06 April 1974
FFI 1974
Giliran pemerintah
SEKTOR perfilman cukup menyimpan kebolehan buat mengisi kantong negara. Ini bukan ungkapan yang berbau impian dari kalangan orang film, sebab seperti diutarakan Sumardjono -- sehari-hari Ketua Karyawan Film & TV (KFT), "pajak tontonan merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang utama". Betapa besarnya potensi yang terkanundung di sektor ini, Sumardjono menunjuk contoh "sekitar tahun 50-an.
Amerika Serikat mengandalkan pendapatan dari sektor film, nomor dua setelah produksi baja". Di sanggar Kinoworkshop TIM -- yang sempat merangkap kantor panitia pusat FFI '74 -- Sumardjono selaku ketua panitia mencoba menghitung apa yang dapat dicapai oleh sebuah festival film di republik ini. Ini perinciannya kepada Ed Zoelverdi dari TEMPO Secara gampangan saja, tarohlah tiap bioskop yang ada di seluruh tanah air ini rata-rata dikunjungi 500 penonton. Jumlah bioskop seluruhnya 600 buah. Berarti tiap hari datang 300 ribu penonton -- ingat, berapa prosen cuma dari 120 juta penduduk'? Belum sampai 5%. Tapi marilah kita teruskan. Jika harga karcis kita ambil rata-rata hanya Rp 100, maka per-hari uang yang beredar di sektor ini meliputi Rp 30 juta. Atau untuk satu tahun, dikalikan 360, menjadi Rp 10.800.000.000. Ini masih satu jumlah yang dasar hitungannya bodoh-bodohan. Nah, uang sejumlah itu dibagi tiga: sepertiga masuk kas pemilik bioskop. Sepertiga untuk pemilik film. Sepertiga lagi pajak.
Dengan kata lain pemerintah kebagian sedikitnya Rp 3 milyar, tapi tentunya lebih dari itu. Dipandang dari masalah kepentingan apa yang merupakan garis audience approach dari Direktorat Film Deppen: kalau festival film Indonesia ini bisa meningkatkan jumlah penonton sampai -- tarohlah -- 5% saja dari jumlah penduduk Indonesia, tak diragukan hal itu sekaligus merupakan peningkatan pemasukan pendapatan negara juga. Lalu soalnya sekarang: sektor perfilman ini ada dimungkinkan oleh adanya pembuat film plus bioskop. Pembuat film mengeluarkan modal untuk produksi, sementara pemilik bioskop mengeluarkan modal untuk ongkos eksploitasi. Jangan lupa orang film juga dikenakan pajak, selain perusahaan film tak luput dari cukai sedang bioskop juga terkena pajak perusahaan -- walaupun tak keliwat dirisaukan, sebab bukankah kewajiban warganegara? Tapi giliran pemerintah, kalau toh pemerintah dapat memandang FFI sebagai satu satu cara bisnis dalam urusan ini, tentu tak ada salahnya bila ia mengembalikan hanya 5%, saja sekali setahun kepada sektor ini untuk membiayai satu festival. Di samping kita kaji kemungkinan mengatur pengembalian dana itu, ada alasan kita gembira karena pemerintah -- dalam hal ini Direktorat Film selaku pembina perfilman nasional -- memang telah menyediakan sejumlah dana untuk penggemblengan orang-orang film di Kinoworkshop.
Adapun pembiayaan FFI 74 di Surabaya masih dipikul bersama: sebagian dari dana SK 74, sumbangan pemilik bioskop dan pemilik film termasuk yang impor. Sementara pemerintah daerah menyediakan tambahan dari hasil pungutan pelbagai bentuk dana -- satu hal yang rasanya agak disayangkan. Sebab sebenarnya tak perlu pemerintah daerah sampai harus membebankannya pada kantong masyarakat bila diingat pajak yang sebelumnya sudah masuk kas. Satu hal yang patut dibanggakan dari Jakarta adalah ikut sertanya pemilik film plus bioskop yang menyumbangkan masing-masing Rp 2,50 dari tiap karcis yang terjual. Ini terbilang luar-biasa. Dari rangkaian penjelasan tadi dapat dilihat, kegiatan festival dari sudut kepentingan pemerintah boleh dipandang sebagai semacam bisnis. Sehingga tak usah dikuatirkan terpeleset ke dalam pengertian bennewah-mewah, karena memang tak ada sangkut-pautnya. Sedang bagi kami sendiri orang-orang film, kegiatan ini lebih merupakan patokan ujian ketrampilan. Itu pasal yang terpenting.
Dan Sumardjono akhirnya menampilkan pandangan: bahwa "dari sudut FFI, maka produksi nasional yang ideal adalah 300 buah pertahun". Ditunjuknya, Amerika saja hanya sedikit lebih dari itu. Alasan lain: "Coba bayangkan, hari dalam setahun hanya 360. Saya kuatir penjurian harus dilakukan setahun penuh tiap hari". Dalam pada itu Nya' Abas Akup, sehari-hari sutradara, menanggapi perlunya ada semacam nominasi alias pencalonan yang jelas dan produksi per-tahun. Umpamanya"dari 100 film dipilih hanya 10 saja yang akan dinilai juri". Akup juga menunjuk pentingnya pengertian dari fihak produser sendiri dalam mengkatagorikan produksinya. "Kalau hanya film kelas B, ya cukuplah untuk konsumsi pasaran, tapi untuk masuk festival si produser supaya menentukan dari jenis kelas A". Tapi di Indonesia kategori semacam itu toh belum ada, sehingga Nya' Abas cenderung menganjurkan adanya semacam dewan pertimbangan untuk membantu menasehati para produser tentang katagori produksinya, atau sumbangan para penulis resensi, yang bisa hanya menulis film yang dipandang berhasil saja.
BANYAK pembaharuan sistem penilaian yang dilakukan Dewan Juri FFI 1974 yang dipimpin Prof. Dr. Soelarko. Bukan saja cara pemberian dan pengumpulan angka digantikan dengan presedur lain, yakni pencalonan terbuka dan diskusi antar juri. Tapi yang lebih berarti bagi hasilnya ialah dalam hal memilih siapa di antara bintang-bintang film berhasil mendapatkan piala Citra. Keharusan untuk memilih aktor dan aktris terbaik dihindari yang tahu lalu nampaknya terpaksa dipatuhi karena kelaziman.
06 April 1974
Dan setelah air mata: mutu dan setelah air mata : mutu
FILM Indonesia mungkin tak perlu nangis terus-menerus. Posisi dan mutunya semakin baik. Acara Festival di Surabaya akhir pekan lalu membuktikan itu. Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI 1974, di malam penutupan waktu membacakan penilaian umum film-film Indonesia selama setahun lalu, selain menyebutkan sejumlah kritik, juga menyebut adanya "kemajuan yang sangat menggem-birakan". Kritik yang disebutkan Prof.dr. R.M. Soelarko, sang Ketua, mungkin pedas. Serang pejabat tinggi secara pribadi mengatakan, bahwa "kritik itu mungkin benar, tapi sebaiknya tak disampaikan di malam itu". Barangkali. Tapi catatan tentang "kemajuan" itu tak boleh dilupakan kiranya. Kemajuan yang terutama jadi perhatian Dewan Juri 1974 ialah kemajuan ketrampilan teknis dan juga mutu, dan kesimpulan ini memang bukan basa-basi.
Kemajuan lain yang tampak dalam serentetan acara 3 hari di Surabaya berbentuk sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat -- untuk melihat sendiri bintang-bintang film Indonesia, yang menurut sebuah poster masih disebut sebagai "artis-artis Ibukota". Sekitar hampir setengah juta manusia membanjiri jalanan di mana pawai lewat di sepanjang 5 km. "Belum pernah ada kejadian seperti itu sepanjang yang saya ingat", ujar seorang pejabat kepolisian Surabaya. Dan meskipun polisi berhasil menjaga kcamanan, Farouk Afero robek jasnya ditarik-tarik, Sofia W.D. dan beberapa bintang lain dicabut cincin mereka waktu bersalaman dengan khalayak ramai. Beberapa bintang mengeluh, atau pura-pura mengeluh, tapi umumnya gembira (kecuali mungkin yang kemudian ternyata tak mendapatkan piala). Seorang sutradara berkata "Yang menang dalam festival di Surabaya ini adalah film Indonesia secara keseluruhan". Ia mengingatkan bahwa di Surabaya posisi film Indonesia di bioskop-bioskop belumlah menggembirakan. Tapi dengan keramaian itu, meskipun yang datang nonton ada juga orang-orang dari luar Surabaya, harapan untuk lebih gembira cukup besar. Apalagi Gubernur Jawa Timur dalam percakapan dengan orang-orang film selama pesta kebun yang meriah di tempat kediaman resminya setengah menjanjikan, untuk menghaluskan bioskop-bioskop di daerahnya memutar film Indonesia dalam waktu-waktu tertentu -- hal yang juga berlaku di Jakarta. Jika film-film Indonesia memang makin menarik, dan lebih banyak diperhatikan media massa lain, nampaknya keharusan itu akan mudah menemukan alasan -- walaupun sistim distribusi film Indonesia konon masih lebih tergantung pada ujung jari para pemesan dan calo-calo daripada calon konsumen itu sendiri. FFI 1974 dengan sendirinya suatu promosi dagang juga. Tapi jelas bahwa promosi itu kini tak begitu sulit.
