BANDUNG LAUTAN API
Kisah berlatar belakang peristiwa 24 Maret 1946 di Bandung, yang membuat kota ini seperti lautan api. Adegan peperangan antara Indonesia-Belanda ini menyita sebagian besar film. Sisanya merupakan kisah konflik Nani (Christine Hakim), gadis Palang Merah, yang menaruh hati pada Priyatna (Arman Effendy), bekas perwira Peta. Sementara itu Nani sendiri ditaksir oleh Hidayat (Dicky Zulkarnaen), komandan kompi, komandannya Priyatna juga. Kisah kecil di balik peperangan ini berakhir dengan meninggalnya Hidayat.
Tetapi film ini jadi menarik karena Kodam Siliwangi memegang peranan besar. Hal yang sama juga terjadi pad film "Mereka Kembali"
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda menguasai kota tersebut. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946. Kol. Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih diperdebatkan.
Film bermula dengan sikap Hidayat yang penakut dan sinis sembari menaruh hati pada Nani. Sebagai umumnya film perang buatan Indonesia, tokoh wanita ini senantiasa menjadi penggerak cerita, sebagai yang dibuktikan lagi oleh tokoh Nani dalam film ini.
Di akhir cerita Hidayat tewas. Tokoh lain adalah perwira bekas Heiho, Priyatna. Hubungannya dengan Nani memanaskan hati Hidayat. Tapi konflik di antara mereka tidak sampai keluar rel perjuangan, sehingga tidak ada masaalah pengkhianatan. Yang terjadi malah sebaliknya, berlomba-lomba membuktikan kejantanan. Tokoh lain alalah Jarot. Bekas prajurit yang pernah bertempur di Birma, ini tidak tahu banyak kecuali bertempur. Ia jujur, polos, jantan dan penuh kesetiaan. Mendapatkan perintah membereskan para pengkhianat, ia menembak mati semua yang hadir dalam rumah, termasuk ayah Nani. Tahu bahwa Nani bukan mata-mata, ia menyediakan dirinya menjadi umpan peluru Priyatna. Jalinan konflik, usaha menghidupkan kejadian sebenarnya, adegan-adegan pertempuran yang dikerjakan dengan baik (barangkali terbaik dalam sejarah film Indonesia), semua itu merupakan alasan untuk menyebut film ini sebuah tontonan yang mengasyikkan. Tentu akan lebih baik lagi sekiranya Alam Surawidjaja masih punya cukup waktu untuk memperhalus skenario sehingga beberapa dialog terucapkan tidak bagaikan di panggung sandiwara. Haji Misbach yang menuliskan kalimat-kalimat pada skenario itu barangkali belum membayangkan saat opnamenya. Tapi ketika berada di tempat lokasi, menyesuaikan dengan tokoh, tempat dan waktu mengucapkannya, sutradara sebenarnya bisa menghindari kesan deklamasi macam yang dipertontonkan oleh seorang nenek menggendong cucu di adegan terakhir. Film dengan tema-tema heroik dengan dialog yang hebat-hebat memang mudah jatuh dari media slogan, jika sutradara kurang hati-hati. Kurang hati-hati juga terpaksa dialamatkan pada juru rias yang menghasilkan tentara gurka yang berdandan kurang rapi. Keadaan macam ini kadang-kadang mengganggu mata yang sedang asyik dengan adegan-adegan pertempuran yang dikerjakan nyaris sempurna.
Tapi yang jelas jauh dari kesempurnaan adalah pekerjaan laboratorium di Hongkong, pencetakan film maupun pengisian suara. Salim Said.
Ini film Doku Drama, produksi Kodam Siliwangi menulis: Film semacam ini kurang menguntungkan secara komersial. Karena itu ditempuh jalan kompromi; setelah dokumentar, selebihnya khayalan. Hasilnya ya begitulah. Dan Alam R.Surawijaya yang menyutradarai terpaksa tidak sanggup mengimbangi karyanya terdahulunya, "perawan Di Sektor Selatan.."
