BIOSKOP di Pekalongan sudah ada sejak tahun 1920. 
Jaman Belanja fungsi bioskop tak sekadar untuk menonton film, tapi juga 
digunakan untuk gedung pertemuan. “Hoegeng pernah melihat Bung Karno 
pidato di bioskop The Royal Sinema. Seangkatan dengan itu hadir pula 
bioskop Kapitol yang akhirnya berubah menjadi bioskop Fajar. Selanjutnya
 ada bioskop Irama yang berada di Sampangan, saat ini sudah menjadi 
rumah biasa. Kalau bioskop Rahayu sekarang berubah menjadi Ria Busana di
 Jalan dr Cipto Kota Pekalongan,”
Pada tahun sebelum merdeka hadir bioskop Gloria di sekolah Satya Wiguna 
di Jalan Salak. Ini pada tahun 1930, di sana murid-murid Tionghoa 
menonton film. Selanjutnya tahun 1960-1970 mulai ada bioskop Merdeka di 
sebelah kantor pajak Kota Pekalongan sekarang ini, bioskop Remaja, 
bioskop Garuda di Banyuurip, bioskop Wiroto di Tirto, bioskop Srikandi 
di Batang, dan di Kedungwungi ada bioskop Semar dan bioskop Kresna.
Pada zaman kolonial yang diputar adalah film-film Belanda, film bisu 
dengan penonton orang ekskluzive karena tiketnya mahal. Baru seusai 
merdeka orang-orang pribumi banyak yang menonton.
Pada tahun 1980 akhir ada bioskop Gajah Mada yang sudah mulai bagus 
penataannya dari bioakop lain, Walisongo film perdananya dulu. Kemudian 
tahun 1990 ada bioskop baru di Jalan Urip Sumoharjo yakni bioskop 
Mataram, letaknya di depan carefour, sekarang sudah menjadi gudang 
penyimpanan milik Unilever.
Pada tahun 1980-1990 yang merajai di perfilman yakni India, Mandarin, 
dan Indonesia hanya film komedi warkop dan Rhoma Irama. Pada akhir pekan
 atau hari libur ada meet night show dengan film baru yang diputar 
tengah malam sampai subuh. Ada juga Extra show yang diputan pukul 12 
siang, mayoritas penontonnya adalah siswa sehingga dipatok dengan harga 
setengahnya.
Bicara tontonan berkesenian di Kota Pekalongan pada era 70 – 80 an,  
Pekalongan mempunyai  keseniannya sendiri.  Pekalongan punya Gambus dan 
Samproh, dua kesenian bermusik yang erat dengan kultur  sebagian orang 
Pekalongan yang santri  dan dekat dengan  budaya arab itu. Meski begitu ,
 di luar Gambus dan Samproh, kesenian jenis lain pun tetap punya tempat 
untuk jadi tontonan di Pekalongan. Orang Pekalongan bisa nonton wayang. 
 Orang Pekalongan bisa menerima music Rock  macam Ucok  AKA band tampil 
 dan jadi tontonan, bisa menerima penampilan musik Pop  KoesPlus yang 
pernah dua kali manggung di Pekalongan. Antusias yang luar biasa dan 
menjadi  tontonan dan pesta rakyat  Pekalongan untuk penampilan Rhoma 
Irama beserta  Sonetanya di Stadion Kraton.  Bahkan satu Group Ketoprak 
 sebagai budaya jawa mataraman ala Jogjapun bisa tampil  berbulan-bulan 
di Alun-alun Pekalongan yang tiap malamnya  menampilkan  lakon yang 
berganti-ganti dan tidak pernah sepi penonton.
Tapi tetaplah bioskop adalah kesetiaan  penghibur yang setiap saat 
bisa didatangi, menariknya adalah, film-film Hollywood kurang mendapat 
tempat di hati orang Pekalongan, film-film India menempati Rating 
pertama pilihan orang Pekalongan, saat saya SMP saya  sungguh tak kenal 
nama Elizabeth Taylor, Farah Fawcett atau Jack Nicholson, Michelle 
Pfeiffer sampe dengan era Demi Moore. Tapi nama-nama seperti  
Hemamalini, Amitha bachan dan Shashi Kapoor, Amrish Puri, Jackie Shrof, 
Govinda, Jetendra, Dharmendra sungguh saya hapal dan ingat. Itulah para 
bintang film kelas dunia untuk ukuran orang Pekalongan.
Rating kedua film yang diminati oleh orang Pekalongan adalah 
Film-film silat mandarin  produksi SB, jauh sebelum era Jacky Chan atau 
Andy Lau, orang-orang Pekalongan sudah tergila-gila dengan silat ala 
Wang Yu dan tentu juga Bruce Lee sang legenda itu, (haiyaa…au…au…).
Bintang film sekelas Rano Karno dan Yessy Gusman yang jadi idola kala
 itu. Penggemarnya  tetap kalah dibanding penggemar Film-film Rhoma 
Irama. Penggemar Film-film Rhoma Irama nampaknya hanya bisa disaingi 
oleh penggemar film – film Warkop DKI yang selalu diputar saat lebaran 
tiba, dan masih ada nama lain seperti Barry Prima, Advent Bangun, Yurike
 Prastica, Eva Arnaz dan sederet nama lain kala itu yang cukup familiar 
di telingan orangtua, dewasa bahkan anak-anak.
