Hasmanan lahir Sumbar 15 ' Agustus 1930 , adalah seorang sutradara, penulis Skenario dan Cerita dan juga pernah menjadi redaksi majalah " Olah Raga " dan koran harian " Pelopor Baru " ditahun 1968 lewat film-filmnya yang hampir dua puluh tahun , yang kebanyakan bertema komedi yang dibintangi oleh Bing Slamet dan Ateng. Film Drama yang sempat meledak dipasaran adalah Romi Dan Yuli yang dibintangi Rano Karno, Yessy Gusman, Widyawati, dan Sophan Sophian.
Di Tahun 1980, Filmnya " Anna Maria " mendapat nominasi di FFI {Sutradara Terbaik}, dan Aktor Ryan Hidayat dinominasihkan sebagai aktor terbaik dalam film ini
Nama aslinya Chalil Hasnan Manan, kelahiran Agam, Sumatra Narat. Sebelum terjum ke dunia film dia seorang wartawan dan kritikus musik. Ia gemar membaca dan memiliki koleksi buku dan majalah yang mencangkup bidang seni. Memulai karir film sebagai pembantu sutradara dan penulis skenario.
1960 pertamakali menyutradarai filmnya sendiri. Pada Festival Film Surabaya 1974 ia terpilih sebagai sutradara terbaik ke 2, tetapi selanjutnya ia sibuk membuat film yang semata-mata memuaskan produsernya. Ia terkenal sebagai pembuat film serial ATENG. Tidak semua film itu lucu meski menghasilkan uang. Meski ia sering membuat film dengan mutu rendah, ia teman yang baik untuk ngobrol tentang film yang serius.
"Kita harus berontak pada produser. Jangan beri kesemptan, pada mereka untuk mendikte kita". --Teguh Karya, dalam ceramah di TIM 29 Maret 1975. *** JAUH sebelum ia mengucapkan kalimat tersebut, Teguh Karya, 37 tahun, telah menembakkan pemberontakannya ke langit film Indonesia. Sukses dengan film Cinta Pertama di tahun 1974, ia serta-merta mendapatkan tawaran dari berbagai produser.
Tapi cerita yang akhirnya muncul di layar lebar adalah hasil pemberontakan sang sutradara. Kematian tetap mengakhiri film Ranjang Pengantin. Namun kematian dalam cerita itu akan tetap lebih rombengan, seandainya selera produser yang dipraktekkan Teguh. Mengikuti kehidupan perfilman sejak tahun 50-an - sebagai pemain maupun asisten sutradara--Teguh nampaknya memang orang yang pantas untuk mengobarkan sebuah "pemberontakan". Ia tahu betul sejarah film Indonesia. Dengan panjang lebar ia bisa berkisah, betapa dulu di masa itu sutradara bukan cuma didikte oleh produser yang memiliki modal, tapi juga oleh para juru kamera. Teguh yang mematangkan diri melalui teater sejak awal tahun 50-an itu melalui ASDRAFI (Yogyakarta) dan ATNI (Jakarta), menanti cukup lama untuk mulai berdiri penuh di belakang kamera. Pesangon Tentara Ketika di tahun 1972 ia memutuskan untuk melangkah ke dunia film lewat film Wajah Seorang Laki-Laki, ia bukan satu-satunya yang bertekad penuh. Bersama dengan Teguh, sekumpulan orang juga telah siap dengan sebuah rencana baru. Mereka itu adalah seniman muda yang beberapa tahun terakhir terus-menerus bersama Teguh Karya dalam setiap kegiatan teater sang sutradara. Mereka inilah yang dulu secara teratur membina kelompok penonton teater di Hotel Indonesia, jauh sebelum Taman Ismail Maruki dibangun. Dengan menggunakan nama Teater Populer, Teguh dengan teman-temannya memang tidak berharap terlalu banyak. Mereka bertindak sebagai pembina selera penonton. Dan usaha mereka cukup berhasil, baik dalam membina penonton maupun dalam mematangkan anggota grup mereka.
Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Riantiarno, Titik Qadarsih, semuanya menemukan bentuk melalui grup ini. Bersama dengan beberapa anggota lainnya, seniman-seniman itulah yang mendampingi Teguh Karya dalam melahirkan film-filmnya. Membuat film secara bergrup seperti ini memang bukan soal lazim di Indonesia, meskipun bukan pula barang baru. Di awal tahun lima puluhan, Usmar Ismail yang membangun Perfini, pada mulanya juga dengan cara bergrup. Dari Yogyakarta, pemuda-pemuda itu mendapatkan sejumlah uang dari pesangon mereka sebagai tentara yang diberhentikan dengan hormat. Modal yang konon jauh dari cukup itulah yang dimanfaatkan oleh almarhum Usmar Ismail, almarhum Surjosumanto, D. Djajakusuma Gayus Siagian, Soemardjono dan beberapa lainnya, untuk memulai suatu usaha film. Meskipun secara komersiil Perfini memang tidak sesukses perusahaan lainnya di masa itu, namun hanya dari Usmar dan kawan-kawanlah akhirnya lahir film-film yang betul-betul berkisah tentang manusia Indonesia dan soal-soal yang dihadapinya. "Semua itu karena kita dari semula sudah memiliki ide serta cita-cita yang sama", kata Soemardjono pada suatu kali. Dengan cita-cita serta ide yang sama, masing-masing orang memainkan peranan pada bidang yang berlainan, sembari saling isi mengisi. Kalau Gayus yang menulis skenario, Usmar yang menyutradarai, Soemardjono yang memadu gambar. Teguh Karya yang lama menjadi murid Usmar maupun Djajakusuma, nampaknya kini memanfaatkan kembali pengalaman dari guru-gurunya.
Kata Teguh Karya kepada Budiman S. Hartoyo pekan silam: "Riantiarno yang pemain, ia lebih jago menulis naskah dari saya". Karena itu Riantiarno selalu bersama Teguh menyiapkan skenario untuk film mereka. Henky Sulaiman, pemain yang juga tekun belajar penyutradaraan, oleh Teguh dianggap lebih tepat jadi produser. "Ia orang praktis", kata sang sutradara. Dan Henky sekarang memang lebih banyak sibuk mengurusi produksi. Slamet Rahardjo yang kini terkenal sebagai aktor, memenangkan piala Citra 1975 ini minggu lalu - ternyata juga punya kelebihan di bidang lain. Maka untuk produksi terbaru grup ini, Kawin Lari, Slamet bermain, tapi sekaligus juga bekerja untuk menciptakan set dekorasi. Cara kerja seperti ini tentu saja lebih praktis, efisien dan murah. Tapi lebih dari itu, team kerja macam ini lebih memungkinkan tercapainya hasil maksimal sebagai yang diinginkan oleh sang sutradara. Malahan mungkin justru pada sistim kerja bergrup inilah harus dicari salah satu tiang penyangga keberhasilan Teguh Karya. Pengalaman Usmar Ismail dan kawan-kawan barangkali bisa membenarkan dugaan ini. Tapi kenyataan yang ada di seputar dunia film Indonesia sekarang ini barangkali juga bisa ikut diperhitungkan. Jika soalnya cuma bakat atau ketrampilan saja, tentulah Wim Umboh atau Asrul Sani harus selalu bisa membuat film lebih baik dari Teguh. Tapi kedua sutradara itu, terutama Asrul, amat terbentur pada tiadanya kelompok kerja yang tetap.
Setiap membuat film bertemu lagi dengan orang baru. Dan ini tentu memerlukan penyesuaian dengan cara kerja serta selera sejumlah besar orang yang terlibat produksi. Kasusnya akan menjadi berat jika bersamaan dengan penyesuaian itu sutradara masih pula harus ikut memikirkan segala tetek bengek produksi, sebagai yang lazim terjadi pada Wim Umboh. Turino, Niko Tentu saja harus dibedakan grup macam Teguh Karya dgan para pekerja yang secara tetap bersama Turino Djunaedi. Dari semula Teguh membentuk grupnya memang dengan tumpuan artistik dan ide-ide, sedang Turino dari dulu hingga entah kapan, melihat film terutama sebagai barang dagang. Maka selain barangkali soal bakat, Turino yang terkenal mempunyai organisasi yang rapi itu nampaknya tidak bakal membuat film seperti Teguh. Tidak serapi dan seketat grup Teguh, adalah grup yang bersama Niko Pelamonia. Sutradara didikan ATNI ini juga tergolong pembuat film yang lumayan. Dalam beberapa hal, ia mempunyai latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan Teguh. Pernah bersama-sama ATNI, Niko ini juga mendapatkan kesenangan tersendiri dalam membuat film yang baik. Maka selain berselera cukup tinggi, ia juga mendapatkan pendidikan khusus tekhnik film di Jerman Barat. Karena itu ia mempunyai hak untuk mengeluh sembari berkata: "Pengetahuan elementer tentang film saja belum banyak diketahui oleh 91 sutradara anggota KFT". Tapi untuk sementara Niko nampaknya masih tidak sebeba Teguh dalam membuat film, sebab grup Niko berhimpun di sekitar sebuah perusahaan. Dan itu tentu saja harus secara langsung memperhitungkan soal laba-untung.
