D. DJAJAKUSUMA
Pengabdian dalam bidang pendidikan kesenian formal, dicurahkannya melalui Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta) terutama pada dua departemen yakni : Departemen Teater dan Departemen Sinematografi. Karir puncak dalam pengabdiannya ini, terhadap lembaga yang ia pelopori keberdiriannya ini, adalah kedudukannya sebagai rektor.
Djadoeg Djajakusuma adalah tokoh yang tak bisa dilepaskan dari kehadiran LPKJ-IKJ, juga tak bisa dipatahkan dari keberadaan Dewan Kesenian Jakarta sebagai induk kelahiran LPKJ. Kini ia bagaikan sosok sesepuh bagi para seniman, tidak saja dalam lingkungan pendidikan formal. Lebih dari itu, ia adalah sesepuh baik bagi seluruh masyarakat kesenian. Dialah salah satu sosok yang memelopori bangkitnya wayang orang di Jakarta, Bharata, setelah runtuhnya W.O Pantjamurti. Wayang orang Bharata itu hingga kini tetap hidup dan manggung di bilangan Senen.
Pada sekitar tahun enam puluhan bersama-sama dengan Soemantri Sastrosoewondho, Yulianti Parani, dan SM. Ardan, mereka tertarik untuk menekuni kehidupan kesenian Betawi. Hasilnya yang sangat kesohor, ketika mereka berhasil merevitalisir teater rakyat Betawi, Lenong, dan sempat meledak diberbagai panggung pertunjukan terutama dibilangan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Selain tampil sebagai sutradara teater, ia juga dikenal sebagai penulis naskah sandiwara yang baik sekaligus dikenal sebagai tokoh yang menghayati tentang kehidupan teater tradisi. Oleh karenanya dalam berbagai kesempatan seminar dan diskusi tentang kehidupan seni tradisi, Djajakusuma merupakan tokoh sentral dan penting, yang tak bisa diabaikan kehadirannya.
Kecintaanya terhadap dunia pewayangan, dibuktikannya juga melalui naskah-–naskah sandiwaranya antara lain “Karma Lembu Peteng”, disamping banyak artikel -artikel pewayangannya yang kemudian dimuat oleh berbagai mass media terutama majalah Zaman antara 1979-1984. Tidak hanya itu, Djadoeg Djajakusuma adalah pelopor terlaksananya Pekan Wayang Indonesia I dan II pada 1966 dan 1974.
Dalam dunia perfileman ia juga dikenal sebagai aktivis yang tangguh. Dirinya tidak hanya tampil sebagai penulis skenario yang baik, namun juga tampil sebagai sutradara yang disegani. Selain tersebut diatas Djajakusuma juga menterjemahkan drama “YU TANG CHUN””dan “WEK WEK””yang sekaligus pernah di sutradarainya dan di pentaskan di teater Arena Taman Ismail Marzuki 1980. Kemudian pada 1984, memimpin rombongan wayang orang Bharata untuk mengikuti Gaukler festival di Jerman Bara
Djajakusuma Dan Filmnya
Sutradara ini sangat senang dengan seni kerakyatan. Banyak pendapatnya yang membicaratan tentang wayang, baik tokoh wayang, maupun tehnik penyajiannya. Dalam kuliah saya dulu, wayang adalah tehnik penyutradaraan juga yang hampir mirip. Karena wayang dasarnya di lakukan oleh seorang dalang, yang dalam film juga dilakukan oleh sutradara. Bagaimana cara dalang itu bertutur menyampaikan ceritanya, begitu juga cara sutradara menyampaikan ceritanya dalam film. Bahkan dalang sempat disebut sebagai sutradara juga itu. Dan Djajakusuma tidak habis-habisnya berbicara wayang adalah dasar film juga.
Djajakusuma terkenal dengan kesenangannya dalam kesenian kerakyatan dan juga filmnya bayak berlokasi di desa dan kisah-kisah kehidupan rakyat seputar tempat itu. Melalui perusahaan fil PERFINI dihasilkan film, Pak Prawiro, Tjambuk Api, serta Lahirnya Gatot Kaca. Karena itu ia sangat memberi perhatian pada khususnya kisah-kisah kerakyatan. Selain itu ia jugalah yang mendatangkan Lenong ke depan sejumlah seniman dan tokoh budaya pada suatu malam di halaman gedung Dinas Kebudayaan DKI 1968. Dan sejak itu Lenong menjadi perhatian sapai kisah-kisahnya merambat ke layar putih. Selain itu wayang dengan kisahnya Lahirnya Gatot Kaca dan Bimo Krodo dalam filmnya.
01 Mei 1971
Serat centini, lalu harimau campa
BELUM diselidiki adanja hubungan antara kebiasaan mengintip pertundjukan sandiwara bangsawan dimasa ketjil dengan karir sutradara film dimasa dewasa. Tapi kasus itu terdjadi pada D. Djajakusuma. Dilahirkan dalam keluarga Wedana di Wonosobo, anggota Akademi Djakarta jang kini memasuki tahun ke 53 dari hidupnja jang membudjang, pada masa ketjilnja ia menikmati pendidikan jang tjukup. Pak Wedana gemar mengumpulkan buku, dan Djaduk demikian nama ketjilnja jang mengerti tulisan Djawa achirnja berkesempatan membatja berbagai sumber kesusastraan klasik Djawa. "Tjentini djuga saja batja waktu itu, meskipun isinja tidak saja mengerti", katanja. Salah satu diantara buku jang penuh bergambar perempuan telandjang dan bisa dimengerti djika anak ketjil tadi, suka menjobek gambar-gambar asjik itu untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannja. Masa remadjanja dilewatinja dikota Semarang, dan pada AMS bagian B. Djajakusuma tidak djarang mengisi kegiatan kesenian sekolahnja dengan sandiwara-sandiwara jang membawakan tjerita-tjerita matjam lakon "Sitti Nurbaja". Dari beberapa temannja bersandiwara itu antara lain Nugroho SH, Letdjen Mokoginta hanja Djajakusuma lah jang achirnja terikat dengan dunia seni itu untuk seterusnja. Kemudian ia mentjari pekerdjaan dan achirnja terdampar dikantor Pusat Kebudajaan sebagai penterdjemah. Ditahun 1943 itulah ia untuk pertama kalinja bertemu dengan Usmar Ismail, suatu awal dari kehidupan dengan dunia sandiwara dan film. Pada mulanja ia hanja diadjak oleh Usmar. Melalui kedudukan sebagai pemain, pengatur set serta segala matjam kedudukan, beberapa tahun kemudian sepulang dari Amerika (mempeladjari film dan teater di Universitas Washington & Universitas Southern California) ia mendjadi sutradara sandiwara sambil mendjadi dosen ATNI, setelah sebelumnja telah pula menjutradarai beberapa film. Ketika Djepang menjerah dan perang kemerdekaan berketjamuk, bersama seniman-seniman lain, Djajakusuma ikut berdjuang dalam Rombongan Seniman Merdeka. Suasana Djakarta jang semakin panas, membawa mereka ke Jogjakarta. Disanalah, diantara kesibukan bergerilja, Djajakusuma sempat selama setahun mendjadi sekretaris Panti Pengetahuan Film. Walaupun umurnja hanja setahun, namun organisasi itu berhasil menanamkan pengetahuan dasar teori perfilman kepada tokoh-tokoh muda matjam Usmar Ismail, Surjosumanto, Djajakusuma dan lain-lain. Orang-orang muda itu betul-betul telah memanfaatkan pengetahuan jang mereka peroleh dari senior-senior matjam Dr Huyung, Andjar Asmara, Sutarto dsb, meskipun pendidikan jang mereka terima semuanja dalam keadaan serba darurat. Pengakuan kedaulatan merupakan periode baru buat Djajakusuma. Usmar ke Djakarta, dan ia tinggal sibuk dengan gedung bioskop Seni Sono di Jogja. "Sajalah jang merehabilitasi bioskop disamping Gedung Agung itu, dan disitu pulalah saja beladjar soal perbioskopan". Tapi Usmar tiba-tiba datang dengan crew Enam Djam di Djokdja. Tidak banjak bitjara, Djajakusuma achirnja ikut main sambil djadi asisten sutradara serta merangkap berbagai pekerdjaan, antara lain memanggul kamera. Itulah debutnja dalam film. Itu pulalah jang menariknja ke Djakarta. Perfini kemudian memberinja kesempatan kerdja untuk achirnja mendjadikan Djajakusuma sebagai sutradara dengan film pertama Embun. Orang jang dojan nonton film Indonesia achir tahun limapuluhan tentu masih ingat Harimau Tjampa. Itulah salah satu filmnja, disamping film-film Tjambuk Api, Mak Tjomblang, Pak Prawiro serta banjak lagi jang Djajakusuma sendiri lupa.
