Senin, 31 Januari 2011

SEHELAI MERAH PUTIH / 1960

SEHELAI MERAH PUTIH

Waktu penjajahan Belanda, Suharjo (Kapt. Suhardono) bekerja di pabrik gula dan berkenalan dengan Sumarni (Pudji Suratmo), anak asisten wedana, yang kemudian diperistrinya. 

Kebahagiaan tidak lama berlangsung, karena Suharjo terlibat perkelahian dengan seorang Belanda dan dipenjara. Anaknya lahir semasa ia masih dipenjara. Selepas penjara, datang pendudukan Jepang. Suharjo membentuk barisan bawah tanah. Jepang pergi, Suharjo membentuk barisan perjuangan lagi untuk melawan Belanda. Kali ini Suharjo gugur. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia sempat memesankan agar pistolnya yang dibungkus sehelai merah putih diberikan pada Sumarni. 

Kini giliran Sumarni yang membentuk barisan Srikandi yang merepotkan Belanda, hingga ayahnya ditangkap dan dibunuh. Setelah Belanda angkat kaki, Sumarni bekerja di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Di sinilah ia menceritakan pengalamannya pada ibu-ibu Persit, yang kemudian menjanjikan bea siswa pada anak Sumarni sampai ke universitas.
Yayasan Ikrar Bhakti milik Persit (Persatuan Istri Tentara).
 
LASKAR SRIKANDI, PEJUANG WANITA MILITAN
Perdana Menteri Kuniaki Koiso merilis keputusan resmi Kekaisaran Jepang yang membuat seisi ruangan berguncang. Isi putusannya adalah Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia secepatnya, sebelum wilayah itu lumat diterkam pasukan Sekutu.

Putusan sidang yang dibacakan pada 7 September 1944 itu segera memicu reaksi pelbagai pihak di tanah air, termasuk organisasi perkumpulan perempuan bikinan Jepang yang disebut Fujinkai. Dalam kondisi yang serba tak tentu, Fujinkai memutuskan untuk mengadakan rapat di Taman Raden Saleh, Jakarta, pada pertengahan September 1944.

Melalui rapat itu, nyonya R.A. Abdurrachman selaku ketua Fujinkai Jakarta menyatakan keberatan jika perempuan tidak dilibatkan dalam usaha penyambutan kemerdekaan. “Perempuan Indonesia belum berpuas hati sampai kami bisa mengadakan sendiri pertemuan untuk menyambut kebahagiaan Indonesia merdeka di masa yang akan datang,” katanya seperti dilansir Asia Raya edisi 17 September 1944.

Siti Fatimah dalam The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War (2010: hlm. 292) menyebutkan bahwa sejatinya perempuan Indonesia awalnya tidak sudi bergabung dengan Fujinkai. Akan tetapi, seiring waktu mereka berharap dapat melanjutkan gerakan emansipasi perempuan melalui organisasi tersebut. Demikian negosiasi secara tidak langsung antara perempuan dengan pihak Jepang telah terjadi sedari awal.

Tuntutan tersebut sebagian memang sesuai dengan ideologi fasisme Jepang. Sejak tahun 1943, Jepang sudah berusaha membentuk jiwa militan di kalangan perempuan Indonesia melalui serangkaian propaganda. Hal ini ditunjukkan melalui pembentukan beberapa badan semi-militer istimewa bernama Barisan Srikandi.
 
Propaganda merupakan kawan setia Jepang sepanjang periode Perang Pasifik. Agar strategi ini berjalan mulus, Jepang selalu berusaha memusatkan informasi ke satu titik dengan jalan melarang diskusi-diskusi yang bersifat politik di setiap wilayah kekuasaannya.

Sebelas hari setelah pemerintah kolonial Belanda menyerah pada bulan Maret 1942, Jepang dengan sigap menggulung habis partai-partai politik dan organisasi pergerakan di Indonesia. Organisasi perempuan yang saat itu tengah tumbuh tidak luput terkena imbasnya. Mereka dipaksa untuk menggabungkan diri ke dalam satu wadah bernama Fujinkai yang diresmikan pada 3 November 1943 di Jakarta.

Fujinkai pada hakikatnya dibentuk memakai dasar-dasar perkumpulan perempuan militan Jepang yang bernama Dai Nippon Fujinkai. Di Jepang, anggota Fujinkai mencapai 15 juta perempuan berusia 20 tahun ke atas. Tugas mereka selalu berkaitan dengan pertahanan garis belakang, seperti mendukung perekonomian dan pengadaan peralatan perang.

