SEHELAI MERAH PUTIH
Waktu penjajahan Belanda, Suharjo (Kapt. Suhardono) bekerja di pabrik gula dan berkenalan dengan Sumarni (Pudji Suratmo), anak asisten wedana, yang kemudian diperistrinya.
Kebahagiaan tidak lama berlangsung, karena Suharjo terlibat perkelahian dengan seorang Belanda dan dipenjara. Anaknya lahir semasa ia masih dipenjara. Selepas penjara, datang pendudukan Jepang. Suharjo membentuk barisan bawah tanah. Jepang pergi, Suharjo membentuk barisan perjuangan lagi untuk melawan Belanda. Kali ini Suharjo gugur. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat memesankan agar pistolnya yang dibungkus sehelai merah putih diberikan pada Sumarni.
Kini giliran Sumarni yang membentuk barisan Srikandi yang merepotkan Belanda, hingga ayahnya ditangkap dan dibunuh. Setelah Belanda angkat kaki, Sumarni bekerja di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Di sinilah ia menceritakan pengalamannya pada ibu-ibu Persit, yang kemudian menjanjikan bea siswa pada anak Sumarni sampai ke universitas.
Yayasan Ikrar Bhakti milik Persit (Persatuan Istri Tentara).
YAYASAN IKRAR BHAKTI
ANOM PICTURES
LASKAR SRIKANDI, PEJUANG WANITA MILITAN
Perdana Menteri Kuniaki Koiso merilis keputusan resmi Kekaisaran Jepang
yang membuat seisi ruangan berguncang. Isi putusannya adalah Jepang
berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia secepatnya,
sebelum wilayah itu lumat diterkam pasukan Sekutu.
Putusan
sidang yang dibacakan pada 7 September 1944 itu segera memicu reaksi
pelbagai pihak di tanah air, termasuk organisasi perkumpulan perempuan
bikinan Jepang yang disebut Fujinkai. Dalam kondisi yang serba tak
tentu, Fujinkai memutuskan untuk mengadakan rapat di Taman Raden Saleh,
Jakarta, pada pertengahan September 1944.
Melalui rapat itu,
nyonya R.A. Abdurrachman selaku ketua Fujinkai Jakarta menyatakan
keberatan jika perempuan tidak dilibatkan dalam usaha penyambutan
kemerdekaan. “Perempuan Indonesia belum berpuas hati sampai kami bisa
mengadakan sendiri pertemuan untuk menyambut kebahagiaan Indonesia
merdeka di masa yang akan datang,” katanya seperti dilansir Asia Raya edisi 17 September 1944.
Siti Fatimah dalam The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War
(2010: hlm. 292) menyebutkan bahwa sejatinya perempuan Indonesia
awalnya tidak sudi bergabung dengan Fujinkai. Akan tetapi, seiring waktu
mereka berharap dapat melanjutkan gerakan emansipasi perempuan melalui
organisasi tersebut. Demikian negosiasi secara tidak langsung antara
perempuan dengan pihak Jepang telah terjadi sedari awal.
Tuntutan tersebut sebagian memang sesuai dengan ideologi fasisme Jepang.
Sejak tahun 1943, Jepang sudah berusaha membentuk jiwa militan di
kalangan perempuan Indonesia melalui serangkaian propaganda. Hal ini
ditunjukkan melalui pembentukan beberapa badan semi-militer istimewa
bernama Barisan Srikandi.
Propaganda merupakan kawan setia Jepang sepanjang periode Perang
Pasifik. Agar strategi ini berjalan mulus, Jepang selalu berusaha
memusatkan informasi ke satu titik dengan jalan melarang diskusi-diskusi
yang bersifat politik di setiap wilayah kekuasaannya.
Sebelas
hari setelah pemerintah kolonial Belanda menyerah pada bulan Maret 1942,
Jepang dengan sigap menggulung habis partai-partai politik dan
organisasi pergerakan di Indonesia. Organisasi perempuan yang saat itu
tengah tumbuh tidak luput terkena imbasnya. Mereka dipaksa untuk
menggabungkan diri ke dalam satu wadah bernama Fujinkai yang diresmikan
pada 3 November 1943 di Jakarta.
Fujinkai pada hakikatnya
dibentuk memakai dasar-dasar perkumpulan perempuan militan Jepang yang
bernama Dai Nippon Fujinkai. Di Jepang, anggota Fujinkai mencapai 15
juta perempuan berusia 20 tahun ke atas. Tugas mereka selalu berkaitan
dengan pertahanan garis belakang, seperti mendukung perekonomian dan
pengadaan peralatan perang.