TOKOH teater kawakan D. Djajakusuma mengemukakan, banyak keuntungan yang 536rat kila petik dari ikut berpentas. Antara lain kita dapat belajar bekerja sama dalam tim, tolong-menolong, belajar sportif dan bijaksana, bertanggung jawab, mampu menerima kritik (sampai yang sepedas. -pedasnya), percaya pada diri $fdiri, mampu berkonsentrasidan mengontrol emosi (meskipun di sanjung-sanjung dengan sorak-sorai, atau diledek sinis oleh para penonton). Di samping itu berpentas iBa dapat mempertajam ingatan, memperbaiki suara dan percakapan, membuat trbuh tidak kaku, dan melatih diri kita tidak gugup di depan umum. Petuah-petuah itu disampaikan Djajakusuma dihadapan ratusan mahasisrva dan dosen{osen lKlP Jakarta, dalam ceramah teatemyar yang cukup memikat hari SaHu, di kampus lKlP Rawamangun. Acara ini merupakan serangkaian prograrn Senat Mahasisrna FPBS lKlP Jakarta dalam upaya memperluas lYawasan pengetahuan mahasisrrra, dengan mengundang penceramah-penceramah dari kalangan seniman. Kepercayaan Dalam ceramahnya lebih jauh, Djajakusuma menguraikan tentang awal kelahiran teater dan sejarair perkembangannya di dunia. Dikatakan, teater sebagai tempat tontonan memungkinkan orang dapat menonton segala macam kejadian (tontonan) seperti tarian, nyanyian, tari-nyanyi, pantomim, drama, akrobatik, sulap, lawak, peiang, operasi, -Oannan di koloseum (teater besar) jaman Romawi dipertunjukkan perang tanding yang kasar dan penuh pertumpahan darah.."' Secang-ranpn-is teater yang paling utama, kata dosen LpKJ itu, adalah drama, yang cerita-ceritanya menyuguhkan kepada kita tentang kehidupan manusia oengan segafa keinginannya, perjuangannya, keberhasilannya, kegagalannya, kegembiraannya, kesedihannya, pikirannya, kebaikannya, kebusukkannya, itt. "Usia teater maupun drama ini setua manusia, keberadaannya bersama dengan perkembangan dunia manusia," kata Djajakusuma, sembari mengelus rambut peraknya yang dipegang rapi.' Menurul senimnn kawakan itu, pada awal pertumbuhannya drama dekat dengan alam, . erat kaitannya dengan sungai NIL itu, bertujuan untuk memberikan dahwah/pendidikan agama kepada masyamkat awam" tambahnya, Di Jepang,teater arak-arakan dklasartan pada dongeng Dewi Amaterasu., dewi cahaya,'dewi Matahari. serombongan orang manari-nari sambit membikin gaduh dengan teriakan dan-tatabuhan, serta penerangan api (obor) di kegelapan milam, agar Dewi Amaterasu mau keluar dari persembunyiannya di dalam gua, dan dunia kembali lerang karena cahayanya. YunaniRomawi India Perkembangan drama di Yunani, tutur Djajakusuma, juga erat sekali hubungannya dengan kepercayaan dan agama. Dalam bentuk dramanya yang paling seriut, yaitu llage!! tokoh-tokohnya terdiri dari keturunan dewa. umpamanya "Eudipus sang Raja" karya sophocles yang naskahnya ditulis tahun 500 sM, pada tahun-tahun terakhir ini berulangkali dipentaskan. Mengapa ?