Teguh yang hidup dan bergiat pada sebuah sanggar sederhana -- dibeli dari pesangon otel Indonesia dan Honorarium main di TIM bersama teman-temannya dengan bebas bisa lebih memusatkan segalanya pada soal-soal artistik. "Kami biasa menderita. Pernah tiga bulan kosong tanpa rejeki", kata Slamet Rahardjo yang pernah jadi kasir grup itu selama 4 tahun. Terlalu menekankan keberhasilan Teguh pada kelompok kerjanya rasanya juga agak menyederhanakan persoalan. Bujangan, yag telah melewatkan dua pertiga hidupnya dalam pentas dan kemudian film itu, sesungguhnya tidak terlalu mengherankan jika sanggup menciptakan film-film sebagai yang klni dapat disaksikan. Ter kenal mula-mula sebagai aktor, Teguh yang kemudian menjadi sutradara itu ternyata mempunyai perhatian yang cukup luas. Ia seorang penata seni yang baik. Karena itu, baik pemanggungan maupun filmnya, semuanya hadir dengan rangkaian warna-warna yang serasi, dan manis. Pengalamannya yang lama di panggung itulah barangkali yang membawa Teguh pada kesimpulan ini: "Kita ini sebenarnya tidak punya tradisi menyajikan sesuatu hingga tamu betah. Kita bahkan tidak tahu bagaimana harus melakukannya". Dengan berkata begitu pada ceramahnya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 29 Maret yang silam, Teguh sebenarnya berbicara tentang keterampilan pembuat-pembuat film kita.
Dalam hal ini ia berdiri sejajar dengan Turino Djunaidi yang juga bicara tentang "kurangnya ketrampilan", dan karena itu "perlu up grading" Alat Optik Jika ketrampilan melulu diukur dari kepandaian menggunakan peralatan yang sifatnya teknis, nampaknya pernyataan yang rendah hati itu memang benar adanya. Tapi sepanjang film tidak melulu dilihat sebagai suatu proses teknik dengan alat-alat optik serta perekaman suara, tentulah soalnya tidak dengan mudah dapat diselesaikan melalui serentetan kursus, santiaji yang kemudian dilanjutkan dengan pembelian alat-alat modern yang serba lengkap. "Dengan peralatan yang sederhana dan dengan tenaga yang ada, toh, Ranjang Pengantin bisa lebih lumayan", kata Teguh. Sambungnya pula: "Kita sering mengeluh, peralatan kita kurang. Lha Eisenstain atau Chaplin itu dulu pakai apa?". Dan kalau ditanya lebih lanjut, Teguh hanya melanjutkan: "Yang penting kan ide. Kreatifitas". Justru ide dan kreatifitas itulah yang kini langka dari dunia film Indonesia. Orang-orang yang lihai dalam memainkan kamera ataupun memadu gambar memang tidak kurang. Tapi sepanjang pendekatan mereka memang hanya pendekatan dagang, tentu saja yang lahir hanya film-film dagang dengan segala macam resepnya. Orang macam Nawi Ismail, bukannya tidak trampil. Tapi sutradara yang satu ini betul-betul terampil sebagai tukang. Ia terampil membuat sejumlah film, berdasar suatu pola yang dianggap sedang digemari para konsumen--menurut pengamatan para produser. Ide dan kreatifitas melulu juga belum modal yang memadai untuk menjadi sutradara.
Orang macam Asrul Sani atau Wahyu Sihombing kurang apa kalau diajak berembuk soal ide? Tapi mereka toh belum membikin film sebaik Teguh. Bahkan Sjuman Djaja yang sarjana film sekalipun, masih harus hormat pada Teguh, meskipun lulusan Moskow itu cukup hebat keinginannya. Yang barangkali pantas untuk disejajarkan dengan Teguh adalah Wim Umboh dan Hasmanan. Wim Umboh terampil dan mempunyai cukup ide. Tapi modalnya masih tetap kurang dari Teguh, yang secara serius menggauli seni peran dan penyutradaraan lewat akademi maupun belajar sendiri sejak lebih dari 20 tahun silam.'Kekurangan-kekurangan Wim dalam segi ide-ide, sayangnya, tidak jarang membuat sutradara mahal ini menjadi tidak otentik dalam karya-karyanya. Hasmanan adalah seorang intelektuil. Dengan sutradara dan bekas wartawan ini orang boleh bicara banyak tentang bukan cuma film. Ia tahu musik, sastra. politik dan berbagai abang seni. Ia membaca bukan cuma novel dan berhagai surat kabar, tapi juga tulisan para Cineast besar. Tapi Hasmanan bukan pemberontak macam Teguh, meskipun sebenarnya ia juga punya kebolehan untuk itu. Maka berbicara dengan Tasmanan akan memberi kesan lain dengan apabila kita berkesempatan menonton filmnya.