Sejak di tahun 1970 Turino Djunaidy mendobrak pintu kelarisan dengan sernafas Dalam Lumpur dan kemudian tahun lalu Sandy Suwardi Hassan mengorbitkan Ratapan Anak Tiri, tampak ratapan-ratapan lama akan berhenti. Gelombang film cengeng perangsang air mata yang lagi keras dewasa ini (menggantikan gelombang erotika dan adu jotos di waktu yang lampau) ternyata berhasil menciptakan gelombang penonton yang amat besar. Sandy Suwardi, sebagai penghasil film tedaris 1973, di malam penutupan FFI 1974 dapat sebuah piala dari Panitia, sementara Faradilla Sandy (8 tahun) anaknya yang berbakat dan banyak dikerumuni peminta tandatangan, mendapatkan sebuah piala untuk akting kanak-kanak -- dengan tepukan gemuruh. Sebagian Benar Namun puncak malam itu sudah tentu bukan pemberian piala untuk film terlaris. Festival sekaligus promosi kwalitas di luar soal dagang. Sebuah Dewan Juri telah dibentuk (terdiri dari : Prof. dr. Soelarko, R.M. Soetarto, Ny. Maria Ulfah Subadio, Sri Martono, Hasyim Amir, D. Djajakusuma, Goenawan Mohamad dan Moh. Said -- yang di malam penutupan itu merupakan satu-satunya anggota yang berhalangan datang) dan bekerja selama awal dan pertengahan Maret untuk menilai 25 film cerita + 1 film dokumenter. Hasil penilaian yang tertutup rapat selama satu minggu, akhirnya malam itu dibuka dari amplop yang diacak dan dikawal polisi, untuk dibacakan oleh Ketua Dewan Juri. Beberapa keputusannya mengejutkan, mengecewakan dan menimbulkan beberapa perdebatan. Beberapa lainnya nampaknya cocok dengan dugaan dan harapan -- yang banyak tersiar di pelbagai penerbitan atau cuma secara bisik-bisik. Berikut ini adalah sederet catatan: Film Jembatan Merah yang oleh majalah POP bulan Maret ditaruh nomor satu dalam daftar pilihannya ternyata tak menang apa-apa. Memang, ini adalah karya terbagus Asrul Sani, mungkin lebih bagus dari Palupi yang memenangkan Festival Film Asia di Jakarta tahun 1970. Namun agaknya Asrul masih tetap kurang pas dalam menggarap film yang maunya puitis dan sekaligus lucu ini: seperti kecende-rungan Asrul yang selalu nampak dalam skenario, JM masih terasa sarat verbal. Ia penuh katakata di bagian-bagian yang sebenarnya bisa cukup dikemukakan dengan sugesti visuil. Contoh: menjelang film berakhir orang sudah tahu sebenarnya penyelesaian apa yang terjadi antara si pencopet (Sukarno M. Noer) dengan si pelacur bekas isterinya (Mutiara Sani), sebelum mereka berbimbingan tangan di atas Jembatan Merah, dan matahari terbit di timur, dan (seperti sudah diduga terlebih dulu) wig merah lambang kejalangan itu dilemparkan si wanita ke air kali. Sukarno tak perlu kiranya berbicara lagi. Apalagi usahanya memakai aksen Surabaya-Madura sering mengganggu, karena masih berat dengan warna aksen Medan --aksen asli Sukano yang rupanya sulit disembunyikan.
Setidaknya keverbalan yang ini lebih sulit diabaikan daripada melupakan film A Pocketful of Miracles dari Frank Kapra (dengan Bette Davis & Glenn Ford) yang 10 tahun yang lalu disambut senang di Indonesia -- yang sebagaimana JM juga tentang si ibu miskin yang ditolong seorang bandit besar untuk bertampang "kaya" sejenak guna menghadapi calon besan yang bangsawan. Orang juga bisa melupakan pola kelucuan yang agak terasa diulang-ulangi: kecanggungan orang tak terpelajar untuk harus meniru adat orang terpelajar. Tapi tetap Jembatan Merah akhirnya termasuk kategori film yang "sayang sekali...". Lebih Datar Tokoh Wim Umboh juga tidak beruntung. Kabarnya Wim, yang tahun lalu memenangkan banyak hadiah dengan Perkawinan, sangat optimis bahwa tahun ini ia akan menang. Tokoh-nya, yang sccara komersiil tak begitu berhasil seperti film-filmnya yang lain, agaknya termasuk dalam proyek Wim buat membikin film "berat". Tapi Tokoh yang ceritanya tenntang seperti benang panjang itu terlalu tipis untuk digantungi sejumlah besar peran. Nasibnya seperti Mama (1972), meskipun problematiknya lebih bersahaja -- namun dengan hasil lebih datar pula.
Mungkin ini disebabkan karena Fadly dokter gigi yang dieoba Wim untuk jadi bintang film dengan peran cukup berat, masih harus diinjeksi kepekaan untuk bermain kurang mekanis. Wim kali ini tak begitu berhasil mengolah bintang baru. Ini di luar hoki yang lazim ada ditangannya. Tatiek Tito --pemegang peran berat satunya lagi -- lebih baik sedikit dari Fadly, tapi juga tak mengesankan. Kecuali bibirnya. Namun kelemahan terpokok Tokoh ialah karena cerita ini tanpa konsentrasi. Sebuah "biografi" dari satu tokoh imajiner sejak sebelum perang, Tokoh kekurangan intensitas dan sekaligus kekurangan kejelasan alasan. Untuk berbicara tentang cinta & kesetiaan seorang wanita, ruangan ternyata begitu luas buat riwayat seorang pengacara. Untuk berbicara tentang hidup seorang pengacara dengan wanita-wanitanya film ini tak meyakinkan kita bahwa soal itu penting adanya. Advokat Amir Laksmana (Fadly) nampaknya seorang tokoh masyarakat: berita perkawinannya disiarkan dan sedikit dikomentari oleh radio (entah pemancar mana), dan ia begitu dipuja dari jauh oleh gadis Mana (Paula Rumokoy) yang tidak hidup di sekitarnya dan tak dikenalnya. Tapi tentang pengacara yang sukses sejak jaman "Landraad van Neder-landsche Indie" ini (seharusnya Wim lebih teliti: "Nederlandsche Indie") kita tak tahu bagaimana ia orang hebat di masyarakat. Wim mungkin mencoba seni berbicara secara implisit.
Tapi konsekwensi sebuah cerita "biografis" ialah mengunjukkan latar yang lebih luas dari sekedar ruang rumah di mana terjadi konflik-konflik rumah-tangga. Wim memang sudah melakukannya dengan mencoba bercerita tentang perjalanan Amir Laksmana di tahun 1945. Ia mencoba menghidupkan kembali situasi Surabaya di masa akhir Jepang dan reolusi. Ia bahkan mengambil satu bagian film dokumenter pemboman Palembang oleh Jepang di tahun 1941 (satu bumbu yang cukup baru buat film Indonesia kini -- walaupun kita tak tahu apa hubungan kota Palembang dengan cerita). Tapi di babakan masa setelah kemerdekaan latar itu hilang dari film. Bahkan di bagian ini kita tak diberi lagi petunjuk-petunjuk waktu dari "biografi". Satu-satunya petunjuk ialah berkibarnya sang Merah Putih dan ucapan sang pengacara bahwa "kita sudah merdeka" sementara ia berpakaian dan berpotongan rambut model tahun 1970-an di kantornya yang mentereng. Kronologi tiba-tiba lenyap. Dan bila film ini mau bercerita tentang riwayat cinta dari masa ke masa, ternyata kronologi yang setengah-setengah itu pun tidak terpaut dengan satu psikologi. Bagian demi bagian ceritanya seperti terpisah-pisah, yang satu tak menjadi dasar bagi yang lain. Kehadiran wanita setia, yang ternyata adalah sang "pencinta agung" dalam film ini, dimainkan Tatiek, nampaknya hendak ditampilkan sebagai pengikat bagian-bagian itu. Tapi fondasi yang kokoh yang mempertautkan sang pengacara dengan sang wanita dari awal sampai akhir, tidak nampak cukup dibangun. Para protagonis -- Fadly, Tatiek dan Paula -- pada dasarnya masih protagonis dongeng: tanpa akar di suatu bumi, sementara Tokoh adalah cerita yang ingin banyak menyangkutkan diri dengan bagian sejarah Indonesia modern. Terapung-apung Yang tidak menampilkan protagonis dongeng ialah Laki-Laki Pilihan. Inilah film Niko Pelamonia yang terbaik. Tapi pengadap-tasian cerita The Godfather (dilakukan tanpa menyebut sumber) sekaligus merupakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya terletak justru dalam kepekaan dan kecermatannya menyesuaikan latar Amerika dan Sicilia tahun l920-an dengan latar Jakarta --Banten tahun 1920-an. Kelemahannya ialah karena struktur cerita Mario Puzo sangat kedodoran: The Godfather menarik bukan disebabkan oleh ketrampilan menyusun cerita, tapi karena ia menggali kehidupan satu keluarga Mafia dan kekerasannya dari dalam -- satu hal yang belum pernah dilakukan pengarang Amerika, di saat orang sedang tertarik kembali babakan sejarah kriminalitas setengah abad yang lampau. Struktur yang kurang kompak itu yang merupakan soal gawat untuk memindahkannya ke film: bagaimana meletakkan dan mengamankan fokus.
