Foto ini saya dapat dari teman saya, Lono yang juga sepupu dari Mas slamet, pada tahun 1996, ini foto mas Slamet saat shoot Surobuldog, di Jawa Tengah.
Cukup bangga dan senang, dia dosen penyutradaraan saya waktu kuliah di IKJ. Walaupun jarang datang ngajar, tetapi cukup banggalah menjadi murid dia. Tapi sayangnya di kelas penyutradaraan kita diajarkan secara teoritis saja mengenai sutradara. Yang dimana diajarkan karakter penokohan saja. Kita banyak belajar dari sudut sinematography-nya saja dalam penyutradaraan. Tetapi kurang diajarkan bagaimana mengarahkan, mengolah dan memunculkan akting dari pemain kita dilapangan. Seharusnya kelas sutradara harus mengambil 2 atau lebih semester di fakultas teater untuk pengarahan pemain kita. Karena pengalaman saat saya membuat karya akhir untuk ujian, saya terbentur pada persoalan, si pemain bertanya, saya harus bagaimana? Saya bingung untuk hal itu. Karena memang kita tidak diajarkan. Banyak yang harus dipelajari dari seni pengolahan akting ini. Dan ternyata ada trik untuk hal itu, yang secara kurikulum teater itu ada. Jadi sayang saja kita tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu. 
Percakapan di atas bukan adegan film. Ini nyata terjadi pada 
kehidupan Slamet Rahardjo. Aktor gaek ini kerap berurusan dengan petugas
 imigrasi luar negeri karena wajahnya. "Saya sangat mencintai Jawa, 
walaupun muka saya mengkhianatinya," katanya tertawa.
Parasnya 
memang terlihat blasteran. Rambut dan alisnya tebal. Matanya hitam dan 
dalam. Hidungnya bangir. Ia kerap berkumis rimbun pula. Sekilas 
memandang, Slamet lebih mirip orang dari Asia Barat. 
Tak heran 
mendiang sutradara masyhur Teguh Karya memanggilnya Arab. Tapi ketika 
Slamet tiba di Amerika Serikat, ia dikira orang Amerika Latin. Padahal 
ayahnya Jawa, ibunya Banten.
Petugas imigrasi asing mungkin tak 
tahu pria yang lahir di Serang dan besar di Yogyakarta ini adalah 
seniman dan budayawan mumpuni di tanah air. Di masa jayanya, pada era 
1970-1980an, Slamet adalah magnet penonton.
Hampir semua film yang ia bintangi dan sutradarai menjadi box office. Slamet memulai semuanya ketika film nasional sedang booming. 
Ia memerankan banyak peran. Dari mulai mantan narapidana, laki-laki miskin jatuh cinta pada perempuan kaya, kapten Belanda, gangster, hingga pahlawan nasional. 
Sebenarnya judul film yang ia bintangi banyak. Sebut saja di antaranya, Wadjah Seorang Laki-Laki, Ranjang Pengantin, Di Balik Kelambu, Badai Pasti Berlalu, Ponirah Terpidana, November 1928, Kodrat, dan Tjoet Nja' Dhien.
Tapi
 jumlah itu sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan tawaran yang ia 
terima. "Saya orang yang bandel, enggak mau main film sembarangan," 
katanya. "Saya enggak mau main yang ngaco-ngaco."
Resep 
kebandelan itu terbukti berhasil mengharumkan namanya. Piala Citra untuk
 aktor dan sutradara terbaik pernah ia raih. Ia juga pernah menjadi 
aktor dengan bayaran termahal.
Kesuksesan ini tak hanya membuat 
namanya harum. Banyak wanita yang menggilai dirinya. Memberi kecupan 
dari jauh, itu biasa. Memegang pahanya saat duduk berdekatan, juga bukan
 hal yang aneh. 
Rumah, mobil, perempuan, dan uang sebenarnya bisa
 ia dapatkan dengan hanya meminta. Tapi ia menolak semua kemudahan itu 
dan memilih jalan sulit menjadi seniman. Dua kali ia harus menjual 
cincin kawin untuk menghidupi keluarganya.
"Aku tetap seperti aku.
 Bintang film yang pakai kaus oblong dan enggak pernah menikmati hidup 
jadi selebritis," ujar pria yang akrab dipanggil Memet itu. 
Saat kecil hidupnya berpindah-pindah. Ayahnya penerbang Angkatan 
Udara yang sering mendapat tugas ke berbagai tempat di Indonesia. 
Ia
 masih ingat, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar pernah tinggal di 
dekat Bandara Udara Polonia, Sumatera Utara. Halaman rumahnya luas. 
Slamet sering bermain dengan Eros.
