Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Bukit Berdarah. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Bukit Berdarah. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Juli 2020

MEMBURU MENANTU / 1961


Janda pensiunan bupati, Ny Adi (Surip), ingin sekali agar anak gadisnya, Supriati (Sutrisno) mendapat jodoh berdarah bangsawan, berpangkat tinggi dan bertitel. Diramalkan seorang dukun (Rukun), bahwa Supriati akan berjodoh dengan orang bertitel yang kini sedang di luar negeri. Maka ny Adi mendadak bersikap baik kepada pak Mangun (Urip), bekas bujangnya, karena Sarip (Bowo), anak pak Mangun, dalam perjalanan pulang dari Belanda. Kenyataannya, Sarip cuma seorang koki di kapal. Ny Adi jatuh pingsan...

Sebelumnya Radial pernah membuat film Kunanti di Djogja (1958), tapi film berbahasa Jawa itu kurang laku. Untuk memperluas pasar, Memburu Menantu diberi teks bahasa Indonesia. Dalam ludruk, semua pemainnya lelaki.

RADIAL FILM
Pemain, 




Ludruk Marhaen / KIRI?
Teater rakyat yang lahir dari semangat revolusi 1945. Pasca peristiwa G30S, Ludruk Marhaen berada di bawah pembinaan militer.

Gelanggang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan memang cukup riuh. Bukan hanya pada ranah sastra, musik atau film, panggung seni pertunjukan pun turut masuk dalam pusaran di mana bangsa Indonesia tengah mencari identitas kebudayaannya.

Salah satunya ludruk, teater rakyat asal Jawa Timur. Dan nama Ludruk Marhaen merupakan yang paling terkenal pada era 1950-an hingga 1965. Tak hanya menyematkan nama Marhaen yang terdengar politis, ludruk ini juga turut andil dalam pergulatan kebudayaan Indonesia saat itu.

Semangat Revolusi
Menurut Henri Supriyanto dalam Lakon Ludruk Jawa Timur, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin pada 19 Juni 1949. Namun, kelompok ludruk asal Surabaya ini awalnya telah dibentuk sekitar tahun 1945, pasca Proklamasi.

“Dan di jaman bergejolaknya api revolusi 1945 lahirlah sebuah rombongan ludruk yang terdiri dari anak-anak muda dan hidup terus sehingga kini di bawah nama 'Marhaen'. Sandiwara ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada tahun 1948 karena terserak-sebarnya para anggota-anggotanya dan pada permulaan tahun 1950 dibentuk kembali dan berkedudukan di Surabaya,” tulis Harian Rakyat, 14 April 1958.

Setelah lahir kembali pada 1950, Ludruk Marhaen mulai aktif mementaskan lakon-lakon terutama terkait revolusi dan patriotisme. Ludruk ini kemudian dikenal luas tak hanya di wilayah Surabaya maupun Jawa Timur.

“Sejak itu sandiwara ludruk membuka tradisi baru dalam sejarah ludruk: drama tragedi dipanggungkan, dan bersamaan dengan zamannya, ia sepenuhnya didukung oleh gelora dan api patriotisme tetapi tanpa kehilangan wataknya yang khas sebagai ludruk yaitu satirenya. Dari saat berdirinya itulah, kini Ludruk Marhaen tetap mempertahankan tradisinya sendiri dan ia tetap memelihara kecintaan dan kesayangan publik terhadapnya, sejak dari Bung Karno sampai rakyat jelata,” tulis Harian Rakyat.

James L. Peacock dalam Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama, menyebut Ludruk Marhaen muncul pada 1945 sebagai bagian dari sayap drama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), yang pada 1950 menjadi Pemuda Rakyat.

Meskipun Ludruk Marhaen tidak memiliki hubungan resmi dengan PKI atau Pemuda Rakyat, banyak aktornya terpegaruh ideologi komunis melalui ceramah, menghadiri kongres Pemuda Rakyat, atau ambil bagian dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Menurut Supriyanto, Rukun Astari mengatakan bahwa Ludruk Marhaen tidak berbau politik. Namun, Shamsudin mengatakan bahwa Ludruk Marhaen condong ke perjuangan kaum kiri.

Dalam wawancara dengan Peacock, Shamsudin mengatakan bahwa panggung ludruk memang telah menjadi bagian dari propaganda politik.

“Mereka yang mengkritik ludruk karena tidak menjadi seni, tidak berani berbicara tentang bagaimana ludruk diberangus oleh pemerintah kolonial, bagaimana Pak Gondo disiksa oleh Jepang karena perbuatannya. Kritik terhadap mereka yang menikmatinya... bagi kita di ludruk yang lahir dan menjadi hebat dalam kuali revolusi, ludruk menarik warisan heroik dari generasi rahim revolusioner!” kata Shamsudin.

Pak Gondo yang dimaksud Shamsudin adalah Gondo Durasim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Cak Durasim. Dia adalah seniman ludruk yang menciptakan parikan atau semacam pantun berbunyi, “Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah soro” yang artinya “Pagupon rumah merpati, ikut Nippon tambah sengsara.” Parikan itu membuat Jepang geram. Sang seniman dibui dan setahun setelahnya meninggal dunia.

Ludruk Marhaen dan Sukarno
Di antara kelompok ludruk Surabaya, Ludruk Marhaen paling sering mendapat undangan Presiden Sukarno untuk pentas di Istana Negara. “Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Sukarno,” kata Supriyanto.

Dalam pidato Sukarno, Tjapailah Bintang-Bintang Di Langit! (Tahun Berdikari) tahun 1965 Ludruk Marhaen juga disebut Bung Besar. Sukarno mengatakan: "Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah 'senyari bumi', apakah itu tidak masuk akal? Aku teringat kepada seniman-seniman Ludruk Marhaen yang mengatakan, 'Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, kemana pacul itu mesti dipaculkan!'"

Beberapa lakon luruk seperti, Kunanti di Djogja, Memburu Menantu, Mawar Merah di Lereng Bukit, dan Pak Sakerah pernah difilmkan. Film Kunanti di Djogja digarap oleh sutradara Lekra, Tan Sing Hwat. Film ini kemudian menerima penghargaan kategori skenario terbaik dan hadiah khusus pada Festival Film Indonesia 1960.

Sementara itu, pada 1961, kelompok ludruk bernama Tresno Enggal diindoktrinasi melalui ceramah oleh perwira militer yang menekankan tema "perang melawan Imperialisme dan Kolonialisme" dan "Cegah revolusi multi-level Sukarno dengan membangun negara secara moral, ekonomi, dan budaya,". Sejak itu Tresno Enggal membagi waktunya antara pertunjukan komersial untuk keuntungan sendiri dan tampil di kamp militer.

“Marhaen dan Tresno Enggal adalah dua kelompok yang paling terkenal karena loyalitas partai atau faksi mereka: Marhaen kepada PKI, Tresno Enggal kepada tentara,” sebut Peacock.

Selain dua ludruk tersebut, pada masa yang sama, di Surabaya berkembang berbagai ludruk seperti Ludruk Mari Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, dan Ludruk Panca Bakti.

Nama Marhaen ternyata tak hanya dipakai oleh Ludruk Marhaen Surabaya. Di Jombang, terdapat beberapa ludruk yang menyematkan nama Marhaen seperti Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen, dan Ludruk Marhaen Muda.

Sebagian besar kelompok ludruk tersebut memiliki kecenderungan mendukung politik berhaluan kiri. Namun pasca peristiwa G30S 1965, semua hal yang terkait atau dikaitkan dengan PKI, termasuk ludruk kena imbasnya. Organisasi-organisasi ludruk dilebur dan pembinaannya berada di bawah militer. Ada pula yang senimannya dikirim ke Pulau Buru. Eks Ludruk Marhaen akhirnya dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit I.

Minggu, 27 Februari 2011

CHITRA DEWI / Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo / 1955-1991

CHITRA DEWI


Bernama asli Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo, dilahirkan di Cirebon, 26 Januari 1934. Pendidikan terakhirnya SMA. Memulai karirnya di seni peran melalui film Tamu Agung (1955). Namanya mulai dikenal sejak membintangi film Tiga Dara arahan sutradara Usmar Ismail pada tahun 1956, dalam film drama musikal itu, ia bermain bersama Mieke Wijaya, Indriati Iskak, dan Bambang Irawan.

Lewat perusahaannya sendiri, Chitra Dewi Film Production, ia menjadi sutradara dalam film Penunggang Kuda Dari Tjimande (1971), Dara-Dara (1971), Bertjinta dalam Gelap (1971). Selain itu, ia pernah menjadi produser dalam 2 X 24 Djam (1969) dan Samiun dan Dasima (1970).

Meraih Piala Citra untuk aktris pembantu wanita pada FFI 1979, Dalam film Gara-Gara Isteri Muda (1978). Karena Pengabdiannya di dunia film, ia memperoleh Penghargaan Kesetiaan Profesi Pada tahun 1992 dari Dewan Film Nasional. Pernah mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement Award 2007 dari Festival Film Bandung (FFB) pada tahun 2007.

