BALI
WISNU THEATRE di Jalan Gajah Mada Denpasar Tahun 1968.
Wisnu Theater merupakan salah satu bioskop tertua di Denpasar. Wisnu Theatre beroperasi sampai akhir 1970-an, lokasinya di Jl Gajah Mada (pas barat gedung BNI sekarang).
Wisnu Theatre pernah memutar film panjang, yaitu “Buddha”, tepatnya 20-22 Desember 1968. Harga tiketnya Rp 75 untuk kelas I, dan Rp 65 untuk kelas II.
Film kisah Buddha Gautama ini panjangnya 3 jam, sehingga diputar dua kali setiap malam, pukul 18.00, dan pukul 21.00.
Wisnu Theater merupakan salah satu bioskop tertua di Denpasar. Wisnu Theatre beroperasi sampai akhir 1970-an, lokasinya di Jl Gajah Mada (pas barat gedung BNI sekarang).
Wisnu Theatre pernah memutar film panjang, yaitu “Buddha”, tepatnya 20-22 Desember 1968. Harga tiketnya Rp 75 untuk kelas I, dan Rp 65 untuk kelas II.
Film kisah Buddha Gautama ini panjangnya 3 jam, sehingga diputar dua kali setiap malam, pukul 18.00, dan pukul 21.00.
Bisa dikatakan masa kejayaan bioskop di Indonesia khususnya di Bali berada di era tahun 1970an hingga 1990an. Pada tahun 1986, Bali mempunyai 46 gedung bioskop dengan 20.521 tempat duduk. Pada saat itu jumlah penonton diperkirakan 1.588 dan ada 273 film yang diputar. Tiket masuk masih berkisar Rp 1.185. Uang pemasukan dari bisnis gedung bioskop waktu itu mencapai Rp 1.882.000.000 hanya untuk daerah Bali. Balai Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 1989 ada 2.124 gedung bioskop di Indonesia. Pemasukan dari bioskop mencapai Rp 159 milyar dari 1,8 juta pertunjukan dengan jumlah penonton mencapai 146 juta orang. Pemasukan tersebut lebih banyak daripada pada tahun 1984. Direktorat Pembinaan Film waktu itu di bawah Departemen Penerangan RI menyatakan produksi film nasional semakin meningkat tahun.
Tahun 1960an di BULELENG.
Pada zaman itu, perempuan pergi ke gedung bioskop menggunakan busana bergaya Eropa seperti Zaman Victoria yang disebut dengan ’kénkén’. Para pria mencukur rambutnya bergaya Elvis Presley dan bercelana biru benhur (seperti judul film asing : Benheur), dengan model cut bray. Sebagai ibukota Sunda Kecil, Singaraja waktu itu sudah modern karena mendapat pengaruh Barat.
Tahun 1960an di BULELENG.
Pada zaman itu, perempuan pergi ke gedung bioskop menggunakan busana bergaya Eropa seperti Zaman Victoria yang disebut dengan ’kénkén’. Para pria mencukur rambutnya bergaya Elvis Presley dan bercelana biru benhur (seperti judul film asing : Benheur), dengan model cut bray. Sebagai ibukota Sunda Kecil, Singaraja waktu itu sudah modern karena mendapat pengaruh Barat.
Film yang banyak ditonton di bioskop adalah film India dan film Barat. Pemain India yang terkenal tahun 1960-an, misalnya, Raj Kapoor, Sami Kalla, dan Amita Bachan. Film Barat favorit Karang adalah ”Gun of Navaron dan Mogambo” dan aktor favorit waktu itu Charles Bronson dan James Kelly. Selain itu saya juga menyukai aktris Eva Gardner dan Marilyn Monroe.
Pada tahun 1980an hingga tahun 1990an, JEMBRANA mempunyai BIOSKOP WIJAYA di barat jembatan Tukad Ijo Gading dan BIOSKOP NEGARA di timur jembatan itu. Film India banyak diputar di Bioskop Wijaya. Namun kalau senang film action atau film Barat tempatnya ada di Bioskop Negara. Pada masa itu, bioskop menjadi semacam ’meeting point’ anak-anak muda Jembrana.
Bioskop juga pernah pernah ada di KLUNGKUNG. Gedung SINAR THEATRE di Jalan Flamboyan Klungkung kini telah beralih fungsi menjadi sarang burung walet.
Di TABANAN juga ada dua bioskop yaitu BALI THEATRE terletak di Pasar Tabanan dan Bioskop TABANAN THEATRE Namun, kedua bioskop itu kini tidak beroperasi lagi.
Di pojok barat daya jalan Gajah Mada
berdiri INDRA THEATRE, tempat orang bisa menonton film action, silat
atau kungfu dari Hongkong. Aktor kungfu yang paling digemari yakni,
Bruce Lee, Jacki Chen dan Jet Lie. Bahkan sepatu silat seperti yang
dikenakan Bruce Lee juga menjadi begitu terkenal dengan sebutan sepatu
Big Boss. Bioskop ini juga dilengkapi permainan bagi anak-anak seperti
kuda-kudaan elektrik dengan menggunakan koin yang hanya ada di Indra
Theater.