Ketika membuat film Hasmanan mendadak sadar, bahwa yang ia kerjakan adalah sejumlah besar uang yang dipertaruhkan produser. Dan ia pun kompromi. Soal kompromi alau tidak, dari dulu memang tema utama hubungan timbal balik sutradara-produser. Bukan cuma di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Film besar Kurosawa, Singgasana Darab, juga lahir lewat kompromi. Karya almarhum Usmar Ismail, Tiga Dara dan Asrama Dara juga hasil kompromi. Tapi kompromi dan kompromi tetap saja mempunyai banyak emas. Kompromi seorang Kurosawa terang berbeda dengan seorang Hasmanan. Kompromi seorang Usmar Ismail masih jelas lain dengan Wahyu Sihombing yang menampilkan Rudy Hartono dalam Matinya Seorang Bidadari. Dan mereka yang mengikuti kisah Teguh Karya mengenai sejarah pembuatan film Ranjang Pengantin akhirnya tahu juga bahwa Teguh pun tak luput dari kompromi. Tapi kompromi yang bagaimana dulu? Pelacur Itu Dari pengalamannya berkompromi itulah rupanya Teguh Karya kemudian berani menyalahkan para sutradara yang membuat film jelek. "Jangan salahkan produser", katanya dalam ceramahnya. Dan untuk pernyataan yang nadanya membela produser, Teguh punya alasan. Pada kesempatan yang sama, ia mengisahkan pula bagaimana ia dengan cara yang cukup dingin mengajak seorang produser ke suatu restoran. Di sana. Kepada seorang pelayan wanita, yang harus bekerja karena harus menghidupi sejumlah anak, Teguh mengemukakan pertanyaan: "Kenapa anda tidak jadi pelacur saja?" Tentu saja sang pelayan jadi mendadak marah. Reaksi pelayan itu cukup bagi Teguh untuk membuktikan betapa tidak mudahnya seorang itu menjadi pelacur, meskipun bebannya berat. "Tokoh film saya, akhirnya tidak jadi pelacur", kata Teguh mengakhiri kisahnya.
Bagi Teguh, para produser itu tidak tahu apa-apa tentang film. "Mereka cuma punya uang, lalu melihat film sebagai tempat yang menguntungkan". katanya. Karena itu, Teguh menaruh sebagian besar tanggungjawab pada pundak para sutradara. Sayangnya pundak hampir seluruh sutradara film Indonesia tidak semua mampu memikul beban yang mestinya mereka pikul. "A .B. film saja belum diketahui oleh banyak sutradara film kita", kata Teguh pula. Nah, kalau yang dasar saja belum becus, bagaimana pula harus bicara macam Teguh mengenai ritme, kesatuan dramatik, atau kondisi sosial? Teguh Karya bahkan berkata: "Seorang sutradara harus menguasai seni sastra, falsafah ilmu jiwa, seni rupa dan sejarah kebudayaan". Kalau begini, masih lama baru ada sutradara yang berkebolehan. "Sepuluh tahun iagi, pasti ada", kata Wim yang masih kelihatan optimis. Tak berarti kini tidak boleh dicoba Hanya jangan lupa: selama struktur kehidupan film Indonesia masih seperti sekarang, tak akan lahir sutradara besar. Selama kekuasaan modal dan campur tangan birokrasi terlalu banyak, kreatifitas itu akan tetap kurang nafas.
Di Tahun 1980, Filmnya " Anna Maria " mendapat nominasi di FFI {Sutradara Terbaik}, dan Aktor Ryan Hidayat dinominasihkan sebagai aktor terbaik dalam film ini
Nama aslinya Chalil Hasnan Manan, kelahiran Agam, Sumatra Narat. Sebelum terjum ke dunia film dia seorang wartawan dan kritikus musik. Ia gemar membaca dan memiliki koleksi buku dan majalah yang mencangkup bidang seni. Memulai karir film sebagai pembantu sutradara dan penulis skenario.
1960 pertamakali menyutradarai filmnya sendiri. Pada Festival Film Surabaya 1974 ia terpilih sebagai sutradara terbaik ke 2, tetapi selanjutnya ia sibuk membuat film yang semata-mata memuaskan produsernya. Ia terkenal sebagai pembuat film serial ATENG. Tidak semua film itu lucu meski menghasilkan uang. Meski ia sering membuat film dengan mutu rendah, ia teman yang baik untuk ngobrol tentang film yang serius.
"Kita harus berontak pada produser. Jangan beri kesemptan, pada mereka untuk mendikte kita". --Teguh Karya, dalam ceramah di TIM 29 Maret 1975. *** JAUH sebelum ia mengucapkan kalimat tersebut, Teguh Karya, 37 tahun, telah menembakkan pemberontakannya ke langit film Indonesia. Sukses dengan film Cinta Pertama di tahun 1974, ia serta-merta mendapatkan tawaran dari berbagai produser.
Tapi cerita yang akhirnya muncul di layar lebar adalah hasil pemberontakan sang sutradara. Kematian tetap mengakhiri film Ranjang Pengantin. Namun kematian dalam cerita itu akan tetap lebih rombengan, seandainya selera produser yang dipraktekkan Teguh. Mengikuti kehidupan perfilman sejak tahun 50-an - sebagai pemain maupun asisten sutradara--Teguh nampaknya memang orang yang pantas untuk mengobarkan sebuah "pemberontakan". Ia tahu betul sejarah film Indonesia. Dengan panjang lebar ia bisa berkisah, betapa dulu di masa itu sutradara bukan cuma didikte oleh produser yang memiliki modal, tapi juga oleh para juru kamera. Teguh yang mematangkan diri melalui teater sejak awal tahun 50-an itu melalui ASDRAFI (Yogyakarta) dan ATNI (Jakarta), menanti cukup lama untuk mulai berdiri penuh di belakang kamera. Pesangon Tentara Ketika di tahun 1972 ia memutuskan untuk melangkah ke dunia film lewat film Wajah Seorang Laki-Laki, ia bukan satu-satunya yang bertekad penuh. Bersama dengan Teguh, sekumpulan orang juga telah siap dengan sebuah rencana baru. Mereka itu adalah seniman muda yang beberapa tahun terakhir terus-menerus bersama Teguh Karya dalam setiap kegiatan teater sang sutradara. Mereka inilah yang dulu secara teratur membina kelompok penonton teater di Hotel Indonesia, jauh sebelum Taman Ismail Maruki dibangun. Dengan menggunakan nama Teater Populer, Teguh dengan teman-temannya memang tidak berharap terlalu banyak. Mereka bertindak sebagai pembina selera penonton. Dan usaha mereka cukup berhasil, baik dalam membina penonton maupun dalam mematangkan anggota grup mereka.
Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Riantiarno, Titik Qadarsih, semuanya menemukan bentuk melalui grup ini. Bersama dengan beberapa anggota lainnya, seniman-seniman itulah yang mendampingi Teguh Karya dalam melahirkan film-filmnya. Membuat film secara bergrup seperti ini memang bukan soal lazim di Indonesia, meskipun bukan pula barang baru. Di awal tahun lima puluhan, Usmar Ismail yang membangun Perfini, pada mulanya juga dengan cara bergrup. Dari Yogyakarta, pemuda-pemuda itu mendapatkan sejumlah uang dari pesangon mereka sebagai tentara yang diberhentikan dengan hormat. Modal yang konon jauh dari cukup itulah yang dimanfaatkan oleh almarhum Usmar Ismail, almarhum Surjosumanto, D. Djajakusuma Gayus Siagian, Soemardjono dan beberapa lainnya, untuk memulai suatu usaha film. Meskipun secara komersiil Perfini memang tidak sesukses perusahaan lainnya di masa itu, namun hanya dari Usmar dan kawan-kawanlah akhirnya lahir film-film yang betul-betul berkisah tentang manusia Indonesia dan soal-soal yang dihadapinya. "Semua itu karena kita dari semula sudah memiliki ide serta cita-cita yang sama", kata Soemardjono pada suatu kali. Dengan cita-cita serta ide yang sama, masing-masing orang memainkan peranan pada bidang yang berlainan, sembari saling isi mengisi. Kalau Gayus yang menulis skenario, Usmar yang menyutradarai, Soemardjono yang memadu gambar. Teguh Karya yang lama menjadi murid Usmar maupun Djajakusuma, nampaknya kini memanfaatkan kembali pengalaman dari guru-gurunya.