Fungsi Fujinkai di Indonesia tidak
berbeda dengan apa di Jepang. Namun, karena Indonesia belum memiliki
industri alat-alat berat, maka sebagian anggota Fujinkai lebih sering
dikerahkan di bidang domestik seperti bercocok tanam dan membuat baju
karung goni bagi para pekerja romusha.
Di pengujung tahun 1944, pemerintah Jepang di Indonesia sudah
menunjukan gelagat kewalahan mempertahankan kekuasaan mereka di Asia
Tenggara. Oleh karena itu, Jepang mulai memobilisasi kaum perempuan
melalui serangkaian propaganda. Anna Mariana dalam Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru (2015: hlm. 29) menyebut segala upaya pengerahan kaum perempuan didukung sistem pemerintahan yang berasas militerisme.
Melalui tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan Fujinkai, Jepang memberi
kesan seolah perempuan Indonesia berusaha menanggalkan nilai-nilai
ketimurannya. Oleh karena itu, Jepang beralasan bahwa mereka patut
dididik kembali sebelum pasukan Sekutu menyerbu Indonesia.
Beberapa bulan sebelum Nyonya R.A. Abdurrachman menyampaikan pidatonya
yang berapi-api dalam rapat Fujinkai, sejumlah surat kabar serempak
mengampanyekan konsep perempuan ideal serta tanggung jawab mereka di era
perang suci.
“Perempuan Indonesia telah diberikan hak dan
tanggung jawab. Mereka sekarang memiliki kesempatan untuk menentukan
nasib sendiri dengan segala konsekuensinya. Diharapkan mereka
mempertahankan moralitas ketimuran,” tulis surat kabar Asia Raya edisi 28 Agustus 1944.
Pada bulan Maret, surat kabar Tjahaja
bahkan merilis artikel hasil tulisan seorang anggota Fujinkai bernama
Juningsih yang bertujuan mengampanyekan sosok Sembadra dari tradisi
pewayangan Jawa yang lemah lembut dan setia kepada suami. Di saat
bersamaan, artikel yang sama juga menyebut pentingnya perempuan
Indonesia menjadi seperti Srikandi.
“Srikandi adalah perempuan
yang sangat berani, siap mengorbankan diri melindungi tanah airnya,
sementara Sembadra memiliki moral yang tinggi, suci, setia, dan pemimpin
dan pengajar yang ideal,” tulis Juningsih dalam Tjahaja edisi 4 Maret 1944 seperti dikutip Siti Fatimah (hlm. 296).
Bukan
sebuah kebetulan jika satu bukan kemudian, surat kabar yang sama
memberitakan pembentukan Barisan Srikandi. Kelompok ini wajib diikuti
oleh perwakilan gadis remaja dari setiap desa di Karesidenan Jakarta.
Menurut catatan Fatimah, lebih dari 660 gadis berusia 15 sampai 20 tahun
dipaksa memenuhi panggilan latihan memanggul senjata dan berpartisipasi
dalam perang Asia Timur Raya (hlm. 297)
Barisan Srikandi secara resmi berdiri pada bulan April 1944 di Jakarta.
Badan semi-militer ini dibentuk di bawah Fujinkai melalui pangreh praja.
Agar tidak menimbulkan kesan badan ini dikuasai sepenuhnya oleh Jepang,
maka putri Residen Jakarta yang bernama Sudharti Sutarjo ditunjuk
sebagai pimpinan pelatih membawahi tiga orang guru perempuan.
Berdasarkan tulisan Nino Oktorino dalam Nusantara Membara "Heiho": Barisan Pejuang Indonesia yang Terlupakan
(2019: hlm. 31) diketahui bahwa Barisan Srikandi merupakan barisan
istimewa. Para anggotanya wajib mengikuti pelatihan keprajuritan di
tangsi-tangsi militer sembari dijejali tata krama dan adat kewanitaan.
“Pihak Jepang menginginkan agar jiwa, jasmani, dan rohani anggota
Barisan Srikandi tergembleng oleh latihan ilmu keprajuritan itu agar
mereka dapat menjadi pemimpin wanita yang berbudi luhur, di samping
tugasnya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga,” tulis Oktorino.