Adiknya itu setahun lebih muda.
 Mereka seperti sepasang anak kembar. "Ukuran badan sama. Baju sama. 
Main sama-sama," kata pria kelahiran Serang 69 tahun lalu ini.
Di 
halaman luas itu mereka berkhayal sedang bertualang. Ada burung gereja, 
ia tembak dan bakar dengan lilin. Slamet lalu menyuruh Eros memakannya. 
"Aku jadi raja, yang kuperintahkan harus nurut," ujar anak kedua dari 11 bersaudara.
Semua
 hewan yang mereka temukan langsung dibakar dan dimakan. Hanya kecoa dan
 kodok saja yang luput dari perburuan mereka. Alasannya karena jijik.
Eros tumbuh menjadi anak pintar dan baik. Ngomong
 jorok saja tidak pernah. Ia sulit mendapat nilai delapan di sekolah 
karena selalu sembilan. "Kalau saya sulit dapat nilai delapan karena 
tujuh terus," kata Slamet.
Saat Eros kena masalah, Slamet pasang badan. "Saya kalau berantem pasti karena belain Eros," ujar suami Mira Djarot itu.
Keduanya
 sempat terpisah jarak ketika Slamet memutuskan kuliah di Jakarta. Eros 
ke Jerman. Tapi setelahnya, mereka bersatu kembali.
Eros yang 
menyandang gelar insinyur kimia mengikuti jejak kakaknya menjadi 
seniman. Ia bermain band, menjadi pengarah musik film Badai Pasti Berlalu, dan menyutradarai film kolosal Tjoet Nya' Dhien. Piala Citra ia dapatkan dari kedua film tersebut.
Keduanya
 sukses bersama-sama. Bahkan memiliki mertua yang sama. "Ini teknik 
ekonomi. Jadi kalau lebaran salah satu lagi tidak ada uang, cukup satu 
saja yang kasih ke orang tua," ujar Slamet tertawa. 
Tapi Slamet 
menolak menjawab ketika kami tanya apakah keduanya pernah rebutan pacar 
atau tidak. "Enggak mau jawab kalau itu. Anakku udah gede-gede, nanti ditiru," katanya. 
Ayahnya
 demokratis. Anak-anaknya bebas bereksplorasi. Ia juga memberi falsafah 
hidup dalam hidup Slamet. Misalnya, soal pangkat. Jangan ditaruh di atas
 kepala. "Taruh di lubang silit," kata Slamet mengingat perkataan ayahnya.
Ajarannya juga termasuk bagaimana laki-laki bersikap. Harus satria. Satu kata dan perbuatan. Tidak boleh mencla-mencle. "Kenapa nama saya Slamet? Supaya jangan mencari selamat hanya untuk mencapai keraharjaan," ujarnya.
Dari
 ibunya, ia belajar melihat kehidupan dengan pendekatan intelektual. 
Slamet jadi mengenal buku dan kesenian. Ia masih ingat ibunya jago 
melukis. 
Umur sembilan tahun orang tuanya bercerai. Slamet 
kehilangan sosok ibu karena ia ikut ayahnya. Saat dewasa, Slamet merajah
 tangan kanannya dengan nama sang ibu, Enie.
Masuk Sekolah 
Menengah Pertama, ia tak mau lagi berpindah-pindah dan memutuskan 
tinggal di Yogyakarta bersama kakeknya. Di kota ini jiwa berkeseniannya 
muncul. 
Ia suka nonton ketoprak, teater, dan wayang orang. 
Kakeknya tak pernah marah walau Slamet kerap absen mengaji. Tapi kalau 
Eros yang absen, sabetan rotan yang ia terima. "Kakek sepertinya 
mengerti saya," kata Slamet.
Lulus Sekolah Menengah Atas, ia 
memutuskan ke Jakarta untuk belajar film. Ayahnya sempat menentang. Tapi
 Slamet kadung ingin menjadi seniman. Umur 19 tahun ia meninggalkan 
rumah. 
Slamet menjadi nomad di ibu kota. Ia bisa tidur di 
mana-mana. Sarinah, Sunda Kelapa, Semanggi hanya sebagian kecil lokasi 
tempat tinggalnya.
Tidak ada kemewahan kala itu. Ia kerap 
membayar mandor tukang bangunan untuk bisa tinggal di lokasi proyek. 
Setelah seminggu, ia cabut dan mencari tempat baru.
Masa kuliahnya tak berjalan lancar. Saat di Akademi Film Nasional, 
Slamet hanya sempat belajar satu semester. Seluruh staf pengajarnya 
sibuk mengerjakan berbagai proyek film pascakesuksesan Macan Kemayoran. Akademi ini bubar.
Ia
 pindah ke Akademi Teater Nasional Indonesia. Sebenarnya kesenian ini 
tak menarik hatinya. Pernah beberapa kali menonton pertunjukan drama di 
Yogyakarta, menurut Slamet, kualitasnya jauh dari kata bagus.
Slamet
 juga bukan anak yang suka tampil. Sosok aslinya adalah pendiam. Selama 
12 tahun bersekolah, ia tak pernah percaya diri untuk tampil di depan 
kelas.
Kalau sudah ujian menyanyi, ia hanya sanggup membawakan satu lagu, yaitu Maju Tak Gentar. Itu pun ia nyanyikan dari balik papan tulis.
Jurusan penata artistik akhirnya ia ambil. Slamet yakin bisa melukis karena mamanya melakukan hal serupa. 
Suatu
 waktu ia kehabisan uang dan tidak bisa ujian. Sutradara Teguh Karya dan
 Sjumandjaja bersedia menalangi. Sebagai balasannya, Slamet harus 
membuat set untuk pertunjukan drama Teguh.
Ia menolak. Tapi Teguh 
mendesak, malah menyuruhnya tampil. Slamet terpaksa mau. Dengan grogi, 
ia naik ke atas panggung. Keringat bercucuran dari ujung rambut sampai 
kaki. 
Ia hafalkan dialog sekuat tenaga, lalu berakting. Satu menit. Dua menit. Akhirnya ia turun kembali ke bawah panggung.
"Eh, Arab, udah makan lu?
 Mau makan enggak?" tanya Teguh. Slamet menerima tawaran itu. Tiba-tiba 
Teguh mengatakan Slamet telah lulus dan harus berganti jurusan ke 
akting. "Padahal itu bukan akting, tapi saya ketakutan," ujar Slamet.
Mata
 Teguh tidak salah. Slamet memang benar-benar bisa berakting. Ia 
langsung mendapat pemeran utama di Teater Populer -- bentukan Teguh 
Karya. Lakon pertamanya berjudul Hantu dan dipentaskan di Hotel Indonesia pada 28 November 1969.
Pentas
 drama itu sukses dan media menyebut Slamet seorang calon bintang. 
Wartawan senior Salim Said adalah orang pertama yang mengatakan Slamet 
aktor berbakat.
Teguh lalu membuat Wadjah Seorang Laki-Laki pada
 1971. Slamet menjadi pemeran utamanya. Film ini meraih sukses. 
Kesuksesan ini terulang kembali tiga tahun kemudian dalam film Cinta Pertama. Kali ini Slamet berpasangan dengan Christine Hakim. 
Sejak
 saat itu, keduanya ibarat duet maut. Layaknya Dian Sastrowardoyo dan 
Nicholas Saputra zaman sekarang, film-film yang mereka bintangi selalu 
laris-manis di bioskop. Teguh pula yang kerap mengarahkan Christine dan 
Slamet. 
Kuliah Slamet tak berjalan semulus kariernya. Akademi 
Teater Nasional Indonesia bubar tak lama setelah ia belajar di sana. Ia 
jadi hakulyakin pendidikan formal bukan jalan hidupnya. Ia memilih 
autodidak.
Semua jenis buku ia baca. Sastra, roman, komik, 
stensilan, psikologi hingga filsafat. Untuk mendalami seni peran, ia 
juga kerap berdiskusi dengan banyak tokoh film, seperti Sjumandjaja dan 
Asrul Sani.
Slamet juga rajin ke lembaga-lembaga kebudayaan asing.
 Referensi filmnya jadi kaya. Ia tidak mau menonton film Hollywood. 
"Enggak doyan aku," katanya. "Saya lebih kenal film-film seni dari 
Jepang, Rusia, Slovakia."
Semangat belajarnya ini membuahkan 
hasil. Aktingnya sebagai Bram, laki-laki frustrasi yang mengakhiri hidup
 dengan bunuh diri di Ranjang Pengantin, memberikan Piala Citra pertamanya, kategori aktor terbaik pada 1975. 
Piala itu sempat ia tunjukkan ke ayahnya. "Ayah diam saja, tidak berkomentar apa-apa," kata Slamet tersenyum. 
Ia
 sempat menjadi aktor dengan bayaran tertinggi. Narkoba, alkohol, uang, 
dan perempuan bisa dengan mudah ia dapat. Tapi ia menganggap semua itu 
tak perlu. Tuhan masih sayang kepadanya. "I'm a lucky boy. Pelarian saya adalah pulang ke rumah kakek," katanya.
Selalu merasa punya rumah, hidup Slamet jadi tidak neko-neko. "Persoalannya
 bukan saya enggak doyan duit, bohong. Bukan saya enggak suka barang 
bagus, bohong," katanya. "Yang saya tahu, barang saya ini harus berguna 
untuk orang lain."
Baginya bermain film tak sekadar mengimitasi 
kehidupan tapi memberi makna di balik peristiwa. Ia menjadi aktor yang 
pemilih. Tak sembarang film mau ia kerjakan. Hal itu sebenarnya tidak 
mudah. Kerap kali ia kesulitan keuangan. 
Slamet beruntung menemukan istri yang mengerti dengan idealismenya. 
Mira Djarot adalah satu-satunya orang yang berani mengkritiknya. "Saat 
saya jadi yang terbaik pada zaman itu, enggak ada yang berani bilang 
jelek ke saya, kecuali istri saya," katanya.
Mira berhasil 
membawa Slamet kembali ke bumi. Ia jadi sadar masih punya kelemahan dan 
apa yang ia kerjakan belum tentu berhasil. "Saya beruntung sekali 
mendapat istri yang juga bisa menjadi sahabat," ujarnya.
Slamet 
dan Mira menikah pada 1984 dan memiliki dua anak perempuan, Laras dan 
Kasih. Di tahun itu pula Slamet membeli rumah di kawasan Bintaro yang 
sampai sekarang masih ia tinggali.
Mira masih aktif bekerja di 
bidang jurnalistik. Slamet berkarya di dunia seni dan budaya. Sambil 
memimpin Teater Populer, Slamet mengajar di IKJ seminggu tiga kali. 
Sudah lebih 25 tahun ia menjadi dosen di sana.
Gelar Ki sekarang 
tersemat di depan namanya, menjadi Ki Slamet Rahardjo Djarot. "Ini bukan
 menunjukkan keilmuan saya, tapi keempuannya," kata Slamet. "Saya senang
 sekali mendapat gelar itu dari Fakultas Film dan Televisi IKJ."
Ia masih menerima tawaran bermain film. Yang teranyar, A Perfect Husband akan
 tayang pekan depan. Tapi sampai sekarang ia belum berencana membuat 
film. Alasannya sepele. Tidak ada yang mau mendanai. Film terakhirnya 
adalah Marsinah pada 2001.
Resep eksistensinya selama lebih
 40 tahun sangat sederhana, hanya kerendahan hati dan kebebasan jiwa. 
"Makanya, kalau ada anak main film cenanangan (ngawur) dan hanya jual sensasi, itu pasti enggak berbakat," ujar Slamet.
| SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA | 1980 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| BUKIT PERAWAN | 1976 | OSTIAN MOGALANA | Actor | |
| NOPEMBER 1828 | 1978 | TEGUH KARYA | Actor | |
| LANGITKU RUMAHKU | 1989 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| KAWIN LARI | 1974 | TEGUH KARYA | Actor | |
| PERKAWINAN DALAM SEMUSIM | 1976 | TEGUH KARYA | Actor | |
| KEMBANG KERTAS | 1984 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| SOUTHERN WINDS | 1993 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| RANJANG PENGANTIN | 1975 | TEGUH KARYA | Actor | |
| KODRAT | 1986 | SLAMET RAHARDJO | Actor Director | |
| KASMARAN | 1987 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| SANG PENARI | 2011 | IFA ISFANSYAH | Drama | Actor | 
| BADAI PASTI BERLALU | 1977 | TEGUH KARYA | Actor | |
| TJOET NJA DHIEN | 1986 | EROS DJAROT | Actor | |
| LOST CHILD, THE | 1992 | SLAMET RAHARDJO | Television film | Director | 
| TERAN BULAN DI TENGAH HARI | 1988 | CHAERUL UMAM | Actor | |
| KANTATA TAQWA | 1992 | EROS DJAROT | Director | |
| DI BALIK KELAMBU | 1983 | TEGUH KARYA | Actor | |
| TELEGRAM | 2001 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| INFATUATION | 1989 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| PUTERI GUNUNG LEDANG | 2004 | SAW TEONG HIN | Actor | |
| REMBULAN DAN MATAHARI | 1979 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| CINTA PERTAMA | 1974 | TEGUH KARYA | Actor | |
| PONIRAH TERPIDANA | 1983 | SLAMET RAHARDJO | Actor Director | |
| PASIR BERBISIK | 2001 | NAN T. ACHNAS | Drama | Actor | 
| MARSINAH | 2001 | SLAMET RAHARDJO | Director | |
| WADJAH SEORANG LAKILAKI | 1971 | TEGUH KARYA | Actor | 

 
 





