Tampilkan postingan dengan label SEJARAH PREMAN DAN ORBA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH PREMAN DAN ORBA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Agustus 2020

SEJARAH PREMAN DAN ORBA

Vrije Man / PREMAN MEDAN
 

Sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20. Mereka adalah kuli non-kontrak atau tenaga lepas yang dibayar harian. Tuan-tuan kebun Belanda (Planters) yang menjadi penguasa tanah Deli menyebutnya “Vrije Man” yang berarti orang bebas. Meski dipekerjakan, para Vrije Man acap kali menjadi gangguan bagi tuan kebun Belanda dalam menjalankan usahanya.

Vrije Man muncul sebagai pembela kuli kontrak asal Jawa, Tionghoa, dan India yang disiksa mandor kebun atas perintah tuan kebun. Beraneka keresahan ditebarkan oleh Vrije Man. Merusak tanaman kebun, minum-minum sampai mabuk dan memancing keributan, hingga menantang berkelahi merupakan cara Vrije Man unjuk taji terhadap penguasa kebun.

Sebagai tanda balas jasa, para Vrije Man digratiskan untuk mengambil makanan dan minuman di warung. Dari konteks inilah istilah Vrije Man berubah menjadi “preman”. “Ia menjadi akronim untuk ‘pre minum dan makan’. Pre disingkat dari prei yang asalnya dari vrije. Bebas minum dan makan,”

Di masa mempertahankan kemerdekaan, preman turut serta dalam perjuangan revolusi. Peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945 menjadi salah satu medan juang preman Medan melawan penjajah. Di masa ini, kelompok preman pejuang yang paling terkenal adalah Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane.

“Anggota-anggota dari pasukan Naga Terbang ini kebanyakan dari anak-anak Medan, yang mulanya berasal dari jagoan-jagoan kota Medan yang dibina oleh Matheus Sihombing,” tulis Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara.

Memasuki tahun 1950-an, eksistensi preman masih cukup diterima di tengah masyarakat. Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar (menjabat 1954-1958) bahkan pernah memberikan penghargaan kepada preman. Saat itu, preman Medan berperan mendamaikan perkelahian antarsuku yang terjadi antara pemuda Aceh dengan pemuda Batak. Preman juga membantu menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang mengalami pencurian atau perampokan. Preman akan mencari pimpinan copet dan rampok setempat agar barang-barang yang dicuri lantas dikembalikan kepada pengadu.

Pada masa pemerintahan Sukarno, preman terhimpun ke dalam organisasi pemuda bernama Pemuda Pancasila. Pemuda Pancasila didirikan sebagai organisasi sayap Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dibentuk Jenderal Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1959. Pemuda Pancasila secara formal diresmikan dalam kongres IPKI tahun 1961.

“Pemuda Pancasila dihadirkan untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 ketika banyak kelompok pemuda saat itu beralih mendukung Nasakom,” tulis Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto′s Order” dalam Violence and The State in Suharto′s Indonesia suntingan Ben Anderson.

“Ketika Presiden Sukarno menyerukan mobilisasi umum untuk pembebasan Irian Barat, Pemuda Pancasila mendukungnya dengan mempersiapkan diri bertempur sebagai milisi,” tulis Ryter. Mereka tergabung ke dalam front Pasukan Djibaku Irian Barat (PDIB).

Effendi Nasution alias Pendi “Keling”, adalah preman legendaris dan mantan petinju yang dikenal sebagai pemimpin Pemuda Pancasila kota Medan. Menurut Pendi Keling, mencuri, merampok, dan tindak kejahatan lainnya haram bagi preman.

“Banyak cara terhormat, yang penting preman itu bukan bandit. Misalnya, menjaga keamanan bandar dan arena perjudian, menjadi pengawal pengusaha kaya, menjaga pusat-pusat keramaian dan bioskop. Dan sesekali mendapat order memukuli jagoan pengusaha lain,” kata Pendi Keling menjelaskan cara preman menghidupi diri, dikutip Kompas.

Pada nyatanya, prahara 1965 menandai penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan oleh preman. Di Sumatera Utara, oknum preman dalam Pemuda Pancasila menjadi pelaku penjagalan kaum komunis. Mereka membersihkan orang-orang yang berafiliasi dengan PKI sampai ke akar-akarnya.

“Semua sayap PKI menjadi target mereka: Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan lembaga masyarakat Tionghoa (Baperki),” tulis Ryter.

Seiring waktu, di Medan makin banyak preman yang tergabung dalam perkumpulan berbasis organisasi kelompok pemuda. Aktivitasnya pun kian rapat dengan dunia kriminal. Pertarungan dan bentrokan antarorganisasi pemuda kerap kali terjadi. Mulai dari masalah sepele hingga rebutan lahan keamanan bisa memicu kerusuhan anarkis. Dari pertikaian antarpreman yang banyak terjadi, tak pelak, masyarakat sipillah yang paling dibuat resah.