Menurut Djajakusuma, berita tertulis tentang adanya tealer (tontonan membawakan cerra) di ni6eri kita, kita jumpai pada sebuah prasati tahun 840.yang menyebutkan o$atr aringgit (wayang aiau'teledek). Prasasti tahun 907 lebih jelas menyebutkan' . si Galigi mawayang...... D candi -Borobudur, pada relief-reliefnya kita biasa melihat berbagai macam r.rton.n, berbagai uentur tarian, tetapi tak ada gambaran orang mewayang atau renari memakaikedok. h candi Panataran, kata Djajakusuma, ada relief Ramayanadalam bentuk wayang *fit irng mirip sekaliOengin wayang kulit Bali. Dalam buku Negara Kertagama kita oaca'Halam Wuruf sukahendalang, suka melawak, suka menari dengan topeng' nnembawakan seorang tokoh. ?upanya Hayam Wuruk itu bukan saja ahli politik dan neEarawan, juga seorang seniman yang terampil," ungkap Djajakusuma' t{ayang Wong Ucul Dalam ceramah sepaniang 3 jam itu, Djajakusuma menyinggung pengaruh barat tOor. modem) d'ah; ieater Indonesia. Dikatakan, jaman baru dunia teater ificanangtan olen lbsen dan Strindberg dengan cerita-cerita mengenai keadaan nyata (realistis) dari manusia biasa.. Drama barat (modem) ini sampai di Indonesia, dibawa oleh bangsa Belanda. Penularannya pada Uangsa Indonesia lewat 2 jalur. Pertama,lewat kaum terpelajar' ;p"rti nustam Efendi lang menciptakan Bebasari, Muh. Yamin melahirkan Ken Arok dan Ken Dedes, n-rmin'Pane dengan Manusia Baru (Belenggu). Kedua, lerflat lalur protesional,.misalnya sandiwara kelilingnya Mahieu, Fred Young, Anjar Asmara, dll. ""Pengaruh barat itu memberi tradisi bemaskah atau memakai teks dalam drami/sandiwara Indonesia, yang sebelumnya tidak dikenal," kata Djajakustma' Di samping itu pengaruh barat dengan'ciri ingin realistis itu, kata Djajakusma' menyusup juga ke dalam teater tradisional seperti wayang wong'
'Tentunya karena nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya begitu ting; mutunya,. kata Djajakusuma. Dijelaskan, orang Romawi yang mengoper kebudayaan yunani meneruska. lontonan yang agung itu menjaditontonan penuh darah. Teatrum menjadi koloseun Drama yang menyedihkan rneniadi mengerikan. pembunuhan "di belakang layar. o teaier, menjadi perturnpahan darah secara kasar di koloseum. Menurut penceramah, di lndia teater arak-arakan keagamaan dikenal dengan centa Rarnlila (diambil dari Ramayana). Dua kota dijadikan teater, melambangkan Alengka dan Ayodya. Arak-arakan disertai tari dan nyanyi, mengiringi Rama neserta lasykamya membebaskan dan memboyong kembali Dewi Sinta. .Kalau filnn-filnn indie seksrang sarat dengan nyanyi dan tari, wajar, karena kebudayaannya se.lak dahulu kata :'nemang begitu,' ungkap Djajakusr:r"na" Wayam Wuruk Toitoh teater anggota DKJ iiu lebih jauh bercerita, di Indonesia teaterltontonan arak- arakan yang erat hubungannya dengan kepercayaan, bahkan nrenjadi tindak agama (persembahyangan) masih didapati di antara suku-suku bangsa kita, sepertl di Bali, Kalirnanian dan di pedalaman lrian Jaya. Di pulau Dewata dikenaldengan tari-tarian sakrai (suci) dan taritarian sekular (sebagai tontonan)" Tergolong ke daia'l tarian sakral, ialah tari pura {seperti pendet dan gabor); tari rituat (misalnya baris); tari sanghyang (umpamanya Dedari, Jaran, dll); dan tari barong (seperti keket, landung, calon Arang dan cak). sedangkan yang ternasuk tarian sekuler, misalnya garnbuh, cupak, arya, drama gong, dll. "ealon Arang yang dipentaskan di rlM baru-baru ini, sebenamya tak boieh dipungut bayaran (dikomersilkan), karena sifatnva "eki-a1," kata Djajakusurna, mengingatkan. Mengungkapkan sejarah teater Inoonesia, penceramah menjelaskan, sebelum berkenalan dengan kebudayaan Hindu, teater kita sudah berbentuk begitu, yaitu c€rnpuran kata-kata, gerak, tari, nyanyi dan musik (total) plus lawak. "Jadi jelas bukan pengaruh dari India," landasnya. roKoh teater itu, wayang wong sebenamya teater yang dipentaskan terbatas I Fdop*pendopo krarton, dengan berpegang pada cerita dan slruktur wayang Flr sgetu ketika orang-orang Cina dengan sandiwara kelilingnya melihat ffing;; *t"i"ng won-g Oisa dikomersilkan, dengan mengawinkannya dalam - - UiXa tertidtlah dalail pentas tokoh-tokoh wayang $/ong seperti Catotokaca' h, dll. dibuat realistis. [ltrt menggambarkan Gatotkaca terbang, tokoh perannya dikerek ke atas' ee*aca juga OigamOarkan berkalikalijatuh dan mati' ?enggambaran tokoh-tokoh wayang wong_ demikian, tidak memperjelas malah -nfrngungkan para penonton," kata Djajakusuma' Soalnya dalam dunia reyangan, Gatotkaca yang pandai terbang itu hanya sekali mati, yailu kedika &"i^ [anan Xama Oaiarn- perang. Sgsaat sebelum tewas, Gatotkaca sempat "-*rU*kfan dirinya p"O" f"titt perarU Kama, sehingga ambruk dan Kama nyaris kis, kalau tidak melompat- ...Hi kalau Bima main di hotel, Gatotkaca terbang dengan dikereh jatuh, lalu fra$,,a ke rumah sakit, itu namanya wayang wong ucul (lepas)""'', tandas Claiakusufu a, disambut gggeeeernr.'. -. para peserta' (Hti). Berita Buana.l 7.4. 1984.
Ketika dicek kembali ke Sinematek Indonesia, perpustakaan film yang kekurangan dana itu, ternyata masih terdapat kopi negatif beberapa film yang bisa dicetak lagi. Marselli, anggota Dewan Kesenian Jakarta yang mempersiapkan pekan film ini, memilih ketiga film tersebut. Film Djajakusuma yang lain, seperti Terimalah Laguku, sebuah eksperimen musikal, hilang lenyap tak tentu rimbanya. Penemuan ini disebut mengejutkan karena kualitasnya sebagai film. Jadi, bukan karena nostalgia, bukan pula karena eksotisme. Sehingga, dalam sebuah retrospeksi, bisa disebut suatu kebangkitan kembali, karena selama ini Djajakusuma tidak pernah dipuji sebagai seniman. Tepatnya, sebagai sineas. Memang ia dihormati sebagai aktivis kebudayaan yang tidak pernah berhenti membina dan menjaga kehidupan seni. Bukan hanya seni tradisi seperti wayang orang Bharata dan lenong, tapi juga seni modern, antara lain dengan kehadirannya yang tak pernah putus di IKJ. Barangkali ini terjadi karena dalam belasan tahun terakhir Djajakusuma sudah tidak membuat film. Tepatnya, tentu, tidak ditawari membuat film komersial, karena dari tangan seorang Djajakusuma tak akan lahir film yang dibuat dengan selera pasar. Apalagi filmnya yang paling mutakhir, seperti Api di Bukit Menoreh (1971) dan Malin Kundang (1972), selain tidak meledak secara komersial, juga tidak mendapat sambutan para kritikus. Selain itu, kritikus tahun 1950 sampai 1980-an menganggap sepi karya-karya Djajakusuma pada dasawarsa tersebut boleh jadi karena terpesona oleh jargon-jargon kesenian yang berkiblat di luar bumi Indonesia. Namun, toh satu-satunya ujian bagi kesenian adalah waktu. Penemuan kembali film-film Djajakusuma tersebut bagaikan penemuan mutiara yang hilang. Rimba Bergema, dengan pemain seperti Ray Iskandar, Rita Zahara, Aedy Moward, dan Parto Tegal, meskipun kurang berhasil sebagai film, sangat bermanfaat sebagai dokumen sosial pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Bagaimana orang-orang berjuang meningkatkan taraf hidup, dengan menyeberang dari Jawa ke Sumatera, tanpa menyebut sepatah pun kata transmigrasi. Dalam film ini, Djajakusuma berhasil merekam kehidupan di perkebunan karet di wilayah Deli. Film pertama Djajakusuma, Embun, adalah sebuah usaha menangkap kegelisahan jiwa.
