Tampilkan postingan dengan label AGUS MULJONO 1951-1961. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AGUS MULJONO 1951-1961. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Agustus 2020

AGUS MULJONO (1951-1961)

AGUS MULJONO


Bintang Film yang dalam waktu singkat dapat menduduki peranan utama dalam film “Taufan” produksi Ksatrya Dharma Film Coy, tak lain dan tak bukan adalah Agus Muljono, seorang pemuda yang berasal dari Jogjakarta dan mempunyai semangat besar dan berminat dalam lapangan film Indonesia. Memang dalam mencapai cita-citanya seseorang tidak boleh putus asa dan berkecil hati, justru dapat mengatasi persoalan yang demikian. Inilah Agus Muljono dalam waktu pendek dapat menduduki tempat yang baik.

Tidak sedikit para pemain film Indonesia di Kota Jakarta ini yang hidupnya terkatung-katung, oleh karena beberapa faktor yang tak mungkin dihadapinya dengan tenaga dan pikiran zonder bantuan dan uluran tangan dari para penguasa film.  Untuk mendapatkan nama baik sebagai pelaku film, hanyalah dengan ikhtiar dan berusaha ke arah itu. Bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh banyak para pelaku film tetapi buah dan hasilnya tetap tergantung kepada nasib…..

Dalam hal ini, sekolah tinggi tidaklah menjadi syarat mutlak. Tetapi tenaga yang kreatif dan kemauan yang diujudkan dengan kenyataan akan membawanya ke arah kenamaan. Agus Muljono seorang pelawak muda yang menjadi favorit masyarakat yang gemar akan comic, tidak pula menempuh pelajaran tinggi. Akan tetapi toch mempunyai nama baik di kalangan dagelan. Ia hanya menempuh pelajaran di Schakelscool, inipun katanya sudah merupakan keuntungan baginya, karena sejak sekolah biayanya dipikul sendiri. Kesulitan-kesulitan hidup selagi kecil merupakan cambuk jiwanya untuk berbuat sesuatu guna mencapai cita-cita yang membumbung setinggi langit.

Ayahnya telah mendahului selagi masih kanak-kanak, kakaknya yang diharapkan akan dapat membantu dalam memelihara hidupnya, dipecat dari pekerjaannya karena tersangka dalam politik yang benci oleh pemerintah Belanda. Dan tak lama kakaknya inipun meninggal dunia. Mulai saat itulah Agus Muljono yang masih kecil ini belajar hidup sendiri. Justru penderitaan inilah, Agus Muljono menjadi seorang pemuda yang pendiam. Bagaimana juga ia dicetoti oleh ibunya, iapun tak menangis. Sampai ibunyapun ingin mendengarkan bagaimana kalau anaknya, Agus Muljono itu menangis.

Wataknya yang pendiam, ini berlangsung sampai ia tamat belajar. Setelah mengenal masyarakat dan bergaul dengan teman-temannya yang lain yang banyak variasinya, maka Agus Muljono tidak lagi menjadi pemuda yang pendiam. Ia menjadi seorang yang banyak humornya, banyak ceritanya yang lucu,  hingga teman-temannya banyak yang mencintainya. Dan lagi iapun senang tertawa. Sejak kecil sampai dewasa kini, ia selalu hidup atas usahanya sendiri.

Sejak banyak humornya inilah ia rupanya bangkit kebakatannya sebagai badut, pelawak, dagelan, atau comic. Bangun dari kesadarannya, bahwa penderitaan tak perlu dipikirkan dengan mengenangkan kesusahan, berdirilah ia menghibur diri sendiri, diisinya kekosongan hatinya itu dengan kata-kata yang aneh dan mentertawakan, ialah dagelan. Mulailah ia melawak pada zaman pemerintahan Belanda yang dulu. Temannya banyak yang menentang, karena pekerjaan demikian rupanya dianggap kurang pada tempatnya untuk Agus Muljono. Pekerjaan rendah dan hina. Namun meskipun demikian, Agus Muljono tetap meneruskan keciptaannya, comic adalah perbuatannya yang dianggap dapat memberikan isi hati dan cita-citanya.