Dalam film yang dibikin Paramount dengan Marlon Brando fokus itu ditaruhkan pada Brando. Dalam produksi Tuti Mutia Film ini fokus maunya diletakkan pada Niko Pelamonia (yang memainkan "si Babe" sendiri). Tanpa membandingkannya dengan The Godfather -- yang belum pernah ditonton para juri -- titik sentral film ini tidak terasa mempertautkan seluruh bagian-bagian film menjadi kesatuan. Prestasi akting Niko (bekas mahasiswa ATNI yang juga dikenal di pentas sepuluh tahun yang lalu) menjadi tenggelam oleh cairnya bagian-bagian lain -- yang tak ditolong oleh bintang muda Deddy Jaya, kwalitas fotografi yang kurang kedalaman, dan adegan-adegan kekerasan yang datar serta kurang segar. Suspens terapung-apung. Dugaan di beberapa kalangan bahwa Cinta Pertama Teguh Karya akan mendapat hadiah tertinggi juga ternyata tidak sepenuhnya tepat. Film ini memang diakui menyenangkan untuk dilihat. Ia dibuat dengan ketelitian dan ketrampilan yang tinggi dengan imajinasi yang cukup -- yang menyebabkan Teguh Karya dinilai menghasilkan penyutradaraan terbaik, satu hal yang sebenarnya tak mengagetkan jika diingat prestasinya dengan filmnya yang lama: Wajah Seorang Laki-Laki. Cinta memang hampir saja berada paling atas dalam penilaian juri, di samping Si Mamad dari Sjuman Djaja. Tapi film kedua Teguh Karya ini menunjukkan sedikit kelemahan dalam penceritaan. Konflik yang berakhir dengan tembak-menembak dan dua kematian agak hambar Flashback yang menjelaskan timbulnya konflik ditampilkan praktis sekaligus dengan cara begitu lengkap di bagian tengah, hingga mengesankan bahwa masa lalu hanya boleh muncul dalam satu bab tersendiri -- seperti dalam novel-novel lama. Tapi kekurangan itu memang baru dirasakan mengganggu justru karena Cinta Pertama nyaris merupakan karya film yang "sempurna" (menurut kenyataan perfilman Indonesia kini). Bahwa akhirnya film ini kemudian terletak di bawah Si Mamad, terutama agaknya karena melihat soal ketrampilan hampir merupakan perbaikan umum dalam film-film produksi 1973 dan karenanya sesuatu yang "lebih" atau "lain" diharapkan untuk menjadi karya terbaik. Komentar Sosial Dan yang "lebih" dan "lain" itu tampaknya terdapat dalam Si Mamad.
Dari segi teknis semata-mat, film Sjuman Djaja ini tak kurang cacadnya. Orang bisa melihat bentuk huruf-huruf yang jelek dalam judul yang pretensius ("Renungkanlah..."). Orang bisa merasakan bahwa visualisasi khayalan si Mamad tentang kebahagiaan anak-anaknya, berupa adegan di Taman Ria, agak mencapekkan, kurang kaya untuk sebuah fantasi -- mungkin karena cuma fantasi seorang pegawai negeri yang miskin. Adegan ketika si Mamad menjelang mati melihat bayangannya sendiri naik ke langit juga bisa digugat: ia tersenyum melihat bayangan itu berpakaian dinas dengan kaus tangan putih, seakan-akan ia senang terlepas dari penderitaan dan puas dengan kebersihan dirinya sebagai pegawai. Tapi dalam film, bayangan itu justru menuju langit yang kelam. Dan sementara itu konsekwensi dari senyum dan rasa senang si Mamad di akhir hidupnya kurang dilukiskan sebagai segi baru dari persoalan: Adakah senyum itu bukan senyum yang aneh, karena ia meninggal dengan rasa bersalah yang belum terpupus atas pencuriannya? Adakah senyum itu bukan senyum seorang bapak yang egois sebenarnya, yang meninggalkan sejumlah anak-anak yang masih kecil dan isteri yang hamil tua? Konflik antara kejujuran sebagai sikap yang dilakukan dengan ikhlas, dengan kejujuran sebagai sikap yang dilakukan untuk sekedar memenuhi "target" yang sudah ditentukan, dalam film ini tidak ditampilkan. Konfliknya pada dasarnya satu pola dengan film-film melodrama Indonesia yang lain: antara kejujuran dan ketidakjujuran semata-mata. Dari beberapa segi memang tampak, bahwa Sjuman Djaja masih belum bebas benar untuk sungguh-sungguh membuat film yang tangguh dari godaan pola umum. Tapi masih setengah-setengah dalam mengambil risiko -- pada saat ia mau tampil dengan film yang tampaknya tak akan laris. Tapi hanya dengan itu saja pun si Mamad merupakan prestasi.
Mesikipun pola konflik yang itu-itu juga masih terasa, tapi Sjuman telah berhasil mengemukakan satu komentar sosial dengan gugatan yang sah pada keadaan Si miskin memang jujur seperti dalam melodrama yang lain. Tapi dalam Si Mamad kejujuran itu tak mudah: kemiskinan bisa menggugurkannya. Kejujuran tak lagi cukup punya garansi. Film ini mengharukan, sebab milik si Mamad satu-satunya yang paling berharga, yakni kejujuran, ternyata bisa terlepas. Memang, dengan begitu Si Mamad bisa terasa sebagai sebuah film tanpa optimisme. Ia bisa memberi kesan sebagai sebuah apologi, di samping protes, terhadap "jaman edan". Si Mamad yang maunya tak ikut edan itu tampil sebagai suatu anakronisme: dengan pakaian pegawai jaman kolonial, dalam kantor yang mengurus arsip-arsip lama. Tapi dengan begitu film ini merupakan kesaksian tentang suatu masyarakat pada suatu waktu. Di antara film-film bagus untuk FFI 1974. inilah film yang paling berbicara tentang problim terdekat Indonesia kini. Orang tak usah teringat cerita-pendek Anton Cekov darimana konon kisah film ini berasal. Sebab kalaupun saduran, hasilnya lebih halus dari adaptasi The Godfatber jadi Laki-Laki Pilihan. Si Mamad, lebih dari yang lain-lain, menyentuhkan secara intim latar Indonesia -- yang berspeda reyot, yang kampung, yang taat, yang mimpi dan yang diam-diam menanggungkan beban perubahan nilai-nilai. Dan sesuai dengan tema FFI 1974 yang menyebut-nyebut soal "kepribadian nasional", penghargaan tertinggi pun jatuh pada si Mamad. Satu segi lain yang mungkin bisa dicatat ialah bahwa film ini lebih menegaskan lagi komitmen sosial orang-orang film, seperti yang pernah ditunjukkan Usmar Ismail, justru ketika perfilman Indonesia sedang didesak oleh komersialisme. Si Mamad muncul bukan sebagai sekedar barang perdagangan hiburan. Mang Udel Dan Si Rano Sudah tentu penolong terbesar film juman Djaja itu adalah Mang Udel alias Purnomo -- sarjana biologi yang jadi pelawak itu.
Tanpa kemampuan aktingnya sebagai orang biasa sehar-ihari, Si Mamad mungkin berakhir jadi atau lelucon atau cerita sentimentil. Dan Mang Udel pun mendapat hadiah untuk akting pria terbaik -- satu hal yang umumnya sudah diduga oleh para kritisi, tapi mungkin cukup mengagetkan bintang-bintang. Tapi kemenangan Rano Karno untuk akting anak-anak terbaik tentunya tak mengejutkan siapapun. Anak Sukarno M. Noor yang kini lebih laris dari bapaknya ini bermain untuk sejumlah besar film yang ikut dinilai -- tanpa ada bintang kanak-kanak lain yang menonjol. Tapi dalam Rio Anakku si Rano memang praktis tanpa cela. Sutradara Has Manan menemukan bahan yang sudah hampir tinggal pakai padanya. Itu tidak berarti hasil tangan sutradara tidak ada -- satu hal yang menyebabkan film terbaik kedua setelah Cinta Pertama ini memboyong piala lebih banyak dari Si Mamad . Keunggulan film ini tak terletak dalam tema ceritanya. Tema itu masih belum berkisar jauh dari cerita-cerita filantropi yang menakjubkan, cerita si-kaya-raya yang begitu sejuk, tenteram dan mentereng tanpa dosa -- hingga kehidupan "Indonesia" dalam film ini serasa liburan di Puncak di tengah villa-villa dan buku dongeng. Juga masih ada kecenderungan mengikuti arus airmata yang lagi laris sekarang. Namun pengolahan cerita film ini -- yang mendapatkan penilaian tertinggi dari juri -- telah berhasil mensubstitusikan kekurangan itu dengan aksen puitis sekedarnya. Klimaks, terjadi pada saat Rio mati, telah dibangun dan dipersiapkan dengan baik sekali sebelumnya. Maka adegan kematian pun terasa wajar, tapi menyentuh, terkontrol, tanpa teriakan histeris seperti dalam film-film Indonesia yang lain. Yang juga istimewa ialah kctegangan yang tetap terpelihara walaupun kematian Rio sudah bisa diduga sebelumnya.
