Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Permainan yang Nakal. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Permainan yang Nakal. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Mei 2010

JIPLA MENJIPLAK WAJAH FILM KITA

21 Mei 1983
Jiplak-Menjiplak Film
Mengenal film kita mengenal wajah

SETELAH menonton 27 film cerita, Dewan Juri Festival Film Indonesia 1977 sampai pada kesimpulan: " . . . film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produsen film kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijakkan kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal."

Bagai disengat lebah, kalangan film memberikan reaksi di luar kebiasaan mereka yang suka basa-basi. Yang tidak terkejut nampaknya kalangan pengamat perfilman yang sejak lama sudah menyuarakan hal yang sama. Demikianlah Salim Said membuka telaahnya dalam Profil Dunia Film Indonesia, sebuah buku 152 halaman yang diterbitkan PT Grafiti Pers akhir 1982. Disiapkan untuk penerbitan tahun 1979, karya it4 sendiri berasal dari skripsi sarjana FIS-UI dua tahun sebelum itu. Namun apa yang dikemukakannya tetap saja relevan dengan situasi sekarang: Salim, redaktur film TEMPO sejak didirikannya majalah ini sampai saat ia pergi belajar Ilmu Politik ke Ohio State University, AS, selepas ia lulus UI, hakikatnya berusaha menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai kehidupan perfilman Indonesia. Dan bukan sekadar mencatat peristiwa aktual. Di awal tahun tujuh puluhan, tulis Salim lebih lanjut, Rosihan Anwar sudah dengan kesal melontarkan pertanyaan: "Mengapa film Indonesia mesti memperlihatkan hal itu ke itu juga: rumah mewah, Mercedes Benz, pemuda ngebut dengan sepeda motor Honda, night club?" Arief Budiman juga bertanya mengenai "adegan-adegan erotis" yang "hampir terdapat pada semua film Indonesia". Jawaban nampaknya harus diperoleh dari H. Asrul Sani, sastrawan yang jadi penulis skenario dan sutradara film. Asrul menjelaskan: "Cerita-cerita film kita pada umumnya sekarang bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari finansir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur yang menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi orang tidak bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi dari kehadiran dari sekian persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman."

Bahkan sutradara Wim Umboh menyatakan, "sebagian besar cerita film Indonesia dikarang oleh produsernya sendiri." Dari pengalamannya sebagai sutradara maupun produser, Wim dengan tidak ragu-ragu menyebut film impor sebagai sumber ilham. Akibat dari yang dijelaskan Wim itu bisa disaksikan di layar putih: rumah mewah dengan pelayan yang minim, anak tunggal yang jatuh cinta juga kepada anak tunggal, cara berpakaian yang sulit ditemukan padanannya dalam hidup sehari-hari di negeri yang pendapatan per kapitanya kurang dari US$300. Mengenai gejala anak tunggal itu, menarik untuk mengikuti catatan Taufiq Ismail, salah seorang anggota Dewan Juri FFI 1977. Taufiq menemukan 70,3% peserta festival mengemukakan kisah anak tunggal yang memberi kesan kuat bahwa mayoritas keluarga Indonesia cuma beranak satu orang saja. Juga, 81,5% film peserta itu bermain di kota. Tentu saja angka yang tinggi ini harus dihubungkan dengan kenyataan bahwa menggambarkan kemewahan lebih mungkin dengan menggunakan kota sebagai latar belakang. Dari 27 film cerita, 55,5% menonjolkan perabot ukir mewah buatan mutakhir. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa ciri-ciri tersebut tidak lahir begitu saja, melainkan lewat proses yang panjang. Dari tulisan pada majalah lama di Museum Pusat Jakarta, bisa diketahui bahwa usaha pertama pembuatan film cerita di Hindia Belanda dilakukan pada tahun 1926. Pelopornya adalah dua orang kulit putih, Heuveldorp dan Kruger.

Dengan membentuk perusahaan yang bernama Java Film Company di Bandung, kedua orang itu berhasil membuat film pertama mereka, Loetoeng Kasaroeng. Heuveldorp tidak meninggalkan jejak. Dia maupun Kruger kekurangan modal. Dan, di tangan orang Tionghoalah akhirnya film mendapatkan bentuknya sebagai usaha dagang. Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail memulai suatu tradisi yang sama sekali baru untuk dunia perfilman di Indonesia. Usmar membuat film dari cerita-cerita yang digalinya dari kenyataan hidup di sekelilingnya. Makawajah Indonesia memang bisa terlihat lewat film-film Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Perusahaan Film Nasional (Perfini) itu. Tapi Usmar Ismail tidak bertahan lama. Akibat kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya digambarkan lewat layar putih, dan sensur yang terlalu ketat, Usmar terpaksa berkompromi. Dan usaha membuat film Indonesia dengan menampilkan wajah Indonesia boleh dikatakan gagal. Kebiasaan lama yang dimulai para produser Tionghoa yang sebenarnya juga tidak mati ketika Usmar bergiat -- kemudian merajai kembali dunia perfilman. Percobaan menembus cara kerja produser Tionghoa itu memang ada dilakukan, lewat Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) di akhir tahun enam puluhan. Tapi dengan alasan pemborosan, pemerintah -- yang mulanya mendukung badan tersebut -- setelah terus-menerus didesak para produser film, akhirnya membubarkan DPFN.

Pola dagang yang dimulai orang Tionghoa itu bisa ditemukan akarnya di Hollywood, sedang pola yang dipelopori Usmar Ismail telah mendapat bentuknya dengan jelas pada Neo Realisme Italia, yang lahir sebagai reaksi terhadap Hollywood. Dalam literatur film, Neo Realisme Italia dikenal sebagai Movement sedang produksi Hollywood digolongkan sebagai Genre. Genre mendapatkan bentuknya yang jelas pada tahun 1918, ketika studio-studio Hollywood -- berkat pengalaman bertahun-tahun serta "panen" akibat hancurnya industri film Eropa -- melakukan usaha standarisasi. Saat itulah lahir formula pictures, istilah yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai 'ramuan' atau "resep" untuk bikin film laku. Menjadi jelas kiranya bahwa masalah yang dihadapi film Indonesia sesungguhnya masalah yang cukup mendasar. Ia menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga, lewat sejarahnya yang relatif panjang. Sialnya, setelah kemerdekaan diperoleh, subkultur seperti itu tetap hidup. Malah makin berkembang: selain oleh para pengusaha nonpribumi -- yang hingga kini tetap menguasai bisnis film di Indonesia juga berkat kepeloporan Almarhum Haji Djamaluddin Malik. Tokoh ini mendirikan perusahaan film, NV Persari, 1951, dengan menggunakan Hollywood sebagai contoh. Ciri Hollywood yang paling menyolok, diketahui, adalah membuat film sesuai dengan selera penonton.

Dan karena selera penonton sebenarnya tidak bisa diketahui dengan pasti, hanya mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan orang-orang kelas bawah, maka film Indonesia yang dibuat produser-produser ini pun film bermutu rendah. Yang penting bukan kualitas, tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul per tahun, tanpa pernah bersibuk dengan mutu. Tentang kecenderungan peniruan terhadap film asing, bisa dikatakan bahwa dari zaman sebelum perang film kita sebagian besar memang tiruan film impor. Ketika menjelang jatuhnya Hindia Belanda di sini diputar film Tarzan, produser film masa itu pun membuat film Tarzan Indonesia yang bernama Alang-alang Film Tengkorak Hidup dan Kedok Ketawa tidak lebih dari tiruan filmfilm Drakula yang beredar di Indonesia sebelum )epang mendarat. Bahkan pembuatan film Terang Boelan pada 1937 tidak bisa dipisahkan dari film Jungle Princess yang beredar di Indonesia masa itu. Akan halnya film buatan tahun lima puluhan hingga kini, soalnya juga tidak banyak berubah. Di studio Persari dahulu, Djamaluddin Malik tidak segan-segan mengundang sutradara India membuat kembali film yang pernah dibuatnya di India. Itulah riwayat kelahiran film Djandjiku, yang antara lain dibintangi Almarhum Abdul Hadi. Peniruan yang dilakukan di tahun tujuh puluhan sekarang ini kadang-kadang memang lebih halus -- sebagai yang dilakukan Wim Umboh lewat Pengantin Remaja, yang sebenarnya cuma merupakan saduran kreatif Love Story.

Tapi peniruan yang kasar bukan tidak ada. Kebanyakan dilakukan terhadap film Mandarin, buatan Hongkong maupun Taiwan. Menarik untuk diketahui bahwa dari sebuah film Mandarin bisa lahir dua film Indonesia. Kasus ini menyangkut film Ilusia (sutradara: A. Karim) dan Biarkan Aku Pergi (sutradara: Wim Umboh). Juga film Rahasia Gadis (sutradara: B. Kadaryono) dan Surat Undangan (sutradara: Ishak Iskandar) amat dicurigai bersumber pada film Mandarin yang sama. Bisa dipahami, karena film dianggap semata-mata barang dagangan, yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara -- yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan -- di sini harus tunduk. Sialnya, kecuali untuk beberapa sutradara, kedudukan lemah semacam itu tidak banyak dipersoalkan. Ini disebabkan oleh pengalaman kerja sutradara-sutradara tersebut yang umumnya sudah terbiasa dengan kedudukan tidak menentukan itu -- sebelum jadi sutradara. Dan keadaan tentu akan lebih buruk jika pemilik modal adalah mereka yang datang atau berasal dari cabang bisnis lain: tekstil, perkayuan, perhotelan, dan sebagainya. Tidak jarang pemilik modal jenis ini memaksakan karakter dagang kayu atau tekstil ke dalam kegiatan pembuatan film. Syahdan Heuveldorp dan Kruger, yang tercatat pertama kali membuat film (Loetoeng Kasaroeng) tahun 1926 di Bandung, lewat perusahaan mereka Java Film Company kemudian juga membuat film Euis Ayih di awal 1927.

Mengenai kedua film tersebut, seorang wartawan yang menggunakan nama samaran Bandoenger menulis: Pembikinan permoela'an ini bisa dianggap ada djaoe dari sampoerna, bilah dibandingken dengen prodocties fabriek-fabriek Amerika dan Europa. Tetapi kaloe orang taoe, dengen kasoesahan begimana itoe kongsi film, soedah moesti bekerdja, jaitoe dengen kapitaal yang sanget diwatesin dan personeel yang tidak terbajar, ketabahan tida poenja decors dan studio yang tetap, inilah orang aken maloemken .... Tjoemalah bisa dipoedji ia poenja pekerdja'an techniek, jang bisa dianggep tida lebi bawah dari films loear negri. Ini adalah cerita tentang bagaimana film-film "kuno" itu dibuat. Setelah kedua film tadi, tidak ada lagi cerita mengenai usaha Heuveldorp bersama Kruger. Meskipun percobaan mereka tidak mengecewakan, di pasaran nampaknya mereka tidak berhasil. Sementara itu orang-orang Tionghoa, menurut Bandoenger, waktu itu sudah menguasai 85 persen bioskop di Hindia Belanda. Dan muncullah T.D. Tio Jr., dari rombongan Miss Ribut's Orion yang kini maju dan kaya. Tio ingin bikin film dengan Miss Ribut sebagai primadona. Maka didatangkanlah tiga bersaudara Wong dengan segala peralatannya, dari Syanghai. Sejarah kemudian tidak mencatat Miss Ribut sebagai bintang film. Kabarnya lantaran hasil tes kamera atas diri bintang panggung ini tidak memuaskan suaminya.

Wong bersaudara yang sudah telanjur datang itu akhirnya mendapatkan modal kerja dari David Wong Tionghoa peranakan dari Batavia yang waktu itu menjabat sebagai manajer umum General Motor. Kerja sama Wong totok dan Wong peranakan ini ditubuhkan pada 1928 dalam sebuah perusahaan yang bernama Halimoen Film. Satu-satunya produksi perusahaan ini adalah film Lily van Java yang sering juga disebut Melatie van Java. Mengenai film ini, H. Misbach Jusa Biran, penulis skenario dan kepala Sinematek Indonesia, ada menulis: Pemainnya orang intelek, mahasiswi Tjina peranakan, Lily Oey. Memang hebat waktu itu ada wanita Tionghoa bisa sampai tingkat perguruan tinggi, djuga kiranja akan mengedjutkan bahwa ada mahasiswi mau main film. Djalan tjerita hanja ala kadarnja sadja. Jang banjak diperhatikan hanja permainan tennis, mainan orang intelek ..... Menurut Armijn Pane, Lili Oey bukan orang Tionghoa kelahiran Indonesia pertama yang main film. Sebelumnya di Syanghai ada pula Tionghoa peranakan dari negeri ini yang main film. Armijn Pane menyebut film Syanghai Naik Djadi Dewa sebagai antara lain dibintangi oleh "Tionghoa asal Djakarta".

