Tampilkan postingan dengan label PEKALONGAN BIOSCOOP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PEKALONGAN BIOSCOOP. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Juli 2020

PEKALONGAN BIOSCOOP

BIOSKOP di Pekalongan sudah ada sejak tahun 1920. 

Jaman Belanja fungsi bioskop tak sekadar untuk menonton film, tapi juga digunakan untuk gedung pertemuan. “Hoegeng pernah melihat Bung Karno pidato di bioskop The Royal Sinema. Seangkatan dengan itu hadir pula bioskop Kapitol yang akhirnya berubah menjadi bioskop Fajar. Selanjutnya ada bioskop Irama yang berada di Sampangan, saat ini sudah menjadi rumah biasa. Kalau bioskop Rahayu sekarang berubah menjadi Ria Busana di Jalan dr Cipto Kota Pekalongan,”

Pada tahun sebelum merdeka hadir bioskop Gloria di sekolah Satya Wiguna di Jalan Salak. Ini pada tahun 1930, di sana murid-murid Tionghoa menonton film. Selanjutnya tahun 1960-1970 mulai ada bioskop Merdeka di sebelah kantor pajak Kota Pekalongan sekarang ini, bioskop Remaja, bioskop Garuda di Banyuurip, bioskop Wiroto di Tirto, bioskop Srikandi di Batang, dan di Kedungwungi ada bioskop Semar dan bioskop Kresna.

Pada zaman kolonial yang diputar adalah film-film Belanda, film bisu dengan penonton orang ekskluzive karena tiketnya mahal. Baru seusai merdeka orang-orang pribumi banyak yang menonton.

Pada tahun 1980 akhir ada bioskop Gajah Mada yang sudah mulai bagus penataannya dari bioakop lain, Walisongo film perdananya dulu. Kemudian tahun 1990 ada bioskop baru di Jalan Urip Sumoharjo yakni bioskop Mataram, letaknya di depan carefour, sekarang sudah menjadi gudang penyimpanan milik Unilever.

Pada tahun 1980-1990 yang merajai di perfilman yakni India, Mandarin, dan Indonesia hanya film komedi warkop dan Rhoma Irama. Pada akhir pekan atau hari libur ada meet night show dengan film baru yang diputar tengah malam sampai subuh. Ada juga Extra show yang diputan pukul 12 siang, mayoritas penontonnya adalah siswa sehingga dipatok dengan harga setengahnya.

Bicara tontonan berkesenian di Kota Pekalongan pada era 70 – 80 an,  Pekalongan mempunyai  keseniannya sendiri.  Pekalongan punya Gambus dan Samproh, dua kesenian bermusik yang erat dengan kultur  sebagian orang Pekalongan yang santri  dan dekat dengan  budaya arab itu. Meski begitu , di luar Gambus dan Samproh, kesenian jenis lain pun tetap punya tempat untuk jadi tontonan di Pekalongan. Orang Pekalongan bisa nonton wayang.  Orang Pekalongan bisa menerima music Rock  macam Ucok  AKA band tampil  dan jadi tontonan, bisa menerima penampilan musik Pop  KoesPlus yang pernah dua kali manggung di Pekalongan. Antusias yang luar biasa dan menjadi  tontonan dan pesta rakyat  Pekalongan untuk penampilan Rhoma Irama beserta  Sonetanya di Stadion Kraton.  Bahkan satu Group Ketoprak  sebagai budaya jawa mataraman ala Jogjapun bisa tampil  berbulan-bulan di Alun-alun Pekalongan yang tiap malamnya  menampilkan  lakon yang berganti-ganti dan tidak pernah sepi penonton.

Tapi tetaplah bioskop adalah kesetiaan  penghibur yang setiap saat bisa didatangi, menariknya adalah, film-film Hollywood kurang mendapat tempat di hati orang Pekalongan, film-film India menempati Rating pertama pilihan orang Pekalongan, saat saya SMP saya  sungguh tak kenal nama Elizabeth Taylor, Farah Fawcett atau Jack Nicholson, Michelle Pfeiffer sampe dengan era Demi Moore. Tapi nama-nama seperti  Hemamalini, Amitha bachan dan Shashi Kapoor, Amrish Puri, Jackie Shrof, Govinda, Jetendra, Dharmendra sungguh saya hapal dan ingat. Itulah para bintang film kelas dunia untuk ukuran orang Pekalongan.

Rating kedua film yang diminati oleh orang Pekalongan adalah Film-film silat mandarin  produksi SB, jauh sebelum era Jacky Chan atau Andy Lau, orang-orang Pekalongan sudah tergila-gila dengan silat ala Wang Yu dan tentu juga Bruce Lee sang legenda itu, (haiyaa…au…au…).