Kata Teguh Karya kepada Budiman S. Hartoyo pekan silam: "Riantiarno yang pemain, ia lebih jago menulis naskah dari saya". Karena itu Riantiarno selalu bersama Teguh menyiapkan skenario untuk film mereka. Henky Sulaiman, pemain yang juga tekun belajar penyutradaraan, oleh Teguh dianggap lebih tepat jadi produser. "Ia orang praktis", kata sang sutradara. Dan Henky sekarang memang lebih banyak sibuk mengurusi produksi. Slamet Rahardjo yang kini terkenal sebagai aktor, memenangkan piala Citra 1975 ini minggu lalu - ternyata juga punya kelebihan di bidang lain. Maka untuk produksi terbaru grup ini, Kawin Lari, Slamet bermain, tapi sekaligus juga bekerja untuk menciptakan set dekorasi. Cara kerja seperti ini tentu saja lebih praktis, efisien dan murah. Tapi lebih dari itu, team kerja macam ini lebih memungkinkan tercapainya hasil maksimal sebagai yang diinginkan oleh sang sutradara. Malahan mungkin justru pada sistim kerja bergrup inilah harus dicari salah satu tiang penyangga keberhasilan Teguh Karya. Pengalaman Usmar Ismail dan kawan-kawan barangkali bisa membenarkan dugaan ini. Tapi kenyataan yang ada di seputar dunia film Indonesia sekarang ini barangkali juga bisa ikut diperhitungkan. Jika soalnya cuma bakat atau ketrampilan saja, tentulah Wim Umboh atau Asrul Sani harus selalu bisa membuat film lebih baik dari Teguh. Tapi kedua sutradara itu, terutama Asrul, amat terbentur pada tiadanya kelompok kerja yang tetap.
Setiap membuat film bertemu lagi dengan orang baru. Dan ini tentu memerlukan penyesuaian dengan cara kerja serta selera sejumlah besar orang yang terlibat produksi. Kasusnya akan menjadi berat jika bersamaan dengan penyesuaian itu sutradara masih pula harus ikut memikirkan segala tetek bengek produksi, sebagai yang lazim terjadi pada Wim Umboh. Turino, Niko Tentu saja harus dibedakan grup macam Teguh Karya dgan para pekerja yang secara tetap bersama Turino Djunaedi. Dari semula Teguh membentuk grupnya memang dengan tumpuan artistik dan ide-ide, sedang Turino dari dulu hingga entah kapan, melihat film terutama sebagai barang dagang. Maka selain barangkali soal bakat, Turino yang terkenal mempunyai organisasi yang rapi itu nampaknya tidak bakal membuat film seperti Teguh. Tidak serapi dan seketat grup Teguh, adalah grup yang bersama Niko Pelamonia. Sutradara didikan ATNI ini juga tergolong pembuat film yang lumayan. Dalam beberapa hal, ia mempunyai latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan Teguh. Pernah bersama-sama ATNI, Niko ini juga mendapatkan kesenangan tersendiri dalam membuat film yang baik. Maka selain berselera cukup tinggi, ia juga mendapatkan pendidikan khusus tekhnik film di Jerman Barat. Karena itu ia mempunyai hak untuk mengeluh sembari berkata: "Pengetahuan elementer tentang film saja belum banyak diketahui oleh 91 sutradara anggota KFT". Tapi untuk sementara Niko nampaknya masih tidak sebeba Teguh dalam membuat film, sebab grup Niko berhimpun di sekitar sebuah perusahaan. Dan itu tentu saja harus secara langsung memperhitungkan soal laba-untung.
Teguh yang hidup dan bergiat pada sebuah sanggar sederhana -- dibeli dari pesangon otel Indonesia dan Honorarium main di TIM bersama teman-temannya dengan bebas bisa lebih memusatkan segalanya pada soal-soal artistik. "Kami biasa menderita. Pernah tiga bulan kosong tanpa rejeki", kata Slamet Rahardjo yang pernah jadi kasir grup itu selama 4 tahun. Terlalu menekankan keberhasilan Teguh pada kelompok kerjanya rasanya juga agak menyederhanakan persoalan. Bujangan, yag telah melewatkan dua pertiga hidupnya dalam pentas dan kemudian film itu, sesungguhnya tidak terlalu mengherankan jika sanggup menciptakan film-film sebagai yang klni dapat disaksikan. Ter kenal mula-mula sebagai aktor, Teguh yang kemudian menjadi sutradara itu ternyata mempunyai perhatian yang cukup luas. Ia seorang penata seni yang baik. Karena itu, baik pemanggungan maupun filmnya, semuanya hadir dengan rangkaian warna-warna yang serasi, dan manis. Pengalamannya yang lama di panggung itulah barangkali yang membawa Teguh pada kesimpulan ini: "Kita ini sebenarnya tidak punya tradisi menyajikan sesuatu hingga tamu betah. Kita bahkan tidak tahu bagaimana harus melakukannya". Dengan berkata begitu pada ceramahnya di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 29 Maret yang silam, Teguh sebenarnya berbicara tentang keterampilan pembuat-pembuat film kita.