Selama berkarir dalam dunia film, ia telah bermain dalam 80 film. Di era sinetron, Chitra tampil sebagai tokoh Ibu Sunarya dalam Sartika (1990), yang dibintangi Dewi Yull. Chitra juga tampil dalam sinetron Sengsara Membawa Nikmat.Chitra Dewi wafat, pada hari Selasa 28 Oktober 2008 di kediamannya Perumahan Puri Flamboyan, Rempoa, Tangerang, Banten. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Jabang Bayi, Cirebon, Jawa Barat.

Anak Bangsawan yang Main Film
Chitra Dewi bukanlah nama aslinya. Ia terlahir dengan nama Roro Patma Dewi Tjitrohadikusumo. Dari namanya saja sudah dapat diketahui bahwa Dewi masih berdarah bangsawan.

Dewi lahir pada 26 Januari 1934 dari seorang ayah yang masih satu satu garis keturunan dengan Keprabonan Cirebon. Tidak ada satu pun di antara keluarganya yang memiliki ikatan dengan dunia perfilman Indonesia kala itu. Bahkan, menurut penuturan Dewi, keluarganya sempat memandang rendah karier bintang film.

Pada masa itu, stigma yang diterima bintang film tidak berbeda dengan apa yang diterima pemain panggung sandiwara atau anak wayang. Perempuan dianggap tidak pantas menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan tontonan atau bahan ledekan orang banyak. Seolah tidak terpengaruh, akhirnya Dewi nekat juga menjajal profesi bintang film.

“Saya ya jadi sedih. Tetapi keadaan ini juga mendorong saya untuk membuktikan bahwa karir ini bisa dititi dengan bersih,” kata Dewi, seperti dikutip Kompas (16/12/1990).

Sejak kecil sebenarnya Dewi sudah penasaran dengan dunia film. Begitu lulus dari SMP, ia diam-diam melamar ke Perusahaan Film Nasional (Perfini) milik Usmar Ismail. Meskipun mengaku tidak memiliki pengetahuan apa-apa di bidang film, toh, nyatanya Dewi berhasil mendapatkan peran kecil di film Tamu Agung.

Nama Pemberian untuk Peran Paling Sulit
Sekitar tahun 1955, Usmar Ismail yang baru kembali dari California untuk belajar sinematografi sedang kepikiran membuat adaptasi film musikal berjudul Tiga Dara. Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 2 (2009: 37-38), Usmar terinspirasi dari film Amerika berjudul Three Smart Girls yang ditontonnya ketika masih menjadi siswa MULO.

Seperti film-filmnya yang terdahulu, Usmar memang selalu ingin mengajak wajah-wajah baru, terutama perempuan untuk berperan dalam filmnya. Hal ini didasari rasa prihatinnya terhadap jumlah pemain film perempuan yang masih sangat sedikit kala itu.

“Biasanya dari ratusan lamaran yang diterima oleh bagian casting yang datang dari kaum hawa tidak lebih dari sepuluh. Dan dari sepuluh itu si sutradara sudah dapat mengucap syukur jika ada satu yang dapat dibawa ke depan kamera,” tulis Usmar dalam kumpulan tulisan Usmar Ismail Mengupas Film (1983: 182).

Agar dapat membuat Tiga Dara, Usmar tidak hanya membutuhkan satu perempuan, tetapi tiga untuk mengisi peranan Nunung, Nana, dan Neny. Begitu melihat Dewi, Usmar pun langsung cocok dan mengajaknya mengisi peranan sebagai Nunung. Rosihan Anwar mendeskripsikan karakter Nunung sebagai perempuan sabar yang rela mengalah untuk tidak menikah karena Nenny, salah satu adik perempuannya, justru menyukai pria yang hendak meminangnya.

Kepribadian seperti itu tampak yang dicari Usmar dalam diri Dewi. Menurutnya, sifat-sifat menarik dari seorang tokoh perempuan tidak hanya dari bentuk tubuh atau mata bundar yang cemerlang, tetapi juga pada “keseluruhan personality yang memaksa orang terpesona.”

Agar dapat memainkan karakter demikian, Dewi mengaku menemui banyak kesulitan. Ia menyebut Nunung sebagai peran paling sulit yang pernah ia mainkan dari seluruh film-filmnya. Menurut Dewi, semua itu terjadi lantaran ia tidak memiliki pengalaman menjadi gadis muda perkotaan yang kebingungan karena terlambat menikah.

“Betul kok, saya kan cuma tamatan SMP. Lagi pula waktu itu saya sudah jadi ibu muda. Sedang perannya harus menjadi seorang gadis yang bisa nyanyi dan menari. Tapi akhirnya saya bisa,” kata Dewi dalam wawancara Majalah Film (No. 83, September 1989).

Dewi memang mengaku menikah di usia yang sangat muda, yakni 16 tahun. Suaminya bernama Raden Samaun, juga berdarah ningrat. Mereka dikaruniai tiga anak laki-laki. Sayang pernikahannya ini kandas tidak lama setelah Dewi mengambil nama panggung Chitra Dewi dan menjadi terkenal berkat Tiga Dara.

Dalam wawancara Sinar Harapan (30/5/1983), Dewi mengakui nama Chitra yang tersemat di depan nama aslinya tidak datang dari buah pikirnya sendiri. Usmar Ismail lah orang yang berjasa memberikan nama panggung itu sebelum memulai Tiga Dara.

“Bahkan nama Chitra Dewi itu sendiri dari pak Usmar Ismail. Entah dari mana, saya tinggal menerima saja. Waktu beliau masih hidup saya tak sempat tanya,” terangnya.

Citra Perempuan Ideal
Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia (2009: 152) menggambarkan Tiga Dara sebagai film hiburan ringan yang punya kapasitas interaksi dengan penonton. Selain dipenuhi lagu-lagu gembira karya Ismail Marzuki yang dilantunkan oleh pemain-pemain baru berwajah segar, film ini juga dianggap berhasil menampilkan citra perempuan ideal.

Pendapat itu secara khusus dilontarkan Misbach kepada sosok Chitra Dewi yang “dianggap mewakili wanita Indonesia yang ideal, lembut dan pemalu.” Sosok Dewi yang sederhana dan pemalu ini seolah dibenarkan oleh penampakan wajah bulat Dewi yang jauh dari kesan make-up tebal, rambut yang senantiasa tersanggul rapi, dan selalu tampil dalam balutan kebaya.

Di bawah Perfini, peranan-peranan yang dimainkan Chitra Dewi memang tidak pernah jauh dari citra perempuan yang lemah lembut. Dalam Djenderal Kantjil, ia membawakan peranan ibu yang bijaksana. Sementara dalam Pak Prawiro, Dewi kembali memainkan istri yang berperangai baik. Kedua film tersebut dirilis pada 1958.

Dewi terus bekerja sama dengan Usmar Ismail sampai sekitar tahun 1960. Film terakhirnya di bawah Perfini merupakan film berlatar Revolusi Indonesia berjudul Pedjuang. Meskipun hanya mengisi peran pembantu, permainan akting Dewi sebagai perempuan melankolis yang menanti kekasihnya kembali dari medan perang ini disebut-sebut menjadi salah satu yang terbaik.

Sepanjang kariernya yang terus meroket sepanjang 1960-an, peranan yang dibawakan Dewi hampir tidak berubah. Pada 1969 Dewi mendapat peran utama dalam film Nji Ronggeng produksi Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang masih tergolong perusahaan film milik negara. Krishna Sen dalam artikel “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan” yang dimuat di majalah Prisma No. 7 (Juli 1981), menyebut film ini tidak ubahnya film-film Orde Baru yang gemar mengemukakan citra perempuan ideal.

“Perempuan ideal dalam film-film itu pertama-tama pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya akan tetapi tidak mengungkapkannya. Semua dipendam dalam hati,” tulis Sen.

Sepanjang paruh kedua 1970-an dan 1980-an, Dewi hampir selalu memainkan peranan sebagai ibu. Pernah suatu ketika pada 1971, ia mengubah peranannya menjadi tante girang yang dimainkan dalam film Romansa. Pers pun beramai-ramai mencela aktingnya yang tidak sesuai dengan kostum yang dikenakan.

“Dalam film Romansa kita akan menjumpai keganjilan pada tokoh Tante Leila (Chitra Dewi). Karena predikat peran tante yang sudah rada seimbang dengan usia si pelakonnya ini terganggu oleh kostum rok mini setengah paha,” tulis Suara Karya (3/11/1973).



25 September 1971
SEKARANG ini banjak bintang film jang mendjelma mendjadi bukan sadja sutradara, tetapi produser dan masih turut main dalam film jang dibuatnja itu. Misalnja: Sofia WD, Sandy Suwardi, Bambang Irawan, Chitra Dewi dan lainnja lagi. Bahkan tidak djarang mereka djuga mendjadi penulis skript dan menangani skenario djuga. Almarhum Surjo Sumanto pernah merasa kuatir akan luar ini, karena bisa membawa tendensi jang akan memukul film Indonesia sendiri. Tapi toch nama Chitra Dewi akan terpadjang dalam "Penunggang Kuda dari Tjimande" sebagai pemain sampai ke produser. Bagaimana Chitra menjutradarai dirinja sendiri? Sambil tersenjum dia mendjawab: "Minta giliran suami untuk mengawasi permainan saja". Alasannja? Dia mendjawab lagi: "Menghemat, karena harus menjesuaikan dengan uang jang ada".


