Ia juga sering menuliskan namanya dengan not angka 23761. Angka ini diambil dari kord pertama lirik lagu And I Lover Her milik
 The Beatles: 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do). Interpretasi lain, konon angka
 ini merupakan sebuah tanggal dimana Remy pertama kali mencium seorang 
perempuan pada 23 Juli 1961.Namun, Remy sendiri mengaku angka itu
 dibuat secara asal-asalan. Angka ini kemudian ia gunakan untuk nama 
sebuah kelompok teater yang ia buat di Bandung, Dapur Teater 23761.
Remy merupakan anak bungsu yang tak terlalu ingat sosok ayahnya. 
Ayahnya, Johannes Hendrik Tambajong, wafat setelah ditahan dan disiksa 
oleh tentara Jepang.
Mengutip dari cerita Remy kepada 
Beritagar.id, Ayahnya merupakan seorang pendeta kelahiran Magelang, Jawa
 Tengah. Ia ditangkap karena dituduh memberikan lampu kepada pesawat 
yang sedang melewati Malino, Sulawesi Selatan. Ia katakan:
“Ayah saya dituduh antek Amerika Serikat karena dia bekerja untuk misi zending dari negara itu. Kakek saya tentara Belanda.”
Tentara
 Jepang yang tak suka dengan aksi Johannes Tambajong, menangkap dan 
menyiksanya. Selain menerima pukulan, Johannes juga harus tidur dalam 
sebuah papan sepanjang 30 sentimeter yang berada di atas got depan 
kantor Kompeitai (polisi militer Jepang) selama berhari-hari.
Seorang
 politisi asal Minahasa yang cukup berwibawa dan berpengaruh saat itu, 
Sam Ratulangi, melakukan perundingan dengan Jepang untuk membebaskan 
Johannes. “Ya bebas, tapi keluar dari situ dia (jalannya) sudah bongkok.
 Tidak lama dia meninggal,” ujar Remmy mengingat cerita ibunya.
Tentara Jepang yang dulu menyiksa ayah Remy, memberikan sebuah buku 
untuknya sebagai permintaan maaf. Remy masih ingat nama tentara itu, 
Miyahira.
Buku itu masih tersimpan rapi di rumah Remy. isinya 
berupa kumpulan puisi dari abad sebelum masehi sampai tahun 1939. 
“Bayangkan, di buku itu disertai lukisan-lukisan pendeta Shinto yang 
menulis sastra,” katanya.
Teks dari buku itu pun pernah 
diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis. “Dia ternyata 
pembaca sastra tapi kejamnya luar biasa. Tapi setelah itu dia 
minta-minta ampun dan menjadi baik”, kata Remy dalam perbincangan dengan
 Beritagar.
Ibu Remy, Juliana Caterina Panda, membesarkan ketiga anaknya seorang 
diri. Setelah ayahnya wafat, sang ibu yang seorang petani dan sempat 
sekolah tiga tahun, membawa ketiga anaknya ke Semarang dan bekerja di 
Seminari Teologia Baptis.
Perjalanan Remy dalam dunia seni berawal
 dari sana. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Remy sudah bisa 
bernyanyi dengan teknik dan menulis kaligrafi Arab dan ayat-ayat Alquran.
Remy juga berbakat di bidang seni rupa. Diceritakan semasa di sekolah
 dasar, Remy sempat memenangkan sebuah lomba seni lukis tingkat Sekolah 
Dasar se-Kabupaten Semarang. Bakatnya ini kelak mendorongnya masuk di 
Akademi Kesenian Surakarta untuk mendalami seni rupa.
Dalam dunia 
seni peran, Remy pernah melakonkan sebuah drama ketika berumur empat 
tahun sebagai seekor domba di kandang natal. Ketika tubuhnya tumbuh 
menjadi lebih besar, lakonnya berubah menjadi seekor anak sapi.
Atas
 dasar ketertarikan Remy dan pengalamannya pada seni peran, kelak 
menuntutnya belajar di Akademi Teater Nasional dan mendirikan sebuah 
kelompok teater yang diberi nama Teater 23761.
Buku bacaanya 
merentang dari dongeng, cerita-cerita anak, buku teologi, buku-buku 
sejarah, sampai buku-buku berbahasa Inggris. Pada masa kecilnya, Remy 
seringkali membolos sekolah karena memang ia termasuk anak yang tak 
betah sekolah.
Dikisahkan juga sewaktu duduk di bangku SMP, 
seorang guru bahasa memberi tugas kepada murid-muridnya mengarang sebuah
 cerita sepanjang satu halaman. Namun Remy mampu mengarang tak kurang 
dari empat halaman. Bahkan, hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas 
lain.
Ketika remaja, Remy membuat sebuah grup musik, Remy Sylado and The 
Company dan kerap membawakan lagu-lagu Elvis Presley. Dari sini, ia 
menemukan nama Remy Sylado yang diambil dari sebuah not dari intro lagu And I Lover Her milik The Beatles, 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do).