Pada paruh kedua tahun 1980, premanisme menjadi satu dari 53 jenis kejahatan yang setiap 24 jam harus dilaporkan Polda Sumatera Utara ke Mabes Polri.

PREMAN ORBA
Pada 1970-an, geng-geng remaja seperti Berlan dan Siliwangi Boys berkeliaran dan tak jarang melakukan kekerasan di Jakarta. Risih dengan kerusuhan yang mereka buat, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal TNI Soemitro memerintahkan agar kelompok-kelompok dan geng remaja dibubarkan.

Namun, ada udang di balik batu. Pembubaran kelompok itu rupanya tak semata untuk mengurangi tingkat kejahatan. Kopkamtib menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai alat penguatan kekuasaan negara.

Kelompok baru kemudian bermunculan, seperti Pemuda Panca Marga, Angkatan Muda Siliwangi, Ikatan Pemuda Karya, dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. Semua organisasi masa (ormas) itu punya hubungan erat dengan mliter dan Golkar. Sebagian kelompok baru itu muncul di bawah naungan Ali Moertopo, intel kepercayaan Soeharto yang menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh kriminal.

“Orde Baru bekerja dengan sistem jatah preman. Mereka mengelola konflik yang hanya mampu dipecahkan oleh pemerintah sendiri. Negara beserta perangkatnya menciptakan ancaman lewat para preman sembari memberi perlindungan pada warga negara asalkan setia dan patuh,” kata Ian Douglas Wilson dalam bedah buku Marjin Kiri Politik Jatah Preman di Kios Ojo Keos, Jumat, 11 Januari 2019.

Ali Moertopo menugaskan preman-preman binaannya untuk memastikan Golkar mendapat perolehan suaran pada pemilu 1971 dan 1977. Para preman binaan bekerja dengan menjalankan konvoi kampanye yang tak jarang berujung kekerasan. Dengan begitu, pemerintah punya kesempatan unjuk kebolehan dalam mengendalikan ancaman. Para preman juga ditugaskan untuk mengintimidasi peserta pemilu agar memilih Golkar.

Preman, jagoan, atau ormas selalu muncul dalam sejarah Indonesia sejak era kolonial sampai sekarang. Di masa Orde Baru, kelompok masyarakat itu digunakan sebagai alat pengendali masyarakat. “Karena kalau di kampung, kekuasaan negara tidak terasa. Tapi (kekuasaan, red.) itu coba dihadirkan lewat relasi sosial masyarakat dengan preman, jagoan, dan kelompok ormas,” lanjut Wilson.

Wilson mencontohkannya dengan Siskamling (sistem keamanan lingkungan). Siskamling, menurutnya, punya konsep mengajak warga untuk mengawasi lingkungannya sendiri. Selain itu juga merangkul jagoan agar menjadi bagian dari polisi lokal. Lewat para preman atau jagoan yang menjadi polisi lokal itulah kekuasaan negara hadir di kampung-kampung.

Meski menggunakan preman dalam sistem pengendalian masyarakat, Orde Baru juga menjaga kekuasaanya dengan operasi Petrus yang menimbulkan keterkejutan di masyarakat. Menurut Wilson, lewat operasi itu negara memberangus keberadaaan preman yang punya potensi untuk melawan sekaligus membungkam jaringan preman yang dianggp menjadi ancaman negara.

“Petrus digunakan sebagai shock theraphy, Soeharto mengakui itu. Alasan resminya untuk menghapus kriminalitas. Tetapi dari segi lain, ada pola-pola organisasi dan jaringan yang dianggap mengancam oleh negara,” kata Wilson pada Historia.

Runtuhnya Orde Baru beserta turunnya para tentara pembina preman mengubah pola kelompok preman. Bila semula mereka dibina oleh tentara dan punya peran ideologis untuk melawan sesuatu yang dianggap subversif, mereka kemudian menentukan jalurnya sendiri. Figur preman berubah, preman era Orde Baru berbeda dari era sekarang.

Krisis moral, meningkatnya kekerasan dan kejahatan menguntungkan kelompok seperti Forum Betawi Rempug dan Front Pembela Islam untuk menamplkan diri sebagai ormas yang menyediakan perlindungan bagi kaum miskin kota. “Forum Betawi Rempug sangat radikal. Mereka merasa sebagai warga asli Jakarta yang terpinggirkan oleh proses modernisasi. Setelah Orde Baru mereka ingin merebut apa yang mereka anggap hak mereka,” kata Wilson.

FBR misalnya, lanjut Wilson, terlibat konflik dengan pedagang-pedagang Madura dan Flores atau siapa pun yang berpotensi menguasai ekonomi lokal. Mereka juga mengorganisasi pungutan-pungutan liar pada para pedagang atau tukang parkir.

