KEMBALILAH MAMA
Eddy (eddy Silitonga) diam-diam meninggalkan ibu dan adiknya di kampung, dan pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib sebagai penyanyi. Pada awalnya tentu hal itu tidak mudah. Nasib baik datang saat dia sedang mengamen dan menarik perhatian seorang pengusaha rekaman, Arman (Babby S). Maka melejitlah namanya setelah rekamannya sukses. Ia lalu berkenalan dan berpacaran dengan Mirna, seorang penyanyi klab malam. Mirna kemudian diperkenalkan pada Arman. Arman juga jatuh hati pada Mirna, yang ternyata adalah umpan Harry(Eddy Hansudi). Eddy yang mencium gelagat, lalu memutuskan hubungan. Akibatnya, ia dikeroyok anak buah Harry, hingga dirawat di rumah sakit. Pada saat itulah ia teringat akan ibu dan adiknya di kampung. Ia pulang dan minta ampun.
|
P.T. KOMEDIA JAKARTA FILM |
Film ini mengambil kepopuleran Lagu Mama yang dinyanyikan oleh Eddy Silitonga, yang sangat populer waktu itu. Dia pun diajak main untuk mendongkrak film ini agar untung. Dan kisahnya pun di filmkan dalam film ini.
Sejak kecil pria bernama Charles Edison Silitonga kelahiran Pematang Siantar, 17 November 1950 ini sudah kerap mempertunjukkan kebolehannya dalam bernyanyi. Ia tak pernah belajar vokal secara khusus dan hanya mengandalkan lagu-lagu yang disiarkan RRI sebagai medianya untuk mengasah teknik bernyanyi. Karena terlampau asyik menggeluti hobinya di bidang tarik suara, nilai pelajarannya pun turun drastis. Hal itu menimbulkan kekecewaan di hati sang ibu, yang kemudian memintanya untuk fokus pada sekolahnya. Tapi apalah daya, Eddy sudah terlanjur jatuh hati dengan dunia musik. Dengan tekad yang sudah mantap itu, sulit bisa merubah keinginan Eddy Silitonga untuk menjadi penyanyi ternama.
Bakat bermusiknya itu terus ia asah hingga menginjak masa remaja dengan mengikuti berbagai festival tarik suara. Keikutsertaannya membuahkan sederet prestasi membanggakan, diantaranya juara Festival Penyanyi Seriosa se-Sumatera Utara di Medan tahun 1967, Festival Pop-Singer, serta juara festival lagu populer yang digelar di Taman Ismail Marzuki tahun 1976.
Selain tampil solo, Eddy juga pernah membentuk band bernama Madya Sapta. Band tersebut merupakan band yang anggotanya terdiri atas karyawan perkebunan PTP-II Rantau Prapat. Eddy berperan sebagai vokalis sekaligus gitaris.
Dari Madya Sapta band, Eddy kemudian mendirikan grup vokal bernama Eddy's Group. Grup tersebut merilis album yang diberi judul Eddy Silitonga and Eddy's Group. Di album tersebut, terdapat lagu yang fenomenal, Mama, yang pada akhirnya berhasil melambungkan namanya. Lagu ciptaan Murry itu memiliki aransemen dan syair yang sederhana namun semakin bertambah istimewa karena dibawakan oleh penyanyi sekelas Eddy Silitonga. Warna vokalnya yang berkarakter ditambah dengan kemampuannya menjangkau nada rendah dan tinggi menjadikan lagu ini berhasil merajai puncak tangga lagu populer di masa itu.
Lagu Mama kemudian menginsipirasi seorang produser untuk mengangkat ceritanya dalam sebuah film berjudul Kembalilah Mama. Eddy kemudian didaulat menjadi pemeran utama beradu akting dengan penyanyi Nuke Affandy. Sama seperti lagunya, film tersebut sukses di pasaran, namun kesuksesan itu tak membuat Eddy melirik film sebagai karir barunya. Menurutnya, ia bersedia bermain dalam film Kembalilah Mama hanya sebagai sarana mempromosikan lagu-lagunya dan bukan sebagai aji mumpung karena sedang berada di puncak tangga popularitas. Tawaran bekerja sama dalam sebuah judul film dari aktor kawakan Ratno Timor bahkan secara halus ditolaknya. Dengan rendah hati Eddy menampik tawaran tersebut seraya mengucap, ''Tidak punya bakat dan tidak punya tampang sebagai bintang film,'' jelas Eddy singkat seperti dikutip dari harian Republika.