Remy mengawali kariernya sebagai seorang penulis ketika dirinya 
berusia 18 tahun. Tahun 1963, ia menjadi seorang wartawan dari surat 
kabar Sinar Harapan. Ia juga banyak menulis kritik, puisi, cerpen, dan 
novel.
Pada tahun 1965, Remy telah menjadi redaktur Harian Tempo 
Semarang sampai tahun 1966. Ia lanjutkan kariernya menjadi redaktur 
Majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970.
Selain berkarier 
sebagai jurnalis, Remy juga aktif mengajar di Akademi Sinematografi 
Bandung sejak 1971 dalam mata kuliah Estetika dan Dramaturgi.
Selain
 berkesenian, Remy juga banyak diundang untuk mengisi ceramah teologi. 
Secara khusus, ia mendalami teologi kontekstual dan teologi apologetik.
Dengan mementaskan drama Genesis II, kemudian Exsodus II, dan 
Apocalypsis II melalui Dapur Teater 23761 garapannya, Remy mengenalkan 
istilah “mbeling” yang menjadi simbol perlawanan terhadap apa yang sudah
 ada.
Gerakan mbeling sebagai perlawanan budaya lewat teater juga 
diakui Remy sebagai reaksi terhadap W.S. Rendra dengan teaternya yang 
berpandangan bahwa perlawanan terhadap budaya mapan harus dilakukan 
dengan sikap urakan.
Kata “urakan” menurut pandangan Remy yang 
dikemas dalam pentas teaternya, lebih berkonotasi negatif: tidak sopan, 
tak tahu aturan, dan kurang ajar. Maka Remy mengenalkan istilah 
“mbeling” yang menurutnya lebih berkonotasi positif.
Walaupun 
sebenarnya tetap berkesan nakal, kata “mbeling” berasosiasi dengan 
pengertian pintar, mengerti sopan-santun, dan bertanggung jawab.
Gara-gara
 pementasan Genesis II itu, Remy diintrogasi polisi Bandung selama 
hampir dua minggu. Namun hal itu justru mendorongnya untuk tetap 
menggunakan istilah “mbeling” dan menjelaskan konsep di belakangnya 
sebagai budaya tandingan.
Pada tahun 1971, Remy bergabung dengan majalah Aktuil, sebuah majalah
 hiburan dan musik yang berkantor di Bandung. Di sana, Remy menciptakan 
sebuah ruang khusus menampung sajak-sajak yang diberi nama “Puisi 
Mbeling”.
Puisi yang awalnya dipandang sebagai sesuatu yang 
sakral, berubah menjadi barang yang biasa saja. Melalui rubrik cerpen 
dan puisi mbeling, Remy mengajak kawula muda untuk bersastra.
Kesakralan
 puisi dan keangkeran majalah sastra menjadi alasan utama menjauhnya 
kaum muda dari budaya literasi yang sebenarnya berakar kuat di 
masyarakat.
Gerakan puisi mbeling yang dipelopori Remy merupakan 
kritik terhadap dunia sastra, dimana para penyair menulis puisi hanya 
untuk dibaca oleh dirinya sendiri (karena hanya dipahami oleh dirinya 
sendiri).
Sebagai gerakan perlawanan terhadap gaya bahasa puisi 
yang berbunga-bunga namun susah dipahami, puisi mbeling menawarkan 
konsep sebaliknya: puisi ditulis dengan bahasa yang sederhana dengan 
maksud yang terang dan mudah dipahami.
Dengan konsep seperti itu, puisi tidak hanya mudah dipahami sebagai 
tanggung jawab penyair terhadap realitas, namun ia juga memberikan akses
 seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi penyair.
Tidak 
selamanya usaha perlawanan terhadap ketabuan itu berjalan mulus. Salah 
satu puisi Remy uang dimuat majalah Aktuil pernah membuat Departemen 
Penerangan mengancam akan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah 
Aktuil.
Hanya setelah pihak Aktuil memberi upeti seperti kelaziman
 yang berlaku pada waktu itu, ancaman tersebut dibatalkan. Puisi Remy 
yang membuat perkara tersebut berjudul Pesan Seorang Ibu Kepada Putranya terdiri dari tiga kata dalam tiga baris: Jangan, Bilang, Kontol.
Puisi mbeling memang terkesan main-main. Namun dengan cara seperti 
itu, Remy mengajak kawula muda untuk menulis, termasuk bersastra. Dunia 
sastra dikesankan dengan keseharian, tempat bergurau, dan mengungkapkan 
suatu gagasan tanpa harus berpikir terlalu lama.