Tapi seperti halnya dalam Cinta Pertana, dalam Rio juga cacad kecil menjadi sangat terasa justru karena keseluruhan film tersaji hampir sempurna. Cacad pertama ialah datarnya adegan terakhir, ketika Rano seolah-olah muncul kembali di depan Lenny Marlina: si Rio yang sudah almarhum itu terlalu dekat dan terlalu jelas, dengan gerak-pelan yang klise -- sedikitnya mengingatkan kita pada iklan shampoo Hi-Top di TVRI. Cacad lain ialah kurang efektifnya kamera mewujudkan perubahan Lenny menjadi melek setelah buta bertahun-tahun: peristiwa tu tak tampak begitu hebat sensasinya bagi mata dan dirinya. Di samping itu visualisasi impian si Rio digarap tanpa suasana mimpi. Dan sekedar kecerewetan akan detail: dari mana si Rio begitu mahir memainkan kecapi --walaupun ia punya bakat dan dilatih bermain musik? Betapapun, Has Manan yang nyaris menang dengan penyutradaraan terbaik (dia mendapatkan nomor kedua), telah menghasilkan sebuah film yang memperoleh serba hadiah -- dan mungkin sekaligus memperoleh banyak penonton -- dengan sebuah dongeng sederhana. Orang perlu mengawasinya untuk 20tahun depan: dia bisa di atas sekali. Kerjasamanya dengan Lenny Marlina dan Kusno Sudjarwadi (sejak Di Mana Kau Ibu?, juga dengan Rano dan Alam Surawidjaja) kali ini telah menghasilkan piala untuk akting terbaik kedua buat kedua bintang itu. Ini adalah prestasi bagus, mengingat bahwa Lenny dan terutama Kusno terlalu sering bermain untuk pelbagai film, hingga banyak kali menyebabkan mereka tak sempat menampilkan sesuatu yang lain. Kecuali dalam Rio. A M.B.I.S.I. Hadiah pertama untuk penataan visuil jatuh ke dalam film Nya' Abbas Akub, A.M.B.I.S.I. Yang menerimanya secara resmi ialah Ami Prijono, art director. Bila Cinta Pertama dalam perkara ini mantap oleh kecermatan detail, A.M.B.I.S.I. Lebih mantap dalam keberanian dan kemampuan mencipta, plus kebebasan imajinasi -- yang dalam hasi-hasil Ami terdahulu belum tampak benar. Latar yang plastis pemberi dimensi visuil lagu-lagu Kus Plus dan trio Bimbo dalam komidi musik ini -- sebagian dibikin dalam studio -- mungkin merupakan suatu langkah baru di Indonesia. Nya' Abbas nampaknya memberi Ami kesempatan penuh. Tak mengherankan: kelebihan A.M.B.I.S.I. dari film-film musik lain untuk FFI 1974 terletak dala kemampuannya buat menyajikan lagu bergerak sebagai film -- bukan cuma memamerkan suara dan wajah Penyanyi seperti acara musik TVRI. Maka wajar agaknya bila film ini 20mendapatkan Hadiah Khusus.
Nya' Abbas, dalam kegemarannya akan yang lucu dan yang berlagu (Matt Dower, Dunia Hampir Kiamat) menunjukkan keseriusannya untuk menggarap komedi tanpa nyerocos dan gedebag-gedebug. Komedinya tak mentertawakan bentuk tubuh orang lain -- Ateng atau Ratmi Bomber -- tapi mentertawakan, dengan ikhlas kekerdilan-kekerdilan kita sendiri orang-orang biasa dalam hidup sehari-hari. Dalam perumusan para juri, film ini dinilai berusaha meningkatkan mutu film-film komedi dan musik Indonesia dewasa ini -- meskipun dicatat "dengan beberapa kekurangannya". Nya' Abbas memang berhasil menggiring Bing Slamet untuk tidak menghabiskan bakat dan pengalamannya yang kaya itu ke arah kelucuan yang konyol --mereka telah bekerja-sama dengan baik dalam Tiga Buronan belasan tahun yang lalu -- walau masih ada bagian (bentrokan Bing, Fifi Young dan Dedi Damhudi) yang masih terlalu bertingkah dalam mencari efek "grr-rr". Tapi sambil mengucap "tak-ada-gading-yang-tak...", nampaknya harus dimaklumi bahwa cacad hanya baru kelihatan setelah film jadi -- dan dinilai 20terutama oleh orang lain, dalam suatu perlombaan mutu.
Dalam FFI 1974, 20 perlombaan itu berlangsung "dengan jarak berdekatan" seperti kata Has Manan, di mana tak ada seorang sutradara 20atau satu film yang terlalu menonjol diatas yang lain-lain, di mana yang mutunya di atas rata-rata lebih banyak dari yang di bawah. Maka bisa dimengerti jika ada ketegangan yang lebih terasa 20dibandingkan dengan tahun lalu ketika 20orang-orang film mengangkat wajah menuju Surabaya Kamis lalu. Mungkin 20 yang justru dalam hati merunduk ialah anggota juri, yang tahu bahwa dari 20berpuluh-puluh wajah bagus & jelek itu lebih banyak yang akan kecewa 20daripada yang gembira setelah keputusan diumumkan. Tapi memang tak 20 ada perlombaan yang serius yang memenangkan hampir tiap peserta. Juga 20 Festival 1974 yang berakhir di Surabaya itu.
06 April 1974
FFI 1974
Juri dan bintang-bintang
BANYAK pembaharuan sistem penilaian yang dilakukan Dewan Juri FFI 1974 yang dipimpin Prof. Dr. Soelarko. Bukan saja cara pemberian dan pengumpulan angka digantikan dengan presedur lain, yakni pencalonan terbuka dan diskusi antar juri. Tapi yang lebih berarti bagi hasilnya ialah dalam hal memilih siapa di antara bintang-bintang film berhasil mendapatkan piala Citra. Keharusan untuk memilih aktor dan aktris terbaik dihindari yang tahu lalu nampaknya terpaksa dipatuhi karena kelaziman.
Dengan
sadar Dewan Juri 1974 tak ingin dipergunakannya julukan "aktor aktris
terbaik 1973". Setidaknya ada 3 alasan pokok kenapa julukan itu
dihindari. Pertama, buat memilih aktor & aktris terbaik dari
suatu tahun, -- para juri harus menilai prestasi setiap aktor &
aktris dalam film-filmnya selama setahun -- suatu hal yang bisa tidak
adil karena tidak setiap pemain film dapat dan harus dinilai secara
demikian. Ada yang main sekali dalam produksi setahun, ada yang muncul
hampir di tiap produksi. Maka yang dinilai ialah akting masing-masing
dalam satu film: prestasinya yang tampak dalam konteks suatu lakon.
Alasan pokok kedua ialah: akting adalah sesuatu yang sering ditentukan
oleh peran, dan peran ditentukan oleh lakon. Rima Melati, misalnya, tak
diragukan lagi "kelenturan"-nya sebagai aktris. Tapi peran yang
didapatnya dalam film seperti Ayah -- yang entah kenapa ia terima --
menjadikannya bak sekedar perhiasan yang canggung ak keruan. Kemampuan
akting Farouk Afero mungkin baru nampak, bila ia diberi keiempatan buat
pegang peran lain selain si jahat yang "ha-ha-ha-ha!" (dalam film
Indonesia, orang jahat -- selalu ketawa keras dan/atau serem). Dan
khususnya Alam Surawijaya atau Rina Hasjim, yang cukup banyak menarik
perhatian.
Meskipun
Alam jauh lebih matang dari Rina, tapi keduanya mengalami nasib yang
sama: peranan yang mereka pegang semuanya kurang kaya, baik dengan
kemungkinan maupun dengan tantangan, untuk menampakkan diri secara lebih
mengesankan. Mujur Christine Hakim -- memenangkan akting terbaik dengan
pujian dalam Cinta Pertama --boleh dibilang mujur. Bintang baru yang
membikin surprise ini memperoleh peran yang memberinya kesempatan dan
tantangan bagi kemampuannya. Ia mendapatkan apa yang jarang sekali
diperoleh oleh bintang lain dalam film-film untuk FFl 1974: selain ia
cocok untuk perannya, ia tidak harus menokohi satu konsepsi tentang satu
watak, melainkanseorang manusia yang lebih utuh, lebih penuh akan
fluktuasi perasaan dan ekspresinya. Ia tak dibatasi oleh cetakan untuk
melankolis terus, judes terus, mengalah terus --cetakan-cetakan yang
biasanya siap sebelum film dimulai hingga film berakhir. Kelemahan umum
cerita film Indonesia ialah bahwa peran-peran ditampilkan tidak dalam
satu pola watak, melainkan hukum besi karakter. Salah satu unsur
penyegar Cinta Pertama adalah kepekaan Teguh Karya buat peran wanita ini
-- walaupun cerita dasarnya sebenarnya agak simplistis. Dan Mang Udel,
alias Purnomo, juga mujir dalam Si Mamad. Peranannya selain cocok untuk
dia, memungkinkan dia untuk dengan sedikit sekali terjebak dalam gaya
"histrionik" -- hingga mungkin terasa datar -- tapi sementara itu
menunjukkan perkembangan dalam situasi demi situasi. Mang Udel sendiri,
yang baru pertama kali melihat Si Mamad dalam penutupan FFI 1974 di
Surabaya, mengatakan bahwa ia "kecewa". "Tak sebaik yang saya sangka --
saya ternyata bermain lamban sekali", katanya. Kelambanannya
bagaimanapun cocok dengan irama film ini -- bikinan Sjuman Djaja yang
lulus dari sekolah sinematografi Moskow yang tak tangkas sebagaimana
halnya film-film Rusia.
Dan
di situlah bisa dikatakan, bahwa akting bukanlah ternyata hanya hasil
mutlak seorang aktor. Akting berada sebagai bagian dari keseluruhan
film. Maka ulasan pokok ketiga dari Dewan Juri 1974 untuk tidak memakai
istilah "aktor atau aktris terbaik" ialah untuk melihat prestasi seorang
pemain dalam hubungannya dengan kerja bersama yang berlangsung di
seluruh Dewan Juri 1974 merasa perlu karenanya buat menyebutkan nama
film di mana sang bintang bermain dan mendapatkan hadiah. Bisa difahami
kiranya bahwa mereka kurang merasa enak, ketika Tatiek Tito -- yang di
malam pembagian piala bertindak sebagai pengantar acara -- menyebut Rano
Karno (pemenang untuk akting terbaik anak-anak dalam Rio) tak menyebut
pula nama filmnya. Sang pengantar acara agaknya masih berpegang pada
pola tahun lalu, yang memberikan piala buat "aktor terbaik" dan bukan
"akting terbaik untuk film tertentu" . Peran "Pembantu" Yang baru dalam
cara penilaian Dewan Juri 1974 ialah dihapuskannya perbedaan antara
"peran utama" dengan "peran pembantu". Masing-masing pemegang peranan
dalam suatu film pada dasarnya diperlakukan sama untuk dinilai: tak
peduli adakah ia pemegang peran yang disebut "utama" atau "pembantu" --
yang biasanya ditentukan begitu saja oleh para produser dalam daftar
pemain.
Berbeda
dengan Dewan Juri 1973, Dewan Juri 1974 tak berpegang pada daftar itu,
yang kebanyakan condong untuk menarnpilkan nama-nama tenar, walaupun
peran mereka tak berarti. Dengan demikian penilaian dipertimbangkan
berdasar mutu akting. Itu tidak berarti berat-ringannya peranan
sebenarnya dalam suatu film tidak diperhitungkan -- sebab disadari bahwa
berat-ringannya "tugas" si aktor ditentukan oleh beban dan tantangan
"lakonnya" dalam cerita. Agaknya itulah sebabnya, para pemenang piala
Citra untuk akting "dengan pujian" terdiri dari pemegang peran yang
paling berat dalam masing-masing film, apa yang disebut "peran utama".
Bahwa kategorisasi "utama" dengan "pembantu" dihapuskan dalam pengumuman
juri, agaknya karena disadari bahwa belum ada kesepakatan tentang
pengertian-pengertian itu -- setidaknya antara Dewan Juri dengan
produser serta karyawan film lain. Cara itu mungkin terasa diperketat,
tapi bukan tak ada tujuannva. Perfilman Indonesia kini masih terdesak
oleh kecenderungan "silau bintang" -- yang meletakkan seorang aktor
dalam casting sebab tenar dan menjamin uang masuk. Seorang bintang telah
jadi semacam merek dagang. Ini sudah tampak akibat buruknya bagi mutu
para bintang tenar sendiri. Sebab mereka hanya dihargai sebagai cuma
"penglaris" -- bukan karena prestasi yang sebenarnya. Sistim penilaian
1974 dimaksudkan untuk jadi satu "kontrol" terhadap keadaan itu.
SURABAYA, 31 Maret 1974, gedung "Mitra", jam 21.35. Malam Penutupan Festival Film 1974. Upacara pembagian piala Citra dan piala lainya yang seharusnya khidmat itu -- agak kacau pada mulanya, hingga terpaksa diulangi sekali lagi. Pengantar acara, Tatiek Tito, melakukan kekeliruan dalam mengumumkan jenis piala untuk pemenang editing (pemaduan gambar terbaik I dan II. Setelah Soemardjono dari Panitia Pusat "turun tangan" sendiri ke depan mikrofon menjelaskan kesalahan yang terjadi dan mohon maaf, piala-piala yang sudah terbagi dikembalikan lagi sebelum piala-piala lain diserahkan kepada yang berhak. "Sayang", klta seorang produser, "kejadian yang amat penting dalam kehidupan seorang karyawan film itu -- yang mungkin hanya sekali dalam hidupnya --harus terganggu begitu rupa". Seorang anggota panitia pusat kemudian menyesalkan kegugupan Tatiek Tito malam itu. Menurut dia, kekacauan beberapa menit malam itu disebabkan karena Tatiek Tito secara emosionil terlibat oleh hasil pengumuman Dewan Juri.
Maklumlah karena ia merupakan salah seorang bintang yang filmnya ikut dinilai dalam Festival (dan film itu, Tokoh, tak beruntung mendapatkan piala apapun di luar dugaan). Walaupun demikian, paknya Tatiek Tito malam itu melihat sebabnya di tempat lain: karena hasil-hasil penilaian Dewan Juri baru mendadak bisa diketahui di waktu Ketna Juri, Prof.dr. Soenarko, membacakannya malam itu -- setelah seminggu lamanya dirahasiakan dengan ketat sekali. Ini mungkin menyebabkan orang-orang di luar Dewan Juri tidak cukup siap untuk menampung pelaksanaan hasil-hasil penilaian tersebut, misalnya dalam menyiapkan pengumuman pembagian piala. Goenawan Mohamad yang ikut jadi anggota Dewan Juri 1974 juga ikut kena "tugas merahasiakan" hasil-hasil keputusan. Ini agak merepotkan. TEMPO, seperti tahun lalu, minggu ini juga merencanakan menulis laporan utama tentang FFI dan hasil-hasilnya. Menurut perhitungan Editor Bur Rasuanto, laporan utama itu harus disiapkan pertengahan pekan lalu.
Soalnya kemudian: bagaimana harus siap pekan lalu, bila hasil-hasil FFI waktu itu harus dirahasiakan? Untunglah bahwa kerahasiaan hasil-hasil Dewan Juri 1974 pada akhirnya tetap terjaga, sampai dengan Goenawan dan Ed Zulverdi pulang kembali dari Surabaya awal minggu ini setelah mengikuti FFI 1974 dari dekat. Bagi para pembaca TEMPO yang setia agaknya cukup jelas kenapa TEMPO setiap kali ada peristiwa penting dalam perfilman Indonesia selalu memunculkan laporan utama tentang itu. Rubrik Film TEMPO dengan sengaja mengutamakan pembicaraan film-film nasional, dengan sekali-sekali diselingi film-film asing yang dianggap relevant untuk publik Indonesia. Kami selalu menganggap pentingnya film nasional untuk jadi bahan perhatian, terutama bagi kalangan terpelajar yang merupakan bagian penting dari pembaca TEMPO.
Dalam rangka itu pulalah TEMPO dalam FFI 1974 termasuk salah satu majalah yang ikut menyumbangkan piala (bagi penyutradaraan terbaik kedua, yang dimenangkan oleh Has Manan dalam Film Rio, Anakku). Tentu saja ada unsur "pengiklanan" dan promosi dalam piala-piala semacam itu. Hal ini menyebabkan kami ingin menyarankan pada Panitia buat FFI tahun depan: dengan dibatasinya jumlah piala Citra hanya untuk mereka yang prestasinya "terbaik", pembatasan mana mulai berlaku tahun ini (di tahun lalu semua pernenang dapat piala Citra), tahun depan hendaknya disiapkan piala-piala tersendiri yang tidak memungkinkan perlombaan "iklan" dalam pembagian hadiah. Sejenis piala-piala Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik umpamanya perlu diperbanyak. Mungkin namanya piala Rukiah, piala Cornel Simanjuntak, dan semacam itu -- yang sebaiknya b
PIALA CITRTA
SURABAYA, 31 Maret 1974, gedung "Mitra", jam 21.35. Malam Penutupan Festival Film 1974. Upacara pembagian piala Citra dan piala lainya yang seharusnya khidmat itu -- agak kacau pada mulanya, hingga terpaksa diulangi sekali lagi. Pengantar acara, Tatiek Tito, melakukan kekeliruan dalam mengumumkan jenis piala untuk pemenang editing (pemaduan gambar terbaik I dan II. Setelah Soemardjono dari Panitia Pusat "turun tangan" sendiri ke depan mikrofon menjelaskan kesalahan yang terjadi dan mohon maaf, piala-piala yang sudah terbagi dikembalikan lagi sebelum piala-piala lain diserahkan kepada yang berhak. "Sayang", klta seorang produser, "kejadian yang amat penting dalam kehidupan seorang karyawan film itu -- yang mungkin hanya sekali dalam hidupnya --harus terganggu begitu rupa". Seorang anggota panitia pusat kemudian menyesalkan kegugupan Tatiek Tito malam itu. Menurut dia, kekacauan beberapa menit malam itu disebabkan karena Tatiek Tito secara emosionil terlibat oleh hasil pengumuman Dewan Juri.
Maklumlah karena ia merupakan salah seorang bintang yang filmnya ikut dinilai dalam Festival (dan film itu, Tokoh, tak beruntung mendapatkan piala apapun di luar dugaan). Walaupun demikian, paknya Tatiek Tito malam itu melihat sebabnya di tempat lain: karena hasil-hasil penilaian Dewan Juri baru mendadak bisa diketahui di waktu Ketna Juri, Prof.dr. Soenarko, membacakannya malam itu -- setelah seminggu lamanya dirahasiakan dengan ketat sekali. Ini mungkin menyebabkan orang-orang di luar Dewan Juri tidak cukup siap untuk menampung pelaksanaan hasil-hasil penilaian tersebut, misalnya dalam menyiapkan pengumuman pembagian piala. Goenawan Mohamad yang ikut jadi anggota Dewan Juri 1974 juga ikut kena "tugas merahasiakan" hasil-hasil keputusan. Ini agak merepotkan. TEMPO, seperti tahun lalu, minggu ini juga merencanakan menulis laporan utama tentang FFI dan hasil-hasilnya. Menurut perhitungan Editor Bur Rasuanto, laporan utama itu harus disiapkan pertengahan pekan lalu.
Soalnya kemudian: bagaimana harus siap pekan lalu, bila hasil-hasil FFI waktu itu harus dirahasiakan? Untunglah bahwa kerahasiaan hasil-hasil Dewan Juri 1974 pada akhirnya tetap terjaga, sampai dengan Goenawan dan Ed Zulverdi pulang kembali dari Surabaya awal minggu ini setelah mengikuti FFI 1974 dari dekat. Bagi para pembaca TEMPO yang setia agaknya cukup jelas kenapa TEMPO setiap kali ada peristiwa penting dalam perfilman Indonesia selalu memunculkan laporan utama tentang itu. Rubrik Film TEMPO dengan sengaja mengutamakan pembicaraan film-film nasional, dengan sekali-sekali diselingi film-film asing yang dianggap relevant untuk publik Indonesia. Kami selalu menganggap pentingnya film nasional untuk jadi bahan perhatian, terutama bagi kalangan terpelajar yang merupakan bagian penting dari pembaca TEMPO.
Dalam rangka itu pulalah TEMPO dalam FFI 1974 termasuk salah satu majalah yang ikut menyumbangkan piala (bagi penyutradaraan terbaik kedua, yang dimenangkan oleh Has Manan dalam Film Rio, Anakku). Tentu saja ada unsur "pengiklanan" dan promosi dalam piala-piala semacam itu. Hal ini menyebabkan kami ingin menyarankan pada Panitia buat FFI tahun depan: dengan dibatasinya jumlah piala Citra hanya untuk mereka yang prestasinya "terbaik", pembatasan mana mulai berlaku tahun ini (di tahun lalu semua pernenang dapat piala Citra), tahun depan hendaknya disiapkan piala-piala tersendiri yang tidak memungkinkan perlombaan "iklan" dalam pembagian hadiah. Sejenis piala-piala Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik umpamanya perlu diperbanyak. Mungkin namanya piala Rukiah, piala Cornel Simanjuntak, dan semacam itu -- yang sebaiknya b
06 April 1974
Dan setelah air mata: mutu dan setelah air mata : mutu
FILM Indonesia mungkin tak perlu nangis terus-menerus. Posisi dan mutunya semakin baik. Acara Festival di Surabaya akhir pekan lalu membuktikan itu. Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI 1974, di malam penutupan waktu membacakan penilaian umum film-film Indonesia selama setahun lalu, selain menyebutkan sejumlah kritik, juga menyebut adanya "kemajuan yang sangat menggem-birakan". Kritik yang disebutkan Prof.dr. R.M. Soelarko, sang Ketua, mungkin pedas. Serang pejabat tinggi secara pribadi mengatakan, bahwa "kritik itu mungkin benar, tapi sebaiknya tak disampaikan di malam itu". Barangkali. Tapi catatan tentang "kemajuan" itu tak boleh dilupakan kiranya. Kemajuan yang terutama jadi perhatian Dewan Juri 1974 ialah kemajuan ketrampilan teknis dan juga mutu, dan kesimpulan ini memang bukan basa-basi.
Kemajuan lain yang tampak dalam serentetan acara 3 hari di Surabaya berbentuk sambutan yang luar biasa dari masyarakat setempat -- untuk melihat sendiri bintang-bintang film Indonesia, yang menurut sebuah poster masih disebut sebagai "artis-artis Ibukota". Sekitar hampir setengah juta manusia membanjiri jalanan di mana pawai lewat di sepanjang 5 km. "Belum pernah ada kejadian seperti itu sepanjang yang saya ingat", ujar seorang pejabat kepolisian Surabaya. Dan meskipun polisi berhasil menjaga kcamanan, Farouk Afero robek jasnya ditarik-tarik, Sofia W.D. dan beberapa bintang lain dicabut cincin mereka waktu bersalaman dengan khalayak ramai. Beberapa bintang mengeluh, atau pura-pura mengeluh, tapi umumnya gembira (kecuali mungkin yang kemudian ternyata tak mendapatkan piala). Seorang sutradara berkata "Yang menang dalam festival di Surabaya ini adalah film Indonesia secara keseluruhan". Ia mengingatkan bahwa di Surabaya posisi film Indonesia di bioskop-bioskop belumlah menggembirakan. Tapi dengan keramaian itu, meskipun yang datang nonton ada juga orang-orang dari luar Surabaya, harapan untuk lebih gembira cukup besar. Apalagi Gubernur Jawa Timur dalam percakapan dengan orang-orang film selama pesta kebun yang meriah di tempat kediaman resminya setengah menjanjikan, untuk menghaluskan bioskop-bioskop di daerahnya memutar film Indonesia dalam waktu-waktu tertentu -- hal yang juga berlaku di Jakarta. Jika film-film Indonesia memang makin menarik, dan lebih banyak diperhatikan media massa lain, nampaknya keharusan itu akan mudah menemukan alasan -- walaupun sistim distribusi film Indonesia konon masih lebih tergantung pada ujung jari para pemesan dan calo-calo daripada calon konsumen itu sendiri. FFI 1974 dengan sendirinya suatu promosi dagang juga. Tapi jelas bahwa promosi itu kini tak begitu sulit.
Sejak di tahun 1970 Turino Djunaidy mendobrak pintu kelarisan dengan sernafas Dalam Lumpur dan kemudian tahun lalu Sandy Suwardi Hassan mengorbitkan Ratapan Anak Tiri, tampak ratapan-ratapan lama akan berhenti. Gelombang film cengeng perangsang air mata yang lagi keras dewasa ini (menggantikan gelombang erotika dan adu jotos di waktu yang lampau) ternyata berhasil menciptakan gelombang penonton yang amat besar. Sandy Suwardi, sebagai penghasil film tedaris 1973, di malam penutupan FFI 1974 dapat sebuah piala dari Panitia, sementara Faradilla Sandy (8 tahun) anaknya yang berbakat dan banyak dikerumuni peminta tandatangan, mendapatkan sebuah piala untuk akting kanak-kanak -- dengan tepukan gemuruh. Sebagian Benar Namun puncak malam itu sudah tentu bukan pemberian piala untuk film terlaris. Festival sekaligus promosi kwalitas di luar soal dagang. Sebuah Dewan Juri telah dibentuk (terdiri dari : Prof. dr. Soelarko, R.M. Soetarto, Ny. Maria Ulfah Subadio, Sri Martono, Hasyim Amir, D. Djajakusuma, Goenawan Mohamad dan Moh. Said -- yang di malam penutupan itu merupakan satu-satunya anggota yang berhalangan datang) dan bekerja selama awal dan pertengahan Maret untuk menilai 25 film cerita + 1 film dokumenter. Hasil penilaian yang tertutup rapat selama satu minggu, akhirnya malam itu dibuka dari amplop yang diacak dan dikawal polisi, untuk dibacakan oleh Ketua Dewan Juri. Beberapa keputusannya mengejutkan, mengecewakan dan menimbulkan beberapa perdebatan. Beberapa lainnya nampaknya cocok dengan dugaan dan harapan -- yang banyak tersiar di pelbagai penerbitan atau cuma secara bisik-bisik. Berikut ini adalah sederet catatan: Film Jembatan Merah yang oleh majalah POP bulan Maret ditaruh nomor satu dalam daftar pilihannya ternyata tak menang apa-apa. Memang, ini adalah karya terbagus Asrul Sani, mungkin lebih bagus dari Palupi yang memenangkan Festival Film Asia di Jakarta tahun 1970. Namun agaknya Asrul masih tetap kurang pas dalam menggarap film yang maunya puitis dan sekaligus lucu ini: seperti kecende-rungan Asrul yang selalu nampak dalam skenario, JM masih terasa sarat verbal. Ia penuh katakata di bagian-bagian yang sebenarnya bisa cukup dikemukakan dengan sugesti visuil. Contoh: menjelang film berakhir orang sudah tahu sebenarnya penyelesaian apa yang terjadi antara si pencopet (Sukarno M. Noer) dengan si pelacur bekas isterinya (Mutiara Sani), sebelum mereka berbimbingan tangan di atas Jembatan Merah, dan matahari terbit di timur, dan (seperti sudah diduga terlebih dulu) wig merah lambang kejalangan itu dilemparkan si wanita ke air kali. Sukarno tak perlu kiranya berbicara lagi. Apalagi usahanya memakai aksen Surabaya-Madura sering mengganggu, karena masih berat dengan warna aksen Medan --aksen asli Sukano yang rupanya sulit disembunyikan.
Setidaknya keverbalan yang ini lebih sulit diabaikan daripada melupakan film A Pocketful of Miracles dari Frank Kapra (dengan Bette Davis & Glenn Ford) yang 10 tahun yang lalu disambut senang di Indonesia -- yang sebagaimana JM juga tentang si ibu miskin yang ditolong seorang bandit besar untuk bertampang "kaya" sejenak guna menghadapi calon besan yang bangsawan. Orang juga bisa melupakan pola kelucuan yang agak terasa diulang-ulangi: kecanggungan orang tak terpelajar untuk harus meniru adat orang terpelajar. Tapi tetap Jembatan Merah akhirnya termasuk kategori film yang "sayang sekali...". Lebih Datar Tokoh Wim Umboh juga tidak beruntung. Kabarnya Wim, yang tahun lalu memenangkan banyak hadiah dengan Perkawinan, sangat optimis bahwa tahun ini ia akan menang. Tokoh-nya, yang sccara komersiil tak begitu berhasil seperti film-filmnya yang lain, agaknya termasuk dalam proyek Wim buat membikin film "berat". Tapi Tokoh yang ceritanya tenntang seperti benang panjang itu terlalu tipis untuk digantungi sejumlah besar peran. Nasibnya seperti Mama (1972), meskipun problematiknya lebih bersahaja -- namun dengan hasil lebih datar pula.