G.A. Ohorella dan kawan-kawan dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional
(1992: hlm. 40) menjelaskan bahwa Barisan Srikandi memang dipersiapkan
untuk bertempur lantaran proporsi pelatihan militernya yang unggul. Akan
tetapi, harapan Jepang menerjunkan barisan ini ke garis depan tidak
pernah tercapai. Tepat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan,
Fujinkai beserta seluruh sub-organisasinya turut dibubarkan pemerintah.
Setelah
kabar kekalahan Jepang sampai ke telinga golongan muda pada 14 Agustus
1945, beberapa anggota Barisan Srikandi menjadi perempuan-perempuan
pertama yang ikut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh Jakarta.
Bersama gerakan pemuda bawah tanah, mereka ikut dalam aksi perampasan
senjata dan bahan baku pembuatan bendera di gudang-gudang milik Jepang.
“Dalam aksi tersebut, kami dari Barisan Srikandi turut serta menurunkan
bendera di kantor-kantor, yakni menurunkan bendera Jepang dan
mengibarkan Sang Merah Putih. Setelah itu, kami ditugaskan untuk
membagi-bagikan bendera itu ke seluruh Jakarta,” tutur Partinah dalam
kumpulan tulisan Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 Jilid I (1995, hlm. 183).
Sepanjang
perang revolusi, anggota Barisan Srikandi berpencar ke seluruh penjuru
Jawa. Banyak di antara mereka yang memilih berjuang bersama Laskar
Wanita Indonesia (Laswi) dalam pertempuran mempertahankan Bandung.
Beberapa di antaranya ada pula yang tercatat sebagai pendiri badan
kelaskaran Pemuda Putri Republik Indonesia yang punya andil dalam
pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Laskar Wanita/Srikandi Indonesia PANTANG BERCINTA SEBELUM MERDEKA
Sebagai organisasi perempuan pelopor setelah kemerdekaan, Perwari yang
bermula dari Fujinkai menggelar kongres pertama pada 17 Desember 1945
untuk membahas kelanjutan perjuangan perempuan. Namun, ketimbang
membulatkan pendapat, kongres itu malah membuka ruang perdebatan baru.
Menurut kesaksian salah seorang anggota Perwari, Nyonya Djatmani Suparta, dalam tulisannya pada buku Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi Jilid IV
(1984, hlm. 79-80), kongres pertama sangat bertele-tele. Alur
pembicaraan kongres semakin tak jelas. Sebagian peserta saling lempar
argumen dan tidak mau mengalah.
Tiba-tiba terdengar suara lantang yang terkesan galak dari barisan
belakang. Seorang perempuan bersepatu lars, berseragam hijau, lengkap
dengan pistol di sisi kanan, berdiri menegur para perempuan yang saling
berselisih. Dia adalah Sumarsih Subiyati, pimpinan Laskar Wanita
Indonesia (Laswi).
“Ibu-ibu, mengapa hal yang kecil-kecil
dibicarakan sampai berlarut-larut, ingat ini masa perjuangan, masa
revolusi! Di garis depan, kalau sesuatu soal tidak dapat dibicarakan dan
diselesaikan dengan mulut, kami selesaikan dengan senjata!” ujar
Sumarsih seperti dikutip dari catatan Nyonya Djatmani Suparta.
Busana yang dikenakan Sumarsih sangat kontras dengan kebaya dan
selendang yang dikenakan para perempuan dalam kongres Perwari. Kehadiran
Sumarsih di Yogyakarta saat itu memang bukan untuk bersosialisasi
dengan para perempuan organisasi. Sumarsih sengaja datang sebagai
peninjau sekaligus mencari kandidat baru Laswi.
Seusai kongres
Perwari, Nyonya Djatmani Suparta yang sebelumnya sudah berpengalaman
dalam Fujinkai, memutuskan untuk bergabung dengan Laswi cabang
Yogyakarta. Penolakan dari orang tua sempat terlontar mengingat reputasi
Laswi yang identik dengan citra tentara.
Selain Nyonya
Djatmani, Laswi memang banyak menyerap keanggotaan dari kalangan
perempuan revolusioner yang aktif berorganisasi. Beberapa perempuan yang
kemudian dikenal sebagai pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
seperti Umi Sardjono dan Tris Metty pernah digembleng di bawah Laswi.
Berdasarkan wawancara Sugiarta Sriwibawa dengan Sumarsih Subiyati,
diketahui bahwa Laswi lahir di bawah komando Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) di Jawa Barat. Setelah kabar tibanya pasukan Sekutu menyebar luas,
Sumarsih—yang ternyata merupakan istri komandan Badan Keamanan Rakyat
(BKR) Divisi III Jawa Barat Arudji Kartawinata—berusaha meyakinkan dua
orang pimpinan TKR Jawa Barat agar perempuan Bandung diizinkan ikut
berperang.
Wawancara yang dikisahkan kembali ke dalam novel perjuangan bertajuk Laskar Wanita Indonesia
(1985, hlm. 36) itu juga menyatakan bahwa perjuangan Laswi yang
sebenarnya baru dimulai ketika pasukan Inggris dan Gurkha tiba di
stasiun Bandung pada 12 Oktober 1945.
Pasukan Laswi secara resmi
berdiri untuk membantu TKR di garis belakang dalam pertempuran
mempertahankan Bandung. Namun, sesekali mereka juga dilibatkan di garis
depan. Konfrontasi antara Laswi dengan tentara Gurkha ditunjukan melalui
kisah seorang gadis bernama Willy yang memiliki nama samaran Kambela
Dewi.
“Pada suatu saat penyerbuan akan dimulai, saya berteriak
pada mereka [tentara Gurkha]. Salah seorang dari mereka lalu menjawab.
Ia begitu mengejek dan seolah-olah akan berbuat yang tidak baik. Samurai
pendek memang sudah terhunus bila berada di front,” tulis Willy dalam antologi Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (1995, hlm. 358).
Dalam Laswi, para perempuan memang banyak mendapatkan pelatihan
kedisiplinan, cara menembak, bahkan mempelajari siasat tempur serta
pertahanan langsung dari TKR. Banyak pula anggota Laswi yang pernah
dididik di bawah Barisan Srikandi, barisan perempuan perjuang di bawah
Fujinkai bentukan Jepang. Tak heran, Laswi berkembang menjadi laskar
perempuan yang dikenal berkat kedisiplinan dan rasa solidaritasnya
dengan sesama pejuang.
Pada pengujung bulan Oktober 1945, Radio Pemberontakan mengkritik pedas
kegagalan laskar Jawa Barat merebut markas Kempeitai Kiaracondong di
Kota Bandung. Hal ini memicu pertikaian dan sempat menimbulkan
kesalahpahaman di kalangan pejuang. Salah seorang anggota Laswi lantas
menembak mati tentara Gurkha untuk membela laskar Jawa Barat.
“Untuk membuktikan bahwa pemuda-pemudi Bandung sama sekali bukan
‘peuyeumbol’ [bermental lembek], seorang Laswi bernama Soesilowati telah
menembak mati seorang serdadu Gurkha dan memenggal kepalanya. Potongan
kepala itu dikirim ke Jawa Timur,” tulis surat kabar Buana Minggu (3/9/1978).
Menurut penuturan Sumarsih Subiyati, dirinya sangat hati-hati saat
membawahi Laswi agar tidak terjadi pelanggaran moral dalam masyarakat
yang cenderung masih tradisional. Untuk itu, Sumarsih menetang keras
segala hubungan percintaan dalam tangsi militer. Syarat ini secara
khusus diperuntukkan bagi anggota Laswi yang masih gadis.
“Tidak seorang lelaki pun diizinkan memasuki gedung kami. Tidak ada love affairs,
karena para gadis Laswi tidak diperkenankan mempermalukan diri sendiri,
dan jika aturan itu dilanggar maka sanksinya peluru,” ungkap Sumarsih
kepada Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010, hlm. 148).
Laswi sering mendampingi tentara sepanjang perang revolusi. Sekilas,
Laswi memang nampak seperti tentara perempuan. Bahkan mereka juga diberi
pangkat kemiliteran, meski sifatnya hanya sementara.
“Saya
masuk Laswi dengan pangkat sersan, tetapi saya tidak pernah memakai
tanda pangkat tersebut karena malu. Lama-lama saya tahu bahwa pangkat
tersebut hanya sebagai pelengkap,” ungkap Hajjah Habibah Lubis dalam Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (hlm. 59).
Laswi memang bukan satu-satunya laskar perempuan sepanjang masa perang
revolusi. Masih banyak lagi perempuan yang berjuang di garis belakang.
Laswi justru sebaliknya, mereka cenderung lebih keras berjuang menuntut
kedaulatan.
Berdasarkan penelusuran majalah Femina
(10/8/1982) diketahui bahwa Laswi pernah bergabung dengan laskar
perempuan lain dari Solo yang bernama Laskar Putri Indonesia (LPI).
Tetapi, penggabungan ini tidak berumur panjang karena terjadi perbedaan
prinsip di antara keduanya.