Selain Remy 
Sylado sebagai penjaga gawang rubrik puisi mbeling majalah Aktuil, 
tercatat juga nama-nama − yang belakangan juga dikenal sebagai sastrawan
 − yang ikut berpartisipasi pada gerakan puisi mbeling: Abdul Hadi WM, 
Yudistira M. Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi 
Sri) dan nama-nama lainnya.
Pengaruh puisi mbeling tak berhenti pada majalah Aktuil. Ketika Remy 
berpindah ke majalah Top, ia meneruskan gerakan puisi mbeling dengan 
rubrik baru dengan tajuk Puisi Lugu.
Sebagaimana yang dicatat oleh
 penyair Heru Emka, pengaruh mbeling menyebar ke berbagai media massa: 
majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain.
Beberapa 
surat kabar yang terbit di Jakarta maupun di daerah-daerah juga pun ikut
 tertular virus mbeling. Begitu juga dengan majalah-majalah remaja. Heru
 Emka katakan, bahwa fenomena puisi mbeling telah mewarnai sejarah 
sastra Indonesia di tahun 1970-an.
Dengkan gerakan puisi mbeling yang digencarkan oleh Remy pada dekade 
70-an, ia telah membuat gebrakan baru pada dunia kesusastraan Indonesia.
 Seorang sastrawan senior nasional, Sapardi Djoko Damono pun ikut ambil 
bagian memuji konsep puisi Remy sebagai suatu “usaha pembebasan”.
Di kemudian hari, puisi-puisi mbeling karya Remy dibukukan ke dalam buku puisi berjudul Puisi Mbeling yang memuat 143 puisi ekslusif Remy dari tahun 70-an.
Gebrakan Remy tak berhenti pada puisi mbeling saja. Kumpulan puisinya yang berjudul Kerygma & Martyria
 juga berhasil mencuri perhatian publik. Berkat buku puisinya itu, Remy 
meraih penghargaan dari MURI sebagai penulis buku puisi tertebal, 1056 
halaman dan berisi 1000 puisi.
Dikabarkan ketika Remy membuat 
suatu karya, maka ia butuh melakukan riset yang tak tanggung-tanggung 
dan prosesnya pun juga memakan waktu yang cukup lama. Buku bacaannya 
bisa menggunung dari berbagai macam bahasa.
Kalau ia menulis 
tokohnya pergi ke Filipina naik kapal dari Indonesia, Remy pun akan 
melakukan yang sama. Jika tokohnya pergi ke Perancis, Cina, Klaten, 
Magelang, atau Tarutung, ia pun akan mendatangi tempat tersebut.
Riset
 Remy selalu mendetail dalam segi arsitektur dan sejarah. Buku-bukunya 
pun jadi kaya dengan kosakata, muatan sejarah, dan penjelasan yang 
mendetail.
Dalam karya novelnya, Remy juga banyak menggunakan 
kosakata bahasa Indonesia lama yang sudah jarang digunakan, sehingga 
membuat karyanya dinilai unik dan istimewa.
Seperti dalam salah satu novelnya, Kerudung Merah Kirmizi, banyak
 ditemui kata-kata asing, seperti prayojana, tenahak, bernudub, 
gancang-gancang, slilit, dan sebagainya. Kekayaan kosakata Remy juga 
tidak didapatkan dengan cara instan, ia harus banyak membaca sejarah, 
buku, dan kamus.
Kerudung Merah Kirmizi juga mengantarkannya meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, sebuah penghargaan prestisius di bidang sastra.
Remy juga kerap mengangkat tema dan latar budaya yang jarang disentuh. Mulai dari novel yang mengangkat budaya Tionghoa seperti Ca Bau Kan, Siau Ling, dan Sam Pho Kong, kemudian Parijs van Java yang berlatar kehidupan di masa kolonial Belanda, hingga Kembang Jepun yang mengisahkan tentang rumah pelacuran di Surabaya yang dibangun oleh orang Jepang.
Dalam bidang musik, Remy juga terkenal lewat lagu-lagunya yang beraliran
 folk, rock, country, dan dixie yang memang berbeda dari kebanyakan 
karya musik Indonesia yang beraliran pop. Ada 13 album kaset yang telah 
ia ciptakan. Untuk drama musikalnya, ia juga menciptakan musik sendiri.
- Orexas.
 - Gali Lobang Gila Lobang.
 - Siau Ling
 - Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa), 1999.[2]
 - Kerudung Merah Kirmizi, 2002.
 - Kembang Jepun, 2003.
 - Parijs van Java, 2003.
 - Menunggu Matahari Melbourne, 2004.
 - Sam Po Kong, 2004.
 - Puisi Mbeling, 2005.
 - Rumahku di Atas Bukit
 - 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing
 - Drama Musikalisasi Tarragon “Born To Win”
 - Novel Pangeran Diponegoro
 - 9 Oktober 1740, Oktober 2005.
 - 123 Ayat tentang Seni
 - Drama Sejarah 1832 [3]
 - Kamus Isme-Isme