Fungsi Fujinkai di Indonesia tidak berbeda dengan apa di Jepang. Namun, karena Indonesia belum memiliki industri alat-alat berat, maka sebagian anggota Fujinkai lebih sering dikerahkan di bidang domestik seperti bercocok tanam dan membuat baju karung goni bagi para pekerja romusha.

Di pengujung tahun 1944, pemerintah Jepang di Indonesia sudah menunjukan gelagat kewalahan mempertahankan kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Jepang mulai memobilisasi kaum perempuan melalui serangkaian propaganda. Anna Mariana dalam Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru (2015: hlm. 29) menyebut segala upaya pengerahan kaum perempuan didukung sistem pemerintahan yang berasas militerisme.
 
 Melalui tuntutan-tuntutan yang dikeluarkan Fujinkai, Jepang memberi kesan seolah perempuan Indonesia berusaha menanggalkan nilai-nilai ketimurannya. Oleh karena itu, Jepang beralasan bahwa mereka patut dididik kembali sebelum pasukan Sekutu menyerbu Indonesia.

Beberapa bulan sebelum Nyonya R.A. Abdurrachman menyampaikan pidatonya yang berapi-api dalam rapat Fujinkai, sejumlah surat kabar serempak mengampanyekan konsep perempuan ideal serta tanggung jawab mereka di era perang suci.

“Perempuan Indonesia telah diberikan hak dan tanggung jawab. Mereka sekarang memiliki kesempatan untuk menentukan nasib sendiri dengan segala konsekuensinya. Diharapkan mereka mempertahankan moralitas ketimuran,” tulis surat kabar Asia Raya edisi 28 Agustus 1944.

Pada bulan Maret, surat kabar Tjahaja bahkan merilis artikel hasil tulisan seorang anggota Fujinkai bernama Juningsih yang bertujuan mengampanyekan sosok Sembadra dari tradisi pewayangan Jawa yang lemah lembut dan setia kepada suami. Di saat bersamaan, artikel yang sama juga menyebut pentingnya perempuan Indonesia menjadi seperti Srikandi.

“Srikandi adalah perempuan yang sangat berani, siap mengorbankan diri melindungi tanah airnya, sementara Sembadra memiliki moral yang tinggi, suci, setia, dan pemimpin dan pengajar yang ideal,” tulis Juningsih dalam Tjahaja edisi 4 Maret 1944 seperti dikutip Siti Fatimah (hlm. 296).

Bukan sebuah kebetulan jika satu bukan kemudian, surat kabar yang sama memberitakan pembentukan Barisan Srikandi. Kelompok ini wajib diikuti oleh perwakilan gadis remaja dari setiap desa di Karesidenan Jakarta. Menurut catatan Fatimah, lebih dari 660 gadis berusia 15 sampai 20 tahun dipaksa memenuhi panggilan latihan memanggul senjata dan berpartisipasi dalam perang Asia Timur Raya (hlm. 297)
 
Barisan Srikandi secara resmi berdiri pada bulan April 1944 di Jakarta. Badan semi-militer ini dibentuk di bawah Fujinkai melalui pangreh praja. Agar tidak menimbulkan kesan badan ini dikuasai sepenuhnya oleh Jepang, maka putri Residen Jakarta yang bernama Sudharti Sutarjo ditunjuk sebagai pimpinan pelatih membawahi tiga orang guru perempuan.

Berdasarkan tulisan Nino Oktorino dalam Nusantara Membara "Heiho": Barisan Pejuang Indonesia yang Terlupakan (2019: hlm. 31) diketahui bahwa Barisan Srikandi merupakan barisan istimewa. Para anggotanya wajib mengikuti pelatihan keprajuritan di tangsi-tangsi militer sembari dijejali tata krama dan adat kewanitaan.

“Pihak Jepang menginginkan agar jiwa, jasmani, dan rohani anggota Barisan Srikandi tergembleng oleh latihan ilmu keprajuritan itu agar mereka dapat menjadi pemimpin wanita yang berbudi luhur, di samping tugasnya sehari-hari sebagai ibu rumah tangga,” tulis Oktorino.