Pola serupa juga dilakukan oleh FPI. Mereka menawarkan perlindungan pada konsep umat dari demokrasi yang mereka anggap kebablasan. “Mereka menggunakan konsep ancaman terhadap kemurnian umat untuk melakukan pemeresan secara moral dan mengintimidasi. Inilah pola yang muncul pascareformasi untuk melegitimasi kekuasaan mereka secara lokal,” kata Wilson.

Peran besar kelompok preman atau ormas saat ini terutama terlihat di sekitar pemilu atau pilkada pascareformasi. Kelompok ormas punya peran besar untuk memobilisasi massa, menjaring suara, dan mengumpulkan uang. Negara tak lagi bisa mengendalikan kelompok preman seperti di era Orde Baru.

Ketidakmampuan partai politik untuk menjaring dukungan di tingkat akar rumput menjadi keuntungan bagi kelompok preman atau ormas. Jaringan warisan Orde Baru ini sangat sadar untuk melakukan transaksi dan tawar-menawar dengan parpol.

“Semua bikin kontrak politik untuk dapatkan sesuatu, menjamin bisa menjaring sekian suara lewat jaringan-jaringan mereka. Ormas jadi alat yang menguntungkan bagi parpol untuk meraih kekuasaan. Model lama, dengan massa yang bisa memaksa dan efektif buat pemilu.” kata Wilson.

PETRUS
SUATU malam di bulan Juli 1983, mobil Toyota Hardtop yang dikemudikan Bathi Mulyono baru saja melintasi jalan Kawi, Semarang ketika dua motor menyalip kencang dan “dor..dor..” suara pistol menyalak. Dua peluru menembus mobil. Nasib naas masih jauh dari hidupnya. Bathi menginjak pedal gas dan melesat menembus kegelapan malam. Sang penembak pun kabur entah ke mana.

Sejak malam itu Bathi menghilang. Dia tak pulang ke rumah kendati istrinya, Siti Noerhayati, tengah hamil tua. Bathi memutuskan untuk menyembunyikan dirinya dari kejaran operasi pembasmian preman yang kerap disebut “Petrus” atau Penembakan Misterius. Sejak pertengahan 1983 Bathi hidup nomaden dan bersembunyi di Gunung Lawu. Dia baru berani turun gunung pada 1985, setelah Petrus mereda. Nasib Bathi masih mujur. Ribuan orang yang dituduh preman mati tanpa proses peradilan.

Bathi Mulyono bukan sembarang preman. Dia ketua Yayasan Fajar Menyingsing, organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan pemuda di daerah Jawa Tengah. Organisasinya  itu dibekingi oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjojo. Dengan “restu” elite penguasa daerah, Bathi menjalankan bisnisnya mulai dari jasa broker sampai dengan lahan parkir di wilayah Jawa Tengah.

Hubungan yang dibangun antara elite dengan para preman pun bergerak lebih jauh dari sekadar bisnis. Preman pun digunakan sebagai kelompok-kelompok milisi yang diberdayakan pada saat musim kampanye Pemilu tiba. Golongan Karya (Golkar) sebagai generator politik Orde Baru banyak menggunakan jasa para preman untuk menggalang massa dan mengamankan jalannya kampanye.

Bathi dan kawan-kawannya salah satu kelompok yang digunakan oleh Golkar dalam kampanye Pemilu 1982. Tugasnya memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Insiden itu  dikenal sebagai  peristiwa Lapangan Banteng. Sejumlah korban berjatuhan. Beberapa orang ditangkap atas tuduhan mengacau.

“Saya memakai jaket kuning, dalamnya kaos hijau,” kenang Bathi Mulyono.

Tapi Bathi dan kawan-kawan tak tersentuh. Ali Moertopo dituduh berada di belakang peristiwa itu dan tak beberapa lama kemudian Soeharto “membuangnya”.

Ian Wilson dalam tulisannya “The Rise and Fall of Political Gangster”  pada buku Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (2010: 201) mengatakan kalau keterlibatan preman di dunia politik berakar jauh dalam sejarah. Jenderal Nasution pun pernah menggunakan jasa mereka untuk menekan Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Sementara itu Robert Cribb menyuguhkan fakta tentang keterlibatan bandit dalam politik dimulai sejak zaman revolusi kemerdekaan.