IA MULAI aktif membantu perayaan di kampung-kampung sekitar Jogja, apabila ada peringatan hari Besar dan sebagainya. Ia mendagel, penonton tertawa terbahak-bahak, perutnya keras. Tidak menerima bayaran ia main sandiwara atau dagelan, hanya melulu sumbangan saja. 17 Maret 1950, berdirilah Himpunan Lelucon KAWAN RAKYAT di mana ia menjadi anggotanya, bersama dengan almarhum D. Ariffin, Widjaj, Hardjomuljo. Di sinilah ia menjumpai partner-nya, yang ajaib dan menjadi sahabat karib. Mulailah ia dikenal oleh kampung-kampung sekitar Jogja, disamping Dagelan Mataram yang telah amat populer itu.

Dalam waktu agresi Belanda yang kedua, di mana kota Jogjakarta diduduki oleh militer Belanda, Agus Muljono keluar kota ikut menggabungkan diri dengan gerilja. Namun sayang tak lama ia tertangkap dan dipenjarakan. Aneh, tak lagi ramai ia. Pemuda yang banyak dagelannya ia menjadi pendiam kembali, tak bersuara,  jiwanya tertekan oleh 4 dinding yang tebal, doanya setiap hari, semoga lekas keluar dari belenggu penjara ini.

Barangkali takut dan tidak suka, kalau disuruhnya mendagel di muka tentara KNIL dan KL. Benar juga politiknya Agus ini.

Setelah penulis ini juga keluar dati tahanan Belanda, dan tiga hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jogjakarta, Agus Muljono tampak sebagai Mantri Klantung, mondar-mandir sepanjang Malioboro, mengukur jalan raya dengan kaki, mencari pekerjaan. Cari kerjaan, tak mungkin. Kalau saat itu bukan pegawai atau militer, tetap susah hidupnya. Tetap penganggur sebagaimana halnya penulis ini. Rumahnya di Tukangan, sekampung dengan Mbak Sur yang kulihat beberapa bulan yang lalu menjadi script-girl ffilm PULANG, produksi PFN.  Dulu masih pelajar Kino Drama Artilier asuhan Dr. Huyung.

Hasratnya besar untuk ikut menjadi pelajar KDA akan tetapi karena untuk menjadi pelajar KDA diperlukan basis sekolahan menengah, maka ia tak dapat diterima. Berulang-ulang usahanya ini di iktiarkan melalui jalan lain-lain, agar dapat ikut main sandiwara asuhan almarhum Dr Huyung. Hal ini pernah pula diajukan oleh Mbak Sur (Kumala Ratih) pada almarhum Dr. Huyung, tetapi sayang juga, tak dapat diterimanya. Meskipun kemahirannya dalam comic telah dipertunjukkan kebakatannya. Akhirnya ia aktif dengan hardjomuljo main sandiwara dengan Himpunan Lelucon “KAWAN RAKYAT”

Kemudian terkacbul juga cita-citanya, setelah berusaha lama untuk menunjukkan kemahirannya dalam mendagel. Selagi Stichting Hiburan Mataram mengadakan pertunjukan di Gedung Senisono, dengan REVUE FANTASIA-nya, maka Agus Muljono dengan kedua temannya, Hardjomuldjo dan almarhum Dalimin Ariffin, ikut meramaikan. Di dalam muncul di atas panggung besar ini ternyata trio ini tidak mengecewakan khalayak. Para penonton tertarik dengan gaya  dan humornya yang tidak menjemukan dan kolot itu. Memang ketiga pelawak muda ini sedang tampak kemahirannya dalam mengeraskan perut penonton.

KEMUDIAN sering terdengar suara mereka itu di Studio RRI Jogjakarta dengan cerita sandiwara yang bersifat comic, dengan menyitir suasana masyarakat. Kejurusan itulah cita-citanya, suatu cara yang tidak menjemukan pendengar radio. Pertama kali main dalam film bersama dengan hardjomuljo pemain comic partner-nya dalam film Perfini “ENAM DJAM DI JOGJA di bawah sutradara Usmar Ismail. Ia bermain sebagai figuran saja dan bukan figuran gagah, tetapi orang yang sedikit ber-comic.

Filmnya yang kedua, EMBUN produksi Perfini juga hanya sebagai figuran. Kasihan ia, perjuangannya di dalam film dimulai dari figuran, tidak seperti bintang film Subono, yang sekaligus memulai dari epranan utama dan mendapat hadiah  film…. Tjium.