G.A. Ohorella dan kawan-kawan dalam Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pengerakan Nasional (1992: hlm. 40) menjelaskan bahwa Barisan Srikandi memang dipersiapkan untuk bertempur lantaran proporsi pelatihan militernya yang unggul. Akan tetapi, harapan Jepang menerjunkan barisan ini ke garis depan tidak pernah tercapai. Tepat setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Fujinkai beserta seluruh sub-organisasinya turut dibubarkan pemerintah.

Setelah kabar kekalahan Jepang sampai ke telinga golongan muda pada 14 Agustus 1945, beberapa anggota Barisan Srikandi menjadi perempuan-perempuan pertama yang ikut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh Jakarta. Bersama gerakan pemuda bawah tanah, mereka ikut dalam aksi perampasan senjata dan bahan baku pembuatan bendera di gudang-gudang milik Jepang.

“Dalam aksi tersebut, kami dari Barisan Srikandi turut serta menurunkan bendera di kantor-kantor, yakni menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan Sang Merah Putih. Setelah itu, kami ditugaskan untuk membagi-bagikan bendera itu ke seluruh Jakarta,” tutur Partinah dalam kumpulan tulisan Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 Jilid I (1995, hlm. 183).

Sepanjang perang revolusi, anggota Barisan Srikandi berpencar ke seluruh penjuru Jawa. Banyak di antara mereka yang memilih berjuang bersama Laskar Wanita Indonesia (Laswi) dalam pertempuran mempertahankan Bandung. Beberapa di antaranya ada pula yang tercatat sebagai pendiri badan kelaskaran Pemuda Putri Republik Indonesia yang punya andil dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
 
Laskar Wanita/Srikandi Indonesia PANTANG BERCINTA SEBELUM MERDEKA
Sebagai organisasi perempuan pelopor setelah kemerdekaan, Perwari yang bermula dari Fujinkai menggelar kongres pertama pada 17 Desember 1945 untuk membahas kelanjutan perjuangan perempuan. Namun, ketimbang membulatkan pendapat, kongres itu malah membuka ruang perdebatan baru.

Menurut kesaksian salah seorang anggota Perwari, Nyonya Djatmani Suparta, dalam tulisannya pada buku Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi Jilid IV (1984, hlm. 79-80), kongres pertama sangat bertele-tele. Alur pembicaraan kongres semakin tak jelas. Sebagian peserta saling lempar argumen dan tidak mau mengalah.
 
 Tiba-tiba terdengar suara lantang yang terkesan galak dari barisan belakang. Seorang perempuan bersepatu lars, berseragam hijau, lengkap dengan pistol di sisi kanan, berdiri menegur para perempuan yang saling berselisih. Dia adalah Sumarsih Subiyati, pimpinan Laskar Wanita Indonesia (Laswi).

“Ibu-ibu, mengapa hal yang kecil-kecil dibicarakan sampai berlarut-larut, ingat ini masa perjuangan, masa revolusi! Di garis depan, kalau sesuatu soal tidak dapat dibicarakan dan diselesaikan dengan mulut, kami selesaikan dengan senjata!” ujar Sumarsih seperti dikutip dari catatan Nyonya Djatmani Suparta.

Busana yang dikenakan Sumarsih sangat kontras dengan kebaya dan selendang yang dikenakan para perempuan dalam kongres Perwari. Kehadiran Sumarsih di Yogyakarta saat itu memang bukan untuk bersosialisasi dengan para perempuan organisasi. Sumarsih sengaja datang sebagai peninjau sekaligus mencari kandidat baru Laswi.

Seusai kongres Perwari, Nyonya Djatmani Suparta yang sebelumnya sudah berpengalaman dalam Fujinkai, memutuskan untuk bergabung dengan Laswi cabang Yogyakarta. Penolakan dari orang tua sempat terlontar mengingat reputasi Laswi yang identik dengan citra tentara.

Selain Nyonya Djatmani, Laswi memang banyak menyerap keanggotaan dari kalangan perempuan revolusioner yang aktif berorganisasi. Beberapa perempuan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) seperti Umi Sardjono dan Tris Metty pernah digembleng di bawah Laswi.
 
 Berdasarkan wawancara Sugiarta Sriwibawa dengan Sumarsih Subiyati, diketahui bahwa Laswi lahir di bawah komando Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa Barat. Setelah kabar tibanya pasukan Sekutu menyebar luas, Sumarsih—yang ternyata merupakan istri komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat Arudji Kartawinata—berusaha meyakinkan dua orang pimpinan TKR Jawa Barat agar perempuan Bandung diizinkan ikut berperang.