Di Era 70-80 an , pilihan menonton lebih banyak karena siapa bintang 
film yang bermain,  bukan karena resensi yang dibaca dari berbagai media
 seperti saat sekarang, di mana segala sesuatunya dapat dengan mudah 
untuk diakses. Yang menarik adalah bagaimana pihak pengelola bioskop 
mempromosikan film ini kepada khalayak. Mereka menggunakan iklan di 
radio lokal, dan mobil pickup keliling, dimana di bagian bak belakang 
mobil itu dipasangi pajangan gambar film yang akan atau tengah tayang. 
Para pengelola bioskop juga menyertakan pengeras suara  sejenis “TOA” 
yang biasa ada di surau tempo dulu di atas kap mobil. Lewat pengeras 
suara itulah ada seseorang yang mempromosikan sebuah film dengan 
berkeliling. Yang menarik adalah sarana mobil keliling ini bisa diganti 
dengan Becak, ya…becak Pekalongan yang lebar itu.  Waktu saya kecil 
setiap ada mobil atau becak keliling yang mewartakan film, saya selalu 
berusaha mendekat,  ikut berlari mengikutii dan melompat-lompat di 
belakang Mobil atau becak tersebut.
Jangan terlalu berharap menonton dengan tingkat  kenyamanan yang 
tinggi,  maklumlah sepanjang film diputar,  asap rokok terus mengepul,  
dan menyesakkan nafas bercampur dengan berbagai  aroma balsam yang terus
 digosok-gosokan penonton lainnya di jidat dan keningnya sepanjang film 
berlangsung. Masih ada penonton bersarung menonton dengan jongkok di 
kursi dari kayu sambil memakan kacang rebus dan membuang kulitnya 
sembarangan, dan terus berkomentar sepanjang film diputar. Mereka 
menonton sambil jongkok lantaran tidak nyaman atas kemungkinan gigitan 
kepinding/tinggi (bangsat), sejenis kutu yang hidup nyaman disela-sela 
kursi bioskop.
Interaksi antara penonton dan film saat film diputar pun sangat 
menarik, ketika sang jagoan tampil , penonton akan sibuk bertepuk tangan
 bahkan bersuit-suit. Ketika sang Jagoan terlibat adegan berantem dan 
menghajar para pecundang, penonton menjadi semakin riuh bertepuk tangan,
 dan terdengar teriakan, “kewok… terus kewok, syoookoooor koe!”, atau 
“edannah bajingane kuwate  te pok kae sih!” Luar biasa mereka 
mengekspresikan  diri sepanjang film diputar tanpa peduli apakah ini 
mengganggu  penonton yang lain atau tidak. Bisa jadi  menonton menjadi 
katup pembuka dari kesumpekan hidup sahari-hari warga Pekalongan,  
dengan membayar  Rp 750 kelas satu, limaratus rupiah kelas dua dan  350 
rupiah kelas tiga , mereka berhak untuk menumpahkan segala ekspresinya.
Di era 80 an akhir, menonton dalam suasana keriuhan ini semakin 
berkurang, bahkan ketika Bioskop Gajahmada yang terletak di jalan utama 
kota Pekalongan memulai dengan konsep tontonan di Balkon dan ber AC di 
mana penonton sudah dilarang merokok. Dan pengumuman besar terpampang 
sebelum film diputar “Dilarang merokok, jika masih ada yang merokok film
 akan dimatikan!”. Di Awal Gajahmada berdiri, petugas bioskop sibuk 
mengambil  rokok penonton yang tetap saja merokok sepanjang film 
berlangsung. Ternyata,  perubahan itu memang ndak mudah apalagi 
perubahan perilaku.
Tahukah  apakah hari yang paling banyak penontonnya ? Malam minggu ? 
 Bukan… Malam Jumat. Ya, malam Jum’at. Ini sungguh khas Pekalongan, 
karena di era 70 -80 an para buruh pekerja informal ( terutama industri 
batik dan kain)  justru libur di Hari Jumat. Kamis sore adalah hari yang
 paling membahagiakan bagi mereka, lantaran itulah waktunya menerima 
upah kerja, yang dikenal dengan sebutan Pocokan. 
 Dan malamnya mereka ramai menonton di Bioskop.  Seorang rekan pernah 
bilang, inilah keegaliteran ala orang Pekalongan. Pada hari itu, tidak 
peduli apakah dia seorang buruh, tidak peduli  apakah dia seorang 
juragan, mereka nonton bersama,  di bangku yang bersebelahan tanpa ada 
lagi perbedaan kelas diantara keduanya. Juragan dan buruh sama-sama 
berhak untuk  “keplok” (bertepuk tangan).