Mungkin ini disebabkan karena Fadly dokter gigi yang dieoba Wim untuk jadi bintang film dengan peran cukup berat, masih harus diinjeksi kepekaan untuk bermain kurang mekanis. Wim kali ini tak begitu berhasil mengolah bintang baru. Ini di luar hoki yang lazim ada ditangannya. Tatiek Tito --pemegang peran berat satunya lagi -- lebih baik sedikit dari Fadly, tapi juga tak mengesankan. Kecuali bibirnya. Namun kelemahan terpokok Tokoh ialah karena cerita ini tanpa konsentrasi. Sebuah "biografi" dari satu tokoh imajiner sejak sebelum perang, Tokoh kekurangan intensitas dan sekaligus kekurangan kejelasan alasan. Untuk berbicara tentang cinta & kesetiaan seorang wanita, ruangan ternyata begitu luas buat riwayat seorang pengacara. Untuk berbicara tentang hidup seorang pengacara dengan wanita-wanitanya film ini tak meyakinkan kita bahwa soal itu penting adanya. Advokat Amir Laksmana (Fadly) nampaknya seorang tokoh masyarakat: berita perkawinannya disiarkan dan sedikit dikomentari oleh radio (entah pemancar mana), dan ia begitu dipuja dari jauh oleh gadis Mana (Paula Rumokoy) yang tidak hidup di sekitarnya dan tak dikenalnya. Tapi tentang pengacara yang sukses sejak jaman "Landraad van Neder-landsche Indie" ini (seharusnya Wim lebih teliti: "Nederlandsche Indie") kita tak tahu bagaimana ia orang hebat di masyarakat. Wim mungkin mencoba seni berbicara secara implisit.
Tapi konsekwensi sebuah cerita "biografis" ialah mengunjukkan latar yang lebih luas dari sekedar ruang rumah di mana terjadi konflik-konflik rumah-tangga. Wim memang sudah melakukannya dengan mencoba bercerita tentang perjalanan Amir Laksmana di tahun 1945. Ia mencoba menghidupkan kembali situasi Surabaya di masa akhir Jepang dan reolusi. Ia bahkan mengambil satu bagian film dokumenter pemboman Palembang oleh Jepang di tahun 1941 (satu bumbu yang cukup baru buat film Indonesia kini -- walaupun kita tak tahu apa hubungan kota Palembang dengan cerita). Tapi di babakan masa setelah kemerdekaan latar itu hilang dari film. Bahkan di bagian ini kita tak diberi lagi petunjuk-petunjuk waktu dari "biografi". Satu-satunya petunjuk ialah berkibarnya sang Merah Putih dan ucapan sang pengacara bahwa "kita sudah merdeka" sementara ia berpakaian dan berpotongan rambut model tahun 1970-an di kantornya yang mentereng. Kronologi tiba-tiba lenyap. Dan bila film ini mau bercerita tentang riwayat cinta dari masa ke masa, ternyata kronologi yang setengah-setengah itu pun tidak terpaut dengan satu psikologi. Bagian demi bagian ceritanya seperti terpisah-pisah, yang satu tak menjadi dasar bagi yang lain. Kehadiran wanita setia, yang ternyata adalah sang "pencinta agung" dalam film ini, dimainkan Tatiek, nampaknya hendak ditampilkan sebagai pengikat bagian-bagian itu. Tapi fondasi yang kokoh yang mempertautkan sang pengacara dengan sang wanita dari awal sampai akhir, tidak nampak cukup dibangun. Para protagonis -- Fadly, Tatiek dan Paula -- pada dasarnya masih protagonis dongeng: tanpa akar di suatu bumi, sementara Tokoh adalah cerita yang ingin banyak menyangkutkan diri dengan bagian sejarah Indonesia modern. Terapung-apung Yang tidak menampilkan protagonis dongeng ialah Laki-Laki Pilihan. Inilah film Niko Pelamonia yang terbaik. Tapi pengadap-tasian cerita The Godfather (dilakukan tanpa menyebut sumber) sekaligus merupakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatannya terletak justru dalam kepekaan dan kecermatannya menyesuaikan latar Amerika dan Sicilia tahun l920-an dengan latar Jakarta --Banten tahun 1920-an. Kelemahannya ialah karena struktur cerita Mario Puzo sangat kedodoran: The Godfather menarik bukan disebabkan oleh ketrampilan menyusun cerita, tapi karena ia menggali kehidupan satu keluarga Mafia dan kekerasannya dari dalam -- satu hal yang belum pernah dilakukan pengarang Amerika, di saat orang sedang tertarik kembali babakan sejarah kriminalitas setengah abad yang lampau. Struktur yang kurang kompak itu yang merupakan soal gawat untuk memindahkannya ke film: bagaimana meletakkan dan mengamankan fokus.
Dalam film yang dibikin Paramount dengan Marlon Brando fokus itu ditaruhkan pada Brando. Dalam produksi Tuti Mutia Film ini fokus maunya diletakkan pada Niko Pelamonia (yang memainkan "si Babe" sendiri). Tanpa membandingkannya dengan The Godfather -- yang belum pernah ditonton para juri -- titik sentral film ini tidak terasa mempertautkan seluruh bagian-bagian film menjadi kesatuan. Prestasi akting Niko (bekas mahasiswa ATNI yang juga dikenal di pentas sepuluh tahun yang lalu) menjadi tenggelam oleh cairnya bagian-bagian lain -- yang tak ditolong oleh bintang muda Deddy Jaya, kwalitas fotografi yang kurang kedalaman, dan adegan-adegan kekerasan yang datar serta kurang segar. Suspens terapung-apung. Dugaan di beberapa kalangan bahwa Cinta Pertama Teguh Karya akan mendapat hadiah tertinggi juga ternyata tidak sepenuhnya tepat. Film ini memang diakui menyenangkan untuk dilihat. Ia dibuat dengan ketelitian dan ketrampilan yang tinggi dengan imajinasi yang cukup -- yang menyebabkan Teguh Karya dinilai menghasilkan penyutradaraan terbaik, satu hal yang sebenarnya tak mengagetkan jika diingat prestasinya dengan filmnya yang lama: Wajah Seorang Laki-Laki. Cinta memang hampir saja berada paling atas dalam penilaian juri, di samping Si Mamad dari Sjuman Djaja. Tapi film kedua Teguh Karya ini menunjukkan sedikit kelemahan dalam penceritaan. Konflik yang berakhir dengan tembak-menembak dan dua kematian agak hambar Flashback yang menjelaskan timbulnya konflik ditampilkan praktis sekaligus dengan cara begitu lengkap di bagian tengah, hingga mengesankan bahwa masa lalu hanya boleh muncul dalam satu bab tersendiri -- seperti dalam novel-novel lama. Tapi kekurangan itu memang baru dirasakan mengganggu justru karena Cinta Pertama nyaris merupakan karya film yang "sempurna" (menurut kenyataan perfilman Indonesia kini). Bahwa akhirnya film ini kemudian terletak di bawah Si Mamad, terutama agaknya karena melihat soal ketrampilan hampir merupakan perbaikan umum dalam film-film produksi 1973 dan karenanya sesuatu yang "lebih" atau "lain" diharapkan untuk menjadi karya terbaik. Komentar Sosial Dan yang "lebih" dan "lain" itu tampaknya terdapat dalam Si Mamad.
Dari segi teknis semata-mat, film Sjuman Djaja ini tak kurang cacadnya. Orang bisa melihat bentuk huruf-huruf yang jelek dalam judul yang pretensius ("Renungkanlah..."). Orang bisa merasakan bahwa visualisasi khayalan si Mamad tentang kebahagiaan anak-anaknya, berupa adegan di Taman Ria, agak mencapekkan, kurang kaya untuk sebuah fantasi -- mungkin karena cuma fantasi seorang pegawai negeri yang miskin. Adegan ketika si Mamad menjelang mati melihat bayangannya sendiri naik ke langit juga bisa digugat: ia tersenyum melihat bayangan itu berpakaian dinas dengan kaus tangan putih, seakan-akan ia senang terlepas dari penderitaan dan puas dengan kebersihan dirinya sebagai pegawai. Tapi dalam film, bayangan itu justru menuju langit yang kelam. Dan sementara itu konsekwensi dari senyum dan rasa senang si Mamad di akhir hidupnya kurang dilukiskan sebagai segi baru dari persoalan: Adakah senyum itu bukan senyum yang aneh, karena ia meninggal dengan rasa bersalah yang belum terpupus atas pencuriannya? Adakah senyum itu bukan senyum seorang bapak yang egois sebenarnya, yang meninggalkan sejumlah anak-anak yang masih kecil dan isteri yang hamil tua? Konflik antara kejujuran sebagai sikap yang dilakukan dengan ikhlas, dengan kejujuran sebagai sikap yang dilakukan untuk sekedar memenuhi "target" yang sudah ditentukan, dalam film ini tidak ditampilkan. Konfliknya pada dasarnya satu pola dengan film-film melodrama Indonesia yang lain: antara kejujuran dan ketidakjujuran semata-mata. Dari beberapa segi memang tampak, bahwa Sjuman Djaja masih belum bebas benar untuk sungguh-sungguh membuat film yang tangguh dari godaan pola umum. Tapi masih setengah-setengah dalam mengambil risiko -- pada saat ia mau tampil dengan film yang tampaknya tak akan laris. Tapi hanya dengan itu saja pun si Mamad merupakan prestasi.
Mesikipun pola konflik yang itu-itu juga masih terasa, tapi Sjuman telah berhasil mengemukakan satu komentar sosial dengan gugatan yang sah pada keadaan Si miskin memang jujur seperti dalam melodrama yang lain. Tapi dalam Si Mamad kejujuran itu tak mudah: kemiskinan bisa menggugurkannya. Kejujuran tak lagi cukup punya garansi. Film ini mengharukan, sebab milik si Mamad satu-satunya yang paling berharga, yakni kejujuran, ternyata bisa terlepas. Memang, dengan begitu Si Mamad bisa terasa sebagai sebuah film tanpa optimisme. Ia bisa memberi kesan sebagai sebuah apologi, di samping protes, terhadap "jaman edan". Si Mamad yang maunya tak ikut edan itu tampil sebagai suatu anakronisme: dengan pakaian pegawai jaman kolonial, dalam kantor yang mengurus arsip-arsip lama. Tapi dengan begitu film ini merupakan kesaksian tentang suatu masyarakat pada suatu waktu. Di antara film-film bagus untuk FFI 1974. inilah film yang paling berbicara tentang problim terdekat Indonesia kini. Orang tak usah teringat cerita-pendek Anton Cekov darimana konon kisah film ini berasal. Sebab kalaupun saduran, hasilnya lebih halus dari adaptasi The Godfatber jadi Laki-Laki Pilihan. Si Mamad, lebih dari yang lain-lain, menyentuhkan secara intim latar Indonesia -- yang berspeda reyot, yang kampung, yang taat, yang mimpi dan yang diam-diam menanggungkan beban perubahan nilai-nilai. Dan sesuai dengan tema FFI 1974 yang menyebut-nyebut soal "kepribadian nasional", penghargaan tertinggi pun jatuh pada si Mamad. Satu segi lain yang mungkin bisa dicatat ialah bahwa film ini lebih menegaskan lagi komitmen sosial orang-orang film, seperti yang pernah ditunjukkan Usmar Ismail, justru ketika perfilman Indonesia sedang didesak oleh komersialisme. Si Mamad muncul bukan sebagai sekedar barang perdagangan hiburan. Mang Udel Dan Si Rano Sudah tentu penolong terbesar film juman Djaja itu adalah Mang Udel alias Purnomo -- sarjana biologi yang jadi pelawak itu.
Tanpa kemampuan aktingnya sebagai orang biasa sehar-ihari, Si Mamad mungkin berakhir jadi atau lelucon atau cerita sentimentil. Dan Mang Udel pun mendapat hadiah untuk akting pria terbaik -- satu hal yang umumnya sudah diduga oleh para kritisi, tapi mungkin cukup mengagetkan bintang-bintang. Tapi kemenangan Rano Karno untuk akting anak-anak terbaik tentunya tak mengejutkan siapapun. Anak Sukarno M. Noor yang kini lebih laris dari bapaknya ini bermain untuk sejumlah besar film yang ikut dinilai -- tanpa ada bintang kanak-kanak lain yang menonjol. Tapi dalam Rio Anakku si Rano memang praktis tanpa cela. Sutradara Has Manan menemukan bahan yang sudah hampir tinggal pakai padanya. Itu tidak berarti hasil tangan sutradara tidak ada -- satu hal yang menyebabkan film terbaik kedua setelah Cinta Pertama ini memboyong piala lebih banyak dari Si Mamad . Keunggulan film ini tak terletak dalam tema ceritanya. Tema itu masih belum berkisar jauh dari cerita-cerita filantropi yang menakjubkan, cerita si-kaya-raya yang begitu sejuk, tenteram dan mentereng tanpa dosa -- hingga kehidupan "Indonesia" dalam film ini serasa liburan di Puncak di tengah villa-villa dan buku dongeng. Juga masih ada kecenderungan mengikuti arus airmata yang lagi laris sekarang. Namun pengolahan cerita film ini -- yang mendapatkan penilaian tertinggi dari juri -- telah berhasil mensubstitusikan kekurangan itu dengan aksen puitis sekedarnya. Klimaks, terjadi pada saat Rio mati, telah dibangun dan dipersiapkan dengan baik sekali sebelumnya. Maka adegan kematian pun terasa wajar, tapi menyentuh, terkontrol, tanpa teriakan histeris seperti dalam film-film Indonesia yang lain. Yang juga istimewa ialah kctegangan yang tetap terpelihara walaupun kematian Rio sudah bisa diduga sebelumnya.
Tapi seperti halnya dalam Cinta Pertana, dalam Rio juga cacad kecil menjadi sangat terasa justru karena keseluruhan film tersaji hampir sempurna. Cacad pertama ialah datarnya adegan terakhir, ketika Rano seolah-olah muncul kembali di depan Lenny Marlina: si Rio yang sudah almarhum itu terlalu dekat dan terlalu jelas, dengan gerak-pelan yang klise -- sedikitnya mengingatkan kita pada iklan shampoo Hi-Top di TVRI. Cacad lain ialah kurang efektifnya kamera mewujudkan perubahan Lenny menjadi melek setelah buta bertahun-tahun: peristiwa tu tak tampak begitu hebat sensasinya bagi mata dan dirinya. Di samping itu visualisasi impian si Rio digarap tanpa suasana mimpi. Dan sekedar kecerewetan akan detail: dari mana si Rio begitu mahir memainkan kecapi --walaupun ia punya bakat dan dilatih bermain musik? Betapapun, Has Manan yang nyaris menang dengan penyutradaraan terbaik (dia mendapatkan nomor kedua), telah menghasilkan sebuah film yang memperoleh serba hadiah -- dan mungkin sekaligus memperoleh banyak penonton -- dengan sebuah dongeng sederhana. Orang perlu mengawasinya untuk 20tahun depan: dia bisa di atas sekali. Kerjasamanya dengan Lenny Marlina dan Kusno Sudjarwadi (sejak Di Mana Kau Ibu?, juga dengan Rano dan Alam Surawidjaja) kali ini telah menghasilkan piala untuk akting terbaik kedua buat kedua bintang itu. Ini adalah prestasi bagus, mengingat bahwa Lenny dan terutama Kusno terlalu sering bermain untuk pelbagai film, hingga banyak kali menyebabkan mereka tak sempat menampilkan sesuatu yang lain. Kecuali dalam Rio. A M.B.I.S.I. Hadiah pertama untuk penataan visuil jatuh ke dalam film Nya' Abbas Akub, A.M.B.I.S.I. Yang menerimanya secara resmi ialah Ami Prijono, art director. Bila Cinta Pertama dalam perkara ini mantap oleh kecermatan detail, A.M.B.I.S.I. Lebih mantap dalam keberanian dan kemampuan mencipta, plus kebebasan imajinasi -- yang dalam hasi-hasil Ami terdahulu belum tampak benar. Latar yang plastis pemberi dimensi visuil lagu-lagu Kus Plus dan trio Bimbo dalam komidi musik ini -- sebagian dibikin dalam studio -- mungkin merupakan suatu langkah baru di Indonesia. Nya' Abbas nampaknya memberi Ami kesempatan penuh. Tak mengherankan: kelebihan A.M.B.I.S.I. dari film-film musik lain untuk FFI 1974 terletak dala kemampuannya buat menyajikan lagu bergerak sebagai film -- bukan cuma memamerkan suara dan wajah Penyanyi seperti acara musik TVRI. Maka wajar agaknya bila film ini 20mendapatkan Hadiah Khusus.
Nya' Abbas, dalam kegemarannya akan yang lucu dan yang berlagu (Matt Dower, Dunia Hampir Kiamat) menunjukkan keseriusannya untuk menggarap komedi tanpa nyerocos dan gedebag-gedebug. Komedinya tak mentertawakan bentuk tubuh orang lain -- Ateng atau Ratmi Bomber -- tapi mentertawakan, dengan ikhlas kekerdilan-kekerdilan kita sendiri orang-orang biasa dalam hidup sehari-hari. Dalam perumusan para juri, film ini dinilai berusaha meningkatkan mutu film-film komedi dan musik Indonesia dewasa ini -- meskipun dicatat "dengan beberapa kekurangannya". Nya' Abbas memang berhasil menggiring Bing Slamet untuk tidak menghabiskan bakat dan pengalamannya yang kaya itu ke arah kelucuan yang konyol --mereka telah bekerja-sama dengan baik dalam Tiga Buronan belasan tahun yang lalu -- walau masih ada bagian (bentrokan Bing, Fifi Young dan Dedi Damhudi) yang masih terlalu bertingkah dalam mencari efek "grr-rr". Tapi sambil mengucap "tak-ada-gading-yang-tak...", nampaknya harus dimaklumi bahwa cacad hanya baru kelihatan setelah film jadi -- dan dinilai 20terutama oleh orang lain, dalam suatu perlombaan mutu.
Dalam FFI 1974, 20 perlombaan itu berlangsung "dengan jarak berdekatan" seperti kata Has Manan, di mana tak ada seorang sutradara 20atau satu film yang terlalu menonjol diatas yang lain-lain, di mana yang mutunya di atas rata-rata lebih banyak dari yang di bawah. Maka bisa dimengerti jika ada ketegangan yang lebih terasa 20dibandingkan dengan tahun lalu ketika 20orang-orang film mengangkat wajah menuju Surabaya Kamis lalu. Mungkin 20 yang justru dalam hati merunduk ialah anggota juri, yang tahu bahwa dari 20berpuluh-puluh wajah bagus & jelek itu lebih banyak yang akan kecewa 20daripada yang gembira setelah keputusan diumumkan. Tapi memang tak 20 ada perlombaan yang serius yang memenangkan hampir tiap peserta. Juga 20 Festival 1974 yang berakhir di Surabaya itu.