Wawancara yang dikisahkan kembali ke dalam novel perjuangan bertajuk Laskar Wanita Indonesia (1985, hlm. 36) itu juga menyatakan bahwa perjuangan Laswi yang sebenarnya baru dimulai ketika pasukan Inggris dan Gurkha tiba di stasiun Bandung pada 12 Oktober 1945.

Pasukan Laswi secara resmi berdiri untuk membantu TKR di garis belakang dalam pertempuran mempertahankan Bandung. Namun, sesekali mereka juga dilibatkan di garis depan. Konfrontasi antara Laswi dengan tentara Gurkha ditunjukan melalui kisah seorang gadis bernama Willy yang memiliki nama samaran Kambela Dewi.

“Pada suatu saat penyerbuan akan dimulai, saya berteriak pada mereka [tentara Gurkha]. Salah seorang dari mereka lalu menjawab. Ia begitu mengejek dan seolah-olah akan berbuat yang tidak baik. Samurai pendek memang sudah terhunus bila berada di front,” tulis Willy dalam antologi Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (1995, hlm. 358).

Dalam Laswi, para perempuan memang banyak mendapatkan pelatihan kedisiplinan, cara menembak, bahkan mempelajari siasat tempur serta pertahanan langsung dari TKR. Banyak pula anggota Laswi yang pernah dididik di bawah Barisan Srikandi, barisan perempuan perjuang di bawah Fujinkai bentukan Jepang. Tak heran, Laswi berkembang menjadi laskar perempuan yang dikenal berkat kedisiplinan dan rasa solidaritasnya dengan sesama pejuang.
 
Pada pengujung bulan Oktober 1945, Radio Pemberontakan mengkritik pedas kegagalan laskar Jawa Barat merebut markas Kempeitai Kiaracondong di Kota Bandung. Hal ini memicu pertikaian dan sempat menimbulkan kesalahpahaman di kalangan pejuang. Salah seorang anggota Laswi lantas menembak mati tentara Gurkha untuk membela laskar Jawa Barat.

“Untuk membuktikan bahwa pemuda-pemudi Bandung sama sekali bukan ‘peuyeumbol’ [bermental lembek], seorang Laswi bernama Soesilowati telah menembak mati seorang serdadu Gurkha dan memenggal kepalanya. Potongan kepala itu dikirim ke Jawa Timur,” tulis surat kabar Buana Minggu (3/9/1978).

Menurut penuturan Sumarsih Subiyati, dirinya sangat hati-hati saat membawahi Laswi agar tidak terjadi pelanggaran moral dalam masyarakat yang cenderung masih tradisional. Untuk itu, Sumarsih menetang keras segala hubungan percintaan dalam tangsi militer. Syarat ini secara khusus diperuntukkan bagi anggota Laswi yang masih gadis.

“Tidak seorang lelaki pun diizinkan memasuki gedung kami. Tidak ada love affairs, karena para gadis Laswi tidak diperkenankan mempermalukan diri sendiri, dan jika aturan itu dilanggar maka sanksinya peluru,” ungkap Sumarsih kepada Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (2010, hlm. 148).

Laswi sering mendampingi tentara sepanjang perang revolusi. Sekilas, Laswi memang nampak seperti tentara perempuan. Bahkan mereka juga diberi pangkat kemiliteran, meski sifatnya hanya sementara.

“Saya masuk Laswi dengan pangkat sersan, tetapi saya tidak pernah memakai tanda pangkat tersebut karena malu. Lama-lama saya tahu bahwa pangkat tersebut hanya sebagai pelengkap,” ungkap Hajjah Habibah Lubis dalam Seribu Wajah Wanita Perjuang Dalam Kancah Revolusi ‘45 (hlm. 59).

Laswi memang bukan satu-satunya laskar perempuan sepanjang masa perang revolusi. Masih banyak lagi perempuan yang berjuang di garis belakang. Laswi justru sebaliknya, mereka cenderung lebih keras berjuang menuntut kedaulatan.

Berdasarkan penelusuran majalah Femina (10/8/1982) diketahui bahwa Laswi pernah bergabung dengan laskar perempuan lain dari Solo yang bernama Laskar Putri Indonesia (LPI). Tetapi, penggabungan ini tidak berumur panjang karena terjadi perbedaan prinsip di antara keduanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar