THE TENG CHUN
The Teng Chun (sebelah Kiri, berdiri), dikolasi pembuatan film bicara Boenga Roos dari Tjikembang dengan kamera kuno buatan sendiri yang bisa merekam suara sekaligus
SEBAGAI anak tertua dari pengusaha hasil bumi kaya bernama The Kim Le, The Teng Chun mestinya bisa meneruskan jejak ayahnya berdagang. Pada usia 18 tahun, dia bahkan dikirim ke Amerika untuk belajar ilmu dagang di New York. Tapi minat Teng Chun justru tercurah pada dunia film setelah, bersama Fred Young, seorang sutradara peranakan Tionghoa, belajar menulis skenario di Palmer Play Theatre.
Lima tahun tinggal di New York, Teh Teng Chun, lahir di Surabaya pada 18 Juni 1902, singgah di Shanghai. Di sana dia makin intens mendalami dunia film. Salah satu karyanya, sebuah film bisu Whell of Desteny. Balik ke tanah air pada 1930, setelah sempat menekuni profesi sebagai importir film-film Mandarin, setahun kemudian Teng Chun memproduksi film garapannya sendiri, Boenga Roos dari Tjikembang, diangkat dari roman karya Kwee Tek Hoay.
Dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches, Leo Suryadinata mencatat Boenga Roos dari Tjikembang sebagai film Indonesia pertama yang hadir dengan suara. Di film ini Teng Chun memborong nyaris semua pekerjaan: produser, sutradara, penata fotografi, sekaligus penulis skenario. Sayang, film ini tak terlalu mendapat apresiasi dari media.
Tapi Teng Chun tak kapok; dia terus menelorkan karya sekalipun tanpa sokongan ayahnya. Muncullah Sam Pek Eng Tay (1931), sebuah cerita cinta tragis dari daratan Tiongkok. Belajar dari keberhasilan ini, dia menggarap film aksi Delapan Djago (Pat Kiam Hap) pada 1933. Setahun berselang, Teng Chun terjun ke produksi film horor dengan Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item). Waktu itu Teng Chun bergeliat di bawah bendera Cino Motion Picture, dan cerita filmnya mengambil banyak cerita legenda Tiongkok.
Pada 1940, Teng Chun mendirkan Java Industrial Film Company (JIF), yang menjadi bukti masa keemasan karier Teng Chun. Leo Suryadinata menulis, JIF adalah perusahaan film terbesar dan termodern di Hindia Belanda. JIF produktif memproduksi film seperti Lima Siloeman Tikoes tahun 1935, Pan Sie Tong tahun 1935, Tie Pat Kai Kawin tahun 1935, Ouw Phe Tjoa II (Anak Siloeman Oelar Poeti) tahun 1936, dan Hong Lian Sie tahun 1937.
Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa menuliskan, JIF adalah salah satu perusahaan film yang dapat terus bertahan, meski dunia perfilman sedang krisis. Ini karena manajemen yang baik. Teng Chun menerapkan suatu dasar finansial yang sehat dengan mencegah biaya produksi film melebihi bujet. Hal ini meminimalkan risiko bila terjadi kerugian.
Sejak menekui dunia film, hingga tahun 1940 Teng Chun menyadari permasalahan dunia perfilman tanah air adalah penonton pribumi. Jika kaum intelektual suka film Eropa, masyarakat kalangan bawah penikmat setia film dalam negeri atau dalam istilah Misbach lebih menyukai sesuatu yang berbau “aksi, fantasi, lagu-lagu merdu, dan apa-apa yang menggemparkan.”
Untuk itu dibikinlah anak perusahaan JIF, Jacatra Pictures dan Action Film, untuk memproduksi film kelas bawah. Film-film macam Srigala Item (1941) dan Singa Laoet (1941) garapan sutradara Tan Tjoei Hock, seorang Tionghoa peranakan, box office. JIF sendiri kemudian berganti nama jadi The New JIF yang memproduksi film kelas satu.
Untuk memantapkan langkah JIF, pada 1940 Teng Chun menarik orang panggung macam Ferry Cock dan Dewi Mada dari Dardanella. Ferry Kock adalah salah satu “Lima Besar” bintang Dardanella, sedang Dewi Mada tersohor sebagai pemain dan penari kabaret. Selain familiar di mata publik, mereka sudah teruji dalam seni peran. Ini juga merupakan strategi jitu untuk mengangkat mutu film dan menarik penonton. Dalam perkembangannya, makin banyak orang Dardanella bergabung. Antara lain Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok. JIF makin produktif. Antara 1940 hingga akhir 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film.
Pada masa pendudukan Jepang, JIF terpaksa dibubarkan. Jepang dengan sistem sensornya, memilih menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Setelah situasi politik mulai mereda, pada 1949, bersama sohibnya, Fred Young, Teng Chun kembali mendirikan perusahaan film Bintang Surabaja –diambil dari nama kelompok sandiwara milik Fred Young. Sukses, tapi gemerlapnya kemudian memudar akibat krisis. Bintang Surabaja akhirnya menghentikan produksi sejak 1962.
Teng Chun –mengganti namanya jadi Tahjar Idris pada 1967– lalu menjadi guru privat bahasa Inggris hingga akhir hayatnya. The Teng Chun meninggal dunia pada 25 Februari 1977.
The Teng Chun adalah seorang sutradara dan fotograferIndonesia di era tahun 1930an. Film-filmnya banyak dimainkan oleh aktor dan aktris terkenal pada waktu itu antara lain Moh Mochtar, Hadidjah, Lo Tjin Nio, dan Bissu.
Orang tua the Theng Chun adalah Kim Le ia menjadi importir film Tiongkok. The Theng Chun di Sanghai untuk memilih film untuh ayahnya. Dan juga menyampaikan usul ini dan itu pada ayahnya untuk di beli. Bahkan Chun bisa memberikan usulan untuk membuat film.
Kim Le sendiri adalah cina totok yang bermukim di Batavia, sebagi pengexport bahan hasil bumi ke Eropa. Usahanya maju hingga bisa menyekolahkan Theng Chung ke Amerika. Usahan Kim Le Ambruk akibat hancurnya ekonomi Eropa sehabis PD 1. Lalu Chung mengusulkan ayaknya menjadi importir film cina, kenapa? Chun sudah akrab dengan film karena selama belajar di San Fransisco, Chung dan teman-temannya sering main-main ke Los Angels tertarik menyaksikan orang bikin film. Pada mulanya the Kim Le keberatan berdagang film karena sebagai padagang besar hasil bumi merasa kurang layak berdagang film. Tapi tidak ada jalan lain. Chun sendiri lalu meninggalkan sekolahnya dan menetap di Shanghai./ Disamping menjadi pemilih film, mengusulkan ini itu untuk produser, ia juga ikut-ikutan dalam pembuatan. Dengan itu ia menguasai seluk beluk pembuatan film-film cerita klasik See You, kisah-kisah siluman, sembilan dari sepuluh produksinya dibuat berdasarkan gagasan Theng Chun.
The Teng Chun (sebelah Kiri, berdiri), dikolasi pembuatan film bicara Boenga Roos dari Tjikembang dengan kamera kuno buatan sendiri yang bisa merekam suara sekaligus
Pada tahun 1934, adalah The Teng Cun yang memproduksi Doea Siloeman Oeler Poeti en Item. Selanjutnya, peranakan Tionghoa kelahiran Betawi ini menyutradarai Siloeman Babi Perang Siloeman Monjet (1935), Anaknya Siloeman Oeler Poeti(1936), Lima Siloeman Tikoes(1936), dan belakangan memproduksi Tengkorak Hidoep (1941).
Dari sekian itu, hanya film Siloeman Babi dan Tengkorak Hidoep yang hingga kini masih tersimpan di Sinematek, Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta. Siloeman Babi tidak bisa diputar lagi lantaran reel-nya sudah lengket akibat kurang perawatan.
Film Tengkorak Hidoep masih lumayan utuh dan agaknya terpengaruh film Tarzan dengan bintangnya yang saat itu tengah populer: Johnny Weismuler. Ini film yang mengisahkan sebuah ekspedisi ke satu pulau berpenghuni suku liar yang tetuanya bisa menjelma jadi jerangkong. Menurut catatan Sinematek, film ini tergolong laris.
Dari sekian itu, hanya film Siloeman Babi dan Tengkorak Hidoep yang hingga kini masih tersimpan di Sinematek, Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta. Siloeman Babi tidak bisa diputar lagi lantaran reel-nya sudah lengket akibat kurang perawatan.
Film Tengkorak Hidoep masih lumayan utuh dan agaknya terpengaruh film Tarzan dengan bintangnya yang saat itu tengah populer: Johnny Weismuler. Ini film yang mengisahkan sebuah ekspedisi ke satu pulau berpenghuni suku liar yang tetuanya bisa menjelma jadi jerangkong. Menurut catatan Sinematek, film ini tergolong laris.
SEBAGAI anak tertua dari pengusaha hasil bumi kaya bernama The Kim Le, The Teng Chun mestinya bisa meneruskan jejak ayahnya berdagang. Pada usia 18 tahun, dia bahkan dikirim ke Amerika untuk belajar ilmu dagang di New York. Tapi minat Teng Chun justru tercurah pada dunia film setelah, bersama Fred Young, seorang sutradara peranakan Tionghoa, belajar menulis skenario di Palmer Play Theatre.
Lima tahun tinggal di New York, Teh Teng Chun, lahir di Surabaya pada 18 Juni 1902, singgah di Shanghai. Di sana dia makin intens mendalami dunia film. Salah satu karyanya, sebuah film bisu Whell of Desteny. Balik ke tanah air pada 1930, setelah sempat menekuni profesi sebagai importir film-film Mandarin, setahun kemudian Teng Chun memproduksi film garapannya sendiri, Boenga Roos dari Tjikembang, diangkat dari roman karya Kwee Tek Hoay.
Dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches, Leo Suryadinata mencatat Boenga Roos dari Tjikembang sebagai film Indonesia pertama yang hadir dengan suara. Di film ini Teng Chun memborong nyaris semua pekerjaan: produser, sutradara, penata fotografi, sekaligus penulis skenario. Sayang, film ini tak terlalu mendapat apresiasi dari media.
Tapi Teng Chun tak kapok; dia terus menelorkan karya sekalipun tanpa sokongan ayahnya. Muncullah Sam Pek Eng Tay (1931), sebuah cerita cinta tragis dari daratan Tiongkok. Belajar dari keberhasilan ini, dia menggarap film aksi Delapan Djago (Pat Kiam Hap) pada 1933. Setahun berselang, Teng Chun terjun ke produksi film horor dengan Ouw Peh Tjoa (Doea Siloeman Oeler Poeti en Item). Waktu itu Teng Chun bergeliat di bawah bendera Cino Motion Picture, dan cerita filmnya mengambil banyak cerita legenda Tiongkok.
Pada 1940, Teng Chun mendirkan Java Industrial Film Company (JIF), yang menjadi bukti masa keemasan karier Teng Chun. Leo Suryadinata menulis, JIF adalah perusahaan film terbesar dan termodern di Hindia Belanda. JIF produktif memproduksi film seperti Lima Siloeman Tikoes tahun 1935, Pan Sie Tong tahun 1935, Tie Pat Kai Kawin tahun 1935, Ouw Phe Tjoa II (Anak Siloeman Oelar Poeti) tahun 1936, dan Hong Lian Sie tahun 1937.
Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa menuliskan, JIF adalah salah satu perusahaan film yang dapat terus bertahan, meski dunia perfilman sedang krisis. Ini karena manajemen yang baik. Teng Chun menerapkan suatu dasar finansial yang sehat dengan mencegah biaya produksi film melebihi bujet. Hal ini meminimalkan risiko bila terjadi kerugian.
Sejak menekui dunia film, hingga tahun 1940 Teng Chun menyadari permasalahan dunia perfilman tanah air adalah penonton pribumi. Jika kaum intelektual suka film Eropa, masyarakat kalangan bawah penikmat setia film dalam negeri atau dalam istilah Misbach lebih menyukai sesuatu yang berbau “aksi, fantasi, lagu-lagu merdu, dan apa-apa yang menggemparkan.”
Untuk itu dibikinlah anak perusahaan JIF, Jacatra Pictures dan Action Film, untuk memproduksi film kelas bawah. Film-film macam Srigala Item (1941) dan Singa Laoet (1941) garapan sutradara Tan Tjoei Hock, seorang Tionghoa peranakan, box office. JIF sendiri kemudian berganti nama jadi The New JIF yang memproduksi film kelas satu.
Untuk memantapkan langkah JIF, pada 1940 Teng Chun menarik orang panggung macam Ferry Cock dan Dewi Mada dari Dardanella. Ferry Kock adalah salah satu “Lima Besar” bintang Dardanella, sedang Dewi Mada tersohor sebagai pemain dan penari kabaret. Selain familiar di mata publik, mereka sudah teruji dalam seni peran. Ini juga merupakan strategi jitu untuk mengangkat mutu film dan menarik penonton. Dalam perkembangannya, makin banyak orang Dardanella bergabung. Antara lain Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok. JIF makin produktif. Antara 1940 hingga akhir 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film.