Dalam hal ini ia berdiri sejajar dengan Turino Djunaidi yang juga bicara tentang "kurangnya ketrampilan", dan karena itu "perlu up grading" Alat Optik Jika ketrampilan melulu diukur dari kepandaian menggunakan peralatan yang sifatnya teknis, nampaknya pernyataan yang rendah hati itu memang benar adanya. Tapi sepanjang film tidak melulu dilihat sebagai suatu proses teknik dengan alat-alat optik serta perekaman suara, tentulah soalnya tidak dengan mudah dapat diselesaikan melalui serentetan kursus, santiaji yang kemudian dilanjutkan dengan pembelian alat-alat modern yang serba lengkap. "Dengan peralatan yang sederhana dan dengan tenaga yang ada, toh, Ranjang Pengantin bisa lebih lumayan", kata Teguh. Sambungnya pula: "Kita sering mengeluh, peralatan kita kurang. Lha Eisenstain atau Chaplin itu dulu pakai apa?". Dan kalau ditanya lebih lanjut, Teguh hanya melanjutkan: "Yang penting kan ide. Kreatifitas". Justru ide dan kreatifitas itulah yang kini langka dari dunia film Indonesia. Orang-orang yang lihai dalam memainkan kamera ataupun memadu gambar memang tidak kurang. Tapi sepanjang pendekatan mereka memang hanya pendekatan dagang, tentu saja yang lahir hanya film-film dagang dengan segala macam resepnya. Orang macam Nawi Ismail, bukannya tidak trampil. Tapi sutradara yang satu ini betul-betul terampil sebagai tukang. Ia terampil membuat sejumlah film, berdasar suatu pola yang dianggap sedang digemari para konsumen--menurut pengamatan para produser. Ide dan kreatifitas melulu juga belum modal yang memadai untuk menjadi sutradara.
Orang macam Asrul Sani atau Wahyu Sihombing kurang apa kalau diajak berembuk soal ide? Tapi mereka toh belum membikin film sebaik Teguh. Bahkan Sjuman Djaja yang sarjana film sekalipun, masih harus hormat pada Teguh, meskipun lulusan Moskow itu cukup hebat keinginannya. Yang barangkali pantas untuk disejajarkan dengan Teguh adalah Wim Umboh dan Hasmanan. Wim Umboh terampil dan mempunyai cukup ide. Tapi modalnya masih tetap kurang dari Teguh, yang secara serius menggauli seni peran dan penyutradaraan lewat akademi maupun belajar sendiri sejak lebih dari 20 tahun silam.'Kekurangan-kekurangan Wim dalam segi ide-ide, sayangnya, tidak jarang membuat sutradara mahal ini menjadi tidak otentik dalam karya-karyanya. Hasmanan adalah seorang intelektuil. Dengan sutradara dan bekas wartawan ini orang boleh bicara banyak tentang bukan cuma film. Ia tahu musik, sastra. politik dan berbagai abang seni. Ia membaca bukan cuma novel dan berhagai surat kabar, tapi juga tulisan para Cineast besar. Tapi Hasmanan bukan pemberontak macam Teguh, meskipun sebenarnya ia juga punya kebolehan untuk itu. Maka berbicara dengan Tasmanan akan memberi kesan lain dengan apabila kita berkesempatan menonton filmnya.
Ketika membuat film Hasmanan mendadak sadar, bahwa yang ia kerjakan adalah sejumlah besar uang yang dipertaruhkan produser. Dan ia pun kompromi. Soal kompromi alau tidak, dari dulu memang tema utama hubungan timbal balik sutradara-produser. Bukan cuma di Indonesia, tapi hampir di seluruh dunia. Film besar Kurosawa, Singgasana Darab, juga lahir lewat kompromi. Karya almarhum Usmar Ismail, Tiga Dara dan Asrama Dara juga hasil kompromi. Tapi kompromi dan kompromi tetap saja mempunyai banyak emas. Kompromi seorang Kurosawa terang berbeda dengan seorang Hasmanan. Kompromi seorang Usmar Ismail masih jelas lain dengan Wahyu Sihombing yang menampilkan Rudy Hartono dalam Matinya Seorang Bidadari. Dan mereka yang mengikuti kisah Teguh Karya mengenai sejarah pembuatan film Ranjang Pengantin akhirnya tahu juga bahwa Teguh pun tak luput dari kompromi. Tapi kompromi yang bagaimana dulu? Pelacur Itu Dari pengalamannya berkompromi itulah rupanya Teguh Karya kemudian berani menyalahkan para sutradara yang membuat film jelek. "Jangan salahkan produser", katanya dalam ceramahnya. Dan untuk pernyataan yang nadanya membela produser, Teguh punya alasan. Pada kesempatan yang sama, ia mengisahkan pula bagaimana ia dengan cara yang cukup dingin mengajak seorang produser ke suatu restoran. Di sana. Kepada seorang pelayan wanita, yang harus bekerja karena harus menghidupi sejumlah anak, Teguh mengemukakan pertanyaan: "Kenapa anda tidak jadi pelacur saja?" Tentu saja sang pelayan jadi mendadak marah. Reaksi pelayan itu cukup bagi Teguh untuk membuktikan betapa tidak mudahnya seorang itu menjadi pelacur, meskipun bebannya berat. "Tokoh film saya, akhirnya tidak jadi pelacur", kata Teguh mengakhiri kisahnya.