Bintang film sekelas Rano Karno dan Yessy Gusman yang jadi idola kala itu. Penggemarnya  tetap kalah dibanding penggemar Film-film Rhoma Irama. Penggemar Film-film Rhoma Irama nampaknya hanya bisa disaingi oleh penggemar film – film Warkop DKI yang selalu diputar saat lebaran tiba, dan masih ada nama lain seperti Barry Prima, Advent Bangun, Yurike Prastica, Eva Arnaz dan sederet nama lain kala itu yang cukup familiar di telingan orangtua, dewasa bahkan anak-anak.
 
Di Era 70-80 an , pilihan menonton lebih banyak karena siapa bintang film yang bermain,  bukan karena resensi yang dibaca dari berbagai media seperti saat sekarang, di mana segala sesuatunya dapat dengan mudah untuk diakses. Yang menarik adalah bagaimana pihak pengelola bioskop mempromosikan film ini kepada khalayak. Mereka menggunakan iklan di radio lokal, dan mobil pickup keliling, dimana di bagian bak belakang mobil itu dipasangi pajangan gambar film yang akan atau tengah tayang. Para pengelola bioskop juga menyertakan pengeras suara  sejenis “TOA” yang biasa ada di surau tempo dulu di atas kap mobil. Lewat pengeras suara itulah ada seseorang yang mempromosikan sebuah film dengan berkeliling. Yang menarik adalah sarana mobil keliling ini bisa diganti dengan Becak, ya…becak Pekalongan yang lebar itu.  Waktu saya kecil setiap ada mobil atau becak keliling yang mewartakan film, saya selalu berusaha mendekat,  ikut berlari mengikutii dan melompat-lompat di belakang Mobil atau becak tersebut.

Jangan terlalu berharap menonton dengan tingkat  kenyamanan yang tinggi,  maklumlah sepanjang film diputar,  asap rokok terus mengepul,  dan menyesakkan nafas bercampur dengan berbagai  aroma balsam yang terus digosok-gosokan penonton lainnya di jidat dan keningnya sepanjang film berlangsung. Masih ada penonton bersarung menonton dengan jongkok di kursi dari kayu sambil memakan kacang rebus dan membuang kulitnya sembarangan, dan terus berkomentar sepanjang film diputar. Mereka menonton sambil jongkok lantaran tidak nyaman atas kemungkinan gigitan kepinding/tinggi (bangsat), sejenis kutu yang hidup nyaman disela-sela kursi bioskop.

Interaksi antara penonton dan film saat film diputar pun sangat menarik, ketika sang jagoan tampil , penonton akan sibuk bertepuk tangan bahkan bersuit-suit. Ketika sang Jagoan terlibat adegan berantem dan menghajar para pecundang, penonton menjadi semakin riuh bertepuk tangan, dan terdengar teriakan, “kewok… terus kewok, syoookoooor koe!”, atau “edannah bajingane kuwate  te pok kae sih!” Luar biasa mereka mengekspresikan  diri sepanjang film diputar tanpa peduli apakah ini mengganggu  penonton yang lain atau tidak. Bisa jadi  menonton menjadi katup pembuka dari kesumpekan hidup sahari-hari warga Pekalongan,  dengan membayar  Rp 750 kelas satu, limaratus rupiah kelas dua dan  350 rupiah kelas tiga , mereka berhak untuk menumpahkan segala ekspresinya.

Di era 80 an akhir, menonton dalam suasana keriuhan ini semakin berkurang, bahkan ketika Bioskop Gajahmada yang terletak di jalan utama kota Pekalongan memulai dengan konsep tontonan di Balkon dan ber AC di mana penonton sudah dilarang merokok. Dan pengumuman besar terpampang sebelum film diputar “Dilarang merokok, jika masih ada yang merokok film akan dimatikan!”. Di Awal Gajahmada berdiri, petugas bioskop sibuk mengambil  rokok penonton yang tetap saja merokok sepanjang film berlangsung. Ternyata,  perubahan itu memang ndak mudah apalagi perubahan perilaku.

Tahukah  apakah hari yang paling banyak penontonnya ? Malam minggu ?  Bukan… Malam Jumat. Ya, malam Jum’at. Ini sungguh khas Pekalongan, karena di era 70 -80 an para buruh pekerja informal ( terutama industri batik dan kain)  justru libur di Hari Jumat. Kamis sore adalah hari yang paling membahagiakan bagi mereka, lantaran itulah waktunya menerima upah kerja, yang dikenal dengan sebutan Pocokan.  Dan malamnya mereka ramai menonton di Bioskop.  Seorang rekan pernah bilang, inilah keegaliteran ala orang Pekalongan. Pada hari itu, tidak peduli apakah dia seorang buruh, tidak peduli  apakah dia seorang juragan, mereka nonton bersama,  di bangku yang bersebelahan tanpa ada lagi perbedaan kelas diantara keduanya. Juragan dan buruh sama-sama berhak untuk  “keplok” (bertepuk tangan).