Tokohnya, Sulaiman -- dimainkan A.N. Alcaff -- adalah seorang pejuang dalam revolusi fisik, yang menjadi serba salah tanpa senjata. Film ini bagaikan sebuah sisi lain dari Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail. Hanya saja, tokoh Usmar mengalami nasib yang tragis dalam kegelapan jiwa di kota, sedangkan tokoh Djajakusuma mengalami pencerahan di desa. Lokasi Gunungkidul dimanfaatkan kamerawan Max Tera dengan baik, menghadirkan komposisi geografis serba spektakuler. Adapun tata musik yang digarap Tjok Sinsoe, jika direkam ulang secara digital (digitally remastered), akan segera diterkam para penggemar musik. Kebangkitan kembali Djajakusuma sebetulnya dikukuhkan oleh Pak Prawiro. Beliau telah mengolah sebuah film penerangan mengenai Bank Tabungan Pos, menjadi sebuah komedi yang gemilang. Lebih dari sekadar komedi, dalam film ini Djajakusuma juga menancapkan dramaturginya sendiri. Dengan iringan musik gamelan, Djajakusuma berkisah tentang kehidupan sehari-hari seorang pensiunan, secara komis. Hebatnya, Djajakusuma berhasil mengumbar imajinasi yang liar, yang belum pernah ada dalam sinema Indonesia selama ini. Sedangkan Rendra Karno, sebagai Pak Prawiro, layak mendapat penghargaan meski terlambat. Tentu tidak bisa diharapkan bahwa film-film itu secara teknis sudah canggih. Meskipun begitu, setelah lebih dari 30 sampai 40 tahun, film-film ini tetap memperlihatkan gurat-gurat keindahan sinematis yang mempesona. Film-film ini juga menunjukkan bahwa ''Bapak Perfilman Indonesia'' bukan cuma Usmar Ismail, melainkan juga Djadoeg Djajakusuma. Seno Gumira Ajidarma
Ia pernah meneria Anugrah Seni dan pertunjukan untuk pembinaan teater. Disamping itu juga beberapa piagam penghargaan dari Hakim sebagai sutradara Langen Bhakti ABRI (1973 & 1974; Yayasan Husni THamrin untuk revitalisasi lenong; Dewan Harian angkatan 45 daerah DKI untuk penyelenggaraan Musyawarah Nasional perfilman Angkatan 45 dan dari Gubernur DKI 1980)
Lebih dari 40 thn berkecimpung dalam dunia film, kini usia dia 63 tahun dan meninggal dunia. Dari kecil dia sudah suka main-main bioskopan dengan benang dan sebagainya. SEdangkan untuk teater dorongan dari ibunya yang hampir setiap malam menghantarkannya tidur dengan berbagai cerita dongeng. Setelah itu apa yang didongengkan ibunya, diperaktekannya keesokan hari dengan bermain sandiwara kecil dengan temannya.
Selain itu ia juga hobi nonton bioskop, apalagi kalau gratis. atau sandiwara, dan kegemarannya ini masih melekat hingga ia tua, terbukti setiap pertunjukan yang ada di TIM, ia tonton semua.
Masa kecilnya ada di Wonosobo, daerah pedesaan. Setiap ada pertunjukan kampung, ia selalu menontonya waktu kecil. Wayang. karena sedikit bandel sehingga suka kabur dari rumah untuk menonton, padahal umurnya 8 tahun. Bapaknya sebagai Wedana menginginkan ia menjadi priyai (pegawai negeri). Lalu orang tuanya bingung, kok orang seni bisa gampang ke luar negeri, ia belajar setahun di Universitas of Washington 1956-1957, Seatle dan Universitas California di LA.
Menyelesaikan AMSB di Semarang, lalu ikut mendirikan perkumpulan sandiwara, dan semangat bersandiwara pada jaman Jepang (1943-1945) dan membentuk badan perjuangan seniman merdeka.
Setelah itu ia terjun ke jurnalistik sebagai wartawan mingguan dan harian Patriot di Jogja, serta membantu majalah kebudayaan NUsantara selama 5 tahun 1046-1950.
1950-1951, ia mengajar sekaligus pelatih pada Kino Drama Atelir Yayasan Hiburan Mataram bersama Dr. Huyung. Walaupun itu belum memperoleh pendidikan formal di bidang drama dan film. Tahun berikutnya ia mulai terjun dalam bidang film, menyutradarai film pada Perfini (perusahaan Film Nasional Indonesia) 1955 mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) lalu 10 tahun kemudian mendirikan KFT (Karyawan film dan TV).
Dalam bidang teater, untuk beberapa lama Djadoeg Djajakusuma yang pernah bersahabat dengan Devi Dja penari mahir Indonesia yang kini bermukim di India untuk belajar tentang drama rakyat.
Pengabdian dalam bidang pendidikan kesenian formal, dicurahkannya melalui Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta) terutama pada dua departemen yakni : Departemen Teater dan Departemen Sinematografi. Karir puncak dalam pengabdiannya ini, terhadap lembaga yang ia pelopori keberdiriannya ini, adalah kedudukannya sebagai rektor.
Djadoeg Djajakusuma adalah tokoh yang tak bisa dilepaskan dari kehadiran LPKJ-IKJ, juga tak bisa dipatahkan dari keberadaan Dewan Kesenian Jakarta sebagai induk kelahiran LPKJ. Kini ia bagaikan sosok sesepuh bagi para seniman, tidak saja dalam lingkungan pendidikan formal. Lebih dari itu, ia adalah sesepuh baik bagi seluruh masyarakat kesenian. Dialah salah satu sosok yang memelopori bangkitnya wayang orang di Jakarta, Bharata, setelah runtuhnya W.O Pantjamurti. Wayang orang Bharata itu hingga kini tetap hidup dan manggung di bilangan Senen.
Pada sekitar tahun enam puluhan bersama-sama dengan Soemantri Sastrosoewondho, Yulianti Parani, dan SM. Ardan, mereka tertarik untuk menekuni kehidupan kesenian Betawi. Hasilnya yang sangat kesohor, ketika mereka berhasil merevitalisir teater rakyat Betawi, Lenong, dan sempat meledak diberbagai panggung pertunjukan terutama dibilangan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Selain tampil sebagai sutradara teater, ia juga dikenal sebagai penulis naskah sandiwara yang baik sekaligus dikenal sebagai tokoh yang menghayati tentang kehidupan teater tradisi. Oleh karenanya dalam berbagai kesempatan seminar dan diskusi tentang kehidupan seni tradisi, Djajakusuma merupakan tokoh sentral dan penting, yang tak bisa diabaikan kehadirannya.