Penggemar Film India biasanya pergi ke
Denpasar Theather, yang berlokasi di sebelah jembatan di Jalan Hasanudin
depan pertokoan emas. Film India juga ditonton di bioskop Wisnu. Kedua
bioskop ini pernah mengalami kebakaran. Artis India yang paling
digemari pada tahun 80-an seperti: Hema Malini, Amitha Bachan, Sashi
Kapoor.
Jika menyukai Film Indonesia dengan judul :
Beranak Dalam Kubur, Sundel Bolong, Bercinta dalam Lumpur, pada tahun
80-90-an dapat menontonnya di Bioskop Kumbasari di lantai atas pertokoan
Lokitasari. Gedung inipun pernah mengalami kebakaran pada tahun 2007.
Pada era tahun 80-90an artis Indonesia
yang berpakaian seksi, dengan mempertontonkan paha dan belahan dada
waktu itu sudah disebut bom sex dan ada tanda XX pada kanvas film
yang tergantung di depan bioskop. Artis Indonesia yang terkenal sebagai
bom sex waktu itu, seperti : Eva Arnaz, Inneke Koesherawati dan Suzzana pemain spesialis film horor.
Film aksi barat (action) dapat ditonton di WISATA THEATRE (sekarang menjadi Wisata Cineplex 21). Charles Bronson sebagai coboy
Amerika terkenal, dan film dari Ian Fleaming ”James Bond 007” sudah
begitu terkenal pada masa itu. Wisata Theater waktu itu menjadi bioskop
pertama yang memiliki eskalator di Bali. Jaya théather di Jalan
Kartini kini sudah tak beroperasi dan digunakan sebagai gudang oleh
pemiliknya. Gedung ini dulunya juga banyak memutar film barat.
Sementara, BIOSKOP SAHIRA (Sarana Hiburan
Rakyat) di samping Pura Tambangan Badung, dan Bioskop Pengadangan di
Kesiman merupakan bioskop yang dikelola dengan menejemen desa. Kedua
tempat ini masih lebih baik dari menonton pemutaran film layar tancap di
lapangan yaang disebut dengan Misbar (gerimis bubar) yaitu pas
gerimis, penonton juga bubar.
Pada tahun 80-an tempat duduk dibioskop
terbuat dari besi, kayu atau plastik Bisanya para orangtua mengajak
anaknya menonton bioskop untuk rekreasi sambil mengasuh anak. Anak-anak
menangis dan berteriak-teriak atau kencing di bawah bangku merupakan
pemandangan yang biasa. Anak muda banyak jug ayang mengajak kawan atau
pacarnya untuk menonton bersama.
Pada tahun 90-an, bioskop digunakan
sebagai alat propaganda politik oleh pemerintah ketika rejim Soeharto
masih berkuasa. Murid-murid, sekolah dihegemoni negara untuk menonton
film yang konon berlatar belakang sejarah, seperti film : Janur Kuning,
Serangan Fajar dan film anti komunis bernama G30S PKI. Tiap tahun film
yang sama diputar sebagai film wajib ditonton masyarakat berdasarkan
instruksi pemerintah. Tiket pun dijual di sekolah-sekolah dan
banjar-banjar.
Bioskop di masa kini mengalami perubahan.
Fasilitasnya lebih bagus dilengkapi dengan ruang ber-AC, kursi empuk,
sound system yang jernih, dan penonton mentaati aturan tidak merokok
selama pertunjukan berlangsung.
Bioskop dari dulu hinga kini memainkan
peran penting untuk menjadi tempat rekreasi dan bersosial. Di bioskop
kita juga dapat mempelajari perkembangan budaya kontemporer termasuk
gaya hidup masyarakat seperti: berbagai model baju, tas, model rambut
terbaru, hape dan gaya hidup yang kita sebut ’fashion’. Semuanya dapat dilihat saat mengantri membeli tiket. Kini , tidak lagi kita lihat calo tiket (tukang catut) atau istilah free pass atau tiket gratisan dari bioskop.
Dalam
perkembangannya, gedung bioskop di masa kini seperti menjadi milik
anak-anak muda saja. Orang tua sekarang ini bersembunyi di rumah,
mengasuh anak- anak sambil menonton sinetron. Anak-anak kecil pun jarang
pergi ke bioskop. Mungkin juga karena tiket yang semakin mahal Rp.10.000 – Rp.25.000,
dan itu belum termasuk belanja lain-lain seperti makanan ringan
(snacks). Sepertinya, kisah bioskop masa lalu telah terkubur bersama
kenangan akan bioskop yang terbakar, beralih fungsi sebagai pertokoan
atau menjadi tempat pembiakan sarang burung walet.