Pada zaman Petrus, ternyata afinitas politik belum tentu bisa menjamin keselamatan seorang preman. Tokoh sekaliber Bathi pun tetap jadi incaran eksekutor. Sejumlah pentolan organisasi preman pun dicokok dan dihabisi nyawanya tanpa pernah ada yang tahu keberadaan mayatnya. Tokoh-tokoh Prem’s yang juga jaringan Fajar Menyingsing telah lebih dulu dihabisi, antara lain Eddy Menpor dan Agus TGW. Mayat mereka tak pernah ditemukan dan keluarga yang ditinggalkan pun tak tahu harus mencari dan mengadu kepada siapa. Pada 10 Juli 1983 halaman Minggu koran Merdeka secara khusus memberitakan tentang derita yang dialami oleh istri kedua pentolan preman Jakarta itu. 

Cerita kelam ini bermula ketika Letkol. M. Hasbi, Komandan Kodim di Yogyakarta melancarkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Operasi yang diklaim hanya bertujuan mendata para pelaku kriminal. Namun apa yang dilakukan oleh M. Hasbi di Yogyakarta lebih dari sekadar mencatat. Eksekutor operasi tak segan menembak mati siapa saja yang mereka anggap sebagai gali (gabungan anak liar).

Berita di koran-koran yang terbit pada masa itu pun hampir seluruhnya menampilkan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala berlubang ditembus peluru. Dalam sehari, di berbagai kota, hampir dapat dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan di semak-semak .

Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983 operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya.

Berita-berita yang terbit di media massa dihiasi silang pendapat. Kepala Bakin Yoga Soegama menyatakan tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius (Sinar Harapan, 23 Juli 1983), sementara itu mantan Wapres H. Adam Malik angkat bicara dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi penembakan misterius (Terbit, 25 Juli 1983). “Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” Adam Malik mengingatkan, “setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” kecam pemuda angkatan 1945 itu.

Persoalan Petrus yang semula dilakukan secara rahasia lambat laun tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan perhatian dari dunia luar. Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti Internasional, menyoal pembunuhan yang sadistis itu. Namun surat Amnesti Internasional dianggap sepi oleh pemerintah. Yoga Sugama menilai pembunuhan terhadap preman “Merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” katanya seperti dikutip dari Harian Gala, 25 Juli 1983.

LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer operasi Petrus itu mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI. Sementara itu Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.

 “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH.  

Setelah saling-silang pendapat di masyarakat dan tekanan dunia internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru menghentikan sama sekali operasi tersebut pada 1985. Sejak dimulai pada pengujung 1982 sampai dengan berakhir ada sekira seribu lebih korban tewas. Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), puncak tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan jumlah 781 orang tewas.
Soeharto dan PETRUS

APARAT keamanan memiliki standar operasional prosedur dalam menggunakan senjata api ketika akan meringkus penjahat. Peluru dilepaskan bila penjahat melawan atau melarikan diri. Sasarannya pun biasanya kaki, meski sering juga mengenai anggota tubuh lain yang membuatnya mati. Namun, pada 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa mati kapan saja oleh penembak misterius sehingga disebut petrus.

Selama beroperasi, petrus telah menghabisi ribuan korban jiwa. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mendata puncak tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan 781 orang tewas.

Kebijakan petrus ini atas restu Presiden Soeharto. Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto beralasan bahwa petrus sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.

“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak,” kata Soeharto.

Dalam kenyataannya, sebagaimana diberitakan media massa, bertato saja sudah cukup bagi mereka yang dianggap penjahat dihabisi oleh petrus. Di berbagai kota mayat-mayat tertembak peluru di dada atau kepala dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke dalam karung, digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan di semak-semak.

“Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja,” kata Soeharto. “Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.”

Para petinggi militer pun mengamini sang presiden. Mayjen TNI Yoga Sugomo, kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), menyatakan tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. Yoga menilai pembunuhan terhadap preman “merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan.”

Jenderal TNI Benny Moerdani, panglima ABRI merangkap Pangkopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang disebut-sebut sebagai salah satu perancang operasi petrus, mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang antargeng. Dia berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI.

Petrus menimbulkan protes dari para tokoh, salah satunya Adam Malik, mantan wakil presiden (1978-1983). Dia tak setuju dengan aksi petrus. “Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” kata Adam Malik.

Pengganti Adam Malik, Jenderal (Purn.) TNI Umar Wirahadikusumah juga menanyakan langsung kepada Soeharto mengenai petrus. “Apakah tidak ada cara lain yang tidak usah menggunakan tindakan-tindakan drastis itu?” tanya Umar dalam Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun.

Soeharto menjawab bahwa alasan petrus karena rakyat kecil telah dipersulit oleh sekelompok manusia jahat di beberapa daerah; mereka dirampok, diperkosa, dan lain-lain. Sementara polisi dan aparat keamanan lainnya boleh dikatakan tidak berdaya, sehingga suatu shock treatment perlu diambil untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi kejahatan.

“Ya, nanti biar saya yang bertanggung jawab kepada Tuhan,” kata Soeharto.
Petrus dihentikan pada 1985 setelah ada tekanan dari dunia internasional.