Kisah berlatar belakang peristiwa 24 Maret 1946 di Bandung, yang membuat kota ini seperti lautan api. Adegan peperangan antara Indonesia-Belanda ini menyita sebagian besar film. Sisanya merupakan kisah konflik Nani (Christine Hakim), gadis Palang Merah, yang menaruh hati pada Priyatna (Arman Effendy), bekas perwira Peta. Sementara itu Nani sendiri ditaksir oleh Hidayat (Dicky Zulkarnaen), komandan kompi, komandannya Priyatna juga. Kisah kecil di balik peperangan ini berakhir dengan meninggalnya Hidayat.
Tetapi film ini jadi menarik karena Kodam Siliwangi memegang peranan besar. Hal yang sama juga terjadi pad film "Mereka Kembali"
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda menguasai kota tersebut. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946. Kol. Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung.[rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih diperdebatkan.
P.T. PROPELAT KODAM VI SILIWANGI
P.T. SRI AGUNG UTAMA FILM
P.T. SRI AGUNG UTAMA FILM
DICKY ZULKARNAEN ROFI'IE PRABANCANA ARMAN EFFENDY CHRISTINE HAKIM TATIEK TITO MILA KARMILA A. HAMID ARIEF HADISJAM TAHAX |
News
05 April 1975
Bandung lautan api
Bandung Lautan Api Cerita: Lukman Madewa Skenario: H. Misbach Jusa Biran Sutradara: Alam Rengga Surawidjaja *** BANDUNG lautan Api diproduksi oleh Kodam Siliwangi. Sudah jelas niatnya mengungkapkan kembli apa yang sebenarnya telah terjadi di masa revolusi. Film macam ini biasanya kurang menguntungkan secara komersiil, karena itu maka ditempuh jalan kompromi: setengah dokumenter, selebihnya khayalan Hasilnya, ya, begitulah. Dan Alam Rengga Surawidjaja yang menyutradarainya terpaksa tidak Sanggup mengimbangi karya terdahulunya: Perawan Di Sektor Selatan. Kendatipun demikian, film ini toh merupakan tontonan yang menarik, terutama bagi mereka yang masih berminat mengintip sejarah Bandung dan Siliwangi di masa revolusi. Komposisi skenario ditatah dengan rapi oleh Haji Misbach Jusa Biran, sehingga pemunculan tokoh-tokoh sejarah Bandung dan Siliwangi A.H. Nasution Aruji Kertawinata, Sutoko dan lain-lain -- berjalan paralel dengan tokoh-tokoh fiktif cerita yang disusun oleh Lukman Madewa. Dan cerita memang berkembang melalui konflik-konflik tokoh-tokoh khayalan macam Hidayat (Dicky Zulkarnaen), Nani (Christine Kakim), Priyatna (Arman Effendy) dan Jarot (Rofie Prabanca). Meskipun kehidupan dan konflik pribadi tokoh-tokohnya tidak dalam terselami oleh Alam Surawidjaja (sebagai yang ia lakukan dalam Perawan Di Sektor Selatan ) tapi perkembangan cerita masih juga sempat terdukung oleh perkembangan watak tokoh-tokohnya.