Kecintaanya terhadap dunia pewayangan, dibuktikannya juga melalui naskah-–naskah sandiwaranya antara lain “Karma Lembu Peteng”, disamping banyak artikel -artikel pewayangannya yang kemudian dimuat oleh berbagai mass media terutama majalah Zaman antara 1979-1984. Tidak hanya itu, Djadoeg Djajakusuma adalah pelopor terlaksananya Pekan Wayang Indonesia I dan II pada 1966 dan 1974.
Dalam dunia perfileman ia juga dikenal sebagai aktivis yang tangguh. Dirinya tidak hanya tampil sebagai penulis skenario yang baik, namun juga tampil sebagai sutradara yang disegani. Selain tersebut diatas Djajakusuma juga menterjemahkan drama “YU TANG CHUN””dan “WEK WEK””yang sekaligus pernah di sutradarainya dan di pentaskan di teater Arena Taman Ismail Marzuki 1980. Kemudian pada 1984, memimpin rombongan wayang orang Bharata untuk mengikuti Gaukler festival di Jerman Bara
Djajakusuma Dan Filmnya
Sutradara ini sangat senang dengan seni kerakyatan. Banyak pendapatnya yang membicaratan tentang wayang, baik tokoh wayang, maupun tehnik penyajiannya. Dalam kuliah saya dulu, wayang adalah tehnik penyutradaraan juga yang hampir mirip. Karena wayang dasarnya di lakukan oleh seorang dalang, yang dalam film juga dilakukan oleh sutradara. Bagaimana cara dalang itu bertutur menyampaikan ceritanya, begitu juga cara sutradara menyampaikan ceritanya dalam film. Bahkan dalang sempat disebut sebagai sutradara juga itu. Dan Djajakusuma tidak habis-habisnya berbicara wayang adalah dasar film juga.
Djajakusuma terkenal dengan kesenangannya dalam kesenian kerakyatan dan juga filmnya bayak berlokasi di desa dan kisah-kisah kehidupan rakyat seputar tempat itu. Melalui perusahaan fil PERFINI dihasilkan film, Pak Prawiro, Tjambuk Api, serta Lahirnya Gatot Kaca. Karena itu ia sangat memberi perhatian pada khususnya kisah-kisah kerakyatan. Selain itu ia jugalah yang mendatangkan Lenong ke depan sejumlah seniman dan tokoh budaya pada suatu malam di halaman gedung Dinas Kebudayaan DKI 1968. Dan sejak itu Lenong menjadi perhatian sapai kisah-kisahnya merambat ke layar putih. Selain itu wayang dengan kisahnya Lahirnya Gatot Kaca dan Bimo Krodo dalam filmnya.
01 Mei 1971
Serat centini, lalu harimau campa
BELUM diselidiki adanja hubungan antara kebiasaan mengintip pertundjukan sandiwara bangsawan dimasa ketjil dengan karir sutradara film dimasa dewasa. Tapi kasus itu terdjadi pada D. Djajakusuma. Dilahirkan dalam keluarga Wedana di Wonosobo, anggota Akademi Djakarta jang kini memasuki tahun ke 53 dari hidupnja jang membudjang, pada masa ketjilnja ia menikmati pendidikan jang tjukup. Pak Wedana gemar mengumpulkan buku, dan Djaduk demikian nama ketjilnja jang mengerti tulisan Djawa achirnja berkesempatan membatja berbagai sumber kesusastraan klasik Djawa. "Tjentini djuga saja batja waktu itu, meskipun isinja tidak saja mengerti", katanja. Salah satu diantara buku jang penuh bergambar perempuan telandjang dan bisa dimengerti djika anak ketjil tadi, suka menjobek gambar-gambar asjik itu untuk dibagi-bagikan kepada teman-temannja. Masa remadjanja dilewatinja dikota Semarang, dan pada AMS bagian B. Djajakusuma tidak djarang mengisi kegiatan kesenian sekolahnja dengan sandiwara-sandiwara jang membawakan tjerita-tjerita matjam lakon "Sitti Nurbaja". Dari beberapa temannja bersandiwara itu antara lain Nugroho SH, Letdjen Mokoginta hanja Djajakusuma lah jang achirnja terikat dengan dunia seni itu untuk seterusnja. Kemudian ia mentjari pekerdjaan dan achirnja terdampar dikantor Pusat Kebudajaan sebagai penterdjemah. Ditahun 1943 itulah ia untuk pertama kalinja bertemu dengan Usmar Ismail, suatu awal dari kehidupan dengan dunia sandiwara dan film. Pada mulanja ia hanja diadjak oleh Usmar. Melalui kedudukan sebagai pemain, pengatur set serta segala matjam kedudukan, beberapa tahun kemudian sepulang dari Amerika (mempeladjari film dan teater di Universitas Washington & Universitas Southern California) ia mendjadi sutradara sandiwara sambil mendjadi dosen ATNI, setelah sebelumnja telah pula menjutradarai beberapa film. Ketika Djepang menjerah dan perang kemerdekaan berketjamuk, bersama seniman-seniman lain, Djajakusuma ikut berdjuang dalam Rombongan Seniman Merdeka. Suasana Djakarta jang semakin panas, membawa mereka ke Jogjakarta. Disanalah, diantara kesibukan bergerilja, Djajakusuma sempat selama setahun mendjadi sekretaris Panti Pengetahuan Film. Walaupun umurnja hanja setahun, namun organisasi itu berhasil menanamkan pengetahuan dasar teori perfilman kepada tokoh-tokoh muda matjam Usmar Ismail, Surjosumanto, Djajakusuma dan lain-lain. Orang-orang muda itu betul-betul telah memanfaatkan pengetahuan jang mereka peroleh dari senior-senior matjam Dr Huyung, Andjar Asmara, Sutarto dsb, meskipun pendidikan jang mereka terima semuanja dalam keadaan serba darurat. Pengakuan kedaulatan merupakan periode baru buat Djajakusuma. Usmar ke Djakarta, dan ia tinggal sibuk dengan gedung bioskop Seni Sono di Jogja. "Sajalah jang merehabilitasi bioskop disamping Gedung Agung itu, dan disitu pulalah saja beladjar soal perbioskopan". Tapi Usmar tiba-tiba datang dengan crew Enam Djam di Djokdja. Tidak banjak bitjara, Djajakusuma achirnja ikut main sambil djadi asisten sutradara serta merangkap berbagai pekerdjaan, antara lain memanggul kamera. Itulah debutnja dalam film. Itu pulalah jang menariknja ke Djakarta. Perfini kemudian memberinja kesempatan kerdja untuk achirnja mendjadikan Djajakusuma sebagai sutradara dengan film pertama Embun. Orang jang dojan nonton film Indonesia achir tahun limapuluhan tentu masih ingat Harimau Tjampa. Itulah salah satu filmnja, disamping film-film Tjambuk Api, Mak Tjomblang, Pak Prawiro serta banjak lagi jang Djajakusuma sendiri lupa.
