop keliling. Layar tancap yang biasanya digelar pada saat pasar malam ini memang gratis dan ditujukan sebagai sarana hiburan masyarakat kecil di daerah.

Dari masa inilah kemudian dikenal istilah 'misbar' atau 'gerimis bubar' karena layar tancap biasa digelar di lapangan-lapangan terbuka yang luas tempat rakyat bisa berkumpul sehingga jika gerimis datang penonton pun harus bubar pulang kandang. Di gedung bioskop orang tidak perlu khawatir lagi dengan misbar.

Pada tahun 1970-an televisi (TV) muncul sebagai sarana hiburan baru. Tapi ketika itu TV masih tergolong barang mewah dan mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat bisa memilikinya. Tayangan TV juga masih minim memutar film-film sebagai hiburan.

Sejak itu bioskop mulai diminati sebagai sarana hiburan menonton film di perkotaan. Di masa itu bioskop sekaligus menjadi dunia pemasaran perfilman di Indonesia.

Sebetulnya bioskop pertama di Indonesia sudah muncul sejak Desember 1900 di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kejayaan bioskop sebagai tempat paling diminati untuk menonton film bersama teman, pacar, keluarga, atau kerabat itu terjadi sekitar 1980-an hingga puncaknya di 1990-an.

Pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai masa emasnya dengan 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar. Ketika itu produksi film nasional mencapai 112 judul per tahun.

Dulu orang mengartikan bioskop adalah satu gedung dengan satu layar pertunjukkan. Namun kini telah terjadi pergeseran. Sekarang orang cenderung mengartikan bioskop sebagai tempat menonton film yang mempunyai lebih dari satu layar dan biasanya berada di kompleks pertokoan, mall ataupun pusat perbelanjaan yang menjadi tempat nongkrong anak-anak muda.

Tempat pertunjukkan dengan konsep gedung bioskop lebih dari satu layar itu kini disebut sinepleks. Konsep ini sebenarnya sudah muncul di tahun 1978 dengan didirikannya Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono, menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987.

Akibat munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop-bioskop kecil dikarenakan jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini juga muncul fenomena pembajakan video tape.

Zaman kemudian berganti. Di akhir tahun 1980-an kehadiran siaran televisi asing melalui antena parabola dan layanan TV kabel berbayar perlahan mulai menggerus pesona bioskop sebagai tempat menonton film.

Di awal 1990-an kemunculan Laser Disc (LD) atau pemutar film berbentuk piringan hitam kian menggerogoti kejayaan film layar lebar di bioskop. Hal itu ditambah hadirnya teknologi video compact disc (VCD) Player yang semakin meminggirkan selera masyarakat untuk pergi menonton ke bioskop. Dengan VCD Player yang tersambung ke TV dan meminjam VCD dari jasa penyewaan, orang bisa menonton film di rumah dengan lebih murah dan nyaman. Apalagi sejak itu pembajakan film melalui media VCD kemudian Digital Video Disc (DVD) mulai marak.

Masa 1991-1998 adalah masa paling kelam dalam industri perfilman dan bioskop Indonesia. Di periode ini perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Pada masa ini hanya sedikit dan bisa dihitung jari gedung-gedung bioskop lama yang berdiri di tahun 60-an dan 70-an yang masih bertahan.

Dengan kemunculan film Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho, setelah itu Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) di tahun 1998 yang sukses di pasaran, industri perfilman Indonesia kembali bangkit dan bergairah.

Kini dengan kemajuan teknologi TV yang bisa menghadirkan TV layar datar, Plasma hingga High Definition Televition (HDTV), dan jaringan bioskop dengan layanan mewah serta teknologi suara digital (Dolby Digital), layar Tiga Dimensi (3D), pesona bioskop-bioskop legendaris masa silam semakin memudar.

Salah satu di antara sedikit gedung bioskop lama yang masih bertahan dan tetap eksis sampai sekarang adalah Grand Theatre yang terletak di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, atau di simpang lima Jl Kramat Raya. Bioskop Grand, begitu biasa disebut didirikan pada pertengahan tahun ’60-an. Gedungnya masih kokoh berdiri tapi jauh dari kesan apik. Film-film yang diputar adalah film-film asing dan nasional yang lama.

Zaman berganti, bioskop jadul tak lagi diminati.

UNTUK SEBUAH NOSTALGIA


Saya memang tergolong telat mencintai film, walau jika ditilik dari segi usia tergolong masih muda (dan imut tentunya). Awal kecintaan pada film sebenarnya berawal dari saya jatuh cinta setengah hidup kepada bioskop. Lebih tepatnya adalah tur bioskop. Yang berjasa mengenalkan bioskop kepada saya adalah ayah saya (sekarang beliau menyesalnya habis - habisan setelah anaknya yang imut ini menjadi movie freak hohoho *benerin alis*). Dimulai dari iklan bioskop di surat kabar, entah bagaimana ceritanya saya kemudian tergila - gila untuk menyambangi setiap bioskop yang namanya tercantum di iklan tersebut. Di usia sekitar 7 tahun, kalau tidak salah, saya sudah mengunjungi setiap bioskop di Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan Kudus. Oh yeah! *bangga bener dah* Hobi ini berlanjut hingga sekarang. Namun yang paling saya sukai adalah saat mendatangi bioskop non-21 dan lokasinya tidak berada dalam mall. Ada rasa yang berbeda. Meski terkadang fasilitasnya kurang bagus dan kondisinya sudah amit - amit, tapi ada perasaan tersendiri berada di gedung bioskop independen. Yang paling terasa bagi saya adalah sensasi menonton di bioskop. Saat saya menonton sebuah film di bioskop dalam mall, terasa ada yang kurang. Namun saat berada dalam bioskop independen (maksudnya disini tidak mengikuti mall), terasa memuaskan, mengesampingkan bioskopnya mewah atau terlihat hampir runtuh.

Di era dimana bioskop dikuasai oleh satu grup saja, ada rasa kangen terhadap bioskop - bioskop jadul yang bukan berasal dari perusahaan raksasa. Saat saya pertama kali mengenal bioskop, itu adalah masa - masa kritis perbioskopan Indonesia. Perfilman dikuasai oleh film - film syur, bioskop banyak yang mulai hancur. Walaupun belum sepenuhnya mengerti film, di era ini saya mengenal nama - nama seperti Sally Marcelina, Indah Febrizha, Liza Chaniago hingga yang impor macam Pheng Tan dan Francoise Yip, hihihi *pasang muka polos* Mengenang masa itu, saya jadi teringat dengan bioskop Empire di Kudus. Bisa dibilang, saya pelanggan setia disana. Dari kelahiran hingga ajal menjemput, saya setia menemani. Waktu masih berjaya, film - film yang diputar disini lumayan update, bahkan memiliki AC. Pengunjung pun ramai. Namun memasuki tahun 2000-an, Empire mulai terseok - seok. Dari 4 studio, sisa 2 studio diserahkan kepada film lokal atau film China yang 'sumuk' (baca : panas). Pengalaman menonton yang buruk pun mulai saya rasakan. Kala itu, saya emosi setiap selesai menonton. Namun jika pengalaman ini diceritakan kepada teman - teman, saya malah ngakak sejadi - jadinya dan kangen dengan Empire. Dimulai dari Fantasi, sekitar tahun 2005. Saat itu saya menontonnya untuk kedua kalinya. Apa yang terjadi saudara - saudara ? Setiap para pemainnya mulai melantunkan lagu, sound-nya ngelokor (duh, apa ya bahasa Indonesia-nya ? Pokoknya suara kaset yang rusak). Parah amat. Waktu nonton Kala, gambarnya buram. Chika, banyak adegan yang dipotong biar durasi pas. Namun yang paling parah ketika nonton Get Married. Alamak, suara hujan yang derasnya ampun - ampun terdengar di dalam studio hingga tak bisa mendengar dialognya ! Hebatnya lagi, para penonton kedatangan 'tamu tak diundang' yang seliweran di depan layar. Seekor kucing dengan muka tak berdosanya mengeong dan melenggak - lenggok dengan santainya. Sudah serasa mau pingsan saja. Apalagi ruangannya pengap, tak ada AC. Help me !

Kini, bioskop 'unik' itu sudah wafat. Empire memang mengikuti sebuah mall, namun itu adalah satu - satunya bioskop yang tersisa di Kudus. Ah, jika mengenang masa kecil, betapa lucu dan serunya. Masih ingatkah kalian dengan mobil yang berkeliling kota dengan speaker yang berfungsi sebagai media promosi film - film yang tengah ditayangkan di suatu bioskop ? Setiap saya mendengar suara dari speaker tersebut, biasanya saya langsung lari ke jalan raya untuk mengambil pamflet - pamflet yang disebar. Pernah suatu kali iseng, bisa dapat 20 lembar pamflet dalam sehari, hihi. Pamflet tersebut juga ditempel di beberapa sudut strategis. Jika ditanya benda apa yang pertama kali aku curi, maka saya akan menjawab pamflet bioskop *malu. Di Solo malah lebih unik lagi. Jika Kudus hanya berupa pamflet, maka Solo memiliki poster mini. Medianya pun bukan cuma papan, tapi ditempel di atas toko atau warung yang lokasinya strategis. Disana memuat judul film, nama pemain, bioskop yang memutar dan jam tayang. Tidak semua lokasi hanya berisi info dari satu bioskop, ada beberapa lokasi yang keroyokan dimana meliputi semua bioskop di Solo. Sayangnya sekarang sudah tak bisa ditemui lagi. Sepengetahuan saya, hanya tersisa bioskop Rajawali di Purwokerto dan Dieng di Wonosobo yang masih memakai cara klasik untuk promosi. Entah dengan kota lain. Sekarang bioskop - bioskop besar pun lebih suka memakai iklan di koran atau internet untuk promo. Poster di depan bioskop berbentuk lukisan pun sekarang makin jarang ditemui.

Coba hitung, ada berapa banyak bioskop di Jakarta dan Bandung yang masih mempertahankan poster di luar gedung bioskop ? Saya yakin, jumlahnya tak banyak. Bahkan di Surabaya, ini sudah tak bisa ditemui lagi. Di kota dimana saya tumbuh ini, bioskop independen tak memiliki tempat. Surabaya dan Mitra yang dulu menjadi favorit sekarang sudah tutup dan beralih fungsi. Perhatian penonton beralih ke Sutos. Sungguh disayangkan. Walaupun di Mitra saya sering menjumpai 'sahabat kecil' yang berseliweran kesana kemari, tapi bagi saya ini adalah salah satu bioskop ternyaman di Surabaya. Harga tiketnya pun ramah dengan kantong. Golden yang kembali dengan bentuk baru, Fortuna, juga akhirnya menyerah setelah 9 tahun berjuang. Pada awalnya Fortuna khusus memutar film - film kelas B yang tak kita jumpai di 21. Tapi strategi itu tak berhasil. Sempat terjebak dalam film sumuk, Fortuna bangkit setelah 'bekerja sama' dengan 21. Jika ada bioskop 21 yang berdiri sendiri, maka itu adalah Metropole XXI (Jakarta) dan Empire XXI (Jogja). Siapapun tahu bahwa Metropole adalah bioskop yang bersejarah. Sempat hampir bangkrut hingga akhirnya diselamatkan 21 dan dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya oleh gubernur Jakarta. Empire XXI memiliki kisah yang lain lagi. Bioskop mewah ini dibangun diatas bekas lahan Empire 21 dan Regent yang hangus terbakar secara misterius di tahun 1990-an. Sempat mangkrak bertahun - tahun, lokasi yang menurut warga setempat ini angker, akhirnya dijadikan sebagai XXI pertama di DIY - Jateng. Meski tak mengikuti mall, kedua bioskop ini tak memasang poster lukis di depan gedung. Tulisan XXI / Cinema XXI yang menjadi penanda bahwa ini adalah bioskop.

Hadirnya Empire XXI membawa tumbal. Setidaknya ada 3 bioskop yang gugur semenjak Empire dan Studio (berlokasi di Plaza Ambarukmo) datang. Ketiga bioskop itu adalah Mataram, Indra dan Permata. Mataram sempat berjaya di tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an karena saat itu menjadi bioskop termewah di Jogja paska hancurnya Regent dan Empire. Kondisinya sekarang memprihatinkan, tak terurus dan terlihat seperti rumah hantu. Permata malah lebih mengenaskan. Bioskop yang berdiri sejak 1940-an ini pernah menjadi sebuah fenomena di tahun 60 - 70-an. Saat itu, hampir semua orang mengetahui Permata. Bahkan nama jalan dimana bioskop itu berada, Sultan Agung, kalah populer dan masyarakat lebih suka menyebutnya dengan Permata. Setelah bioskop modern menyerbu Jogja, Permata tenggelam. Bioskop antik ini mungkin tak akan dilirik jika temboknya tidak diselimuti mural. Menjelang akhir hayatnya, Permata memutar film - film sumuk. Sekali waktu saya mencoba menjajal nonton disini. Saya terkejut, interiornya klasik sekali. Penonton pun bebas melakukan apapun di dalam gedung, silahkan mau angkat kaki, membawa jajanan hingga merokok, tak ada yang melarang. Saat itu saya teringat dengan kisah dari orang tua dimana dahulu ada jeda di pertengahan film dan para penjaja makanan memasuki gedung bioskop. Saya geli membayangkannya. Oh iya, penonton pun bisa memasuki ruang operator jika minta izin. Wow, mesin pemutar rol film-nya jadul sekali. Sungguh sayang pemerintah tidak memperhatikan bioskop ini. Kalau pun akhirnya tutup, dialihkan menjadi semacam museum film atau gedung pertunjukkan rasanya lebih pantas ketimbang dibiarkan mangkrak atau malah dirobohkan.

Menonton film di bioskop jadul memang mengasyikkan. Sayangnya, sekarang ini hampir mustahil untuk ditemukan. Belum sempat menjajal asyiknya nonton di bioskop misbar (gerimis bubar) di Malang, eh sudah keburu wafat. Di tempat saya tinggal saat ini, Semarang, tak ada lagi bioskop murah meriah. Papan bioskop memang masih ada, tapi bioskopnya sudah tergolong mewah. E-Plaza (Entertainment Plaza) adalah satu - satunya bioskop lawas di Semarang yang masih bertahan hingga kini, itupun setelah berganti konsep menjadi one stop entertainment. Bioskop sinepleks pertama di Semarang ini agak mengingatkan pada Blitz Megaplex, namun dengan ukuran studio yang hanya sedikit lebih besar dari Movie Box. Malahan Citra 21 yang berlokasi di dalam mall yang memiliki kesan 'klasik'. Disini, saya mengalami 2 kesialan. Rol film kebalik saat nonton Harry Potter and the Goblet of Fire sehingga saya menikmati ending dulu baru klimaks dan listrik mati beberapa kali saat menyaksikan Chika. Apanya yang klasik ? Kursinya, saudara - saudara. Jika kalian kurang beruntung, maka akan menemukan kursi tanpa wadah minuman dan tentu saja, goyangannya. Jangan coba - coba menghantamkan punggung ke kursi dengan keras jika tidak ingin dipelototi penonton lain. Semua penonton yang berada dalam satu deretan akan merasakan hantaman itu dan belum lagi bunyinya yang mengganggu, kiyek kiyek kiyek. Oh, saya sangat merindukan bioskop - bioskop jadul :(