Bagi Teguh, para produser itu tidak tahu apa-apa tentang film. "Mereka cuma punya uang, lalu melihat film sebagai tempat yang menguntungkan". katanya. Karena itu, Teguh menaruh sebagian besar tanggungjawab pada pundak para sutradara. Sayangnya pundak hampir seluruh sutradara film Indonesia tidak semua mampu memikul beban yang mestinya mereka pikul. "A .B. film saja belum diketahui oleh banyak sutradara film kita", kata Teguh pula. Nah, kalau yang dasar saja belum becus, bagaimana pula harus bicara macam Teguh mengenai ritme, kesatuan dramatik, atau kondisi sosial? Teguh Karya bahkan berkata: "Seorang sutradara harus menguasai seni sastra, falsafah ilmu jiwa, seni rupa dan sejarah kebudayaan". Kalau begini, masih lama baru ada sutradara yang berkebolehan. "Sepuluh tahun iagi, pasti ada", kata Wim yang masih kelihatan optimis. Tak berarti kini tidak boleh dicoba Hanya jangan lupa: selama struktur kehidupan film Indonesia masih seperti sekarang, tak akan lahir sutradara besar. Selama kekuasaan modal dan campur tangan birokrasi terlalu banyak, kreatifitas itu akan tetap kurang nafas.
DARAH NELAJAN | 1965 | HASMANAN | Director | |
ROMI DAN JULI | 1974 | HASMANAN | Director | |
BING SLAMET SIBUK | 1973 | HASMANAN | Director | |
BING SLAMET SETAN DJALANAN | 1972 | HASMANAN | Director | |
SELALU DI HATIKU | 1975 | HASMANAN | Director | |
DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN | 1984 | HELMUT ASHLEY | Adventure | Director |
MAWAR JINGGA | 1981 | HASMANAN | Director | |
ANNA MARIA | 1979 | HASMANAN | Director | |
DANG DING DONG | 1978 | HASMANAN | Director | |
TJINTA DIUDJUNG TAHUN | 1965 | HASMANAN | Director | |
ATENG BIKIN PUSING | 1977 | HASMANAN | Director | |
ATENG PENDEKAR ANEH | 1977 | HASMANAN | Director | |
ATENG SOK AKSI | 1977 | HASMANAN | Director | |
PEMBERANG | 1972 | HASMANAN | Director | |
LEMBAH HIDJAU | 1963 | HASMANAN | Actor Director | |
ATENG SOK TAU | 1976 | HASMANAN | Director | |
ATENG THE GODFATHER | 1976 | HASMANAN | Director | |
BERMALAM DI SOLO | 1962 | HASMANAN | Director | |
DIA BUKAN BAYIKU | 1988 | HASMANAN | Director | |
RATNA | 1971 | HASMANAN | Director | |
SEMUSIM LALU | 1964 | HASMANAN | Director | |
PERCERAIAN | 1985 | HASMANAN | Director | |
KE UJUNG DUNIA | 1983 | HASMANAN | Director | |
WANITA SEGALA ZAMAN | 1979 | HASMANAN | Director | |
TIADA JALAN LAIN | 1972 | HASMANAN | Director | |
BUNGA PUTIH | 1966 | HASMANAN | Director | |
SAMIUN DAN DASIMA | 1970 | HASMANAN | Director | |
AKU CINTA PADAMU | 1974 | HASMANAN | Director | |
TAK SEINDAH KASIH MAMA | 1986 | HASMANAN | Director | |
MEKAR DIGUNCANG PRAHARA | 1987 | HASMANAN | Director | |
KEMILAU KEMUNING SENJA | 1980 | HASMANAN | Director | |
DIMANA KAU IBU | 1973 | HASMANAN | Director | |
MUTIARA HITAM | 1967 | HASMANAN | Director | |
ROMANSA | 1970 | HASMANAN | Director | |
MARIA, MARIA, MARIA | 1974 | HASMANAN | Director |