TOKOH teater kawakan D. Djajakusuma mengemukakan, banyak keuntungan yang 536rat kila petik dari ikut berpentas. Antara lain kita dapat belajar bekerja sama dalam tim, tolong-menolong, belajar sportif dan bijaksana, bertanggung jawab, mampu menerima kritik (sampai yang sepedas. -pedasnya), percaya pada diri $fdiri, mampu berkonsentrasidan mengontrol emosi (meskipun di sanjung-sanjung dengan sorak-sorai, atau diledek sinis oleh para penonton). Di samping itu berpentas iBa dapat mempertajam ingatan, memperbaiki suara dan percakapan, membuat trbuh tidak kaku, dan melatih diri kita tidak gugup di depan umum. Petuah-petuah itu disampaikan Djajakusuma dihadapan ratusan mahasisrva dan dosen{osen lKlP Jakarta, dalam ceramah teatemyar yang cukup memikat hari SaHu, di kampus lKlP Rawamangun. Acara ini merupakan serangkaian prograrn Senat Mahasisrna FPBS lKlP Jakarta dalam upaya memperluas lYawasan pengetahuan mahasisrrra, dengan mengundang penceramah-penceramah dari kalangan seniman. Kepercayaan Dalam ceramahnya lebih jauh, Djajakusuma menguraikan tentang awal kelahiran teater dan sejarair perkembangannya di dunia. Dikatakan, teater sebagai tempat tontonan memungkinkan orang dapat menonton segala macam kejadian (tontonan) seperti tarian, nyanyian, tari-nyanyi, pantomim, drama, akrobatik, sulap, lawak, peiang, operasi, -Oannan di koloseum (teater besar) jaman Romawi dipertunjukkan perang tanding yang kasar dan penuh pertumpahan darah.."' Secang-ranpn-is teater yang paling utama, kata dosen LpKJ itu, adalah drama, yang cerita-ceritanya menyuguhkan kepada kita tentang kehidupan manusia oengan segafa keinginannya, perjuangannya, keberhasilannya, kegagalannya, kegembiraannya, kesedihannya, pikirannya, kebaikannya, kebusukkannya, itt. "Usia teater maupun drama ini setua manusia, keberadaannya bersama dengan perkembangan dunia manusia," kata Djajakusuma, sembari mengelus rambut peraknya yang dipegang rapi.' Menurul senimnn kawakan itu, pada awal pertumbuhannya drama dekat dengan alam, . erat kaitannya dengan sungai NIL itu, bertujuan untuk memberikan dahwah/pendidikan agama kepada masyamkat awam" tambahnya, Di Jepang,teater arak-arakan dklasartan pada dongeng Dewi Amaterasu., dewi cahaya,'dewi Matahari. serombongan orang manari-nari sambit membikin gaduh dengan teriakan dan-tatabuhan, serta penerangan api (obor) di kegelapan milam, agar Dewi Amaterasu mau keluar dari persembunyiannya di dalam gua, dan dunia kembali lerang karena cahayanya. YunaniRomawi India Perkembangan drama di Yunani, tutur Djajakusuma, juga erat sekali hubungannya dengan kepercayaan dan agama. Dalam bentuk dramanya yang paling seriut, yaitu llage!! tokoh-tokohnya terdiri dari keturunan dewa. umpamanya "Eudipus sang Raja" karya sophocles yang naskahnya ditulis tahun 500 sM, pada tahun-tahun terakhir ini berulangkali dipentaskan. Mengapa ?
Menurut Djajakusuma, berita tertulis tentang adanya tealer (tontonan membawakan cerra) di ni6eri kita, kita jumpai pada sebuah prasati tahun 840.yang menyebutkan o$atr aringgit (wayang aiau'teledek). Prasasti tahun 907 lebih jelas menyebutkan' . si Galigi mawayang...... D candi -Borobudur, pada relief-reliefnya kita biasa melihat berbagai macam r.rton.n, berbagai uentur tarian, tetapi tak ada gambaran orang mewayang atau renari memakaikedok. h candi Panataran, kata Djajakusuma, ada relief Ramayanadalam bentuk wayang *fit irng mirip sekaliOengin wayang kulit Bali. Dalam buku Negara Kertagama kita oaca'Halam Wuruf sukahendalang, suka melawak, suka menari dengan topeng' nnembawakan seorang tokoh. ?upanya Hayam Wuruk itu bukan saja ahli politik dan neEarawan, juga seorang seniman yang terampil," ungkap Djajakusuma' t{ayang Wong Ucul Dalam ceramah sepaniang 3 jam itu, Djajakusuma menyinggung pengaruh barat tOor. modem) d'ah; ieater Indonesia. Dikatakan, jaman baru dunia teater ificanangtan olen lbsen dan Strindberg dengan cerita-cerita mengenai keadaan nyata (realistis) dari manusia biasa.. Drama barat (modem) ini sampai di Indonesia, dibawa oleh bangsa Belanda. Penularannya pada Uangsa Indonesia lewat 2 jalur. Pertama,lewat kaum terpelajar' ;p"rti nustam Efendi lang menciptakan Bebasari, Muh. Yamin melahirkan Ken Arok dan Ken Dedes, n-rmin'Pane dengan Manusia Baru (Belenggu). Kedua, lerflat lalur protesional,.misalnya sandiwara kelilingnya Mahieu, Fred Young, Anjar Asmara, dll. ""Pengaruh barat itu memberi tradisi bemaskah atau memakai teks dalam drami/sandiwara Indonesia, yang sebelumnya tidak dikenal," kata Djajakustma' Di samping itu pengaruh barat dengan'ciri ingin realistis itu, kata Djajakusma' menyusup juga ke dalam teater tradisional seperti wayang wong'