05 April 1975
Bandung lautan api
Bandung Lautan Api Cerita: Lukman Madewa Skenario: H. Misbach Jusa Biran Sutradara: Alam Rengga Surawidjaja *** BANDUNG lautan Api diproduksi oleh Kodam Siliwangi. Sudah jelas niatnya mengungkapkan kembli apa yang sebenarnya telah terjadi di masa revolusi. Film macam ini biasanya kurang menguntungkan secara komersiil, karena itu maka ditempuh jalan kompromi: setengah dokumenter, selebihnya khayalan Hasilnya, ya, begitulah. Dan Alam Rengga Surawidjaja yang menyutradarainya terpaksa tidak Sanggup mengimbangi karya terdahulunya: Perawan Di Sektor Selatan. Kendatipun demikian, film ini toh merupakan tontonan yang menarik, terutama bagi mereka yang masih berminat mengintip sejarah Bandung dan Siliwangi di masa revolusi. Komposisi skenario ditatah dengan rapi oleh Haji Misbach Jusa Biran, sehingga pemunculan tokoh-tokoh sejarah Bandung dan Siliwangi A.H. Nasution Aruji Kertawinata, Sutoko dan lain-lain -- berjalan paralel dengan tokoh-tokoh fiktif cerita yang disusun oleh Lukman Madewa. Dan cerita memang berkembang melalui konflik-konflik tokoh-tokoh khayalan macam Hidayat (Dicky Zulkarnaen), Nani (Christine Kakim), Priyatna (Arman Effendy) dan Jarot (Rofie Prabanca). Meskipun kehidupan dan konflik pribadi tokoh-tokohnya tidak dalam terselami oleh Alam Surawidjaja (sebagai yang ia lakukan dalam Perawan Di Sektor Selatan ) tapi perkembangan cerita masih juga sempat terdukung oleh perkembangan watak tokoh-tokohnya.
Film bermula dengan sikap Hidayat yang penakut dan sinis sembari menaruh hati pada Nani. Sebagai umumnya film perang buatan Indonesia, tokoh wanita ini senantiasa menjadi penggerak cerita, sebagai yang dibuktikan lagi oleh tokoh Nani dalam film ini.
Di akhir cerita Hidayat tewas. Tokoh lain adalah perwira bekas Heiho, Priyatna. Hubungannya dengan Nani memanaskan hati Hidayat. Tapi konflik di antara mereka tidak sampai keluar rel perjuangan, sehingga tidak ada masaalah pengkhianatan. Yang terjadi malah sebaliknya, berlomba-lomba membuktikan kejantanan. Tokoh lain alalah Jarot. Bekas prajurit yang pernah bertempur di Birma, ini tidak tahu banyak kecuali bertempur. Ia jujur, polos, jantan dan penuh kesetiaan. Mendapatkan perintah membereskan para pengkhianat, ia menembak mati semua yang hadir dalam rumah, termasuk ayah Nani. Tahu bahwa Nani bukan mata-mata, ia menyediakan dirinya menjadi umpan peluru Priyatna. Jalinan konflik, usaha menghidupkan kejadian sebenarnya, adegan-adegan pertempuran yang dikerjakan dengan baik (barangkali terbaik dalam sejarah film Indonesia), semua itu merupakan alasan untuk menyebut film ini sebuah tontonan yang mengasyikkan. Tentu akan lebih baik lagi sekiranya Alam Surawidjaja masih punya cukup waktu untuk memperhalus skenario sehingga beberapa dialog terucapkan tidak bagaikan di panggung sandiwara. Haji Misbach yang menuliskan kalimat-kalimat pada skenario itu barangkali belum membayangkan saat opnamenya. Tapi ketika berada di tempat lokasi, menyesuaikan dengan tokoh, tempat dan waktu mengucapkannya, sutradara sebenarnya bisa menghindari kesan deklamasi macam yang dipertontonkan oleh seorang nenek menggendong cucu di adegan terakhir. Film dengan tema-tema heroik dengan dialog yang hebat-hebat memang mudah jatuh dari media slogan, jika sutradara kurang hati-hati. Kurang hati-hati juga terpaksa dialamatkan pada juru rias yang menghasilkan tentara gurka yang berdandan kurang rapi. Keadaan macam ini kadang-kadang mengganggu mata yang sedang asyik dengan adegan-adegan pertempuran yang dikerjakan nyaris sempurna.
Tapi yang jelas jauh dari kesempurnaan adalah pekerjaan laboratorium di Hongkong, pencetakan film maupun pengisian suara. Salim Said.