Sejak era 90 an dihantam oleh perilaku monopoli  di system 
pendistributian film di Indonesia, era kejayaan bioskop di Pekalongan 
justru tidak berkembang dan pudar secara perlahan. Meski di Era itu 
hadir lagi satu bioskop Atrium 21 , tapi bioskop – bioskop di luar group
 tersebut seperti sesak nafas dan menuju sekarat. Maklumlah mereka tidak
 bisa mendapatkan film-film yang layak jual, padahal film adalah darah 
keberlangsungan hidup bioskop. Runtuhnya bisnis bioskop lama dan 
munculnya wajah baru dengan angka 21 tidak hanya terjadi di Pekalongan 
tapi di seluruh Indonesia.
Menjelang jadi pusara banyak bioskop ini berusaha bertahan.  Saat itu
 saya masih SMP kelas 1, saya suka sekali keliling ke kota Pekalongan 
untuk menonton secara bergantian mencoba bioskop-bioskop yang waktu itu 
masih eksis, seperti bioskop Fajar (depan Matahari/Plaza Pekalongan 
sekarang), bioskop Rahayu, Bioskop Mataram, dan beberapa kali pernah 
nonton di bioskop Gajahmada dan juga Atrium 21. Faktor lain yang memicu 
kematian bioskop-bioskop di kota Pekalongan adalah munculnya televisi 
swasta dan antena Parabola. Yak, di tahun 90 an awal pernah geger bocornya saluran Parabola,
 di mana channel-channel televisi asing bisa dengan mudah masuk ke 
televisi lokal yang saat itu sajian hiburannya terbatas oleh TVRI saja. 
Dari banyaknya televisi asing itu banyak menyuguhkan film-film terbaru 
yang update, sehingga niatan menonton ke bioskop menjadi berkurang. 
Ditambah dengan mengudaranya stasiun televisi swasta pertama di 
Indonesia RCTI, semakin menambah hiburan alternatif di rumah.
Sedangkan di kota saya sendiri juga ada dua bioskop yang sempat jaya di masanya, yaitu bioskop Cakra dan bioskop Semar. Ada
 yang menarik dari salah satu bioskop di kotaku, yaitu bioskop Semar 
menjelang masa-masa kematian. Untuk menyiasati sepinya minat penonton, 
pihak pengelola menambahkan extra show sebuah pertunjukan orkes melayu 
sebelum film utama diputar. Dan penontonnya cukup banyak, sebelum 
pertunjukan dimulai kami disuguhi orkes musik  dangdut dengan pemain 
lokal secara live, namun sebagian penonton nampaknya datang sudah tidak 
lagi untuk menonton filmnya tapi mau melihat orkes dangdutnya. Ternyata 
banyak cara dilakukan oleh pengelola bioskop untuk memperpanjang napas 
mensiasati menjelang kematian, seperti bioskop Fajar dengan orkes 
Dangdutnya.
Saat ini, tak ada lagi bioskop di Pekalongan  yang tersisa semua 
tinggal pusara. Bioskop mati, budaya menonton bioskop ala Pekalonganpun 
ikut mati. Sebuah kenangan indah tak terlupakan…
1. THE ROYAL SINEMA (Rex/Rahayu) 
Bioskop The Royal Sinema terletak 
di Jalan Dr. Cipto Mangunkusomo No. 25, Keputran, Pekalongan Timur, kota
 Pekalongan 51122. Bioskop ini berdiri pada kisaran tahun 1920. Bekas 
bangunan bioskop beralihfungsi menjadi Toko Ria Busana.
2. BIOSKOP CAPITOL (Fajar) 
 Bioskop REX dan CAPITOL
3. BIOSKOP IRAMA
Bioskop Irama terletak di daerah Sampangan Pekalongan. Bekas bangunan bioskop beralihfungsi menjadi rumah biasa.
4. BIOSKOP GLORIA
Bioskop Gloria terletak di Jalan Salak 
No .31, Sampangan, Pekalongan Timur, kota Pekalongan 51126. Bioskop ini 
berdiri pada kisaran tahun 1930. Bekas bangunan bioskop beralihfungsi 
menjadi area sekolah.
5. BIOSKOP MERDEKA
Bioskop Merdeka terletak di Jalan 
Merdeka Pekalongan 51119 atau samping Kantor Pelayanan Pajak Pratama 
Pekalongan. Bioskop ini berdiri pada kisaran tahun 1960.
6. BIOSKOP REMAJA
Bioskop Remaja, yang terletak berhadapan langsung dengan Bioskop 
Merdeka, bisa jadi satu-satunya bioskop di dunia yang di bagian dalam 
gedungnya ada kafe yang tidak hanya menyediakan makanan ringan, tapi 
juga Es Campur dan Bakso. Artinya kita bisa duduk di sisi samping, 
semacam bar, menonton sambil menyantap bakso.
7. BIOSKOP GARUDA
Bioskop Garuda terletak di Banyuurip, Pekalongan Selatan, kota Pekalongan.
8. BIOSKOP WIROTO
Bioskop Wiroto terletak di kecamatan Tirto, kabupaten Pekalongan.
9. BIOSKOP SEMAR
Bioskop Semar terletak di kecamatan Kedungwungi, kabupaten Pekalongan.
10. BIOSKOP KRESNA
Bioskop Kresna terletak di kecamatan Kedungwungi, kabupaten Pekalongan.




 