Pada masa pendudukan Jepang, JIF terpaksa dibubarkan. Jepang dengan sistem sensornya, memilih menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Setelah situasi politik mulai mereda, pada 1949, bersama sohibnya, Fred Young, Teng Chun kembali mendirikan perusahaan film Bintang Surabaja –diambil dari nama kelompok sandiwara milik Fred Young. Sukses, tapi gemerlapnya kemudian memudar akibat krisis. Bintang Surabaja akhirnya menghentikan produksi sejak 1962.
Teng Chun –mengganti namanya jadi Tahjar Idris pada 1967– lalu menjadi guru privat bahasa Inggris hingga akhir hayatnya. The Teng Chun meninggal dunia pada 25 Februari 1977.
The Teng Chun adalah seorang sutradara dan fotograferIndonesia di era tahun 1930an. Film-filmnya banyak dimainkan oleh aktor dan aktris terkenal pada waktu itu antara lain Moh Mochtar, Hadidjah, Lo Tjin Nio, dan Bissu.
Orang tua the Theng Chun adalah Kim Le ia menjadi importir film Tiongkok. The Theng Chun di Sanghai untuk memilih film untuh ayahnya. Dan juga menyampaikan usul ini dan itu pada ayahnya untuk di beli. Bahkan Chun bisa memberikan usulan untuk membuat film.
Kim Le sendiri adalah cina totok yang bermukim di Batavia, sebagi pengexport bahan hasil bumi ke Eropa. Usahanya maju hingga bisa menyekolahkan Theng Chung ke Amerika. Usahan Kim Le Ambruk akibat hancurnya ekonomi Eropa sehabis PD 1. Lalu Chung mengusulkan ayaknya menjadi importir film cina, kenapa? Chun sudah akrab dengan film karena selama belajar di San Fransisco, Chung dan teman-temannya sering main-main ke Los Angels tertarik menyaksikan orang bikin film. Pada mulanya the Kim Le keberatan berdagang film karena sebagai padagang besar hasil bumi merasa kurang layak berdagang film. Tapi tidak ada jalan lain. Chun sendiri lalu meninggalkan sekolahnya dan menetap di Shanghai./ Disamping menjadi pemilih film, mengusulkan ini itu untuk produser, ia juga ikut-ikutan dalam pembuatan. Dengan itu ia menguasai seluk beluk pembuatan film-film cerita klasik See You, kisah-kisah siluman, sembilan dari sepuluh produksinya dibuat berdasarkan gagasan Theng Chun.
PAT BIE TO | 1933 | THE TENG CHUN | Director Of Photography.Director | |
SAM PEK ENG TAY | 1931 | THE TENG CHUN | Director Of Photography.Director | |
ANAKNJA SILOEMAN OEIER POETI | 1936 | THE TENG CHUN | Director | |
ALANG-ALANG | 1939 | THE TENG CHUN | Director | |
DJANTOENG HATI | 1941 | NJOO CHEONG SENG | Director Of Photography | |
BOENGA ROOS DARI TJIKEMBANG | 1931 | THE TENG CHUN | Director Of Photography.Director | |
TJIANDJOER | 1938 | THE TENG CHUN | Director | |
DELAPAN DJAGO PEDANG | 1933 | THE TENG CHUN | Director Of Photography.Director | |
PAN SIE TONG | 1935 | Director Of Photography | ||
PEMBAKARAN BIO "HONG LINA SIE" | 1936 | THE TENG CHUN | Director | |
ROESIA SI PENGKOR | 1939 | THE TENG CHUN | Director | |
LIMA SILOEMAN TIKOES | 1936 | THE TENG CHUN | Director | |
ANG HAI DJIE | 1935 | Director Of Photography | ||
TIE PAT KAI KAWIN | 1935 | THE TENG CHUN | Director | |
RENTJONG ATJEH | 1940 | THE TENG CHUN | Director | |
RENTJONG ATJEH | 1940 | THE TENG CHUN | Director | |
GENANGAN AIR MATA | 1955 | THE TENG CHUN | Director | |
OH IBOE | 1938 | THE TENG CHUN | Director | |
GADIS JANG TERDJOEAL | 1937 | THE TENG CHUN | Director | |
OUW PEH TJOA | 1934 | THE TENG CHUN | Director Of Photography.Director. |