Tetapi nyatanya, ALON-ALON KELAKON lambat laun tercapailah. Ia tak sombong. Kalau bertemu kawan lama, kemudian ramai, tetapi dengan wajah yang ingat-ingit….. tampak kasihan. Kini gagah dia. Selagi malam silaturahmi artis ia pakai setelan wol kuning muda, gagah, tetapi dasar orang tak senang gagah-gagahan, ya tetap diam, ternayta dengan nyanyiannya yang diucapkan dalam perayaan malam tersebut dalam nomor anak-anak Pak Kasur. Di Jakarta, KAWAN RAKYAT berganti baju dengan  nama KAWAN RIA, corak dan aliran sama dan Agus Muljono serta Hardjomuljo sebagai pelopornya, sering terdengar nomornya dalam panggung merdeka Studio RRI Jakarta.

Kini ia sudah berhasil dapat memegang peran utama dalam film “TAUFAN” produksi Ksatrya Dharma dengan sutradara Ali Yugo. Ceritanya cocok dengan dia, comic. Jadi giginya yang ompong ini malahan menambah kocaknya film. Pernah ia mengalami keadaan yang lucu. Selagi latihan meyopir becak, datang seorang ibu menawarkan untuk membawa ke pasar Senen. Dengan hati geli, dibawanya ibu itu meluncur ke Pasar Senen, tetapi setengah jalan nafasnya kembang kempis dua kali. Sang ibu diturunkan, ia minta maaf, dan menerangkan bahwa ia sedang latihan, karena dalam memegang peranan di TAUFAN ia sebagai sopir becak. Ibu ketawa geli, ia ketawa……

Demikianlah Agus Muljono, dagelan, comic ompong, yang semakin lama semakin meningkat baik. Kini ia sedang asyik opname dalam film PULANG sayang tidak pegang peranan pertama lagi. Kapan muncul sebagai leading-man lagi, Bung. Tinggalnya di Menteng, tegalan 109 Jakarta. (***)

MEMBURU MENANTU1961AGUS MULJONO
Director
SI KEMBAR 1961 AGUS MULJONO
Director
TAMAN HARAPAN 1957 TAN SING HWAT
Actor
TAUFAN 1952 ALI YUGO
Actor
MELARAT TAPI SEHAT 1954 T.D. TIO JR.
Actor
PANGERAN KUMIS 1961 AGUS MULJONO
Director
ENAM DJAM DI DJOGDJA 1951 USMAR ISMAIL
Actor
MELATI SENDJA1956BACHTIAR SIAGIAN
Actor

Minggu, 05 Juli 2020

PANGERAN KUMIS / 1961

 
Sjaiful Nawas adalah penyanyi dan pimpinan orkes di Sumatra Barat.
GEMA MASA FILM

SI KEMBAR / 1961

Dogol (Ahmady Hamid), pelayan restoran yang jujur dan beristrikan Ijah (Marlia Hardi), selalu mengharap hidup mewah, meski gajinya tak cukup. Suatu malam ia ditawari main film dengan gaji Rp 100 sehari. Dogol mulai mimpi dan meninggalkan kerjanya, meski sudah dinasehati istrinya. Ternyata Dogol hanya dipekerjakan satu hari dalam film. Maka Dogol menganggur, tapi meneruskan mimpinya dengan melamar ke kantor-kantor film. Ijah lalu bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Tina (Fifi Young) dan Hamid (Ahmadi Hamid). Suatu hari Dogol tertabrak mobil dan masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit ia dilihat oleh kawan Hamid, yang mau memberikan pinjaman Rp 100.000 pada Hamid. Dogol dikira Hamid, hingga dipaksa naik mobil, diajak ke restauran dan diberi uang. Waktu kawan tadi sedang ke belakang sebentar, Dogol melihat istrinya melintasi restoran. Dogol loncat mengejar istrinya sambil mengantongi uang Rp 100.000. Selepas Dogol pergi, Hamid datang untuk mengambil uang sesuai dengan janji. Kawan Hamid tentu saja kaget. Mereka bertengkar karena soal uang yang hilang itu, hingga polisi datang campur tangan. Sementara itu Tina yang di rumah juga kesal, suaminya tak pulang-pulang, padahal sudah janji nonton golek. Ia lalu nonton sendiri.

Di tempat pentas golek, ia makin kesal karena melihat Dogol, yang dikira Hamid, duduk berduaan dengan pembantunya, Ijah. Pulang ke rumah Hamid disemprot, dan keesokan harinya berniat pergi. Saat itu juga Ijah masuk kerja sebagaimana biasa. Dan pagi itu ia mengajak Dogol untuk minta nasehat tentang uang yang salah alamat tadi. Maka bertemulah dua orang yang serupa dan sebangun. Hamid tak terima ada orang yang sama. Diusirnya Dogol. Kemudian datang kawan Hamid dan polisi yang menangkap Hamid karena tuduhan penyelundup, pemeras dll. Maka Dogol menyerahkan kembali uangnya.

MEMBURU MENANTU / 1961


Janda pensiunan bupati, Ny Adi (Surip), ingin sekali agar anak gadisnya, Supriati (Sutrisno) mendapat jodoh berdarah bangsawan, berpangkat tinggi dan bertitel. Diramalkan seorang dukun (Rukun), bahwa Supriati akan berjodoh dengan orang bertitel yang kini sedang di luar negeri. Maka ny Adi mendadak bersikap baik kepada pak Mangun (Urip), bekas bujangnya, karena Sarip (Bowo), anak pak Mangun, dalam perjalanan pulang dari Belanda. Kenyataannya, Sarip cuma seorang koki di kapal. Ny Adi jatuh pingsan...

Sebelumnya Radial pernah membuat film Kunanti di Djogja (1958), tapi film berbahasa Jawa itu kurang laku. Untuk memperluas pasar, Memburu Menantu diberi teks bahasa Indonesia. Dalam ludruk, semua pemainnya lelaki.

RADIAL FILM
Pemain, 




Ludruk Marhaen / KIRI?
Teater rakyat yang lahir dari semangat revolusi 1945. Pasca peristiwa G30S, Ludruk Marhaen berada di bawah pembinaan militer.

Gelanggang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan memang cukup riuh. Bukan hanya pada ranah sastra, musik atau film, panggung seni pertunjukan pun turut masuk dalam pusaran di mana bangsa Indonesia tengah mencari identitas kebudayaannya.

Salah satunya ludruk, teater rakyat asal Jawa Timur. Dan nama Ludruk Marhaen merupakan yang paling terkenal pada era 1950-an hingga 1965. Tak hanya menyematkan nama Marhaen yang terdengar politis, ludruk ini juga turut andil dalam pergulatan kebudayaan Indonesia saat itu.

Semangat Revolusi
Menurut Henri Supriyanto dalam Lakon Ludruk Jawa Timur, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin pada 19 Juni 1949. Namun, kelompok ludruk asal Surabaya ini awalnya telah dibentuk sekitar tahun 1945, pasca Proklamasi.

“Dan di jaman bergejolaknya api revolusi 1945 lahirlah sebuah rombongan ludruk yang terdiri dari anak-anak muda dan hidup terus sehingga kini di bawah nama 'Marhaen'. Sandiwara ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada tahun 1948 karena terserak-sebarnya para anggota-anggotanya dan pada permulaan tahun 1950 dibentuk kembali dan berkedudukan di Surabaya,” tulis Harian Rakyat, 14 April 1958.

Setelah lahir kembali pada 1950, Ludruk Marhaen mulai aktif mementaskan lakon-lakon terutama terkait revolusi dan patriotisme. Ludruk ini kemudian dikenal luas tak hanya di wilayah Surabaya maupun Jawa Timur.

“Sejak itu sandiwara ludruk membuka tradisi baru dalam sejarah ludruk: drama tragedi dipanggungkan, dan bersamaan dengan zamannya, ia sepenuhnya didukung oleh gelora dan api patriotisme tetapi tanpa kehilangan wataknya yang khas sebagai ludruk yaitu satirenya. Dari saat berdirinya itulah, kini Ludruk Marhaen tetap mempertahankan tradisinya sendiri dan ia tetap memelihara kecintaan dan kesayangan publik terhadapnya, sejak dari Bung Karno sampai rakyat jelata,” tulis Harian Rakyat.

James L. Peacock dalam Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, menyebut Ludruk Marhaen muncul pada 1945 sebagai bagian dari sayap drama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), yang pada 1950 menjadi Pemuda Rakyat.

Meskipun Ludruk Marhaen tidak memiliki hubungan resmi dengan PKI atau Pemuda Rakyat, banyak aktornya terpegaruh ideologi komunis melalui ceramah, menghadiri kongres Pemuda Rakyat, atau ambil bagian dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Menurut Supriyanto, Rukun Astari mengatakan bahwa Ludruk Marhaen tidak berbau politik. Namun, Shamsudin mengatakan bahwa Ludruk Marhaen condong ke perjuangan kaum kiri.

Dalam wawancara dengan Peacock, Shamsudin mengatakan bahwa panggung ludruk memang telah menjadi bagian dari propaganda politik.

“Mereka yang mengkritik ludruk karena tidak menjadi seni, tidak berani berbicara tentang bagaimana ludruk diberangus oleh pemerintah kolonial, bagaimana Pak Gondo disiksa oleh Jepang karena perbuatannya. Kritik terhadap mereka yang menikmatinya... bagi kita di ludruk yang lahir dan menjadi hebat dalam kuali revolusi, ludruk menarik warisan heroik dari generasi rahim revolusioner!” kata Shamsudin.

Pak Gondo yang dimaksud Shamsudin adalah Gondo Durasim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Durasim. Dia adalah seniman ludruk yang menciptakan parikan atau semacam pantun berbunyi, “Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah soro” yang artinya “Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara.” Parikan itu membuat Jepang geram. Sang seniman dibui dan setahun setelahnya meninggal dunia.

Ludruk Marhaen dan Sukarno
Di antara kelompok ludruk Surabaya, Ludruk Marhaen paling sering mendapat undangan Presiden Sukarno untuk pentas di Istana Negara. “Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Sukarno,” kata Supriyanto.

Dalam pidato Sukarno, Tjapailah Bintang-Bintang Di Langit! (Tahun Berdikari) tahun 1965 Ludruk Marhaen juga disebut Bung Besar. Sukarno mengatakan: "Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah 'senyari bumi', apakah itu tidak masuk akal? Aku teringat kepada seniman-seniman Ludruk Marhaen yang mengatakan, 'Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, kemana pacul itu mesti dipaculkan!'"

Beberapa lakon luruk seperti, Kunanti di Djogja, Memburu Menantu, Mawar Merah di Lereng Bukit, dan Pak Sakerah pernah difilmkan. Film Kunanti di Djogja digarap oleh sutradara Lekra, Tan Sing Hwat. Film ini kemudian menerima penghargaan kategori skenario terbaik dan hadiah khusus pada Festival Film Indonesia 1960.

Sementara itu, pada 1961, kelompok ludruk bernama Tresno Enggal diindoktrinasi melalui ceramah oleh perwira militer yang menekankan tema "perang melawan Imperialisme dan Kolonialisme" dan "Cegah revolusi multi-level Sukarno dengan membangun negara secara moral, ekonomi, dan budaya,". Sejak itu Tresno Enggal membagi waktunya antara pertunjukan komersial untuk keuntungan sendiri dan tampil di kamp militer.

“Marhaen dan Tresno Enggal adalah dua kelompok yang paling terkenal karena loyalitas partai atau faksi mereka: Marhaen kepada PKI, Tresno Enggal kepada tentara,” sebut Peacock.

Selain dua ludruk tersebut, pada masa yang sama, di Surabaya berkembang berbagai ludruk seperti Ludruk Mari Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, dan Ludruk Panca Bakti.

Nama Marhaen ternyata tak hanya dipakai oleh Ludruk Marhaen Surabaya. Di Jombang, terdapat beberapa ludruk yang menyematkan nama Marhaen seperti Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen, dan Ludruk Marhaen Muda.

Sebagian besar kelompok ludruk tersebut memiliki kecenderungan mendukung politik berhaluan kiri. Namun pasca peristiwa G30S 1965, semua hal yang terkait atau dikaitkan dengan PKI, termasuk ludruk kena imbasnya. Organisasi-organisasi ludruk dilebur dan pembinaannya berada di bawah militer. Ada pula yang senimannya dikirim ke Pulau Buru. Eks Ludruk Marhaen akhirnya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit I.