Sejak era 90 an dihantam oleh perilaku monopoli  di system pendistributian film di Indonesia, era kejayaan bioskop di Pekalongan justru tidak berkembang dan pudar secara perlahan. Meski di Era itu hadir lagi satu bioskop Atrium 21 , tapi bioskop – bioskop di luar group tersebut seperti sesak nafas dan menuju sekarat. Maklumlah mereka tidak bisa mendapatkan film-film yang layak jual, padahal film adalah darah keberlangsungan hidup bioskop. Runtuhnya bisnis bioskop lama dan munculnya wajah baru dengan angka 21 tidak hanya terjadi di Pekalongan tapi di seluruh Indonesia.

Menjelang jadi pusara banyak bioskop ini berusaha bertahan.  Saat itu saya masih SMP kelas 1, saya suka sekali keliling ke kota Pekalongan untuk menonton secara bergantian mencoba bioskop-bioskop yang waktu itu masih eksis, seperti bioskop Fajar (depan Matahari/Plaza Pekalongan sekarang), bioskop Rahayu, Bioskop Mataram, dan beberapa kali pernah nonton di bioskop Gajahmada dan juga Atrium 21. Faktor lain yang memicu kematian bioskop-bioskop di kota Pekalongan adalah munculnya televisi swasta dan antena Parabola. Yak, di tahun 90 an awal pernah geger bocornya saluran Parabola, di mana channel-channel televisi asing bisa dengan mudah masuk ke televisi lokal yang saat itu sajian hiburannya terbatas oleh TVRI saja. Dari banyaknya televisi asing itu banyak menyuguhkan film-film terbaru yang update, sehingga niatan menonton ke bioskop menjadi berkurang. Ditambah dengan mengudaranya stasiun televisi swasta pertama di Indonesia RCTI, semakin menambah hiburan alternatif di rumah.

Sedangkan di kota saya sendiri juga ada dua bioskop yang sempat jaya di masanya, yaitu bioskop Cakra dan bioskop Semar. Ada yang menarik dari salah satu bioskop di kotaku, yaitu bioskop Semar menjelang masa-masa kematian. Untuk menyiasati sepinya minat penonton, pihak pengelola menambahkan extra show sebuah pertunjukan orkes melayu sebelum film utama diputar. Dan penontonnya cukup banyak, sebelum pertunjukan dimulai kami disuguhi orkes musik  dangdut dengan pemain lokal secara live, namun sebagian penonton nampaknya datang sudah tidak lagi untuk menonton filmnya tapi mau melihat orkes dangdutnya. Ternyata banyak cara dilakukan oleh pengelola bioskop untuk memperpanjang napas mensiasati menjelang kematian, seperti bioskop Fajar dengan orkes Dangdutnya.

Saat ini, tak ada lagi bioskop di Pekalongan  yang tersisa semua tinggal pusara. Bioskop mati, budaya menonton bioskop ala Pekalonganpun ikut mati. Sebuah kenangan indah tak terlupakan…

1. THE ROYAL SINEMA (Rex/Rahayu) 


Bioskop The Royal Sinema terletak di Jalan Dr. Cipto Mangunkusomo No. 25, Keputran, Pekalongan Timur, kota Pekalongan 51122. Bioskop ini berdiri pada kisaran tahun 1920. Bekas bangunan bioskop beralihfungsi menjadi Toko Ria Busana.


2. BIOSKOP CAPITOL (Fajar) 

 Bioskop REX dan CAPITOL





3. BIOSKOP IRAMA

Bioskop Irama terletak di daerah Sampangan Pekalongan. Bekas bangunan bioskop beralihfungsi menjadi rumah biasa.


4. BIOSKOP GLORIA

Bioskop Gloria terletak di Jalan Salak No .31, Sampangan, Pekalongan Timur, kota Pekalongan 51126. Bioskop ini berdiri pada kisaran tahun 1930. Bekas bangunan bioskop beralihfungsi menjadi area sekolah.

5. BIOSKOP MERDEKA

Bioskop Merdeka terletak di Jalan Merdeka Pekalongan 51119 atau samping Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pekalongan. Bioskop ini berdiri pada kisaran tahun 1960.


6. BIOSKOP REMAJA
Bioskop Remaja, yang terletak berhadapan langsung dengan Bioskop Merdeka, bisa jadi satu-satunya bioskop di dunia yang di bagian dalam gedungnya ada kafe yang tidak hanya menyediakan makanan ringan, tapi juga Es Campur dan Bakso. Artinya kita bisa duduk di sisi samping, semacam bar, menonton sambil menyantap bakso.


7. BIOSKOP GARUDA

Bioskop Garuda terletak di Banyuurip, Pekalongan Selatan, kota Pekalongan.


8. BIOSKOP WIROTO

Bioskop Wiroto terletak di kecamatan Tirto, kabupaten Pekalongan.


9. BIOSKOP SEMAR

Bioskop Semar terletak di kecamatan Kedungwungi, kabupaten Pekalongan.


10. BIOSKOP KRESNA

Bioskop Kresna terletak di kecamatan Kedungwungi, kabupaten Pekalongan.