Menginjak masa remaja, ia mengikuti berbagai festival tarik suara. Keikutsertaannya membuahkan sederet prestasi membanggakan, diantaranya juara Festival Penyanyi Seriosa se-Sumatera Utara di Medan tahun 1967, Festival Pop-Singer, serta juara festival lagu populer yang digelar di Taman Ismail Marzuki tahun 1976.
Selain Mama, lagu lain yang ada di album Eddy Silitonga and Eddy's Group adalah, Kini Kusadari, Tangis dan Cinta, Cinta, Malam Itu, Gadis Kusayang, Gadis Eksentrik, Tak Rela, Mengapa Susah, Surabaya, Flamboyan, Perdamaian, Mimpi Sedih, dan Gubahanku.
Sejak saat itu, kesuksesan demi kesuksesan digenggamnya. Album-album Eddy berikutnya seperti Biarlah Sendiri, Tabahkan Hatimu, Doa, Jatuh Cinta, Rindu Setengah Mati, Hitam Atas Putih, Alusi-au, Romo Ono Maling, dan lain sebagainya meledak di pasaran. Dalam satu album bisa empat sampai lima buah lagu yang dibawakannya sering diputar di radio-radio di seluruh Indonesia.Tentunya keberhasilan tersebut tak dapat dilepaskan dari peran musisi bertangan dingin seperti Titiek Puspa, Murry, Bartje van Houten, Johanes Purba, Is Haryanto, dan pencipta khusus lagu daerah Batak, Nahun Situmorang. Dan yang paling berjasa adalah Rinto Harahap sebagai orang yang pertama kali mengorbitkan Eddy Silitonga.
Di samping lagu beraliran pop, anak ke empat dari sebelas bersaudara ini juga piawai menyanyikan lagu-lagu daerah, tidak hanya terbatas pada lagu Batak asal leluhurnya, juga lagu Melayu, Minang, Manado, Gorontalo bahkan Jawa. Di akhir karirnya sebagai penyanyi sebelum akhirnya terjun sebagai pengusaha, Eddy sempat meraih juara 1 Pria Lomba Lagu Minang Populer yang digelar di Taman Ismail Marzuki, 29 Oktober 1983.
Eddy tak hanya populer lewat suara dan lagu-lagu yang pernah dibawakannya, tapi juga dari penampilannya. Salah satu gaya khas seorang Eddy Silitonga yang mungkin masih melekat dalam ingatan para penggemarnya adalah gaya rambut dan jenggot di dagunya yang banyak ditiru orang kala itu.
Kini penyanyi berdarah Batak itu sudah jarang tampil di layar kaca. Sebagai penyanyi senior ia ingin memberi kesempatan kepada bakat-bakat muda untuk meramaikan blantika musik Indonesia. Meski demikian, ia masih tampil sesekali memperdengarkan suara khasnya di kafe-kafe dan hotel-hotel berbintang, semua itu dilakukan demi kepuasan para penggemarnya. Tentunya dengan tetap mempertimbangkan faktor usia, ayah empat anak ini membatasi jam terbangnya sebagai penyanyi.
Meski masa keemasannya telah lama berlalu, nama besar Eddy sebagai penyanyi legendaris masih cukup memikat setidaknya bagi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Jero Wacik yang kemudian mempercayakannya sebagai Duta Kebudayaan Indonesia tahun 2010. Tugasnya tak lain adalah mempromosikan budaya dan pariwisata nasional dengan berkeliling dunia melewati 49 negara yang tersebar di lima benua di dunia, dan memakan waktu lebih dari sembilan bulan.
Menurut Eddy Silitonga, program itu terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu bernyanyi di berbagai tempat yang dilewati seperti kafe, restoran, hotel atau panggung rakyat. Kegiatan kedua, adalah melakukan 'people to people contact' dengan masyarakat atau turis setempat. Terakhir, adalah mengadakan acara Malam Kesenian Indonesia di seluruh KBRI yang dilewati.