29 Januari 1977
SETELAH zaman Titien Sumarni, banyak penonton film menggemari Citra Dewi. Berkulit langsat, bertubuh kecil, perempuan asal Cirebon ini pertama kali ditemukan oleh Usmar Ismail almarhum. Waktu itu namanya Dewi Semaun. Semaun adalah suami Citra yang pertama. Waktu itu masih letnan satu CPM. Karena nama Dewi Semaun dirasa kurang afdol, almarhum Usmar kemudian menggantinya jadi Citra Dewi. Main pertama kali sebagai figuran dalam film Tamu Agu,lg (1955), film yang pernah terpilih sebagai film komedi terbaik untuk Asia Tenggara. Tahun 1956, Citra bersama Bambang Hermanto, Mieke Wijaya, Hasan Sanusi, Bambang Irawan dan lainnya, turut kursus bermain yang diselenggarakan Perfini. Tahun-tahun berikutnya, Citra turut bermain dalam Juara 1960, Tiga Dara, Delapan Penjuru Angin, Tiga Buronan, Jenderal Kancil, Asrama Dara, Road to Bali, Pejoang dan film lainnya yang kalau dijumlah tidak kurang dari 27 buah film. Ia gemar menonton sandiwara sejak kecil. Dan waktu di SD, Citra Dewi pernah jadi juara menari Jawa. Pendidikan resminya: SMP. Mungkin karena gemar menari inilah, Citra kemudian terlibat cinta dengan guru tari Balinya: Wayan Supartha. Putus dengan Semaun, Citra dan Supartha kemudian menikah. Tapi pernikahan inipun tampaknya tidak kekal. Meskipun pernah terpilih sebagai peragawati terbaik tahun 1961, sejak 1966, Citra jarang tampil baik di umum maupun di layar putih. Kemudian dia menikah dengan LJN Hoffman. Tahun 1972, suami isteri kemudian mendirikan PT Citra Dewi Film. Beberapa dari hasil produksinya ialah Ratna, Bercinta Dalam Gelap, Penunggang Kuda Dari Cimande, yang konon, disutradarai oleh Citra sendiri. Rupanya film-filmnya tidak mendapat pasaran bagus. "Belum bangkrut", ujar Hoffman tentang perusahaan filmnya ini, "cuma belum berproduksi saja". Suami isteri ini kini sibuk usaha lain. Jual beli rumah. Karena hal inilah, sulit juga mencari alamat di mana mereka tinggal. "Sebab kalau ada yang mau beli rumah yang kami tempati", kata Hoffman, "kami dengan senang hati akan angkat kaki ke rumah lain". Berbicara tentang isterinya yang sekarang usianya telah 43 tahun, berkata Hoffman: "Isteri saya lagi tidak mau diinterviu. Dia lagi malas dipublisir. Nanti sajalah kalau dia main film lagi". Citra, tidak kurus tidak gemuk, rambutnya yang ikal sepundak, kemudian menghilang di balik pintu.


DARAH NELAJAN1965HASMANAN
Actor
DJUARA 1960 1956 NYA ABBAS AKUP
Actor
MENDUNG TAK SELAMANYA KELABU 1982 LUKMANTORO DS
Actor
BERTJINTA DALAM GELAP 1971 CHITRA DEWI
Director
BING SLAMET MERANTAU 1962 RIDWAN NASUTION
Actor
SEKUNTUM MAWAR PUTIH 1981 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Actor
HABIS GELAP TERBITLAH TERANG 1959 HO AH LOKE
Actor
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Actor
BEGADANG 1978 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
PENDEKAR BUKIT TENGKORAK 1987 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
TERMINAL TERAKHIR 1977 DJAMAL HARPUTRA
Actor
CINTAKU DI WAY KAMBAS 1990 IWAN WAHAB
Actor
YOAN 1977 NICO PELAMONIA
Actor
ALI BABA 1974 ISHAK SUHAYA
Actor
TERMINAL CINTA 1977 ABRAR SIREGAR
Actor
SEBENING KACA 1985 IRWINSYAH
Actor
KADARWATI 1983 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
TJITA-TJITA AJAH 1959 WAHYU SIHOMBING
Actor
KABUT SUTRA UNGU 1979 SJUMAN DJAYA
Actor
TAMU AGUNG 1955 USMAR ISMAIL
Actor
PENGANTIN REMAJA 1991 WIM UMBOH
Actor
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Actor
RATU-RATU RUMAH TANGGA 1960 SJAHRIL GANI
Actor
SI PITUNG BERAKSI KEMBALI 1981 LIE SOEN BOK
Actor
ATENG BIKIN PUSING 1977 HASMANAN
Actor
LEMBAH HIDJAU 1963 HASMANAN
Actor
TAKDIR MARINA 1986 WAHAB ABDI
Actor
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Actor
PENUNGGANG KUDA DARI TJIMANDE 1971 CHITRA DEWI
Actor Director
HOLIDAY IN BALI 1962 TONY CAYADO
Actor
RATNA 1971 HASMANAN
Actor
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Actor
PENDANG ULUNG 1993 TOMMY BURNAMA
Actor
SEMUSIM LALU 1964 HASMANAN
Actor
PERJUANGAN DAN DOA 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
RUMPUT-RUMPUT YANG BERGOYANG 1983 SUSILO SWD
Actor
MENCARI CINTA 1979 BOBBY SANDY
Actor
BULAN DI ATAS KUBURAN 1973 ASRUL SANI
Actor
GARA-GARA ISTRI MUDA 1977 WAHYU SIHOMBING
Actor
SAUR SEPUH 1988 IMAM TANTOWI
Actor
SUSTER MARIA 1974 S.A. KARIM
Actor
BUNGA PUTIH 1966 HASMANAN
Actor
BUNGA ROOS 1975 FRED YOUNG
Actor
RHOMA IRAMA BERKELANA I 1978 YUNG INDRAJAYA
Actor
RHOMA IRAMA BERKELANA II 1978 YUNG INDRAJAYA
Actor
SAMIUN DAN DASIMA 1970 HASMANAN
Actor
AKU MAU HIDUP 1974 REMPO URIP
Actor
DJUMPA DIPERJALANAN 1961 WIM UMBOH
Actor
BAWALAH AKU PERGI 1982 M.T. RISYAF
Actor
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA
Actor
SEMAU GUE 1977 ARIZAL
Actor
TIGA BURONAN 1957 NYA ABBAS AKUP
Actor
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Actor
DUO KRIBO 1977 EDUART P. SIRAIT
Actor
TAK TERDUGA 1960 L. INATA
Actor
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Actor
HIDUP, TJINTA DAN AIR MATA 1970 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
BELAS KASIH 1973 BAMBANG IRAWAN
Actor
KEMELUT HIDUP 1977 ASRUL SANI
Actor
KUNANTI DJAWABMU 1964 WIM UMBOH
Actor
DARA-DARA 1971 CHITRA DEWI
Director
PRAHARA 1974 NICO PELAMONIA
Actor
2 X 24 DJAM 1967 DANU UMBARA
Actor
MELATI DIBALIK TERALI 1961 KOTOT SUKARDI
Actor
MELATI DIBALIK TERALI 1961 KOTOT SUKARDI
Actor
RIO SANG JUARA 1989 MUCHLIS RAYA
Actor
PUTRI SOLO 1974 FRED YOUNG
Actor
GADIS KAMPUS 1979 ISHAQ ISKANDAR
Actor
RAHASIA SEORANG IBU 1977 WAHYU SIHOMBING
Actor
CHICHA 1976 EDUART P. SIRAIT
Actor
DJENDRAI KANTJIL 1958 NYA ABBAS AKUP
Actor
REMAJA-REMAJA 1979 ARIZAL
Actor
AMALIA S.H. 1981 BOBBY SANDY
Actor
JURUS DEWA NAGA 1989 S.A. KARIM
Actor
BUKAN IMPIAN SEMUSIM 1981 AMI PRIJONO
Actor
ROMANSA 1970 HASMANAN
Actor
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Actor
SIMPHONY YANG INDAH 1981 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
SI RONDA MACAN BETAWI 1978 FRITZ G. SCHADT
Actor
NJI RONGGENG 1969 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
PENGORABANAN 1974 SUSILO SWD
Actor
GITA TARUNA 1966 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
MARIA, MARIA, MARIA 1974 HASMANAN
Actor

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1987 JAKARTA

22 Agustus 1987
FFI 1987, JAKARTA
Membajak Blitar selatan

SEJUMLAH gembong PKI pelarian dari Jakarta menelusup ke Blitar Selatan, Jawa Timur, lewat pantai. Mereka tiba di sebuah kecamatan berbukit kapur, terpencil, dan gersang. Mereka bermaksud menghimpun kekuatan, dan berhasil mempengaruhi penduduk desa dengan terlebih dahulu meneror sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Kekejaman sisa-sisa PKI itu luar biasa, misalnya menembaki orang-orang yang lagi sembahyang. Kejadian pada tahun 1968 itu, sehari sebelum FFI 1987 ditutup, Jumat dua pekan lalu, dipertunjukkan di sebuah hotel di Jakarta. Itu memang hanya sebuah kaset video, yang diputar sebagai bagian dari pelayanan hotel. Kebetulan di antara tamu-tamu hotel adalah peserta Musyawarah Besar PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), yang datang dan berbagai daerah. Mereka kaget, film itu tentu hasil rekaman kaset video dari film asli. Akan tetapi, film itu sendiri baru beberapa yang beredar. Artinya, ini pasti bajakan. Lalu PPFN (Pusat Produksi Film Negara), yang memproduksi film itu, dilapori. Memang, menurut pengamatan beberapa wartawan TEMPO film video itu sudah ada di beberapa toko penyewaan kaset video, menjelang FFI dibuka. Direktur PPFN, G. Dwipayana, pun sudah tahu. 

"Pembajakan itu mestinya dilakukan di Jakarta," katanya. Kasus ini menjadi bukti bahwa bukan hanya film laris yang dibajak. Bukan hanya film yang masuk nominasi FFI, lalu diduplikat ke dalam kaset video secara tak sah, kemudian dijual-belikan. Soalnya, film Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, yang punya judul lain Operasi Trisula itu, menurut sejumlah video rental, tidak laku. Juga, dalam peredarannya di gedung bioskop di Jakarta, film yang disutradarai B.Z Kadaryono ini tak menggembirakan. Tapi memang, film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya ini punya misi. Yakni memberi penerangan kepada masyarakat bahwa PKI itu berbahaya. Ini kata Direktur PPFN, Dwipayana, sendiri. Itu sebabnya, "Masalah keuntungan tak terlalu dipikirkan," katanya kepada wartawan TEMPO Gatot Triyanto. Jadi, memang berbeda misinya dengan film PPFN sejenis, misalnya Serangan Fajar, yang disutradarai Arifin C. Noer. Dalam film ini, PPFN punya misi, selain menanamkan jiwa patriotik, juga mengharap keuntungan -- dan itu memang dicapai. "Jadi, dibandingkan Serangan Fajar, film Operasi Trisula ini kecil sekali. Apalagi kalau dibandingkan film Pemberontakan G-30-S/PKI," kata Dwipayana pula. "Sutradara Operasi Trisula juga relatif masih yunior." Operasi Trisula yang sebenarnya itu sendiri cukup bersejarah dari sudut militer. 

Di situ terlibat Kolonel Witarmin, yang di kemudian hari menjadi Pangdam Brawijaya, Jawa Timur. (Kini sudah almarhum karena serangan jantung). Di awal-awal film malah sempat disisipi film dokumentasi, ketika Kolonel Witarmin memberikan instruksi-instruksi operasi. Toh, meski diangkat dari kisah sebenarnya, meski kekejaman PKI juga dicoba digambarkan, dari awal hingga akhir ketegangan tak hadir di gedung bioskop. Dilukiskan bagaimana sisa-sisa PKI ini memeras, merampok, membunuh, dan sebagainya. Lalu, teror itu tercium oleh aparat keamanan. Operasi pembersihan pun dilakukan dengan nama sandi, itu tadi, Trisula. Ada sedikit kesempatan untuk menyuguhkan adegan action menarik, sebenarnya. Yakni ketika tentara menyeberang Kali Brantas dengan rakit yang ditembaki PKI. Sayang, ini pun tak tampil secara baik. Dengan singkat dan gampang, PKI dilumpuhkan. Sebuah film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya, dan lalu setia pada kejadian itu, biasanya memang menjadi tidak menarik. B.Z. Kadaryono, sutradara, tampaknya memahami hal ini pula. Ia pun telah berusaha "mengembangkan" cerita. Hasilnya, sejumlah adegan fiktif -- maksudnya, hal itu pada tahun 1968 tak benar-benar terjadi. Umpamanya, sebuah adegan dialog antara seorang bapak yang antikomunis dan anaknya yang ikut Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, organ di bawah PKI. Mestinya ini bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya manusiawi. Bagaimana "Politik sebagai Panglima" bisa memporak-porandakan sebuah keluarga, umpamanya. Tapi itulah, hal tersebut tidak hadir. Yang penting di sini tampaknya cuma dar-der-dor kekejaman PKI, lalu dar-der-dor penumpasan PKI. Dari sudut seni akting pun, permainan Rachmat Kartolo, Hassan Sanusi, Yati Surachman, Lina Budiarti, dan sejumlah artis dari Surabaya itu sama sekali tak berkembang. Ini sebuah contoh film yang lebih mementingkan misi, tanpa penggarapan memadai. Menjadi terasa scdikit penting karena kisahnya benar-benar terjadi. Itu saja. Maka, agak aneh bahwa film seperti ini pun dibajak. Untung tidak laris.

15 Agustus 1987
TERJADINYA sedikit kesalahan teknis 
-- keputusan juri salah masuk amplop yang mengganggu kelancaran upacara, untunglah tak sampai merusakkan suasana gembira malam penutupan Festival Film Indonesia 1987, Sabtu malam pekan lalu. Dan sesudah Nagabonar dinyatakan memenangkan 6 Piala Citra, bisa ditebak bahwa komedi itu pastilah dipilih sebagai film terbaik. Sebelumnya banyak yang menduga, Citra untuk film terbaik akan jatuh pada Biarkan Bulan Itu. Sebab, film ini mencatat 12 nominasi, sementara Nagabonar, dan Kodrat, masing-masing hanya sembilan. Tapi rupanya Bulan karya Arifin C. Noer tak beruntung alias gagal. Tak satu pun Citra diperolehnya. Sementara itu film yang tak lolos nominasi, seperti Secawan Anggur Kebimbangan karya Wim Umboh, memperoleh Citra untuk editing. Apa yang terjadi? Ada sejumlah hal yang menimbulkan pertanyaan. Umpamanya, Citra untuk penyutradaraan -- unsur terkuat yang menentukan sebuah film sebagai terbaik -- tidak dimenangkan oleh M.T. Risyaf, sutradara Nagabonar. Citra untuk penata fotografi juga tidak diperoleh film yang menang ini. 

Padahal, fotografi termasuk unsur penting dalam menentukan sebuah film menjadi baik atau sebaliknya. Kalau dikaji lebih jauh, kekuatan Nagabonar hanya terkumpul pada tiga aspek: cerita dan skenario, akting, musik dan tata suara. Bandingkan umpamanya dengan film terbaik dalam FFI tahun lalu, Ibunda yang juga memenangkan sejumlah aspek penting dalam sebuah film. Dari sembilan Citra yang diraih oleh film Teguh Karya itu di antaranya adalah unsur-unsur penting: penyutradaraan, pemeran utama, fotografi, editing, cerita. Tentu saja, mutu sebuah film tidak ditentukan oleh tiap-tiap unsurnya, tapi keterpaduan dan keserasian kesemuanya: bobot artistik, teknis, kematangan penggarapan. Di samping itu, masih ada faktor x, yang membuat sebuah karya dipandang punya nilai lebih daripada karya lainnya. Mungkin di situlah keistimewaan Nagabonar -- menurut dewan Juri, tentu. Adapun susunan lengkap pemenang: Film: Nagabonar sutradara: Slamet Rahardjo (Kodrat) pemeran utama wanita: Widyawati (Arini) pemeran pria: Deddy Mizwar (Nagabonar) pemeran pembantu wanita: Rodiah Matulessy (Nagabonar) pemeran pembantu pria: Darussalam (Kodrat) skenario: Asrul Sani (Nagabonar) cerita asli: Asrul Sani (Nagabonar) editing: Emile Callebout (Secawan Anggur Kebimbangan) penata fotografi: M. Soleh (Kodrat), penata artistik: A. Affandy S.M. (Cintaku di Rumah Susun) penata suara: Hadi Artomo (Nagabonar) penata musik: Franki Raden (Nagabonar).

15 Agustus 1987
FESTIVAL artinya hura-hura. 
Dan bagaimana berhura-hura dengan baik, tampaknya, makin disadari oleh dunia perfilman Indonesia. Tahun lalu umpamanya, pawai-pawai oleh mereka yang menamakan diri "insan film" yang biasanya selalu diadakan dengan biaya mahal -- sudah ditiadakan. Juga soal tempat mulai tahun lalu Festival Film Indonesia (FFI) diputuskan hanya dilangsungkan di Jakarta. Tak lagi digilir ke daerah. Tak berarti acara gemerlap dalam penutupan, ketika pengumuman para pemenang Citra dilaksanakan, juga dihapus. Sabtu malam pekan lalu di Balai Sidang, Jakarta, misalnya, para bintang dengan kostum yang byar-byar menghadiri malam penutupan FFI 1987. Toh, dalam acara panggung gembira ini pun terasa ada peningkatan selera. Ada selingan lagu dari Kelompok Suara Impola pimpinan Gordon Tobing. Yakni, jenis musik yang, pinjam istilah pengamat musik pop Remy Silado, tidak merengek-rengekkan cinta. Lebih dari itu, suguhan Lintasan Sejarah Perfilman Indonesia oleh Teguh Karya (sutradara), Idris Sardi (musik), dan Misbach Yusa Biran (naskah) memberikan warna tersendiri untuk pesta penutupan FFI kali ini. Tontonan ini, sesuai dengan namanya, mengajak penonton mengenang perjalanan film Indonesia dari zaman Belanda sampai FFI tahun lalu, ketika Tuti Indra Malaon dan Deddy Mizwar memenangkan Citra. Dengan pengalaman Teguh berteater selama ini, sajian ini memang cukup memikat, dan informatif. Bagaimana dulu kita cuma jadi kuli tukang mengangkat-angkat kamera, bagaimana film Indonesia pernah menyontek gaya India, menarik ditonton. Juga, di sana-sini banyak lucunya, umpamanya ketika menceritakan bahwa Indonesia dulu juga ikut-ikutan bikin film Tarzan. Lebih kurang, teater Teguh agak komplet. 

Ada adegan film Zorro Indonesia, ada Untuk Sang Merah-Putih, Enam Jam di Yogya, sampai Pemberontakan G-30-S/ PKI. Tentu, masih ada kasak-kusuk siapa pemenang Citra. Dan, setelah pengumuman usal, masih pula terdengar diperbincangkan mengapa Nagabonar seperti "dipaksakan" dijadikan film terbaik (lihat Citra itu untuk Nagabonar). Banyak pengamat film yang menatakan kesannya bahwa film peserta FFI kali ini dari segi mutu merosot. Soal mutu ini secara tak langsung malah dilontarkan sendiri oleh Slamet Rahardjo, yang meraih Citra untuk sutradara dalam film Kodrat. "Kita terlalu banyak disuguhi film-film yang tidak pas. Sebaiknya kita tidak lagi melahirkan film-film yang asal jadi. Saya sendiri selalu berkarya dengan sebaik mungkin dan mempunyai rasa tanggung jawab demi kemajuan film Indonesia," katanya. Kalau ditilik lebih jauh, FFI 87 juga merosot dalam berbagai hal, termasuk acara-acara penunjangnya. Kampanye film unggulan yang berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail (22 sampai 31 Juli), memang dihadiri lebih banyak pengunjung. Tetapi hasilnya tak lebih dari temu-muka para artis dan penggemarnya. Peningkatan apresiasi? Mungkin masih jauh -- sementara kenyataannya film Indonesia memang belum jadi tuan rumah di bioskop sendiri.
 
Diskusi yang lebih serius memang ada. Di Jakarta tak tanggung-tanggung diskusi itu diselenggarakan di gedung LIPI (16-17 Juli) dengan pembicara Dr. Alfian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI, dan Dr. Ninuk Kleden Probonegoro, staf peneliti LIPI. Diskusi ini membicarakan, sebagaimana judul makalah Alfian, Manusia Indonesia dalam Film Indonesia. Diskusi lain terjadi di dua kota luar Jakarta, Padang dan Ujungpandang, dikaitkan dengan kampanye film unggulan. Di Padang tampil Drs. Mursal Esten, dosen IKIP Padang yang juga Kepala Taman Budaya Padang. Di Ujungpandang berbicara Dr. Salim Said, penulis buku Profil Dunia Film Indonesia, tentang Revolsi Indonesia dalam Film-Film Indonesia. Diskusi ini tak mencuat ke permukaan lantaran tak banyak tokoh film yang hadir. Lagi pula, yang dibicarakan bukanlah sesuatu yang langsung berkaitan dengan mutu film atau pemasaran film atau pembajakan film ke video, masalah yang mendesak untuk dipecahkan -- meskipun topik itu penting. Bazar film yang juga diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail (31 Juli - 7 Agustus) jauh beda dengan acara yang pernah diadakan di daerah-daerah sebagai pelengkap FFI. Soetomo Ganda Subrata, Dekan Fakultas Sinemaografi Institut Kesenian Jakarta, mengeluhkan soal tempat. "Tempat bazar tidak strategis, dan jauh dari kendaraan umum, apalagi malam hari," katanya. 

Dalam bazar ini, Fakultas Sinematografi memamerkan film-film pendek dan beberapa program video. Soetomo kemudlan membandingkan dengan FFI Yogya. "Tempatnya di kampus UGM Bulaksumur, pengunjung mencapai targct. Kebanyakan mahasiswa, dan mereka banyak bertanya, kami pun memberikan informasi," kata Soetomo. Di Jakarta tak diperoleh semua itu. Padahal, di pameran FFI Jakarta kali ini, sinematografi IKJ menyediakan 15 film pendek yang cukup berbobot. "Bagaimana pameran ini bisa berhasil kalau yang datang ibu-ibu gendong bayi dan anak-anak ingusan yang tak mengerti film apa-apa?" keluh Nana, seorang mahasiswa IKJ. Nana tentu tak bermaksud bahwa ibu-ibu itu tak layak nonton. Tapi bahwa para insan film sedikit saja perhatiannya terhadap pameran penting ini, kira-kira ini menunjukkan seberapa jauh niat mereka mengatrol mutu film sendiri. Bagaimana FFI tahun depan? Mestinya lebih baik, termasuk persaingan di tingkat film dengan turunnya Teguh Karya dan munculnya film Arifin tentang Supersemar yang kini sedang dikerjakan. Pestanya meningkat, mestinya mutu filmnya bisa pula naik. Barang dagangan, 'kan bisa juga bermutu. Putu Setia, Laporan Biro Jakarta

25 Juli 1987

Ketika musim revisi tiba
DUA orang petugas Kanwil Departemen Penerangan Jawa Barat mendatangi Bioskop Vanda di Bandung, menjelang pukul sepuluh malam, Kamis pekan lalu. Mereka tidak menuju loket, tetapi masuk ke kantor bioskop, lalu menyodorkan selembar "surat sakti". Isi surat, yang ditandatangani Kepala Kanwil Deppen Ja-Bar, Drs. Asep Saefudin, meminta agar film yang diputar saat itu bisa dihentikan secepatnya. Peristiwa yang sama terjadi di Yogyakarta, Tegal, dan berbagai kota lain di Indonesia. Perintah itu datang dari Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF), Thomas Soegito, lewat telepon. Maka, untuk sementara, peredaran film nasional yang agaknya bisa menjadi film terlaris tahun ini terganggu. Film itu tak lain Ketika Musim Semi Tiba (KMST). Larangan terhadap film yang sedang dalam masa putar di bioskop agaknya baru sekali ini terjadi. Dan larangan terhadap KMST itu dikeluarkan sesudah BSF menyelenggarakan sidang pleno Senin pekan lalu. "BSF mempertimbangkan banyaknya imbauan dari masyarakat," kata Thomas Soegito. "Film itu akan disensor ulang." Dibintangi Meriam Bellina dan Rico Tampatty, KMST mendapat sambutan di mana-mana. Ketika diambil dari Bioskop Vanda Bandung, KMST sudah memasuki hari putar ke-56, dan sudah ditonton lebih dari 40 ribu orang. 

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, film ini pun diserbu penonton begitu juga di Jawa Timur, Bali, Sumatera. KMST sudah menghilang dari bioskop Jakarta, tapi kaset videonya menyebar sampai ke rental paling kecil. Kabar terakhir, video KMST sudah beredar pula di Denpasar, dan bukan mustahil di kota-kota lain juga. Dalam situasi beginilah, BSF mau merevisi. Amboi! Lalu bagaimana dengan videonya yang mewabah itu? Adakah BSF, ketika melepas film ini Maret lalu -- juga lewat sidang pleno -- tidak memperhitungkan reaksi masyarakat? Tampaknya begitu. BSF hanya melaksanakan tugasnya yang biasa, tapi khusus dalam kasus KMST, kejelian sensornya diragukan banyak orang. Memang, di Yogyakarta yang terkenal rewel itu -- film ini tidak dipersoalkan Bapfida setempat. Hanya ada catatan, film boleh diputar cuma di Kota Madya Yogyakarta. Berarti di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul, KMST tak laik putar. Apalah artinya itu kalau jarak tempuh ke Yogya bisa dicapai dengan mengayuh sepeda tanpa lelah? Lalu, di Jawa Tengah, yang sudah terbiasa agak longgar, tokoh-tokoh seperti Haji Karmani dan Haji Wahab Djaelani mengakui bahwa KMST "agak mengejutkan" tetapi toh dapat menerima, karena film tetap sebuah film dan urusan porno tergantung dari mana melihatnya. Baru di Jawa Barat KMST kesandung, itu pun setelah masa putarnya mendekati 60 hari. Salah seorang pimpinan MUI Ja-Bar, Endang Rahmat, berkata, menonton KMST adalah haram hukumnya. Dikutip harian Pikiran Rakyat, Endang berucap, "Majelis Ulama Jawa Barat tak perlu lagi mengeluarkan fatwa. 

Film ini amat pornografis." Sejak itu, protes dari masyarakat bermunculan. Di Indonesia, perdebatan tentang pornografi memang seperti tak 'kan habis-habisnya. Film KMST yang sudah lolos sensor itu di mata BSF tetap tidak porno. "Pokoknya, BSF menilai film itu sudah pas," kata Thomas Soegito, akhir pekan lalu. Pertimbangan BSF: film diangkat dari novel yang sudah beredar luas, cerita film terjadi di Roma, dan untuk 17 tahun ke atas. Sampai sekarang BSF sudah berkali-kali melepas film-film panas, tapi baru dalam kasus KMST, lembaga ini dikecam keras. "Karena masyarakat punya pandangan lain, BSF harus peka terhadap imbauan masyarakat," ujar Thomas. Sikap BSF yang cenderung reaktif inilah agaknya, yang membuat Bobby Sandy (sutradara) dan Ferry Angriawan (produser KMST) berang. "Saya jadi tak tahu lagi apa kriteria BSF," kata Ferry. Ia pun menuding media massa. "Sebelum media massa meresensi film itu, tak ada komentar dari masyarakat yang negatif. Oknum-oknum tertentu kemudian memanfaatkannya," umpat pimpinan PT Virgo Putra Film ini. Bobby Sandy ikut menimpali. "Ketika saya membuat film itu, tidak terniat sama sekali menonjolkan hal-hal yang porno. Kalau mau membuat film begitu, kenapa jauh-jauh mencari tempat romantis sepert Roma?" ujarnya, seperti yang sudah diucapkannya berkali-kali sebelum ini. Ia sepakat dengan Ferry, film ini ditarik karena dikerjain. 

Tapi cobalah KMST dikaji sekali lagi. Kostum Meriem dalam adegan tari, sesungguhnya, tak polos betul. Bahkan mirip dengan film Cinta di balik Noda, yang menyebabkan ia memperoleh Citra, FFI 1984 di Yogyakarta. Kesintalan tubuh Mer ketika menari dan diangkat-angkatnya tubuh itu oleh penari lelaki pun pernah muncul dalam film Mer yang lain. Atau mengingatkan pada drama musikal Waktunya Sudah Dekat yang dipentaskan di Balai Sidang, Senayan, November 1985. Tarian dalam KMST pun dari segi artistik tak jatuh betul. Cuma, adegan berciuman dan lagi-lagi berciuman itu apa porsinya tidak terlalu berlebihan? Apa maunya, Bobby? Di sini pula gunting BSF mendadak tumpul, membiarkan adegan ciuman panjang yang sampai kulum-mengulum lidah. Kalau ini digunting dan disisakan cipokan beberapa detik, lalu membiarkan adegan pelukan untuk tak memotong dialog, jalan cerita toh masih tetap bisa diikuti. Kontinuitas tetap terjaga. Selain gunting BSF tak bekerja di bagian ini, KMST bernasib sial karena diputar menjelang FFI 1987. Film ini dijadikan salah satu bahan untuk lomba kritik FFI. Bandingkanlah dengan film-film lain yang terang-terangan mengeksploitasi seks, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bulat Bundar, Nyi Blorong, yang luput dari pengamatan media massa. Dan aman. Akankah KMST ini mengendap lama di BSF? Thomas Soegito menjanjikan dalam waktu dekat, setelah direvisi penyensorannya, KMST akan dilepas kembali. "Semua film nasional yang direvisi, termasuk Bung Kecil, Petualang-Petualang, Saidja dan Adinda akan dilepas menjelang pergantian anggota BSF ini," katanya. Berita menarik untuk ditunggu, karena keanggotaan BSF itu diganti akhir bulan ini juga. Putu Setia, Laporan Happy S. & Moebanoe Moera

01 Agustus 1987
Pemeran kirana dalam nagabonar
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?


01 Agustus 1987
Berperan orang gila
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?

Kamis, 10 Februari 2011

LAURA SI TARZAN / 1989

LAURA SI TARZAN


Laura (Wieke Widowati) menjadi Tarzan karena pesawat yang ditumpangi bersama orangtuanya jatuh di tengah hutan. Saat itu Laura masih kecil dan satu-satunya penumpang yang selamat. Dalam kehidupannya di hutan Laura bertemu lelaki idamannya,yakni Ramon (Johny Indo).Ramon masuk hutan mencari ayahnya, Sandy (Willy Wilianto) yang masuk hutan bersama tim kecil untuk mencari pasawat yang membawa harta banyak, yang salah satu penumpangnya adalah Laura. Ekspedisi ini berakhir ketika Sandy dan kelompoknyaserta Ramon ditangkap suku pedalaman yang terdiri dari wanita berpakaian minim. Karena saling jatuh cinta, Laura berusaha menyelamatkan Ramon dan ayahnya. Terjadi pertempuran dan memakan banyak korban termasuk Sandy dan kelompoknya,sementara Ramon dan Laura selamat dan sepakat untuk terus hidup berdua di dalam hutan.dan TARZAN PENUNGGU HARTA KARUN Saatnya sudah matang bagi seorang Tarzan putri. Sudah punya dua film sampah hiburan Barry Prima, film ini benar-benar menjerit. Berton-ton rekaman stok (gajah, harimau, singa, monyet, dan banyak lagi, dan karena semuanya sangat murah, ini ditampilkan beberapa kali dalam film. Dan hanya wanita hutan liar.

Sulit dipercaya betapa bodohnya antrian itu. Pemandangan yang luar biasa adalah ketika Amazon menyerang ekspedisi pertama dan menemukan persediaan bir mereka. Karena mereka tidak tahu apa itu kaleng bir, dan bagaimana mereka bisa runtuh, mereka melakukan beberapa upaya sia-sia untuk kaleng, meminumnya dan semuanya mabuk total. Perangkat wanita Amazon yang murah dan desa mereka agak mengingatkan pada GOLDEN TEMPLE AMAZONS karya Jess Franco atau MACISTE CONTRE LA REINE DES AMAZONES karya Franco.
 

Sayangnya Wieke Widowati memiliki waktu layar yang terlalu sedikit sebagai Laura si Gadis Tarzan. Itu hanya datang pada akhirnya benar-benar mengharukan. Aktris pemeran Laura Wieke Widowati ini telah bermain sejak tahun 80-an dalam banyak film laga dan horor antara lain di BUKIT BERDARAH, DARAH PERJAKA (Pembalasan Berdarah), MUSTIKA SAKTI, PEREMPUAN MALAM dan PEREMPUAN BERGAIRAH (Pejuang Kemerdekaan Wanita yang Ganas).

Benar-benar sampah yang menghibur, tetapi Anda bisa dengan sebaik-baiknya film tersebut tidak dianggap serius.

P.T. BUDIANA FILM

JOHNY INDO
WIEKE WIDOWATI
WILLY WILIANTO
GEORGE RUDY
BARON HERMANTO
EMMY HUSEIN
NURHASAN
BENTENG TOGATOROP
ANEN WIJAYA
ULLY ARTHA
HENGKY NERO
IRMA YANTI

Rabu, 09 Februari 2011

TURINO DJUNAIDY 1951-1991



Nama :Teuku Djuned
Lahir :Padang Tiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927
Wafat :Jakarta, 8 Maret 2008
Pendidikan :
Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943),
Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo

Selama ini dikenal sebagai pendiri PT Sarinande Film pada saat dunia film dilanda kelesuan pada 1960-an. Turino aktif memproduksi film, dan sampai awal 1978 sudah memproduksi lebih dari 30 film. Turino juga aktif dalam organisasi seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan Yayasan Naional Festifal Film Indonesia (YFI).

Buku Katalog Film Indonesia 1926--2007 yang disusun JB Kristanto mencatat, film garapan Turino Djunaidy ini Bernafas dalam Lumpur sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan, dan dialog-dialog kasar

Minat kepada film dimulai ketika ia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih tahun 1949, ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A. Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati tahun 1950, Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Perusahaan dagang G.A.F. Sang Saka yang di dirikannya di awal 1950-an diubahnya menjadi perusahaan pembuat film. Produksi pertamanya film Pulang tahun 1952. film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954. Dalam semua film tadi ia bermain sebagai pemain utama. Dalam film Sri Asih, Turino merangkap sebagai sutradara. Bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Kemudian ia bermain dalam perusahaan film lain antara lain, Oh Ibuku tahun 1955 dan Taman Harapan tahun 1957. Turino kemudian mendirikan perusahaan P.T Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng tahun 1959 yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Filmnya Bernafas dalam Lumpur ditahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu namun film-filmnya yang kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya.

Dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak tahun 1973 mengadakan FFI setiap tahun. 

Pada hari Sabtu, 8 Maret 2008, Turino Djunaedi manghembuskan nafas terakhirnya akibat stroke, jenazah dimakamkan keesokan harinya di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Turino Djunaedi akan selalu dikenang sebagai perintis industri perfilman nasional.

Tokoh paripurna perfilman Indonesia, Turino Djunaedi, meninggal dunia Sabtu 8 Maret 2008 pukul 20.55 pada usia 80 tahun di RS Setia Mitra, Jakarta. Aktor film, sutradara, produser, penulis cerita dan skenario film, kelahiran Padang Tiji, Nanggroe Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, itusudah lama menderita sakit karena stroke.

Jenazah tokoh pembangkit perfilman nasional itu disemayamkan di rumah duka Jalan Gaharu I No 26 Cipete, Jakarta Selatan, dan dimakamkan Minggu 9 Maret 2008 pukul 13.00, di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor.

Kolega seangkatannya, sutradara H Misbach Yusa Biran (74), mengatakan, Turino, bersama tokoh lain seperti Usmar Ismail, adalah perintis industri film nasional setelah era kemerdekaan.

Peraih penghargaan Lifetime Achievement Award dalam Festival Film Asia Fasifik di Jakarta, 2001dan Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri, 2004, itu menguasai hampir semua profesi di bidang perfilman, mulai dari aktor, penulis skenario, sutradara, hingga produser.

Turino telah terjun ke dunia film sejak tahun 1950 dengan bermain dalam film Meratap Hati produksi perusahaan film Golden Arrow. Minatnya kepada film bermula saat dia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Lalu dia tertarik pada film Indonesia ketika untuk pertama kalinya menionton film Indonesia Menanti Kasih, yang di bintangi A. Hamid Arief, tahun 1949.

Setelah itu Turino berangkat ke Jakarta dalam upaya mendapatkan film-film Indonesia. Tetapi sedampai di Jakarta, dia malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Sejenak dia ragu dan bingung sebelum akhirnya menerima tawaran itu. Itulah awalnya dia bermain film, ikut membintangi film Meratap Hati tahun 1950. Kemudian berlanjut pada film Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Dalam rangka menunjang karir, perusahaan dagang GAF yang didirikannya pada awal 1950-an diubah menjadi perusahaan pembuat film. Selain sebagai produser, dia juga berperan sebagai pemain utama dalam produksi pertamanya, film Pulang tahun 1952. Begitu juga dalam produksi film berikutnya yakni film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954.

Tokoh paripurna dalam profesi perfilman itu, telah pula merangkap sutradara sejak (dalam) film Sri Asih. Dalam film ini, Turino bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Beberapa film dia bintangi dan sutradarai. Kemudian dia mendirikan perusahaan PT Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959. Produksi pertama Sarinande Film ini adalah Iseng (1959). Film Iseng ini mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein.

Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Salah satu filmnya yang paling terkenal dan tentu telah menghasilkan uang yang besar adalah Film Bernafas dalam Lumpur (1970 dan 1991) 

Turino Djunaedi yang bernama ssli Teuku Djuned, itu juga dikenal sebagai salah satu pendiri Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Dia juga berperan dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia yang sejak tahun 1973 mengadakan FFI hampir setiap tahun.


KEBANGKITAN ORDE BARU, KANGKITAN FILM KEKERASAN, MISTIK DAN SEX
“Pembuat film pada periode [Orde Baru] tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas mereka, jadi mereka duduk dengan tenang dan berjuang melawan sistem represif melalui film. Kejahatan dan sifat penghancur yang ditunjukan dalam film dapat dilihat sebagai simbolisme dari pemerintah Orde Baru sendiri.”

Demikian kutipan yang disarikan Ekky Imanjaya berdasarkan wawancara dengan Imam Tantowi, sineas yang kerap terlibat dalam pembuatan film eksploitasi sepanjang tahun 1980-an. Tantowi mengawali debut sutradaranya melalui film Pasukan Berani Mati (1982). Sebelumnya, pernah juga terlibat dalam pembuatan Primitif (1980) dan Jaka Sembung Sang Penakluk (1981) sebagai penulis naskah.

Ekky Imanjaya melalui makalah “The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films” yang dipublikasikan dalam jurnal Colloquy (2009, hlm.146) menyebut film-film garapan Tantowi cukup populer di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Distribusinya ditempuh melalui kanal khusus film-film kelas B. Kali pertama dilepas ke pasar internasional, film-film tersebut belum diketahui klasifikasi atau genrenya.

Lama-kelamaan, distributor film asing dan penonton di negara-negara Barat menemukan kesamaan antara film eksploitasi dengan film-film buatan orang Indonesia. Menurut pemaparan Imanjaya, film eksploitasi yang dimaksud meliputi film dengan anggaran rendah, menonjolkan sisi sensasional dengan mengumbar seks, ketelanjangan, kejahatan, dan kekerasan. Tidak jarang, film jenis ini juga mempertontonkan penggunaan narkoba, orang-orang aneh, darah, monster, perusakan, pemberontakan, dan kekacauan.

Indonesia pernah menyaksikan zaman keemasan film-film semacam itu. Dimulai sejak Orde Baru mulai berkuasa, film eksploitasi mencapai puncak kejayaan pada dekade 1980-an. Pesonanya mulai menghilang tatkala persaingan dengan televisi semakin sengit dan industri film mengalami mati suri sampai tamatnya Orde Baru.

Ditolak di Negeri Sendiri

Jenis film yang dipaparkan Imanjaya sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Kecenderungan ini sudah muncul sejak tahun 1968. Kala itu, sutradara Turino Djunaidy pernah bereksperimen dengan sedikit unsur seks dan kekerasan melalui film Djakarta, Hong Kong, Macao. Jika film tersebut bisa disebut film eksploitasi, artinya film genre ini menjamur seiring dengan kemunculan pemerintahan Orde Baru.

Pada praktiknya Orde Baru memiliki kebijakan sensor yang cukup membingungkan bagi sebagian sineas. Di satu sisi, otoritas sensor mengizinkan pemanfaatan unsur-unsur seks dan kekerasan ringan, namun di sisi lain sangat keras mengatur kritik dan pertunjukan yang mempertentangkan kelas sosial. Ditambah lagi, kebijakan yang sering berubah-ubah tidak jarang membuat produser film sering merugi.

Tidak heran jika pada akhirnya dunia perfilman pada periode 1970-an mulai kedatangan tema-tema baru yang terkesan menentang nilai-nilai normatif. Agar bisa terus menjual karya-karyanya, sebagian sineas merasa perlu mengeksploitasi rasa takut, birahi, hingga perasaan jijik. Semuanya dibawakan dengan dalih menjunjung film sebagai alat pendidikan.

Pada 1970, istilah seksploitasi dalam film mulai diperdebatkan di muka publik. Musababnya adalah penggambaran seks dan kata-kata cabul dalam film buatan Turino Djunaidy yang berjudul Bernafas dalam Lumpur. Selang tiga tahun kemudian, film arahan penulis dan sutradara Ali Shahab yang berjudul Bumi Makin Panas kembali mengangkat tema serupa.

 Puncaknya pada 1978, Sisworo Gautama Putra yang kelak tenar berkat mengarahkan film-film horor Suzanna, berhasil menghebohkan publik melalui film garapannya yang berjudul Primitif. Kontroversi timbul akibat tema kanibalisme dan kemunduran peradaban yang menjadi tema sentral film tersebut. Orang-orang film pun saling berdebat hingga membawanya sampai ke acara Festival Film Indonesia 1978.

“Adegan-adegan sex tahun ini relatif berkurang dalam hal penyajian yang menyolok [...] film yang mengemukakan cerita tentang kekerasan dan sadisme dan semacamnya tahun ini meningkat,” kata Rosihan Anwar dalam laporannya pada FFI 1978 yang dikutip Tempo (20/5/1978).

Sebelumnya, kecaman serupa sudah pernah diutarakan oleh kelompok seniman film idealis dalam FFI 1977. Mereka menganggap film dalam negeri sudah tidak ada lagi yang berwajah Indonesia karena semuanya penuh dengan ciri eksploitasi naluri rendah manusia. Catatan Taufiq Ismail yang dikumpulkan Tempo (12/3/1977) menyebut keberatan itu beralasan karena sebanyak 40 persen film Indonesia saat itu memang bertutur tentang prostitusi dan kriminalitas.

Bagi sebagian kritikus dan otoritas sensor Orde Baru, film eksploitasi sering kali tidak dianggap bagian Film Indonesia. Ekky Imanjaya kembali menyoroti masalah ini melalui makalah berjudul “Mondo Macabro as Trashy/Cult Film Archive: The Case of Classic Indonesian Exploitation Cinema yang terbit di jurnal Plaridel (2018, hlm.116).

Ia menuliskan: “Pemerintah Orde Baru dan elit budaya Indonesia selalu berusaha untuk mengecualikan film eksploitasi lokal dari wacana konsep sinema nasional dan budaya film nasional, karena mereka percaya film harus mewakili budaya sejati Indonesia, menggambarkan wajah asli Indonesia, dan menyinggung masalah pendidikan dan budaya”.

Menentang Gelombang Pasang

Perasaan ganjil saat menonton film eksploitasi pernah diutarakan oleh Eros Djarot dalam Kompas (16/1/1983). Ia mengaku sangat kesal saat menyaksikan film Nyi Blorong (1982) arahan Sisworo Gautama Putra. Menurutnya, film tersebut “tidak lebih dari usaha menggalakan kembali kepercayaan pada takhyul yang bersifat membodohkan masyarakat.”

Eros Djarot lantas melanjutkan uraiannya dengan menyinggung anjuran pembuatan Film Kultural Edukatif yang pertama kali disinggung oleh kelompok budayawan sekitar tahun 1979. Usulan ini didukung oleh pemerintah yang kemudian merilis Pedoman Sensor Film dan Kode Etik Produksi Film Nasional tahun 1981. Menurut penjelasan yang dipaparkan Novi Kurnia, dkk., dalam Menguak Peta Perfilman Indonesia (2004, hlm.57), langkah ini dinilai dapat meningkatkan kualitas produksi film dalam negeri.

Kode etik produksi 1981 berisi instruksi kepada setiap pembuat film agar mengedepankan tema sentral yang berlatar budaya dan kondisi sosial Indonesia. Peraturan yang dirancang melalui Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional tanggal 4-8 Mei 1981 ini secara tidak langsung juga mengatur representasi visual dan dialog film yang bermuatan nilai-nilai religius dan disiplin nasional.

Bukan kebetulan jika semenjak kode etik produksi 1981 diberlakukan, film-film bertema sejarah, legenda, dan horor bermunculan bak jamur di musim hujan. Alih-alih membuat film yang sarat akan nilai-nilai yang disarankan pemerintah, sineas yang berkecimpung dalam pembuatan film komersial memilih mengeksploitasi tema-tema lokal menggunakan cara mereka sendiri. Tidak jarang, mereka memberlakukan cara-cara brutal dengan cara menjiplak film-film asing yang disesuaikan dengan selera lokal.

Dalam Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991, hlm. 40-41), Karl G. Heider mencoba mengklasifikasikan genre atau jenis film komersial yang populer pada periode 1980-an. Selain legenda dan horor, ada pula genre kompeni, genre periode Jepang, dan genre perjuangan. Kelimanya sering menjadi tema dasar pembuatan film eksploitasi Indonesia.

Perusahaan Rapi Film menjadi salah satu rumah produksi yang paling sering memproduksi film-film yang diklasifikasikan Heider. Pada titik ini gambaran tentang keganjilan praktek perdukunan yang berdarah-darah acap kali dipertontonkan untuk mendukung premis kebaikan agama mengalahkan ilmu hitam. Sebut saja seperti tokoh kyai dalam Pengabdi Setan (1980) atau tokoh pendeta yang muncul dalam Ranjang Setan (1986).

Selain itu, ada pula genre periode Jepang yang kemudian berkembang menjadi medium untuk membawakan tema penyekapan dan penyiksaan terhadap perempuan. Seperti yang tampak pada Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia (1983), Kamp Tawanan Perempuan (1983), dan Perawan di Sarang Sindikat (1986). Pada jenis film ini bentuk kejahatan itu ada pada kubu penjajah dan organisasi kriminal yang digambarkan gemar menyiksa, melecehkan, dan menyekap perempuan.

Apabila argumen yang dikemukakan Imam Tantowi sebelumnya memang berlaku umum, maka film eksploitasi barangkali memang sangat ampuh mengakomodasi kekesalan sineas yang mengaku kesulitan menyalurkan ekspresi kesenian di bawah tekanan politis Orde Baru. Sebagai bentuk pemberontakan, tokoh dan bentuk-bentuk kekuatan penghancur dalam film dibuat sebagai bentuk simbolis kekuatan politik Soeharto.


Tokoh perfilman nasional yang dikenal membangkitkan perfilman Indonesia pada era 1970-an, H Turino Junaidy, wafat pada usia 80, di RS Setia Mitra Jakarta, Sabtu (8/3) malam, pukul 21.00 WIB.

Lahir di Padangtiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, sebelum terjun ke dunia film, namanya adalah Teuku Djuned. Tetapi, seperti banyak orang yang mengganti nama setelah terjun sebagai pemain film, ia pun menggganti namanya dan menjadi lebih dikenal dengan nama Turino Junaedi. Sebagai orang Aceh, Turino pernah menjadi ketua umum Taman Iskandar Muda, organisasi masyarakat Aceh se-Jabotabek.
Minat kepada film dimulai ketika Turino mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih (1949), ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati (1950), Seruni Layu (1951), dan SiMientje (1952). Ketertarikannya pada industri film membuat pria itu mengalihkan usaha yang ia miliki. Perusahaan dagang GAF Sang Saka yang ia dirikan di awal 1950-an menjadi perusahaan pembuat film.

Selain sebagai produser, dalam semua produksi filmnya ia bermain sebagai pemain utama. Filmnya Bernafas dalam Lumpur yang dibintangi oleh Suzanna dan (alm) Farouk Affero di tahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu. "Kesuksesan film itu dianggap menjadi titik kebangkitan film Indonesia saat itu yang sebelumnya didominasi film impor," ungkap pengamat film Yan Wijaya. Namun film-filmnya yang ia produksi kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya. Diapun dikenal menjadi pengusaha film yang sukses dengan bendera Sarinande Film.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng (1959) yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Turino dikenal sebagai pelopor kebangkitan film nasional pada 1970-an dengan menyutradarai dan memproduseri film Bernafas Dalam Lumpur, Petualang Cinta, dan Selangit Mesra. Pada 1995, Turino masih memproduseri film And The Moon Dances yang disutradari Garin Nugroho. "Dia adalah orang yang sangat komitmen pada dunia film. Di usia tuanya ia tetap ingin menjalankan dan menggeluti bisnis perfilman," ungkap Garin.

Turino juga dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak 1973 mengadakan FFI setiap tahun. Pada 2001, almarhum mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award dalam ajang Festival Film Asia Pasific yang diadakan di Jakarta. Saat menerima penghargaan pria yang pernah mengecap pendidikan film di Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943), dan Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo, sudah sakit. Sehingga, ketika maju ke atas panggung harus dipapah oleh dua orang.
 
Berdasarkan Keppres No 016/TK/2004 tertanggal 13 April 2004, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri Turino meraih penghargaan Satya Lencana Wirakarya, bersama dengan tokoh film lainnya seperti Soetarto RM dan Njoo Han Siang.


MEREBUT KASIH 1951 A. CANON
Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MANIS JEMBATAN ANCOL 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1991 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
PETUALANG CINTA 1978 TURINO DJUNAIDY
Director
BELAIAN KASIH 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
ANTARA TIMUR DAN BARAT 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
MERATAP HATI 1950 RD ARIFFIEN
Actor
PULANG 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
KABUT ASMARA 1994 TORRO MARGENS
Actor
KABUT BULAN MADU 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
PAHIT-PAHIT MANIS 1952 L. INATA
Actor
KOPRAL DJONO 1954 BASUKI EFFENDI
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
HANTJURNYA PETUALANG 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
PEMBALASAN 1951 A. CANON
Actor
TAKDIR MARINA 1986 WAHAB ABDI
Actor
KEKASIHKU IBUKU 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
OH, IBUKU 1955 ALI YUGO
Actor
ISENG 1959 TURINO DJUNAIDY
Director
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Director
MAUT MENDJELANG MAGRIB 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
KRISIS X 1975 TURINO DJUNAIDY
Director
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
SORGA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MIENTJE 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
SRI ASIH 1954 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
PUTERI REVOLUSI 1955 ALI YUGO
Actor
1000 LANGKAH 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
LIKU-LIKU PANASNYA CINTA 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
OPERASI HANSIP 13 1965 TURINO DJUNAIDY
Director
PACAR 1974 TURINO DJUNAIDY
Director
AKU DAN MASJARAKAT 1951 MHD A. CANON
Actor
RENTJONG DAN SURAT 1953 BASUKI EFFENDI
Actor
LORONG HITAM 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH TAK SAMPAI 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH DIAMBANG MAUT 1967 TURINO DJUNAIDY
Director
SERUNI LAJU 1951

Actor
PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN 1926 TURINO DJUNAIDY
Director
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Director
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
GADIS DISEBERANG DJALAN 1960 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
DETIK-DETIK BERBAHAJA 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
HADIAH 2.OOO.OOO 1962 TURINO DJUNAIDY
Director
KARTIKA AJU 1963 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BUDI UTAMA 1951 RD ARIFFIEN
Actor
BUNGALOW DI LERENG BUKIT 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
DARMAWISATA 1961 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
MATAHARI-MATAHARI 1985 ARIFIN C. NOER
Actor
RELA 1954 DJA'FAR WIRJO
Actor
MADJU TAK GENTAR 1965 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
KUTUKAN IBU 1973 TURINO DJUNAIDY
Director