'Tentunya karena nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya begitu ting; mutunya,. kata Djajakusuma. Dijelaskan, orang Romawi yang mengoper kebudayaan yunani meneruska. lontonan yang agung itu menjaditontonan penuh darah. Teatrum menjadi koloseun Drama yang menyedihkan rneniadi mengerikan. pembunuhan "di belakang layar. o teaier, menjadi perturnpahan darah secara kasar di koloseum. Menurut penceramah, di lndia teater arak-arakan keagamaan dikenal dengan centa Rarnlila (diambil dari Ramayana). Dua kota dijadikan teater, melambangkan Alengka dan Ayodya. Arak-arakan disertai tari dan nyanyi, mengiringi Rama neserta lasykamya membebaskan dan memboyong kembali Dewi Sinta. .Kalau filnn-filnn indie seksrang sarat dengan nyanyi dan tari, wajar, karena kebudayaannya se.lak dahulu kata :'nemang begitu,' ungkap Djajakusr:r"na" Wayam Wuruk Toitoh teater anggota DKJ iiu lebih jauh bercerita, di Indonesia teaterltontonan arak- arakan yang erat hubungannya dengan kepercayaan, bahkan nrenjadi tindak agama (persembahyangan) masih didapati di antara suku-suku bangsa kita, sepertl di Bali, Kalirnanian dan di pedalaman lrian Jaya. Di pulau Dewata dikenaldengan tari-tarian sakrai (suci) dan taritarian sekular (sebagai tontonan)" Tergolong ke daia'l tarian sakral, ialah tari pura {seperti pendet dan gabor); tari rituat (misalnya baris); tari sanghyang (umpamanya Dedari, Jaran, dll); dan tari barong (seperti keket, landung, calon Arang dan cak). sedangkan yang ternasuk tarian sekuler, misalnya garnbuh, cupak, arya, drama gong, dll. "ealon Arang yang dipentaskan di rlM baru-baru ini, sebenamya tak boieh dipungut bayaran (dikomersilkan), karena sifatnva "eki-a1," kata Djajakusurna, mengingatkan. Mengungkapkan sejarah teater Inoonesia, penceramah menjelaskan, sebelum berkenalan dengan kebudayaan Hindu, teater kita sudah berbentuk begitu, yaitu c€rnpuran kata-kata, gerak, tari, nyanyi dan musik (total) plus lawak. "Jadi jelas bukan pengaruh dari India," landasnya. roKoh teater itu, wayang wong sebenamya teater yang dipentaskan terbatas I Fdop*pendopo krarton, dengan berpegang pada cerita dan slruktur wayang Flr sgetu ketika orang-orang Cina dengan sandiwara kelilingnya melihat ffing;; *t"i"ng won-g Oisa dikomersilkan, dengan mengawinkannya dalam - - UiXa tertidtlah dalail pentas tokoh-tokoh wayang $/ong seperti Catotokaca' h, dll. dibuat realistis. [ltrt menggambarkan Gatotkaca terbang, tokoh perannya dikerek ke atas' ee*aca juga OigamOarkan berkalikalijatuh dan mati' ?enggambaran tokoh-tokoh wayang wong_ demikian, tidak memperjelas malah -nfrngungkan para penonton," kata Djajakusuma' Soalnya dalam dunia reyangan, Gatotkaca yang pandai terbang itu hanya sekali mati, yailu kedika &"i^ [anan Xama Oaiarn- perang. Sgsaat sebelum tewas, Gatotkaca sempat "-*rU*kfan dirinya p"O" f"titt perarU Kama, sehingga ambruk dan Kama nyaris kis, kalau tidak melompat- ...Hi kalau Bima main di hotel, Gatotkaca terbang dengan dikereh jatuh, lalu fra$,,a ke rumah sakit, itu namanya wayang wong ucul (lepas)""'', tandas Claiakusufu a, disambut gggeeeernr.'. -. para peserta' (Hti). Berita Buana.l 7.4. 1984.
30 Januari 1993
Kebangkitan djajakusuma
DJADOEG Djajakusuma hidup kembali di Taman Ismail Marzuki. Memang, orang tidak akan berjumpa lagi dengan sosok seorang tua berambut putih panjang yang terjalin rapi itu. Ia sudah meninggal, ketika memimpin upacara Sumpah Pemuda di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), lima tahun lalu. Namun, jika orang datang ke Pekan Retrospeksi Film D. Djajakusuma, yang berlangsung sejak 24 sampai 28 Januari di Teater Tertutup TIM, itu memang berarti ikut merayakan sebuah upacara kebangkitan kembali. Selama ini Pak Djaja, begitulah ia biasa disebut, secara terbatas hanya dikenal lewat dua film yang tampaknya akan menjadi klasik: Harimau Tjampa (1953) dan Tjambuk Api (1959). Keduanya merupakan film hitam-putih, dengan warna etnografis, yang secara mengejutkan disambut hangat dalam Festival Tiga Benua 1984 di Nantes, Perancis. Dalam pekan film ini, penemuan yang mengejutkan akan bertambah karena terdapat tiga film lagi yang belum pernah diketahui orang, yakni Embun (1951), Pak Prawiro (1960), dan Rimba Bergema (1963). Ketika film-film tokoh yang selalu mempertahankan kehidupan seni tradisi itu didata kembali, ternyata banyak yang kopinya sudah rusak berat atau hilang.
Kebangkitan djajakusuma
DJADOEG Djajakusuma hidup kembali di Taman Ismail Marzuki. Memang, orang tidak akan berjumpa lagi dengan sosok seorang tua berambut putih panjang yang terjalin rapi itu. Ia sudah meninggal, ketika memimpin upacara Sumpah Pemuda di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), lima tahun lalu. Namun, jika orang datang ke Pekan Retrospeksi Film D. Djajakusuma, yang berlangsung sejak 24 sampai 28 Januari di Teater Tertutup TIM, itu memang berarti ikut merayakan sebuah upacara kebangkitan kembali. Selama ini Pak Djaja, begitulah ia biasa disebut, secara terbatas hanya dikenal lewat dua film yang tampaknya akan menjadi klasik: Harimau Tjampa (1953) dan Tjambuk Api (1959). Keduanya merupakan film hitam-putih, dengan warna etnografis, yang secara mengejutkan disambut hangat dalam Festival Tiga Benua 1984 di Nantes, Perancis. Dalam pekan film ini, penemuan yang mengejutkan akan bertambah karena terdapat tiga film lagi yang belum pernah diketahui orang, yakni Embun (1951), Pak Prawiro (1960), dan Rimba Bergema (1963). Ketika film-film tokoh yang selalu mempertahankan kehidupan seni tradisi itu didata kembali, ternyata banyak yang kopinya sudah rusak berat atau hilang.
Ketika dicek kembali ke Sinematek Indonesia, perpustakaan film yang kekurangan dana itu, ternyata masih terdapat kopi negatif beberapa film yang bisa dicetak lagi. Marselli, anggota Dewan Kesenian Jakarta yang mempersiapkan pekan film ini, memilih ketiga film tersebut. Film Djajakusuma yang lain, seperti Terimalah Laguku, sebuah eksperimen musikal, hilang lenyap tak tentu rimbanya. Penemuan ini disebut mengejutkan karena kualitasnya sebagai film. Jadi, bukan karena nostalgia, bukan pula karena eksotisme. Sehingga, dalam sebuah retrospeksi, bisa disebut suatu kebangkitan kembali, karena selama ini Djajakusuma tidak pernah dipuji sebagai seniman. Tepatnya, sebagai sineas. Memang ia dihormati sebagai aktivis kebudayaan yang tidak pernah berhenti membina dan menjaga kehidupan seni. Bukan hanya seni tradisi seperti wayang orang Bharata dan lenong, tapi juga seni modern, antara lain dengan kehadirannya yang tak pernah putus di IKJ. Barangkali ini terjadi karena dalam belasan tahun terakhir Djajakusuma sudah tidak membuat film. Tepatnya, tentu, tidak ditawari membuat film komersial, karena dari tangan seorang Djajakusuma tak akan lahir film yang dibuat dengan selera pasar. Apalagi filmnya yang paling mutakhir, seperti Api di Bukit Menoreh (1971) dan Malin Kundang (1972), selain tidak meledak secara komersial, juga tidak mendapat sambutan para kritikus. Selain itu, kritikus tahun 1950 sampai 1980-an menganggap sepi karya-karya Djajakusuma pada dasawarsa tersebut boleh jadi karena terpesona oleh jargon-jargon kesenian yang berkiblat di luar bumi Indonesia. Namun, toh satu-satunya ujian bagi kesenian adalah waktu. Penemuan kembali film-film Djajakusuma tersebut bagaikan penemuan mutiara yang hilang. Rimba Bergema, dengan pemain seperti Ray Iskandar, Rita Zahara, Aedy Moward, dan Parto Tegal, meskipun kurang berhasil sebagai film, sangat bermanfaat sebagai dokumen sosial pada masa konfrontasi dengan Malaysia. Bagaimana orang-orang berjuang meningkatkan taraf hidup, dengan menyeberang dari Jawa ke Sumatera, tanpa menyebut sepatah pun kata transmigrasi. Dalam film ini, Djajakusuma berhasil merekam kehidupan di perkebunan karet di wilayah Deli. Film pertama Djajakusuma, Embun, adalah sebuah usaha menangkap kegelisahan jiwa.
Tokohnya, Sulaiman -- dimainkan A.N. Alcaff -- adalah seorang pejuang dalam revolusi fisik, yang menjadi serba salah tanpa senjata. Film ini bagaikan sebuah sisi lain dari Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail. Hanya saja, tokoh Usmar mengalami nasib yang tragis dalam kegelapan jiwa di kota, sedangkan tokoh Djajakusuma mengalami pencerahan di desa. Lokasi Gunungkidul dimanfaatkan kamerawan Max Tera dengan baik, menghadirkan komposisi geografis serba spektakuler. Adapun tata musik yang digarap Tjok Sinsoe, jika direkam ulang secara digital (digitally remastered), akan segera diterkam para penggemar musik. Kebangkitan kembali Djajakusuma sebetulnya dikukuhkan oleh Pak Prawiro. Beliau telah mengolah sebuah film penerangan mengenai Bank Tabungan Pos, menjadi sebuah komedi yang gemilang. Lebih dari sekadar komedi, dalam film ini Djajakusuma juga menancapkan dramaturginya sendiri. Dengan iringan musik gamelan, Djajakusuma berkisah tentang kehidupan sehari-hari seorang pensiunan, secara komis. Hebatnya, Djajakusuma berhasil mengumbar imajinasi yang liar, yang belum pernah ada dalam sinema Indonesia selama ini. Sedangkan Rendra Karno, sebagai Pak Prawiro, layak mendapat penghargaan meski terlambat. Tentu tidak bisa diharapkan bahwa film-film itu secara teknis sudah canggih. Meskipun begitu, setelah lebih dari 30 sampai 40 tahun, film-film ini tetap memperlihatkan gurat-gurat keindahan sinematis yang mempesona. Film-film ini juga menunjukkan bahwa ''Bapak Perfilman Indonesia'' bukan cuma Usmar Ismail, melainkan juga Djadoeg Djajakusuma. Seno Gumira Ajidarma
Ia pernah meneria Anugrah Seni dan pertunjukan untuk pembinaan teater. Disamping itu juga beberapa piagam penghargaan dari Hakim sebagai sutradara Langen Bhakti ABRI (1973 & 1974; Yayasan Husni THamrin untuk revitalisasi lenong; Dewan Harian angkatan 45 daerah DKI untuk penyelenggaraan Musyawarah Nasional perfilman Angkatan 45 dan dari Gubernur DKI 1980)
Lebih dari 40 thn berkecimpung dalam dunia film, kini usia dia 63 tahun dan meninggal dunia. Dari kecil dia sudah suka main-main bioskopan dengan benang dan sebagainya. SEdangkan untuk teater dorongan dari ibunya yang hampir setiap malam menghantarkannya tidur dengan berbagai cerita dongeng. Setelah itu apa yang didongengkan ibunya, diperaktekannya keesokan hari dengan bermain sandiwara kecil dengan temannya.
Selain itu ia juga hobi nonton bioskop, apalagi kalau gratis. atau sandiwara, dan kegemarannya ini masih melekat hingga ia tua, terbukti setiap pertunjukan yang ada di TIM, ia tonton semua.
Masa kecilnya ada di Wonosobo, daerah pedesaan. Setiap ada pertunjukan kampung, ia selalu menontonya waktu kecil. Wayang. karena sedikit bandel sehingga suka kabur dari rumah untuk menonton, padahal umurnya 8 tahun. Bapaknya sebagai Wedana menginginkan ia menjadi priyai (pegawai negeri). Lalu orang tuanya bingung, kok orang seni bisa gampang ke luar negeri, ia belajar setahun di Universitas of Washington 1956-1957, Seatle dan Universitas California di LA.
Menyelesaikan AMSB di Semarang, lalu ikut mendirikan perkumpulan sandiwara, dan semangat bersandiwara pada jaman Jepang (1943-1945) dan membentuk badan perjuangan seniman merdeka.
Setelah itu ia terjun ke jurnalistik sebagai wartawan mingguan dan harian Patriot di Jogja, serta membantu majalah kebudayaan NUsantara selama 5 tahun 1046-1950.
1950-1951, ia mengajar sekaligus pelatih pada Kino Drama Atelir Yayasan Hiburan Mataram bersama Dr. Huyung. Walaupun itu belum memperoleh pendidikan formal di bidang drama dan film. Tahun berikutnya ia mulai terjun dalam bidang film, menyutradarai film pada Perfini (perusahaan Film Nasional Indonesia) 1955 mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) lalu 10 tahun kemudian mendirikan KFT (Karyawan film dan TV).
Ia juga sempat mempelajari teater kelasik Jepang dan China, juga Teater rakyat India.
LAHIRNJA GATOTKATJA | 1960 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
HARIMAU TJAMPA | 1953 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
BIMO KRODA | 1967 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
RIMA BERGEMA | 1964 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
TJAMBUK API | 1958 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
API DIBUKIT MENORAH | 1971 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
ARNI | 1955 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
MAK TJOMBLANG | 1960 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
TERIMAIAH LAGUKU | 1952 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
PAK PRAWIRO | 1958 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
PEREMPUAN DALAM PASUNGAN | 1980 | ISMAIL SOEBARDJO | Actor | |
PUTRI DARI MEDAN | 1954 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
MALIN KUNDANG | 1971 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
MERTUA SINTING | 1954 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
EMBUN | 1951 | D. DJAJAKUSUMA | Director | |
MASA TOPAN DAN BADAI | 1963 | D. DJAJAKUSUMA | Director |