Bermainnya Tionghoa peranakan Indonesia di Syanghai itu dimungkinkan oleh kenyataan bahwa pasaran film Syanghai di Indonesia amat kuat. Dan karena keuntungan itulah kemudian orang-orang Tionghoa di Batavia bertekad membuat film sendiri. Penonton potensial yang mereka gambarkan adalah orang Tionghoa. Karena itulah film yang mereka buat berkisar di sekitar orang Tionghoa, dengan teks Tionghoa di samping teks Melayu. Pemainnya juga diambil dari kalangan Tionghoa. Menggunakan pemain Tionghoa kemudian juga terlihat lagi dalam film Si Tjonat. Tontonan ini merupakan produksi pertama Batavia Motion Picture Company. Si Tjonat adalah cerita populer masa itu, baik di kalangan peranakan Tionghoa maupun pribumi, dan telah dimainkan beberapa rombongan sandiwara. Dalam salah satu penerbitan majalah Panorama, K.T.H. (Kwei Tek Hwei) ada memperkatakannya sedikit: Itoe tjerita tjoemah meloekisken saorang Boemipoetra jang sadari ketjil ada amat nakal, dan sasoedah boenoeh mati kawannja aken dirampas kerbonja jang lantes didjoeal, kamoedian melarikan diri dari kampoengnya ka Batavia, laloe bekerdja djadi djongos pada saorang Blanda, lantes eret barang itoe Blanda poenja njaie, kamoedian djadi kepala rampok, dan achirnja menaro tjinta pada satoe gadis Tionghoa jang tinggal di desa, anak dari saorang tani jang idoep dari piara babi dan mengebon sajoer, dan koetika itoe gadis tiada ladenin permintaannja, ia lantes bawa lari, tapi blakangan itoe gadis, nama Lie Couw Nio, ditoeloeng oleh toenangannja, Thio Sing Sang, jang oendjoek kagagahan di hadepan itoe kawanan pendjahat. Film yang memperlihatkan kegagahan pemuda Tionghoa mengalahkan penduduk pribumi ini ternyata berhasil di pasaran. Sukses besar itu menurut K.T.H. bukan lantaran kebagusan jalan ceritanya melainkan oleh adegan perkelahiannya serta lelucon yang ditampilkan.

Tahun 1928 Halimoen Film memunculkan Rampok Prianger. Film yang dibuat dengan resep Si Tjonat yang sukses, ternyata berakhir dengan kegagalan. Wong bersaudara memerlukan waktu dua tahun untuk bangkit kembali. Tapi komedi yang mereka bikin mengenai keadaan malaise di tahun 1930, Lari ka Arab, ternyata juga tidak menghasilkan uang. Kruger yang dulu memelopori percobaan membuat film, di tahun 1929 muncul kembali dengan perusahaan miliknya sendiri, Kruger Film Bedrijf. Tapi baik filmnya yang berjudul Atma de Visser (1929) maupun Amat Tangkap Kodok (1930) tidak menghasilkan uang. H. Misbach Jusa Biran menilai kegagalan Kruger ini sebagai akibat ketidakpekaan orang Jerman tersebut terhadap selera publik waktu itu. Filmnya yang terakhir kabarnya malahan menimbulkan kedongkolan publik pribumi, lantaran mereka digambarkan hanya sebagai tukang tangkap kodok. Di tahun 1929 tiga perusahaan baru muncul. Tapi yang terpenting adalah Tan's Film, yang pada zaman film bersuara nanti masih akan terus membuat film. Nansing Film Corp. yang juga berdiri di tahun 1929, cuma berhasil membuat sebuah film, Resia Boroboedoer, untuk kemudian bangkrut. Ini lantaran biaya yang terlalu banyak untuk mendapatkan seorang artis Syanghai, Olive Young. Honorarium cewek asing itu sampai f 10.000.00. Produksi pertama Tan's Film adalah cerita populer Njai Dasima.

Penulis kritik K.T.H. menilai film itu cukup baik, meskipun "kaloe dipandang dengan katja mata kunst atawa menoeroet tjaranja satoe connoisseur, tjatjatnja memang ada banjak sekali." Njai Dasima itu ternyata laku, sehingga segera dibikin dua sambungannya, Njai Dasima II (1930) dan Pembalasan Nancy (1930). Sambungan ini pun mendapat sambutan baik. Tan's Film juga menarik perhatian lantaran usahanya menggunakan orang-orang Indonesia sebagai pemain. Beberapa peranan kurang penting di film-film terdahulu dari perusahaan lain memang telah menggunakan orang Indonesia, tapi baru. Tan's Film yang mencantumkan pada iklan Njai Dasima kalimat ini: Semoea Rol-rol Dipegang oleh Bangsa Indonesia Sendiri. H. Misbach Jusa Biran cenderung menilai penempatan kalimat tersebut sebagai hasil pengaruh Almarhum Andjar Asmara. Sebab Andjar banyak sekali menulis mengenai Tan's Film, dan salah seorang pemain Njai Dasima adalah anggota Pandangsche Opera, rombongan yang di dalamnya Andjar Asmara juga pernah jadi anggota. Bisa diduga, diproduksinya Melatie van Agam oleh Tan's Film berdasar cerita percintaan karya wartawan terkenal Parada Harahap, juga atas anjuran Andjar Asmara. Lokasi film ini adalah Sumatera Barat. Dan pengeluaran Tan's Film ternyata tidak sia-sia: film ini pun menghasilkan uang. Majalah panorama malah menilai Melatie van Agam sebagai hasil terbaik Tan's Film hingga saat itu. Tahun 1931 merupakan tahun penting dalam sejarah film di Indonesia: pertama kalinya film bersuara dibikin di negeri ini. Usia film bisu sendiri di Indonesia terlalu singkat, sehingga tidak terlalu banyak hal bisa diperkatakan. Hanya saja penghasil film bisu terbanyak, dan sekaligus yang akan terus berproduksi di masa-masa mendatang, adalah perusahan milik Tan Koen Yauw itu.

Bahwa hanya Tan Koen Yauw satu-satunya pemilik modal yang memasuki lapangan film, barangkali bisa dijelaskan begini: prospek pembikinan film bisu masa itu belum jelas, sebab film Hollywood yang juga bisu merupakan tontonan yang sulit dilawan. Perhatian berkurang terhadap film asing baru mulai ketika film asing itu sudah berbicara, yakni 1930. Ini tak sulit dimengerti: bahasa asing tak dimengerti penonton di sini, sementara pembuatan teks masih belum bisa dilakukan. Pada saat yang sama, kedudukan sandiwara atau tonil masih amat menarik perhatian penonton pribumi kala itu. Maka yang terutama nonton film hanyalah keturunan Tionghoa. Itulah sebabnya film bisu yang paling menarik adalah yang menggunakan cerita Tionghoa. Menarik untuk diketahui usaha seorang Inggris, Carli, membuat film mengenai kaum Indo Belanda dengan juga mempergunakan pemain Indo. Usaha itu gagal. Orang-orang Indo masa itu ternyata lebih suka menonton film impor. The Teng Choen, putra pedagang hasil bumi The Kim le, adalah peranakan Tionghoa kelahiran Betawi. Sembari belajar ilmu dagang di New York, The Teng Choen juga ikut sebuah kursus penulisan skenario. Akibat depresi yang melanda dunia, pendidikan Teng Choen tidak berlanjut. Tapi ia tidak pulang ke Batavia. Berkelana beberapa bulan di Eropa, akhirnya memutuskan ke Syanghai, pusat pembuatan film Mandarin masa itu.

Ia berhasil membujuk ayahnya untuk mengalihkan pekerjaannya dari eksportir hasil bumi menjadi importir film Mandarin. Tahun 1930, Teng Choen kembali ke Batavia. Dengan mulainya film bersuara, pasaran film Mandarin yang tadinya bisu kini menjadi sulit. Tidak semua keturunan Tionghoa di Indonesia paham bahasa leluhur mereka. Dan Teng Choen yang tahu kedudukan potensil kelompok tersebut tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan kamera sederhana yang dibawanya dari Syanghai, ia memutuskan membuat film bersuara dengan cerita Tionghoa yang berlatar belakang alam Indonesia. Dari perusahaannya yang bernama Cino Motion Pictures, Teng Choen menghasilkan film-film Sam Pek Eng Tay (1931), Pat Bie Fo (1932), Pat Kiam Hiap (1933), Ouw Phe Tjoa (1934). Tahun 1935, nama perusahaannya yang makin besar itu berubah menjadi The Java Industrial Film Co. (JIF). Tapi produksinya masih tetap cerita Tionghoa: Lima Siloeman Tikoes (1935), See Yoe Ang Hai Djie (1935), Ouw Phe Tjoa II (1936), dan Hong Lian (1937). Di tahun-tahun pertama dibuatnya film bersuara di Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan milik orang kulit putih, yang memelopori pembuatan film bisu, ada mencoba melanjutkan usaha mereka yang gagal. Tapi film Indo seperti Karina's Zelfopoffering (1932) buatan Carli sama sekali tidak menghasilkan uang. Terpaksa Menikah (1932) buatan Kruger malahan terpaksa dijual sebelum selesai.

Sedang Tjok Speelt voor de Film (1932) buatan Halimoen Film cuma memancing kemarahan orang-orang Indo yang merasa diperolok-olokkan. Lalu perusahaan baru milik orang Belanda, Java Pacific Film (Bandung) dengan Albert Balink dan Mannus Franken sebagai tokohnya, mempekerjakan Wong bersaudara dalam pembuatan film antropologis yang bernama Pareh (1934). Secara teknis film itu cukup bermutu. Tapi juga tidak menghasilkan uang. Penonton di Hindia Belanda tidak suka film yang menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang masih kuno. Hanya saja, film Pareh secara teknis meyakinkan para pembuatnya mengenai kemampuan mereka membuat film bersuara. Sebagai film antropologis, Pareh tentu saja menonjolkan alam Indonesia yang indah dan eksotis di mata orang Barat. Teknik sudah baik, pemandangan sudah indah, kurang apalagi? Kebetulan tahun 1936 itu beredar Dorothy Lamour, The Jungle Princess. Film ini bermain di tempat indah, Hawaii, yang dibikin lebih eksotis. Balink dan Wong serta wartawan terkemuka masa itu, Saeroen, kepala bagian pers Indonesia Kantor Berita Belanda, ada berbincang-bincang untuk membuat film macam yang dibintangi Dorothy Lamour itu. Pemandangan indah eksotis sudah ada di Indonesia, dan pemain ganteng sudah ditemui, yakni Raden Mochtar. Tinggal merangkai cerita. Dengan menggunakan resep-resep yang disadap dari The Jungle Princess itu. Saeroen menulis cerita untuk film Terang Boelan. Sebagai anti musik Hawaiian, dipergunakan lagu-lagu keroncong yang ketika itu amat digemari. Supaya lebih asyik lagi. Ditarik saja penyanyi terkenal masa itu, Nyi Roekiah, mendampingi Raden Mochtar. Tentu saja Roekiah harus pula menyanyi. Bersama Roekiah, ikut pula suaminya, pemusik terkenal, Kartolo. Hatta, untuk pembuatan film ini di tahun 1936 didirikanlah perusahaan baru. Algemeene Ned. Indie Film Synd. (ANIF). Maka tahun 1937 awal, Terang Boelan siap beredar.

Pada selebaran bioskop Orion yang mempertunjukkan film tersebut, cerita singkat "Film Indonesia yang pertama kali keluaran ANIF dengan pakai 100 persen bahasa Indonesia" itu tercetak seperti ini: Tjerita ini terjadinja ialah di poelau "Sawoba" di Indische Archipel, jang boeat kebagoesan dan keindahannja soenggoeh ta' kalah dengan poelau "Hawai" jang soedah terkenal. Dari sebab itoe kebanjakan orang membilang poelau Sawoba itoe ialah poelau Hawaii dari Hindia Belanda (dan seterusnya). Sawoba sendiri ternyata singkatan dari: Saeroen, Wong, dan Balink. Sukses besar dinikmati Terang Boelan: penonton sandiwara dan tonil yang tidak pernah secara serempak jadi penonton film, kini berduyun-duyun datang ke gedung bioskop. Impian para pembuat film untuk menarik sebanjak mungkin penonton, bukan cuma kalangan Tionghoa, nampaknya berhasil. Lantas saja resep Terang Boelan, sadapan The Jungle Princes itu, jadi mode. Dari sukses film itu juga para produser Indonesia menarik pelajaran mengenai film yang disukai masyarakat. Resepnya kira-kira ini: pemandangan yang indah-indah lagu-lagu merdu perkelahian yang seru penderitaan sang tokoh sebelum akhirnya menang pemain utama harus rupawan, kalau bisa orang terkenal di masyarakat, sebagai penyanyi atau apa saja. Dan karena orang tonil sudah punya nama, dan bisa pula bermain, maka disedot sajalah mereka ke dalam berbagai studio film. Itulah riwayat hijrahnya orang panggung ke dunia film, seperti Andjar Asmara, Nyoo Cheong Seng dan istrinya, Fify Young, Tan Tjeng Bok. Keadaan ini kemudian mengakibatkan dunia pentas kita masa itu dilanda krisis. Sukses Terang Boelan itu pun bukan cuma mengubah corak cerita film di Hindia Belanda, tapi juga mengundang para pemilik modal. Lagipula ada perkembangan penting: kekacauan yang melanda Cina, akibat serbuan Jepang ke Manchuria. Keadaan ini menimbulkan ketakutan para pemilik modal perfilman di Syanghai. Perlu cari daerah usaha baru. Maka ke Batavia, dari Syanghai, bukan cuma modal yang datang. Tapi juga peralatan dan tenaga ahli. Semua itulah yang menjadi sebab bertambahnya dengan pesat jumlah perusahaan film di Batavia menjelang datangnya bala tentara Jepang.

Dalam pada itu makin besarnya penonton pribumi dan orang sandiwara yang memadati dunia film, memberi karakter tersendiri terhadap film sebelum perang. Resep Terang Boelan yang diperoleh dulu masih tetap dipegang sarinya, tapi variasinya makin lama makin dekat kembali kepada sandiwara. Pengaruh sandiwara terlihat baik pada struktur cerita maupun pada cara bermain. Malah masa itu dengan cepat menjadi "sandiwara yang difilmkan". Ini bisa terasa lewat cerita tiruan Zorro macam Srigala Item atau Singa Laoet, atau cuplikan 1001 Malam macam Koeda Sembrani, Aladin, atau Djoela Djoeli Bintang Toedjoe. Lalu datanglah Jepang. Kemudian Proklamasi. Pengakuan Kedaulatan, Desember 1949, kemudian membawa orang-orang Republik dari Yogya kembali ke Jakarta. Di tahun 1950, untuk pertama kalinya, orang "pribumi" memberanikan diri mendirikan perusahaan film sendiri. Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini), sedang Djamaluddin setahun kemudian mendirikan Perseroan Artis Indonesia (Persari). Pada tahun yang sama, Dr. Huyung muncul pula sebagai pendiri perusahaan film yang bernama Kino Drama Atelier, sedang Perusahaan Film Negara ada pula terlibat dalam pembuatan film cerita. Tapi dari 13 perusahaan film yang berproduksi pada 1950, sebagian terbesar milik orang Tionghoa juga. Dan cara kerja mereka ternyata sama saja dengan cara sebelum Perang. Film-film berbau "tempo dulu" itu begitu hebat efeknya kepada masyarakat, sehingga usaha-usaha Perfini dan Kino Drama Atelier yang idealis itu, yang jumlah produksinya memang tidak besar, nyaris tidak mendapat perhatian. Djamal dengan mudah mendapat modal untuk membangun studio Persari, ketika Usmar Ismail dari Perfini masih harus antre mengerjakan filmnya di studio PFN. Bahkan ketika masih belum mempunyai perlengkapan studio yang memadai, dari pada antre lama di PFN, Djamal memilih Manila sebagai tempat mengerjakan film.

Hubungannya dengan Manila di awal tahun lima puluhan itulah yang kemudian membuka mata Djamal kepada industri film, sehingga studionya yang kemudian dibangun secara besar-besaran di Polonia, dibangun berdasarkan pola Manila yang sebenarnya cuma merupakan tiruan kecil studio MGM di Hollywood. Ke Manila Djamal bukan cuma memproses film, tapi juga mengirim sejumlah karyawan Persari untuk belajar. Sebagai pedagang yang juga sibuk di bidang perdagangan lainnya antara lain memiliki perusahaan dagang alat-alat listrik -- kemudian sibuk pula di pimpinan Partai Nahdatul Ulama (NU), kesempatan amat terbatas bagi "Big Boss" ini untuk terlalu banyak campur tangan pada film yang dibuat Persari, Dan karena yang berkuasa di Persari masa itu orang-orang bekas sandiwara, tidak mengherankan jika film Persari hampir semuanya berbau sandiwara dan amat dekat pada film produser Tionghoa. Bahkan orang-orang yang pernah bekerja di Persari bisa mengisahkan betapa Djamaluddin Malik tidak segan-segan menganjurkan peniruan terhadap film Tionghoa, jika memang dikehendaki penonton. Dan ketika film India sudah amat merajai bioskop Indonesia dan mendesak produksi dalam negeri, Djamaluddin sekalian mendatangkan sutradara dan sejumlah teknisi India untuk bikin film di Persari. Kata Djamal: "Kalau penonton mau yang India, kita kasih India, sampai mereka bosan." Djamal bukan tidak mau membuat film bermutu, terbukti dengan usahanya menyekolahkan tenaga-tenaga Persari ke luar negeri. Cuma lantaran tenaga-tenaga yang disekolahkan itu telah telanjur besar di dunia sandiwara keliling, sudah sulit bagi mereka bersikap dan berbuat lain dari yang lazim mereka lakukan. Keinginan membuat film baik itu bisa dilihat pada usaha Djamal mempekerjakan Asrul Sani di Persari, sejak 1954.

Tapi Asrul Sani yang berada di lingkungan bekas-bekas anak sandiwara itu akhirnya juga tidak bisa berbuat banyak. Tapi kepeloporan Djamal dalam bidang industri (memiliki studio terbesar dengan peralatan lengkap) dan produksi (tahun 1952 dan 1953 menghasilkan film-film berwarna Rodrigo de Villa, Tabu, dan Lelani) masih belum juga memuaskan hatinya. Di tahun 1954, ia ingin membuat film yang betul-betul bermutu. Asrul menulis cerita dan skenario Lewat Djam Malam, yang tak mungkin difilmkan dengan tenaga-tenaga yang ada di Persari. Maka diadakannya kerja sama dengan Perfini. Sebagian besar modal, cerita, dan skenario serta sebagian pemain, dari Persari. Sedang sutradara (Usmar Ismail) dan tenaga teknis lainnya dari Perfini. Kerja sama Perfini-Persari itu berhasil dengan baik, dan Lewat Djam Malam menjadi film kebanggaan. Mencapai sukses artistik dan komersial, kerja sama Perfini-Persari itu kemudian ternyata tidak bisa dilanjutkan lantaran keributan pada Festival Film Indonesia pertama di tahun 1955. Festival yang ketua dewan jurinya Andjar Asmara itu menghasilkan keputusan yang menyejajarkan Lewat Djam Malam dan Tarmina poduksi Persari yang disutradarai Lilik Soedjio. Keputusan itu menimbulkan heboh di kalangan pers film dan orang-orang film sendiri. Sastrawan dan kritikus film S.M. Ardan antara lain menulis: "...kemenangan film Tarmina segera mengingatkan kita akan lebih banjaknja orang-orang sandiwara duduk dalam panitya djuri, orang-orang jang tidak mengerti film. ...Film-film sematjam Lewat Djam Malam adalah suatu usaha ke arah seni film, mengapa djustru Tarmina jang masih merupakan sandiwara dipotret didjadjarkan dengan Lewat Djam Malam?" Tapi dari beberapa sumber yang ikut terlibat dalam festival tersebut, diperoleh keterangan bahwa kemenangan Tarmina tidak semata-mata soal selera juri. Festival yang seluruhnya dibiayai Djamaluddin Malik itu akhirnya juga harus memberikan keuntungan kepada Persari -- dalam bentuk kemenangan buat karya Lilik Soedjio, sutradara kebanggaan Persari masa itu.

Dan tentu saja hal demikian tidak menggembirakan Usmar Ismail. Permainan di festival tahun 1955 sebenarnya bukan yang pertama kalinya. Di tahun 1954, ketika majalah Dunia Film pimpinan Abdul Latief melakukan angket bintang wanita terpopuler, yang mendapat suara terbanyak adalah Titien Soemarni. Tapi karena Djamaluddin Malik ingin yang menang binang Persari, akhirnya yang "terpilih" Netty Herawaty. Toh berbagai usaha dan "permainan" Djamaluddin Malik itu ternyata tidak bisa menyelamatkan Persari dari kesukaran yang berada di luar lingkungan studionya. Film-film Indonesia, yang hingga saat itu masih terus diputar di bioskop kelas bawah, di tahun 1955 amat disaingi film India -- setelah tahun-tahun sebelumnya harus berjuang melawan film-film Malaya dan Filipina. Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang didirikan bersama oleh Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail tahun 1954, pada 1955 melakukan desakan kepada pemerintah -- lewat pernyataan dan demonstrasi artis dan karyawan film -- agar menurunkan kuota film India. Djamaluddin Malik dan Persari berada dalam posisi amat sulit. Kredit pemerintah untuk membangun studio harus terus dibayar kembali. Maka bersama produser film lainnya, yang tergabung dalam PPFI, Djamaluddin dan Usmar Ismail sekali lagi meminta perhatian pemerintah, atau studio tutup. Kabinet yang berganti-ganti dan kurangnya orang yang mengetahui soal film dalam pemerintahan makin mempersulit keadaan. Sementara itu tekanan film impor terus pula mendesak film nasional. Karena tidak melihat jalan keluar lagi, tanggal 19 Maret 1957 PPFI mengumumkan penutupan studio-studio milik anggotanya.

Berita itu menimbulkan heboh. Tapi tanggapan yang paling keras datang dari golongan kiri -- Lembaga Kebuyaan Rakyat (Lekra) dan Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis) -- yang mendesak agar pemerintah mengambil alih studio-studio tersebut. Campur tangan pemerintah dan janji Kementerian Perekonomian untuk meperjuangkan adanya kementerian yang membawahkan film, akhirnya berhasil melunakkan hati anggota PPFI dan membuka studio mereka pada tanggal 26 April 1957. Tapi berita paling menarik kemudian adalah penahanan atas Djamaluddin Malik pada bulan Mei 1957. Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti mengenai alasan Penguasa Perang menahan Djamal, tapi di kalangan kawan dekatnya ada dugaan kuat bahwa soalnya tidak bisa dipisahkan dari masalah politik. Ini diperkuat oleh serangan koran-koran kiri di Jakarta waktu itu -- terhadap Djamaluddin Malik, tapi juga Usmar Ismail. Tahun 1958, ketika Djamal keluar dari tahanan, keadaan perfilman sudah amat buruk. Persari yang tadinya merupakan studio terbesar tahun itu cuma memproduksi satu film, Anakku Sajang. Dan karena seluruh sisa utang Persari pada Bank Negara harus dilunasi pada 30 Juni 1958, tidak ada pilihan bagi Djamal selain menjual kompleks studionya di Polonia. Pembelinya: PN Areal Survey (Penas), yang hingga kini masih memiliki studio-studio tersebut. Sejak itu, meski tidak resmi bubar, Persari berhenti menjadi faktor penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Artis-artis dan karyawan-karyawannya, dengan bantuan keuangan dari Djamaluddin Malik, tetap mencoba membuat film di tempat lain. Tapi udara buruk perfilman masa itu amat tidak menolong mereka. Di kemudian hari beberapa kali Djamal mencoba kembali giat di dunia film, tapi keadaan politik menjelang Gestapu tidak membuka kesempatan. Ketika tekanan politik PKI sudah amat memuncak, Djamal, Usmar, Asrul Sani (ketiganya berkumpul dalam Partai NU) bersama-sama membuat film Tauhid (perjalanan haji) di Mekah, 1964.

Setelah Gestapu, Djamal yang sudah sakit-sakitan makin lama makin jauh saja dari dunia film, pada saat ia makin menjadi orang partai. Djamaluddin Malik meninggal pada tahun 1970 di Jerman Barat, setelah menderita penyakit yang amat berat. Sudah tentu, meninggalnya Djamaluddin Malik sama sekali bukan matinya perfilman Indonesia. Masih ada berpuluh tokoh lain, produser maupun sutradara, dan Salim Said dalam telaahnya ini mencatat khususnya peranan menonjol Usmar Ismail. Inilah tokoh yang sudah di tahun 1950 berkata: "Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial" - dan yang menghasilkan film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Jogja dan Dosa Tak Berampun (1951), Krisis(1953), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (yang menurut D. Djajakusuma membuat Usmar sendiri sangat malu, karena 'kompromi'), Pedjuang, dan di tahun 1957 Delapan Pendjuru Angin, ketika dunia perfilman terasa "harus diselamatkan" dari kematian. Film terakhir Usmar, pejuang 'pola yang lain' dari pola komersial, dan pendidikan beberapa sutradara dan banyak tenaga film yang lebih muda, adalah Ananda, yang belum 100% selesai ketika maut merenggutnya pada 1971. Apa yang terjadi di masa pra-Gestapu sendiri, khususnya 1957-1965, dilukiskan Salim Said terutama dalam wujud macetnya secara total dunia perfilman kita dan berbagai 'kerusakan' yang diakibatkannya. Juga situasi khusus di masa Jepang selain perjalanan lebih lanjut perfilman kita selama dasawarsa terakhir, dengan lahirnya berbagai film dan sutradara yang lebih muda. Namun yang sangat penting agaknya keadaan ini: tetap kalahnya peranan sutradara oleh pemilik modal, yang di Indonesia umumnya langsung menjadi produser, dan yang di masa akhir juga dimasuki "unsur India".

Bahkan istilah 'kompromi' sebenarnya tidak dikenal -- apalagi dipersoalkan -- oleh sebagian besar sutradara, mengingat riwayat mereka itu dalam hubungan kerja dengan si cukong. Sangat menarik adalah hasil pencatatan yang dilakukan KFT (Karyawan Film & Televisi) terhadap latar belakang pendidikan sutradara Indonesia, yang dicantumkan di buku itu. Dari situ terlihat, 60,4% sutradara kita berpendidikan SLA. 14,3% berpendidikan film luar negeri. Sedang yang berpendidikan SD tercatat 2,2%. Itu hitungan tahun 1976, terhadap 91 sutradara anggotanya. Bagaimana dengan bintang filmnya, yang hampir 500 orang itu? Terbesar berpendidikan SLP: 52%. Perguruan tinggi hanya 6%, sementara SD 25%. Memang, pendidikan formal bukan satu-satunya syarat. Tapi bila keadaan itu digabungkan dengan peranan pemilik modal, dan 'subkultur' mereka, harapan terwujudnya 'wajah Indonesia yang berwibawa' lewat perfilman kita agaknya memang tak usah diberi waktu terlalu cepat. Ataukah sikap kita terlalu pahit?

Minggu, 21 Maret 2010

SEX SEX YANG DIKEJAR SENSOR

22 Juli 1989
SEX & SENSOR
Lingkaran setan dalam film indonesia

AKIBAT penarikan peredaran film Pembalasan Ratu Laut Selatan dan Akibat Terlalu Genit bukan main. Tjut Djalil tiba-tiba jadi orang penting.

Seks dan sadisme muncul sebagai musuh terbesar film Indonesia. Kedua film yang bersangkutan dicari-cari. Sementara itu, Badan Sensor Film (BSF) sebagai lembaga yang paling berwenang dalam meloloskan sebuah film dikecam habis-habisan. Sehari setelah penarikan itu, Menteri Penerangan Harmoko melantik anggota BSF periode 1989-1991, lebih cepat sebelas hari dari masa kepengurusan yang diketuai Thomas Soegito. Lolosnya PRLS produksi Soraya Intercine Film yang disutradarai Tjut Djalil memang mengundang gunjingan. Film itu tidak saja dianggap mengeksploitir perilaku seks secara berlebihan tapi juga mengumbar berbagai adegan brutal. Kecerdasan penonton seperti dihina. Seorang penulis surat pembaca di harian Kompas menyebutnya sebagai kebebasan seks yang "amburadul". Astaghfirullah. Imbauan agar PRLS diperiksa kembali kontan disuarakan oleh sejumlah tokoh masyarakat. Mulai dari wartawan, pengamat film, ulama, hingga wakil rakyat di DPR. Ketika berlangsung dengar pendapat antara Komisi I dan Menpen Harmoko, Kamis dua pekan lalu, beberapa anggota DPR RI juga menyoroti PRLS secara kritis. Malah, dengan nada keras, Ali Tamin, S.H. menganjurkan supaya BSF diajukan ke pengadilan. "Ini sangat penting guna menjaga tertibnya dunia perfilman nasional," kata anggota Komisi I ini seperti yang ditulis di harian Sinar Pagi. Hal senada juga dikatakan pengamat film Dr. Salim Said. "Pembuat film dan produsernya harus diperiksa. Kalau terbukti salah, ya ditindak," katanya tegas. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa pemecatan dari organisasi atau pencabutan izin produksi. Ia mengibaratkan dengan apa yang terjadi di bidang pers. "Kalau punya SIUPP, silakan terbit. Dan kalau dianggap salah, dibredel," tambah Salim. "Seharusnya dalam dunia film juga begitu."

Menurut Salim, yang dipersoalkan dalam PRLS sebenarnya bukan soal film seksnya. "Tapi, kejorokannya yang digugat," kata anggota Dewan Film Nasional itu. Harus diakui, pengertian jorok bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Dulu, adegan ciuman dilarang, sekarang sudah biasa. Tapi, itu pun masih harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan tuntutan cerita. Di sinilah peran BSF. Ada dugaan lain yang bernada minor. Kelonggaran yang diberikan BSF itu erat hubungannya dengan masalah uang. Sudah menjadi rahasia umum - seperti yang diceritakan seorang sutradara - bahwa siapa yang bisa membayar mahal kepada BSF, filmnya akan selamat. Sulitnya, tidak ada data tertulis untuk membuktikan kebenaran cerita itu. Maka, ketika pelantikan pengurus baru dipercepat sebelas hari, tudingan ke alamat BSF yang bermarkas tak jauh dari Sarinah di Jalan Thamrin itu makin menjadi-jadi. Namun, menurut Menteri Penerangan, tidak ada alasan khusus yang mendorong dipercepatnya upacara pelantikan. "Waktu yang tersedia beberapa hari menjelang masa efektifnya BSF dapat dipergunakan untuk melakukan orientasi," katanya, ketika melantik pengurus BSF yang baru.

Lebih jauh ia mengatakan bahwa BSF yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, wakil instansi, dan para ahli berbagai disiplin ilmu hendaknya mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kriteria penyensoran yang mengacu pada kepentingan masyarakat. Soal lolosnya PRLS? "Itu termasuk kesalahan mekanisme kerjanya. Maka, kepada pengurus yang baru saya minta agar mengubah cara penyensoran yang selama ini dipakai. Tidak lagi tiga orang dalam tiap kelompok, tapi lima orang," kata Menteri Harmoko kepada Heddy Susanto dari TEMPO. Seribu tudingan "miring" yang ditujukan ke BSF juga tak membikin keder pengurus lama. "BSF selalu berusaha agar isi dan tema setiap film tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu BSF punya buku pintar," kata Thomas Soegito, yang masa tugasnya berakhir Sabtu pekan ini. Tugas kerja badan ini pada dasarnya tidak terlepas dari para anggotanya yang berjumlah 39 orang - kini 45 orang. Mereka duduk di lembaga itu sebagai wakil departemen, lembaga nondepartemen, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Lembaga nondepartemen, misalnya, ada Mabes ABRI, Bakin, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BP7. Dari organisasi masyarakat, antara lain MUI, KWI, PGRI, PWI, KNPI, Kowani, Angkatan 45, Pramuka. Secara umum kriteria film yang diproduksi tidak boleh mencerminkan sikap anti Tuhan dan merusakkan kerukunan umat beragama serta tidak bertentangan dengan kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri. Seandainya terselip adegan porno, sadisme, atau horor yang berlebihan, wajib dibuang. Toh, masih ada saja film-film yang mengundang kecaman pedas sehingga BSF harus bekerja ekstrakeras. 

Dua tahun lalu sewaktu film Ketika Musim Semi Tiba (KMST) diloloskan, BSF juga dibantai habis-habisan. Film yang dibintangi Meriam Bellina itu dinilai banyak menyajikan adegan erotis. Namun, Thomas Soegito dengan lihai berkelit. "BSF punya misi moral dalam membantu perfilman nasional, hingga sedapat mungkin meluluskan 100%," ucapnya (TEMPO, 6 Juni 1987). Tentang bumbu seks, katanya, "Bumbu boleh saja, tapi jangan terlau main jalan." Belakangan, setelah dua bulan bertengger di sejumlah bioskop, film laris tahun 1987 itu ditarik dan diperiksa ulang oleh BSF. Uniknya, pada saat yang sama, film-film sejenis lainnya, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bundar Bulat, Nyi Blorong, meledak di pasaran. Dan aman-aman saja alias luput dari perhatian publik. Tak heran kalau produser KMST, Ferry Angriawan, mencak-mencak karena merasa dikerjain. Kehadiran film bertema seks di Indonesia sebenarnya sudah cukup tua. Tentu dengan kadar yang berbeda-beda.

Pada awalnya adalah film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai Dokter Huyung pada 29 tahun silam. Empat bulan sebelum film tersebut diedarkan, muncul protes dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan lantaran ada poster bergambar orang sedang berciuman. Tapi, sepuluh tahun kemudian, Turino Djunaidi sukses menampilkan Djakarta-Hongkong-Macao, sebuah film bertema action dengan selingan adegan ciuman di sana-sini. Proses selanjutnya berlangsung cepat. Lahirnya kebijaksanaan impor film di tahun 1967 makin merangsang kehadiran film-film Indonesia yang berbau pornografi. Film-film Orang-Orang Liar, Hidup, Cinta dan Airmata, lalu Bernapas Dalam Lumpur (BDL) adalah wajah perfilman kita dua dasawarsa yang lalu. BDL dengan bintang utama Suzzanna yang diproduksi tahun 1970 mencatat rekor sebagai film terlaris yang ditonton hampir 130 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis pada zaman itu. Sejak itu pula nama Suzzanna melesat bagi meteor dan banyak yang menjadikannya sebagai bintang simbol seks. Honornya mencapai Rp 1 juta. Belakangan, Paula Rumokoy yang tampil lewat Dan Bunga Bunga Berguguran ikut menyemarakkan suasana. Lalu menyusul Tuty Suprapto dengan Tante & Sex. Setelah itu Yatti Octavia dalam Intan Perawan Kubu. Era 1970-1980 boleh dibilang masa kebangkitan film yang mengekspose adegan dari ranjang ke ranjang. 
Film jenis lain, seperti Tuan Tanah Kedawung, Si Buta dari Gua Hantu atau Si Gondrong dengan silat sebagai menu utama, kalah pamor. Begitu pula yang bertema musik seperti Dunia belum Kiamat. Tapi, film seks ketika itu tidak sampai terjebak pada kemesuman. Bahkan, film lain yang memasang judul vulgar semacam Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku Sayang atau Pahitnya Cinta Manisnya Dosa melabrak tanpa halangan apa pun. Buktinya, tak ada protes yang mengharuskan BSF mengadakan peninjauan kembali. Tampilnya film-film Indonesia yang penuh adegan panas akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari makin berkembangnya teknologi informasi di masyarakat. Contohnya, lewat parabola, acara-acara di luar negeri mudah diikuti. Tanpa sensor lagi. Kehadiran video gelap juga menjadi faktor pemacu. Gejala inilah yang disadap para produser yang sudah membuktikan bahwa film dengan latar belakang seks dan kekerasan jadi senjata sakti di pasaran. Maka berlomba-lombalah mereka menghadirkannya sebagai bagian dari sebuah bisnis. Sulit disangkal, bumbu seks dalam sebuah film jadi faktor pelaris. Ini alasan klasik yang sudah dikumandangkan sejak Wim Umboh menggarap Bunga-Bunga Berguguran di tahun 1970-an. "Masuknya seks hanyalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita," katanya. Bahkan, Asrul Sani ketika itu dengan gamblang mengatakan, "Saya yakin kelak film Indonesia akan berkembang ke arah mempersembahkan seks secara wajar. " Dua puluh tahun kemudian hal yang sama dibeberkan oleh Gope T. Samtani. "Untuk daya tarik, seks menjadi penting sebagai bumbu," kata produser PT Rapi Films. Ia memberikan batasan toleransi sekitar 10% . "Porsi sekecil itu paling untuk iklan masih bisa diterima," tambahnya. Dengan resep ini, Rapi yang memproduksi film dengan biaya Rp 150 hingga Rp 200 juta bisa memetik keuntungan minimal 20% perfilm. "Sekarang ini film legenda dan mistik memang sedang disukai, terutama di daerah," kata Gope lagi. Segmen pasarnya pun sudah jelas yakni menengah ke bawah. Film jenis ini dalam setiap penyelenggaraan FFI porsinya rata-rata mencapai 60 persen. Setidak-tidaknya ini membuktikan betapa besarnya jangkauan pasarnya. Tapi, ia menolak anggapan bahwa film yang laku harus dengan embel-embel seks dan sadisme.

Sebaliknya, Nyak Abbas Acub setuju dengan pendapat bahwa film seks dan sadisme pasti digandrungi. "Umumnya laku. Film Suzzanna, tidak ada yang tidak laku," kata sutradara Inem Pelayan Sexy ini. Sebab, memang sudah terjadi pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat. "Akan berkembang terus karena setiap kurun waktu akan ada nilai-nilainya sendiri," katanya lebih lanjut. Menurut teorinya, kondisi film Indonesia sendiri. "Kita sekarang ini dijejali dengan film impor. Sehingga, agar survive, film nasional cari jalan. Ibarat Ellyas Pical diadu dengan Mike Tyson. Jelas, bukan lawannya. Tapi Mike Tyson malah didukung. Jadi, tidak salah kalau Ellyas Pical main kayu, cari batu," kata sutradara penuh humor itu. Jadi, dalam bisnis film yang serba tidak pasti, banyak faktor yang saling mempengaruhi laku tidaknya sebuah film. Sialnya, film yang laku belum berarti keuntungan besar masuk ke kantong produser karena hasil peredaran jatuh ke tangan "booker" atau distributor. Dan peran"booke" ini tidak bisa diremehkan. "Kadang-kadang kami dibisiki produser bahwa maunya 'booker' itu begini," cerita Mat Noer Tindaon, sutradara Akibat Pergaulan Bebas yang pernah dihebohkan tahun 1977. Untuk menggambarkan betapa besarnya kekuasaan produser, bisa diceritakan oleh Djun Saptohadi. Ketika ia menggarap film Sembilan Wali produksi Soraya Intercine Film pada 1985, Djuntak berdaya dengan titipan produser. Adegan panas yang seharusnya tampil selintas, atas permintaan produser, diubah menjadi tontonan buah dada. "Tak pelak lagi, gara-gara itu saya dicerca di mana-mana," kata Ketua I Kelompok Sutradara KFT ini. "Situasi semacam ini dihadapi 80 persen sutradara yang ada," tambahnya.

Munculnya lembaga distributor atau "booker" tidak urung ikut ambil andil dalam soal kualitas. Karena merasa tahu jenis film yang laku, bintang yang digemari, tema cerita yang disenangi penonton, para "booker" sering bertindak sebagai penentu. Target produksi bukanlah piala Citra. Yang penting bisa dijual, laku, dan menguntungkan. Sebelum berproduksi, seorang produser biasanya konsultasi dulu dengan "booker". Setelah ada kesepakatan, dana pun mengalir dari "booker". Sistem ijon semacam inilah yang melahirkan film-film yang banyak mendapat cercaan. Namun, produser atau "booker" tak bisa disalahkan begitu saja. "Lahirnya film kacangan merupakan pertemuan produser bermental dagang dengan sutradara tanpa kemampuan dan cita-cita," kata Nasri Chepy, sutradara film Catatan Si Boy yang meledak itu. Ia juga tidak menutup mata adanya praktek jual nama sutradara. Maksudnya, sutradara hanya dibeli namanya, sedang praktek di lapangan dilakukan orang lain. Lalu apa resep sebuah film yang baik? "Sebenarnya, yang penting adalah membuat film yang kena di hati masyarakat," kata Raam Punjabi dari Parkit Film. Sebagai pengusaha sah saja kalau berorientasi pada keuntungan. "Film bukan hanya untuk tuntunan tapi juga barang dagangan," tambah produser yang doyan membuat film-film mahal ini. Ia mengatakan bahwa yang dibuat dengan modal besar belum tentu laku di pasaran. Film Peluru dan Wanita, misalnya, dengan sedikit bumbu seks dan dibikin dengan biaya Rp 2,5 milyar, tidak begitu bergema.

Lain halnya dengan Catatan Si Boy dan Saur Sepuh yang mendapat sambutan hangat sehingga boleh dijuluki film laris tahun 1988. Keduanya dibuat secara berseri. Dan tahun ini Namaku Joe dan Kabayan Saba Kota laku keras. Tak hanya di bioskop papan bawah Kabayan berjaya. Di bioskop kelas satupun mereka selalu dipenuhi pengunjung. Ini membuktikan tak semua film dengan tema "biasa" tak bisa dijual. Jauh sebelumnya, film-film warop Prambors seperti Maju Kena Mundur Kena, Gantian Dong, dan Kesempatan Dalam Kesempitan juga merajai pasaran. Begitu pula Pengorbanannya Rhoma Irama. Rata-rata menyedot di atas 1.000.000 penonton. Sementara itu, film-film yang masuk nominasi FFI, yang dari segi kualitas bisa diandalkan, malah kedodoran. Paling tinggi hanya menjaring 500 ribu orang, kecuali Pemberontakan G30S-PKI dan Sunan Kalijaga yang di atas 1.000.000.

Singkat kata, film-film terlaris dalam sepuluh tahun terakhir ini kalau tidak Warkop Prambors, Rhoma Irama, yang bertemakan takhyul atau seks. Ketika dalam FFI 1984 diumumkan tidak ada film terbaik, orang pun tersentak. Apalagi setelah Juri tidak memberikan Citra untuk cerita asli. Apa yang terjadi dengan film Indonesia? Sudah begitu parahkah situasinya? Dari segi cerita sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya mandek begitu kata D. Djajakusuma almarhum sutradara Harimau Campa. "Cerita asli kurang digali karena produser memang maunya demikian." Maka, bermuculanlah film-film yang dibuat dengan semangat seks dan kekerasan yang idenya berkiblat ke film asing. Celakanya, BSF kurang tajam mengasah pisau guntingnya sehingga film semacam Pembalasan Ratu Laut Selatan lolos dengan mulus. Padahal, dampak film yang menyajikan adegan sanggama dan sadisme sudah sering terdengar. Dari sejumlah kasus perkosaan yang terjadi di sejumlah daerah beberapa waktu lalu dalam persidangan terungkap bahwa pelakunya yang rata-rata masih remaja terpengaruh oleh film yang ditonton. Kelonggaran itu pula yang dipertanyakan oleh seorang ibu yang tinggal di Denpasar, Bali, belum lama ini. Ia melampiaskan unek-uneknya dengan menulis surat pembaca di sebuah surat kabar karena anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak disodori film Malu-Malu Mau dengan bintang Warkop. Adegan seks mungkin tidak ada. Yang dipertanyakan, tepatkah film semacam itu untuk konsumsi anak-anak. Sebenarnya, di setiap daerah sudah ada Bapfida (Badan Pengawas Perfilman Daerah) yang tugasnya meneliti film-film yang akan diputar di bioskop. Lembaga ini tidak berhak menyensor. "Tapi, kalau ada yang tidak sesuai dengan kultur daerah kami kembalikan," kata M. Supratomo, Sekretaris Bapfida Yogyakarta. Film PRLS, misalnya, langsung ditolak. Hal yang sama antara lain juga dilakukan oleh Bapfida Jawa Tengah dan Bapfida Suatera Utara. Toh, masih ada yang kecolongan. "Terus terang saja kami ketrucut," kata Soediono, Ketua Bapfida Jawa Timur. Film PRLS sempat lima hari diputar di Surabaya sebelum turun perintah pencabutan. Di kota ini, PRLS tidak menimbulkan reaksi tajam karena penontonnya sepi.

PRLS telah menjadi "tumbal" yang membuat kita semua mengamati lagi film nasional. Lebih dari itu menyengat orang film sendiri untuk berpikir. Seks dan sadisme bukan satu-satunya masalah. Itu baru sebagian dari masalah yang mestinya muncul ke permukaan. Banyak persoalan lain yang belum terbeber. Kebodohan sebagian orang film sendiri dalam medlanya, sebagaimana disinyalir oleh Teguh Karya, juga merupakan lingkaran setan, kemacetan film nasional. Meskipun menurut Eros Djarot, sebenarnya, "Tidak ada lingkaran setan, yang ada hanya setan yang melingkar-lingkar." Yusroni Henridewanto,Tommi T., Muchsin Lubis, Jelil Hakim, Jalil Hakim, I Made Suarjana

Selasa, 25 Desember 2012

NURNANINGSIH ( Boom Sex Pertama)

Lahir di Wonokromo, Surabaya. Pendidikan : SLA sampai Kelas I; kursus bahasa Inggris di Ellenschool (berijazah), di Lembaga Indonesia Amerika (berijazah), senam joga, les piano (satu tahun.Muncul pertama kali dan langsung sukses dalam film "Krisis" (1953) yang laris. Menyusul kemudian film-film "Harimau Tjampa" (1953), dan "Kelenting Kuning" (1954), Sekitar tahun-tahun itu Nurnaningsihpernah dihebohkan sebagai bintang sex Indonesia, yang berani berpose polos, diluar film. Setelah menyelesaikan "Kebun Binatang" (1955) namanya tidak pernah terdengar lagi di dunia film sampai tahun 1967.Pada 1968 muncul kembali sebagai figuran dalam "DjakartaHongkong Macao", kemudian meningkat menjadi Pemain Pembantu dalam film-film "Orang Orang Liar" (1969), "Bernafas Dalam Lumpur" (1970), "Derita Tiada Achir" (1971), "Samtidar" (1972). Sedangkan "Seribu Janji Kumenanti" (1972) merupakan film pertama yang diperan utamainya sejak pemunculan kembali ke dunia film. Juga muncul dalam "Kembang Kembang Plastik" (1977),"Donat Pahlawan Pandir" (1978) dan "Bayang-Bayang Kelabu" (79).

Selama menghilang dari dunia film (1955-1967) Nurnaningsih mengembara dari satu kota ke kota lainnya di Indonesia dengan bermain sandiwara dan menyanyi. Juga bermain sepakbola sebagai kiper selama 6 tahun. Disamping itu dia gemar melukis. Selain film, kegiatannya selama tahun-tahun terakhir ini adalah menjadi penjahit serta memberi macam-macam kursus, dari bahasa Inggris sampai memberi pelajaran berhitung kepada anak-anak.

 
1 September 1953
SEBENARNYA ruwet meng-apa – siapakan artis-artis film yang baru! Ruwetnya karena terlalu riskan bicara tentang “mukabaru”. Muka-muka baru yang sekelibat pula terlihat. Belum tentu mukamuka baru itu continue terlihat terus di putih-hitam. Karena kestabilannya masih akan ditentukan oleh si pembikin si pembikin film dan publik.
 
Biarpun begitu  siapa “muka baru” Nurnaningsih diproduksi PERFINI “Krisis” tentu dijawab. Jawabnya bukan penjumlahan tanggal – tahun tempat lahir – belajar di mana – bekerja di kantor apa, dan sebagainya yang konvensional. Tetapi dicoba meneropong Nurnaningsih dari segi yang lain.

Perkanalan saya dengan si “muka baru” Perfini ini membuat saya lebih banyak bingung dan menjadi kurang waras. Kawan-kawan – saya jangan lantas ditertawakan. Bukan bingung dan menjadi tidak waras karena Nurnaningsih qua fisik menarik dan qua face – memang mempunyai camera face yang tidak sering diketemukan dengan begitu saja.

Tetapi – dia artis segala macam (kata orang yang tahu!)   – melukis – menyair – menyanyi – dan ditambah pula dengan yang baru…… bermain di film. Sampai kemana Nurnaningsih kulatitatif tentang seni-seninya di atas dikenal oleh umum saya belum berani bicara. Menurut kawan yang lebih dekat kepadanya (Kawan itu rekan Nurnaningsih): Nur – mempunyai banyak ambisi – kalau mengenai hal-hal seni. Sayangnya – ya memang dia melukis dan bersuamikan pelukis yang cukup terkenal. Tetapi bisa melukis dan bersuamikan pelukis belumlah berarti sudah jadi pelukis. Kemudian bersepak terjang terlalu bebas sebagai artis buat memberikan aksen kenilai artisannya itu. Ini salah, kata kawan itu. Bukan artis itu sendiri yang mesti mengecap dirinya adalah artis! Biar artis apa saja!

Itu juga paham saya kepada kawan dekat Nurnaningsih itu. Dan Nur – sebagai manusia biasa dalam pergaulannya sehari-hari mempunyai “mata-angin” yang tidak konstan.


20 Oktober 1954
PERISTIWA foto-foto telanjang dari bintang film Nurnaningsih yang diedarkan di ibukota sekarang ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan sebenarnya, jika kita mau memperhatikan cara hidup dan cara bergembira para pemain film kita pada waktu-waktu belakangan ini dan jiwa kita mau menerima bahwa cara hidup dan cara bergembira itu sebagai kongkretisasi dari pikiran dan pandangan hidup seseorang. Hal inipun dibuktikan oleh ucapan Nurnaningsih sendiri yang mengatakan, bahwa dia tidak bermaksud memerosotkan kesenian ataupun bahwa dia bukanlah tidak berakhlak ataupun rusak moral, tapi semata-mata hendak melenyapkan segala pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia.

Bukalah lembaran-lembaran majalah Film Indonesia, perhatikanlah gambar-gambar nya dan bacalah apa-apa mengenai bintang-bintang film tersebut. Kita akan melihat gaya yang dibuat-buat, tampan-tampan yang dibentuk menurut cap Holliwood tapi secara tidak tepat dan berlebih-lebihan, kita akan melihat bagian-bagian tubuh yang sengaja mau ditontonkan. Kita akan melihat dansa-dansa dan pelukan-pelukan menggairahkan oleh karena tidak biasanya, kita akan membaca hobi-hobi bintang-bintang film yang sengaja dipilihnya dalam majalah-majalah tersebut.. Intervieulah seorang bintang film, dia akan mengatasi apa-apa yang pernah diucapkan oleh rekan-rekannya. Titien Sumarni menyatakan di Medan, bahwa dia tidak keberatan dicium. Kalau nana Mayo nanti diintervieu oleh wartawan  medan, pasti dia akan melebihi lagi keberanian ucapan Titien.

Sebab dari keadaan ini ialah: kita hanya meniru dan dalam meniru itu kita memalingkan muka ke Holliwood Amerika. Di mana sebenarnya hanya ada sedikit sekali kesenian dan hanya sedikit sekali ada daya kreatif. Di sana hanya ada pengembangan naluri-naluri primitif secara intensif, pengembalian cara hidup dan cara berpikir ke masa manusia belum mengenal kebudayaan. Di sana dipaksakan adanya satu dunia mimpi dimana pikiran-pikiran seperti pikiran Nurnaningsih itu mengalami kelegaan bernafas untuk penghabisan kalinya sebelum musnah dilindas oleh arus pikiran-pikiran baru yang lahir dari alam pemikiran kreatif.

Kita lihat Italia, yang sesudah Perang Dunia II dengan cepat memuncak daya kreatifnya dan menciptakan film-film yang mengagumkan seluruh dunia. Dalam sukses itu mulailah mereka meniru, mula-mula mengambil oper pikiran-pikiran Holywood kemudian tidak boleh tidak menyusul cara hidup yang disempurnakan dengan munculnya Hollywood baru di tepi sungai Tiber. Berangsur lenyaplah neo-realisme Italia yang mengagumkan, bertukar dengan realita daging Gina Lollobrigida yang mengalahkan Mariln Monroe. Bahkan Vittoria de Sica yang besar itupun terseret ke dalam arus peniruan ini dan keluar dalam film “Bread, Love and Dream”  yang oleh publik Amerika sendiripun dianggap tidak berharga selain daripada mempertontonkan gumpalan-gumpalan daging Lollobrigida.

Bahwa di lapangan kesenian adanya pribadi dan watak pribadi erseorangan dan watak keseluruhan hasil-hasil ciptaan sebagai kesatuan yang mendukung pandangan hidup dan ideologi sesuatu bangsa, itu sudah diakui dan sudah diperbincangkan berkali-kali dan sudah mulai dibuktikan dalam semua lapangan kesenian, kecuali film.

Salah satu hal yang mempengaruhi lapangan film ialah eratnya hubungn dengan keuntungan keuangan. Sukses dalam film selalu diserupakan dengan sukses keuangan. Sehingga orang melupakan sifat edukatif dari film lalu mengutamakan sifat menghasilkan uang.

Lapangan film menjadi lapangan bussiness dengan segala ekses-eksesnya. Pemain-pemain film jadi penjual-penjual gaya dan kecantikan, sampai-sampai Nurnaningsih bersedia difoto telanjang bulat dengan bayaran Rp. 200.

Bahwa dunia film kita kalau mau maju harus mendapat koreksi, terutama di lapangan pemikiran, sudahlah pasti. Di lapangan kesenian selain film, badan-badan seperti BMKS dan MSDR diharagai pemikiran-pemikirannya dan usaha-usahanya. Hal ini sedikit banyaknya merupakan koreksi yang bermanfaat. Tapi lapangan film sampai hari ini dikuasai oleh pikiran-pikiran dan usaha-usaha money-makers yang tidak tahu ukuran seni tapi cukup ahli mencari untung dengan segala tipu muslihatnya. Hal inilah yang harus dirobah dan perobahan ini terutama harus digerakkan oleh tenaga-tenaga yang masih punya pribadi di kalangan film sendiri.

Film sebagai alat pendidikan dan lapangan kerja seni, tapi juga sebagai perusahaan adala penting bagi kemajuan suatu bangsa. Maka haruslah ada satu badan tertentu yang bisa mengontrol dan mengekang usaha mem-bussiness-kan lapangan ini, sehingga jangan sampai meniru-niru Hollywood dan merupakan Batawood sekarang dengan Nurnaningsih yang menjiplak pikiran-pikiran dan laga-gaya Mariln Monroe, Lollobrigida (PL) dalam harian Patriot.

Ia Tidak Dapat Dituntut, Katanya Untuk Modal Seorang Seniman (Pelukis)
BERKENAAN dengan kenyataan-kenyataan yang diperoleh pihak kepolisian bahwa ada foto-foto telanjang dari bintang layar putih Indonesia, Nurnaningsih pada “Golden Arrow”, polisi bagian kesusilaan untuk kedua kalinya telah mendengar keterangan-keterangan Nurnaningsih.

Menurut keterangan kepolisian bagian Kesusilaan itu, pemeriksaan kedua kalinya atas diri Nurnaningsih  berlangsung selama 2 ½ jam itu, untuk sementara sudah selesai. Nurnaningsih sendiri dalam persoalan ini tidak akan dituntut.

Yang akan diselidiki lebih lanjut ialah siapakah yang telah membuat foto-foto itu dan siapakah yang mengedarkannya, karena dalam perkara ini yang bersangkutan dipersalahkan melanggar pasal 282 dari KUHP.

Menurut Polisi bagian Kesusilaan, Nurnaningsih telah menerangkan bahwa untuk tiap-tiap pengambilan foto itu ia diberi uang Rp. 200.

Atas pertanyaan-pertanyaan pers, bintang film Nurnaningsih yang juga berbakat seni lukis, menerangkan bahwa perbuatannya itu yakin telah menyediakan diri diambil fotonya dalam keadaan telanjang, bukan karena akhlaknya telah merosot, atau tidak tahu akan kehormatan diri, melainkan guna kepentingan seorang senima.
 
 1 November 1954“Rakyat Indonesia tidak mengerti” katanya yang telah menggemparkan tentang gambar-gambar telanjangnya, “Tetapi di Eropa saya sedia gambar-gambar telanjang  saya disiarkan. Rakyat Eropa lebih mengerti menghargai keindahan seni yang terdapat dalam gambar-gambar seperti itu”

Ketika dia diperiksa polisi tentang gambar telanjangnya yang tersiar itu dia berkata:
“Kalau hal ini dianggap salah, sesungguhnya ada wanita-wanita dari golongan tinggi yang patut ditangkap karena perbuatannya yang salah. Bukan saya. Karena saya melakukannya semata-mata untuk kepentingan seni,”

“Saudara lihat pakaian saya ketika menghadiri upacara pemberian hadiah bintang film di hotel Des Indes malam itu” tanyanya. “Ketika itu saya berpakaian terbuka di sebelah punggung. Maksud saya supaya aksi kelihatannya, juga untuk seni,”

Ketika Nyonya Mangkunegoro dari Solo dengan sengaja mengunjunginya di rumahnya – sebuah garasi mobil yang tidak begitu teratur letak barang-barang di dalamnya – dan meminta gambar Nurnaningsih tetapi kebetulan pada waktu itu dia tidak mempunyai foto, dia berkata: “Baiklah nanti saya kirimkan saja ke Solo,”

“Gambar yang bagaimana yang U mau, yang berpakaian biasa, yang berpakaian Yankee seperti saya pakai ini, atau lainnya?”

Dan akhirnya puncak penantangannya jelas kelihatan pada perkataannya yang berikut: yang dikatakannya kepada regisseur dan pimpinan perusahaan film tempat dia bermain dahulu: “Kalau laki-laki boleh, kenapa saya tidak?”

Memang, barangsiapa bertemu dengan dia dan melihat gerak-geriknya,  kata-katanya, pandangannya. Wim Umboh, sutradara muda Golden Arrow tempat Nurnaningsih bermain film sekarang mengatakan bahwa mula-mula dia terkejut ketika bertemu dengan wanita itu untuk pertama kalinya. Tetapi setelah berbicara dengannya, dia kagum melihat keberaniannya. Dalam melihat Nurnaningsih, tepatlah kita pergunakan perkataan Usmar Ismail: Kita harus melihat dia sebagai manusia seni, sebagai artis, tidak sebagai manusia biasa. Dia adalah “de vrouwelijk Chairil Anwar”, tetapi bukan dalam prestasi seninya. Karena walaupun lukisan-lukisan Nurnaningsih sebagai amatir cukup baik, tetapi dia belum mencapai prestasi dan kebesaran Chairil”

Setelah banyak mendengar  cerita teman-teman tentang dia dan memperlihatkannya sendiri dalam beberapa kali percakapan dan pergaulan dengan dia, saya dapat menerima kesimpulan dari USmar Ismail tentang dia, yaitu “Sinting” atau tidak normal. Barangkali dalam istilah Freud dia dapat dimasukkan ke dalam golongan hysteris. Hal ini bukan berarti penghinaan bagi Nurnaningsih, karena juga Rita Hayworth misalnya mempunyai sifat yang hampir bersamaan dan banyak pujangga-pujangga besar .

Biasanya dia dipunyai oleh orang-orang yang mempunyai ambisi besar. Dan kalau kita ingat, bahwa juga Nurnaningsih mempunyai ambisi yang besar pula, yaitu cita-cita menjadi seorang virtuoos  ulung dalam lima macam cabang seni  antaranya sebagai pemain film, pelukis, penyanyi, pemain piano, maka mengertilah kita dorongan yang terdapat dalam dirinya. Hingga sekarang dia baru menjadi seorang bintang Film yang berbakat dan lebih daripada bintang-bintang film  wanita kita lainnya seperti kata Usmar Ismail. Seorang pemain film yang sudah dapat diakui sebagai bintang film kita, seperti kata Wim Umboh.

Biar bagaimanapun juga dia adalah suatu pribadi yang interressant dan unik dan merupakan suatu obyek yang menarik apabila kita dapat menempatkannya pada proporsinya sendiri.

 

Dari Keroncong ke Klasik
Pada hari saya menulis artikel ini, dia sedang melakukan opname film Golden Arrow “Tjemburu” di mana Nurnaningsih untuk pertama kalinya memegang peranan utama dalam kariernya sebagai bintang film selama lebih dari satu tahun. Rupa-rupanya sutradaranya yang baru yaitu Wim Umboh sangat puas dengan dia.

“Nurnaningsih sangat mudah” kata Wim Umboh “Dia selalu menurut kata-kata saya. Bintang-bintang film lainnya sering membantah. Tetapi Nurnaningsih juga ada menyangkal petunjuk saya apabila saya sendiri berada di luar rel, karena kelupaan atau lainnya. Biasanya teguran selalu benar dan dapat saya terima”.

Tentang prestasinya dalam film pada waktu ini, Wim Umboh mengatakan, bahwa Nurnaningsih mempunyai kemauan yang keras. Hanya sampai sekarang dia belum mempunyai inisiatif sendiri: dalam banyak hal dia selalu harus diberi petunjuk dan contoh terlebih dahulu untuk memainkan peranannya. Rupa-rupanya dia masih belum dapat membiasakan dirinya benar-benar dalam kehidupan yang panas dengan sorotan lampu-lampu  beribu-ribu watt itu. Hal ini dapat dimengerti karena dia masih belum lama hidup dalam sinar-sinar panas demikian.

Dalam lapangan seni menyanyi, dia kini telah pula meningkat. Pada saat saya menulis artikel ini, dia sedang melakukan latihan menyanyikan lagu-lagu klasik di studio RRI. Hal ini adalah langkahnya yang pertama terjun ke dalam dunia klasik. Ketika bercakap-cakap dengan Nyonya Mangkunegoro di rumahnya malam kemarin dan sampai kepada soal menyanyi, Nurnaningsih mengatakan: bahwa dia sekarang menyanyikan lagu-lagu klasik, karena dirasa lagu-lagu ini lebih cocok  dengan jiwanya. Karena lagu-lagu klasik berat dan dalam. Sebelumnya dia suka menyanyikan lagu langgam: tetapi sekarang lagu-lagu langgam dirasanya terlalu ringan.

Nurnaningsih tidak malu-malu pula  menceritakan bahwa karier seni suaranya dimulai dengan menyanyikan lagu-lagu keroncong. Ketika itu dia menjadi penyanyi kroncong dari band-band biasa, dan menyanyi di tempat-tempat pesta, dan perkawinan. Pendapatannya kadang-kadang baik juga, sampai seratus atau lebih semalam atau sehari. Tetapi kadang-kadang , setelah sehari-harian menyanyi, dia sebagai penyanyi hanya mendapat bagian lima rupiah saja. Tetapi pemberian selalu diterimanya dengan senang hati, katanya. Karena dia menyanyi dalam perkumpulan perkumpulan musik kroncong itu bukan untuk mencari uang, tetapi semata-mata untuk mengenal penghidupan dunia kroncong.

Dalam Gelombang Amor
Juga pada diri Ibu Nurnaningsih sudah terdapat darah keras dan sifat-sifat yang lain daripada manusia biasa. Walaupun hidup dalam dunia kolot, dia sudah mempunyai kemampuan yang bersifat modern, seperti hendak bersekolah yang lanjut, dan lain-lain.

Dan walaupun orang tua itu hanya lepasan sekolah rendah kelas 2, tetapi dia mempunyai kepercayaan yang kaut kepada dirinya. Dengan penuh kepercayaan dan tanpa gurudia melukiskan perasaan-perasaan hatinya tentang keadaan masyarakat yang dihadapinya di atas kanvas.  Juga setelah tua ini, dia terus melukis. Dengan bangga dia menunjukkan sebuah lukisannya yang unik itu kepada saya. “Begini perasaan saya tentang masyarakat sekarang,” katanya, “primitif” kata Nurnaningsih kepada saya dengan sedikit mencemooh. Memang primitif, tetapi lukisan-lukisan yang primitif ini telah pernah menarik hati pelukis terkenal kita Sudjono pada suatu pameran seni lukis di Magelang, di mana di masa revolusi dahulu, karena tepatnya lukisan dan keberanian yang tergambar dalam lukisan—lukisan sederhana itu: sampai Sudjono bertanyakan pula orang yang melukisnya.

Walaupun mempunyai sifat yang sama, tetapi antara ibu dan anak tidak terdapat persesuaian faham. Buat sang ibu, anaknya terlalu Barat. Baik tentang pakaiannya maupun tentang gerak-geriknya yang selalu gelisah gegabah, dan cara hidupnya. Orangtua itu tidak suka anaknya menjadi bintang film “Dia harus menjadi seorang wanita rumah tangga yang baik,”katanya.

Sesungguhnya Nurnaningsih juga pernah melakukan pengorbanan untuk orangtuanya. Sebagai anak gadis yang tertua dari suatu keluarga dan mencapai umur dewasa, tidak baik di mata orang, kalau dia tidak kawin. Oleh sebab itu dia harus kawin. Nurnaningsih menurut walaupun belum menemukanjodohnya: bukan saja untuk memuaskan hati kedua orangtuanya tetapi juga untuk sekedar meringankan beban sang Bapak. Tetapi ada kebingungan untuk kedua orangtua itu untuk memilih menantunya, karena walaupun banyak yang mau, 9 orang, tetapi tidak ada diantaranya yang langsung meminang kepada orangtuanya. Oleh karena itudiputuskan Nurnaningsih akan berpuasa tak makan ikan dan garam selama 100 hari. Siapa yang pertama kali meminang kepada orangtuanya, dialah yang mendapat.

Hal tersebut terjadi ketika Nurnaningsih baru berpuasa 90 hari. Perkawinannya yang pertama ini hanya 2 bulan umurnya. Nurnaningsih mengharapkan penyerahan penuh dari suaminya kepada dia semata-mata.

“Dengan cermin-pun ia enggan berbagi. Cita-citanya tak tercapai. Kemudian dia putuskan, akan kawin dengan pelukis. Dia tertarik kepada seorang pelukis Indonesia ternama, tetapi orang tersebut telah beristri. Akhirnya diantara beberapa orang pelukisyang mengharapkan kasihnya, dia pilih Kartono. Karena pemuda inilah yang paling tinggi pendidikannya diantara semua pelukis pemujanya itu. Dia tidak cinta Kartono, dia hanya ingin belajar melukis padanya. 7 tahun percampuran tidak dapat menimbulkan cinta. Nurnaningsih tidak mendapatkan cita-citanya: “Dengan cerminpun dia enggan berbagi” walaupun dari pihaknya sendiri, kepada cermin-pun tidak berbagi.

Dia kecewa dalam percintaan, dia tidak percaya lagi kepada laki-laki. Dia jatuh cinta kepada seorang penyanyi. Mereka kawin, tinggal di rumah bekas suaminya, Kartono. Aneh. Tetapi Kartono tetap menganggapnya sebagai saudara, dan kasihan padanya. Mereka tak bisa terlepas sama sekali, karena adanya saling mengerti, walaupun tak ada cinta, dan karena anak keduanya. Ketika saya menginterpiu Nurnaningsih, kebetulan ada Kartono di rumahnya. Nurnaningsih tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di depan Kartono.

“Bukan takut,” katanya. “tetapi takut timbul perdebatan antara mereka: takut kalau gelas-gelas beterbangan sebagai biasanya kalau mereka sudah berdebat”

Pada waktu ini Nurnaningsih sedang dalam kebimbangan karena gara-gara godaan cinta. Dia sedang jatuh cinta kepada seorang pemuda Douane, dan sebaliknya. Tetapi syarat-syarat yang dimajukan pemuda itu berat: Sang istri harus tinggal memasak di rumah, tidak boleh menyanyi, bermain film, berpakaian Yankee dan bahu atau punggung terbuka. Nurnaningsih menganggap ini kekangan terhadap perkembangan seninya. Sedangkan selama ini segala-galanya dia korbankan, pendapat umum dia tantang, untuk memberikan kebebasan bergerak kepada jiwa seninya. Dia tidak mengatakan bahwa dia akan puasa lagi untuk mengambil keputusan. Walaupun menurut pendengaran saya sampai sekarang dia masih mengerjakan yogi, meditasi atau pemusatan pikiran kepada Tuhan, walaupun dia belum kuat dalam hal ini. Dan dia juga bersembahyang rupa-rupanya. Pernah dia berkata kepada Usmar Ismail:

“Saya tidak sejelek yang disangkakan orang. Saya sembahyang, bertarikat”.
Kita menanti keputusannya. Apakah dia betul-betul seniwati, ataukah hanya seorang wanita juga.
 

1 Juni 1955
Setiap manusia mempunyai hak penuh untuk mencari uang dengan jalan apapun. Asal jalan mana sah dan tidak menyinggung nama perseorangan. Di dalam hal ini Nazar Dollar dengan sandiwara “reklame”nya, mencoba mencari uang dengan mempergunakan nama orang, sebagai nama khayalan atau nama fiktif.

Baru-baru ini , Nazar Dollar mempertunjukkan “Nurnaningsih Gila” di gedung Kesenian. Kita tahu bahwa pertunjukan ini bukan nilai seni yang dikejar, tetapi lebih dititikberatkan pada kebutuhan uang. Nurnaningsih yang sudah kita sinyalir bahwa dia sebenarnya “geestelijk ziek” dengan permainannya dalam cerita ini, sudah tidak dapat disangkal lagi akan kebenaran dari pada penyakit jiwa yang ada pada diri Nurnaningsih sendiri.

Ada kalanya kita bertanya apakah dengan cerita berkepala “Nurnaningsih Gila” nurnaningsih in persoon tidak menyadari bahwa Nurnaningsih sebenarnya belum meninggal dunia? Bahwa nama Nurnaningsih bukan nama dari cerita seribu satu malam. Bahwa nama Nurnaningsih sekarang punya suami dan calon ibu. Dan nama Nurnaningsih betul-betul kita kenal sebagai makhluk hidup yang punya pengertian dan intelegensia. Tetapi ada kalanya kita sendiri jadi kabur, mengapa Nurnaningsih in persoon tidak menghargai akan namanya sendiri. Dia dengan spontan dan dengan tidak menyadari lagi memproklamasikan diri di hadapan ribuan masyarakat bahwa dia kini sudah ‘gila”, ternyata dari cerita “Nurnaningsih Gila”.

Kita yang sedikit banyak mengenal Nurnaningsih dari dekat, dari caranya dia bercakap, dari caranya dia mengemukakan visi citanya dan dari caranya dia membela diri dalam soal ilmu yogi, jadi tidak habis tarik leher dan hidung, mengapa begitu buramnya memandang namanya sendiri. Lebih-lebih dalam menerima peranan yang terang-terangan memakai namanya sendiri, tidak begitu disadari.  Bahwa nama Nurnaningsih yang namanya begitu populer kini dibikinnya hitam di atas panggung sandiwara.

Nurnaningsih gila! Apakah Nurnaningsih sudah benar-benar gila? Apakah kegilaan Nurnaningsih itu sudah benar diakui oleh Nurnaningsih sendiri, bahwa dia itu sebenarnya sudah gila? Semuanya itu berkisar pada suatu titik pertanyaan yang tidak berujung pangkal.

Sekarang kita sendiri akan mengambil definisi. Kalau misalnya Nurnaningsih tidak gila, mengapa dia mau menerima peran yang telah menentukan (verzekeren) bahwa Nurnaningsih gila. Mengapa Nurnaningsih tidak mau menolak atau dengan alasan lain nama kepala karangan dirobah menjadi “Nuraningish bermain dalam …. Sebagai orang gila”. Dengan cara demikian kita akan dapat mengenal Nurnaningsih sebagai seorang yang waras otaknya. Tetapi dengan cara yang demikian, kita sendiri jadi sangsi apakah dalam menerima peran itu Nurnaningsih menganggap hal tersebut sebagai propaganda stunt untuk lebih mempopulerkan namanya? Atau Nurnaningsih ingin dikenal sebagai seniwati yang eksentrik dan histeris? Yang tidak punya pendirian dan tujuan hidup? Atau Nurnaningsih dilupakan karena gabungan uang yang disodorkan oleh Nazar Dollar yang terkenal sebagai “Tuan Seni”?

Kita tidak akan menyinggung Nazar Dollar dulu sebagai “Tokoh Tuan Seni”. Tetapi kita akan meneropong perjalanan hidup Nurnaningsih yang pada akhir-akhir ini menunjukkan gejala kegilaannya. Sejak kegagagaln pertunangan dengan Boogie Harieanto. Nurnaningsih sudah memproklamirkan akan bunuh diri. Dan sudah mencoba dengan menjatuhkan diri dari atas tangga. Tapi Tuhan Yoginya masih melindungi dirinya, dan mengatakan dalam hidup masih banyak hal yang belum diselesaikan. Dan Nurnaningsih menarik kembali niatannya akan bunuh diri.

Tetapi dari cara semacam itu, kita sudah dapat menyimpulkan bahwa Nurnaningsih sudah kena penyakit angstpsychoge. Dia sudah dikejar bayangannya sendiri. Psikis dan fisik Nurnaningsih sudah tidak normal lagi. Tambah-tambah perhubungannya dengan Boogi mempunyai bukti, ialah akan lahirnya sang anak. Nurnaningsih sebagai manusia sedikit banyaknya mempunyai tanggung jawabnya akan lahirnya sang anak. Meskipun dengan “onbewuat” dia hampir jadi pembunuh kanak-kanak. Kini bayangan lahirnya seorang anak dapat pembelaan, dengan pengorbanan Basir, mau mengawini Nurnaningsih yang sudah mengandung tiga bulan.

Nurnaningsih dalam kejaran bayangan menambahkan kegilaannya di Kediri dengan mengatakan sebagai “Bintang Telanjang”. Dan kita bisa mengharapkan bahwa sekali lagi Nurnaningsih akan emngatakan sebagai “Bintang Gila”. Ini bisa diharapkan karena menilik cara-cara Nurnaningsih mengucapkan segala pernyataannya dengan tidak disadari atau dipikirkan akibat-akibatnya lagi. Asal ceplos keluar. Bagaimana nantinya dia sendiri tidak mau tahu menahu.

Kini kita berpindah pada Nazar Dollar dengan cerita “Nurnaningsih Gila”. Sebagaimana Nurnaningsih yang biasa mengatakan “Nurnaningsih Sebagai Bintang Telanjang”   atau sebagai halnya ketika di Palembang dia mengatakan: “Saya Nurnaningsih. Rumah saya di jalan Lombok 45. Siapa yang butuh gambar saya, yang telanjang maupun dalam pakaian apa saja, boleh kirim surat. Asal disertai uang sebersar Rp. 250,” demikian pula dalam menerima teks cerita “Nurnaningsih Gila”, tidak diteliti ataupun dipelajari dalam-dalam akibatnya maupun ekses dari pada permainan cerita itu, Nurnaningsih menganggap cerita “Nurnaningsih Gila” sebagai suatu cerita khayalan atau cerita yang realistis, yang menunjukkan akan sifat-sifat sebenarnya dari Nurnaningsih sendiri.

Yang kita sesalkan dan kita sayangkanbukan Nurnaningsih. Karena kita sudah tahu bahwa dengan permainan ini Nurnaningsih sebenarnya sudah gila. Tetapi yang benar-benar turut gila ialah Nazar Dollar. Sebagai “Tuan Seni” yang sedikitnya banyak mengenal sopan-santun dan mengerti kode karang mengarang, tidak akan begitu saja memakai nama Nurnaningsih in person berhak menuntut akan pemakaian nama tersebut. Untungnya Nurnaningsih sudah gila, jadi dia sendiri menganggap tidak begitu penting namanya dibikin gila.

Dan Nazar Dollar yang turut gila, sebenarnya tidak usah menunjukkan corak aslinya. Nazar Dollar sebaiknya dapat mencari jalan lain, untuk menjatuhkan nama seseorang di mimbar panggung sandiwara. Nazar Dollar bisa menjatuhkan nama Nurnaningsih dengan cara yang lebih licin lagi, tapi hendaknya Nazar Dollar jangan begitu kotor dan ceroboh dalam menjatuhkan nama Nurnaningsih di hadapan publik. Kita sudah tahu, Nurnaningsih kini sedang mengalami krisis batin. Meskipun dia berulang-ulang menyatakan bahwa dia kini sudah mempunyai tugas untuk mengembangbiakkan agama Yogi (tetapi dalam tanya jawab dengan saya, antara  Babaya dan Tuhan, Nurnaningsih lumpuh tak dapat menjawab dengan tegas. –Pen). Tetapi semuanya itu hanya pelarian saja. Karena itu, kita yang masih waras otaknya jangan turut-turut gila. Bahkan sudah menjadi tugas kewajiban seorang pengarang untuk membimbing dan menuntunnya ke arah jalan yang benar. Tetapi, Nazar Dollar sebagai seorang pengarang sandiwara sebenarnya tidak mempunyai pertanggungan jawab sama sekali. Bahkan sebagai seorang pengarang  dia menjerumuskan orang yang sedang dalam keadaan gelap. Kalau misalnya ini sudah menjadi sifat dan watak dari setiap pengarang roman picisan, benar-benar kitas sesalkan sikap dan kelakuan para pengarang roman picisan, yang sangat immoril dan tidak mempunyai pertanggungan jawab sedikitpun pada sesama manusia.

SETIAP MANUSIA berhak mencari jalan hidup yang syah. Tetapi cara-cara Nazar Dollarmencari pertahanan hidup, sebenarnya tidak dapat kita setujui. Meskipun dalam pembelaan ini kita menghadapi seorang yang sinting. Tetapi untuk kebaikan  Nurnaningsih yang sedang harum dan populer ini, janganlah begitu saja dilempar ke dalam tumpukan telepong kerbau yang masih basah dan hangat. Kita tidak rela melihat nama Nurnaningsih begitu saja dibuang dengan tidak disrtai perasaan kemanusiaan   yang waras. Karena di dalam hal ini, kita harus bisa memisahkan Nurnaningsih sebagai seniwati dan Nurnaningsih sebagai manusia wajar yang sedang mengalami penyakit jiwa. Sebagai seniwati dia mengabdi pada masyarakat dengan tidak menghiraukan dirinya. Tetapi sebagai manusia, Nurnaningsih sebenarnya harus dikasihani dan disayangi. Karena keadaan di sekitarnya yang menyebabkan dia sakit. Dan pada orang sakit kita harus mengobati dan membimbingnya.

Dan untuk mengadakan imbangan dan tegenprestasi dari pada tekanan dan contrengan pada muka Nurnaningsih, kita juga ingin melihat sebuah spanduk reklame lagi di mana tertulis GERAKAN PELOPOR PEMUDA akan menyuguhkan sebuah drama klasik dengan mengambil cerita “NAZAR DOLLAR BENAR-BENAR JADI GILA” cerita/Regie/pelaku Nazar Dollar (Tuan Seni)

Bagi Nazar Dollar peringatan ini mungkin terlalu menusuk perasaan, tapi kita yakin, bahwa dengan kupasan ini, Nazar Dollar akan dapat membatasi diri, dalam cara-ara penyuguhan cerita Roman Picisan dan juga mencari tema cerita yang sedikit bernilai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimanapun buruknya cerita tetapi kalau cara penyuguhannya tetap masuk akal, orang akan memperbincangkannya dan membicarakannya. Tetapi kalau nama Nurnaningsih dijual algi dengan alasan untuk amal dan korban bencana, semoga orang-orang yang menerima uang tersebut benar-benar mengalami bencana dan turut gila!

 

20 Desember 1955.
NURNANINGSIH,  bintang film sensasional yang untuk selama seminggu berada di Medan memenuhi undangan “ISDRAFIN” (Ikatan Seni Drama dan Film Indonesia) telah menimbulkan kesan bahwa dia sudah gagal tetapi juga telah berhasil. 

Gagal di dalam mempertunjukkan diri sebagai seorang pemain sandiwara yang dapat ditiru, tetapi berhasil mempertahankan nama sebagai seorang bintang sensasional.

Pada tanggal 25 dan 26 November 1955 Nurnaningsih berlakon dalam sandiwara 3 babak “Korban Revolusi” (Korban Korupsi – Red) karangan Rustam Effendi. Pada tanggal 27 November dia muncul, menari dan bernyanyi dalam suatu “Malam Gembira” ketiga kalinya di Gedung Kesenian Medan dan pada tanggal 27 November dia menari dan menyanyi lagi SEAC, suatu perkumpulan kaum elite di Medan.

Korban Korupsi ini adalah sebuah lakon yang karena ada persamaannya mengingatkan orang pada “Sayang Ada Orang Lain” karangan Utuy Tatang Sontani yang sudah pernah pula dipentaskan di Medan oleh Perhimpunan Sandiwara lain. Nurnaningsih di sini bermain sebagai Ratnasari, seorang istri yang sebagai sekretaris seorang kepala Jawatan mengadakan hubungan kasih nafsu dan akhirnya “tertangkap basah” di kamar tidur.

Nurnaningsih (yang karena baru beberapa bulan melahirkan bayi lelaki kelihatan sedikit gemuk dari biasa) mengecewakan sekali karena tidak kelihatan dia cukup menguasai teks. Malahan kadang-kadang dia kelihatan menanti-nanti souffleur membisikkan kata-kata yang mesti diucapkannya, dan di lain waktu kelihatan dia disengaja dibantu oleh tegenspelernya untuk mengingatkan apa yang mesti diucapkannya.

Keadaan ini tidak terlalu mengherankan kalau diketahui orang latar belakangnya, yaitu nurnaningsih sebanyak-banyaknya hanya 3 kali mengadakan latihan bersama-sama pemain dari Medan, walaupun teks lakon telah dikirim terlebih dahulu kepadanya di Jakarta.

Kekurangan Nurnaningsih ini bisa ditutup karena gerakannya yang bebas dan kata-kata yang kadang-kadang diucapkannya dengan spontan. Terutama dalam adegan kasih mesra, Nurnaningsih berhasil menghilangkan kesan dia tidak hafal teks, karena di sini dia bermain dengan begitu baik sehingga mengesankan seolah-olah waktu itu hanya dia dan Arifin Esnery saja ada di dalam ruangan Gedung Kesenian itu.

Cara Nurnaningsih mengajak Arifin Esnery masuk ke kamar tidur, rasa-rasanya sulit diperbaiki oleh Sutradara Rustam Effendy sendiri. Malahan, mungkin di sinilah letak sebab mengapa Nurnaningsih yang diundang ke Medan, karena belum tentu pemain-pemain sandiwara penggemar di kalangan wanita mau melakonkan peran yang “dahsyat” seperti itu.

Yang juga membikin Nurnaningsih sanggup mengatasi kekurangannya dalam penghafalan teks ialah keadaan penonton yang membayar Rp 50 dan Rp.  20 itu (tentunya sebagian besar kaum lelaki) seolah-olah seperti terpesona, karena orang diam, kalau Nurnaningsih berkata walaupun dia tidak sempat berpakaian “you can see” dan meniru “Mariln Monroe walk”.

Arifin Esnery yang bermain sebagai kepala jawatan yang korup itu mulanya disangsikan kalau-kalau dia “Tjuak” (Tjuak itu istilah Medan yang mengumpulkan perasaan-perasaan takut, gamang, rendah diri, dan mau-malu).  Karena di dalam film “Peristiwa di Danau Toba” kelihatan leading man Eddy Nast  sudah hilang ditelan oleh bintang film besar Dhalia.

Dugaan orang keliru karena Arifin bermain lebih baik dari yang diharapkan, malahan kekuatan lakonan itu bertumpu pada dia nampaknya, karena pembawaannya yang bebas. Terutama di dalam saat dia dalam waktu sekejap mata sudah marah-marah pada pegawainya seperti “harimau mau menerkam”, dia menjadi “kambing domba yang lunak” ketika memancing Nurnaningsih supaya mau jadi sekretarisnya.

Di dalam adegan roman dia tidak tanggung, enak saja dia menjamah dagu Nurnaningsih, merayu dengan penuh kasih sayang (dengan mempergunakan tangannya dengan tidak segan-segan memegang bahu Nurnaningsih), terutama ketika melekatkan kalung di leher Nurnaningsih, Arifin memperlihatkan diri sebagai pemain sandiwara yang mempunyai harapan besar.

Hazman yang bermain sebagai suami Nurnaniningsih memang digambarkan sebagai seorang yang “bodoh” seolah-olah menganggap bekerja sebagai pegawai negeri itu merupakan suatu pengabdian yang luhur dan murni sekali. Permainannya tidak jelek, walaupun kadang-kadang kelihatan over acting dan “Tjuak” pada waktu berkelahi dengan Nurnaningsih.

Dalam pertunjukan ini, yang agak kurang memuaskan ialah terlalu banyaknya lagu-lagu Melayu yang sebenarnya, walaupun tetap indah dan populer, tetapi telah selalu kali didengar penonton, seperti “Makan Sirih”, “Anak Tiung”, dan tari-tarian Melayu seperti “Serampang Dua Belas”, “Tandjung Katung”, dan lain-lain. Tetapi ini bisa dimengerti juga kalau diketahui latar belakangnya bahwa Rustam Effendi pemimpin Isdrafin adalah juga pemimpin dari Orkes Melayu “Rangkaian Deli” yang di Medan juga populer.

Diambil dalam keseluruhannya, pertunjukan ISDRAFIN dengan bantuan Nurnaningsih itu adalah “not so bad” tetapi juga tidak bisa dibikin 2 kali seperti itu juga lagi.

Hasil yang baik dicapai oleh Nurnaningsih ialah dari segi finansial karena “pekerjaannya” seminggu di Medan adalah lebih bagus daripada “pekerjaannya” selama 3-4 bulan membikin film di Jakarta.

Ini juga terbukti dari keterangan Nurnaningsih sendiri dalam suatu konferensi pers di Medan di mana dia mengatakan bahwa dilihat dari segi keuangan dia merasa lebih senang main untuk sandiwara daripada main di film.

Pada tanggal 24 November, Nurnaningsih bersama suaminya turun di lapangan terbang Polonia Medan, ribuan peminat-peminatnya menanti dan mengelu-elukannya. Belum pernah sebanyak itu perhatian orang (terutama pemuda-pemuda pelajar) yang tertumpah pada seorang bintang film, seperti juga belum pernah sebegitu besar keinginann orang melihat bintang film satu-satunya yang mau  difoto telanjang, untuk mencari jawaban: Bagaimanakah rupa keindahan bentuk tubuh Nurnaningsih itu?

Belum pernah orang begitu berdesak-desakan sehingga pintu kaca restoran Polonia pecah ditubruk orang, karena buru-buru mau mencari tempat untuk dapat melihat Nurnaningsih.


Belum pernah PAU (Polisi Angkatan udara) di Polonia sesibuk mengawasi keadaan seperti waktu itu.

Ada seorang yang nakal melemparkan batu yang tidak mengenai Nurnaningsih tetapi mengenai seorang wartawan yang “melindungi” dia dari serbuan dan desak-desakan (dan juga mungkin cubit-cubitan orang banyak). Hal ini tidak jelas apa sebabnya, apakah orang benci karena dia sudah mau digambar telanjang (bintang-bintang film dari Jakarta lain yang datang ke Medan semua menyesali tindakan Nurnaningsih itu!), apakah orang tidak suka mengapa Isdrafin yang mendatangkan dia, atau karena memang orang tidak suka pada “perlindungan” yang diberikan wartawan itu.

Baik di hotel de Broer di mana Nurnaningsih menginap maupun di depan central restaurant di mana Nurnaningsih mengadakan konferensi pers, beratus-ratus orang berkumpul untuk melihat dia lewat beberapa menit saja dari dan ke motor.

Suatu hal yang menarik adalah bahwa Rustam Effendy itu karena dulunya pernah bekerja sebagai wartawan, mengetahui, bahwa wartawan itu perlu untuk membantu dia. Kalau dahulu Bing Slamet dan Sam Saimun (yang kabarnya di dalam “show” dan di dalam bussines”nya mengalami kegagalan) dianggap sepi oleh pers, maka Nurnaningsih mendapat “a good press”.

Dia mulai konferensi pers dengan keterangan bahwa dia belum pernah mendapat sambutans eramai ini dari publik dan belum pernah menghadapi wartawan-wartawan sebanyak itu, sekaligus dan wartawan-wartawan yang muda-muda pula dan simpati. (Nurnaningsih juga melemparkan senyum kiri kanan dengan bibir dan matanya!).

Keterangan Nurnaningsih tidak banyak berbeda dari keterangan di lain-lain tempat. Ada beberapa bahagian yang belum pernah disiarkan di dalam majalah “ANEKA” ini.

Nurnaningsih pertama sekali menjawab pertanyaan pers, menerangkan, bahwa DIA BERSEDIA SEKALI LAGI DIPOTRET TELANJANG.

Tetapi dengan syarat ini musti dilakukan di luar negeri karena dia berjanji dengan pihak kepolisian, bahwa dia tidak akan bergambar telanjang lagi di Indonesia. (Seperti pernah disiarkan dia pernah dipanggil Kepolisian Jakarta Raya karena potret telanjang itu, tetapi tidak dituntut!).

Gambar itu tidak boleh diperedarkan tetapi mesti dicetak di dalam buku dan diterangkan khusus untuk dijadikan bahan studi-obyek mengenai seni lukis.

Mengulangi keterangannya yang sudah terkenal, Nurnaningsih menyatakan bahwa dia dijanjikan digambar telanjang untuk dijadikan studi-obyek bagi pelukis-pelukis suapaya dapat menggambar bentuk tubuh wanita menurut anatomi yang sebenarnya. Tetapi dia menyesal gambar itudiperedarkan orang dengan tidak setahu dia/ “Saya tidak digambar dengan maksud phornografis, untuk membangkitkan nafsu birahi orang, tetapi untuk seni dan keindahan,” katanya.

“Yang diperedarkan orang sekarang bukan gambar saya yang asli. Tetapi potret kepala saya ditempelkan kepada tubuh orang lain. Saya tahu ini dengan pasti, karena bentuk tubuh saya, achtergrond ketika saya dipotret bukan seperti gambar itu. Dan pose saya juga tidak seperti dalam potret palsu itu!”

Dijelaskannya lagi, bahwa “kunst-foto” seperti yang dimaksudkannya “u bukan soal baru diluar negeri, cobalah perhatikan buku-buku mengenai seni lukis.” Katanya dia sekarang masih sabar untuk tidak menuntut orang yang menjual-belikan potret telanjangnya itu, kalau dia menuntut bukan ratusan, tetapi jutaan rupiah. Tetapi katanya lagi, dia pernah menulis dalam sebuah majalah bahwa dia tidak akan menuntut orang yang merugikan dia, jadi kalau dia sekarang menuntut , tidak sesuai lagi dengan tulisannya.

Dalam konferensi pers itu, Nurnaningsih menjawab terus terang semua pertanyaan wartawan. Katanya dia pernah ditawarkan bekerja untuk “Peristiwa di Danau Toba” bikinan Radial Film Company, Medan, tetapi dia menolak, karena honorariumnya tidak cukup. Dia minta Rp. 15.000 tetapi Radial Cuma berani Rp. 10,000. Padahal kalau film sudah siap, mereka menarik keuntungan tidak terbatas, katanya.

Diantara 9 buah filmnya, dia merasa paling senang main dalam film “Krisis” (Perfini, filmnya yang pertama) dan dia senang berlakon dengan Aedy Moward (Anak Medan sekarang) tetapi di dalam pergaulan Aedy Moward bukan temannya yang rapat.

Nazar Dollar yang selalu mengajak Nurnaningsih itu bermain dalam sandiwara di jakarta,  sekarang tidak disenangi oleh Nurnaningsih, karena menurut Nurna, Nazar Dollar itu pelit dengan rupiah. Dia merasa bahwa dia dikecewakan Dollar mengenai uang.

“Saya tukang cemburu,” kata Nurnaningsih yang duduk disamping suaminya, Basir Ibrahim, “Dan suami saya juga tahu itu. Saya tidak senang dia bicara manis saja pada wanita lain. Perasaan saya lantas tidak senang,”

Baginya “Kehidupan tanpa cinta adalah bukan hidup” dan cintanya yang pertama ialah Suroto. Seorang teman kecilnya yang sudah meninggal dunia, sebelum mereka menikah.

Waktu dia bermain dalam sandiwara “NURNANINGSIH GILA” di Jakarta, dia bermain sungguh-sungguh dan minta supaya bisa terus jadi gila, katanya. Tetapi syukur, belum jadi gila.

“Kadang-kadang” kata Nurnaningsih, dia ingin lekas mati saja. Karena bikin apa saya ini sebenarnya hidup, katanya.

Sesudah bercerita tentang “yogi” dan lain-lain Nurnaningsih memproklamirkan “Pantja-Tjita” yang diidam-idamkan, yaitu:
  1. Mau jadi Rembrand (putri) Indonesia
  2. Mau jadi Bethoven (putri) Indonesia
  3. Mau jadi penyanyi yang ulung
  4. Mau menjadi bintang film yang ulung
  5. Mau jadi pianiste yang ulung
Basir Ibrahim yang ketika Nurnaningsih yang “praatziek” itu bicara terus menerus selama 1 jam tetap diam saja, akhirnya sedia menjawab pers. Basir menerangkan, bahwa dia menikah dengan Nurnaningsih secara Islam. Karena dia mau menyelematkan Nurnaningsih dari jalan yang keliru. Mereka menikah dengan tidak ada syarat apa-apa. Tiap waktu mereka bisa bercerai, kalau diinginkan satu pihak.

Menurut sang suami, sang istri itu kurang ingatannya, kalau ditanya olehnya tentang “yogi” dan tentang “cinta” Nurnaningsih juga tidak tahu apa-apa.

Selama 1 minggu Nurnaningsih di Medan, tidak kekurangan perhatian, di luar soal apa yang menyebabkan orang lebih merasa tertarik padanya. 


 
 
REWEL1955

Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Actor
HARIMAU TJAMPA 1953 D. DJAJAKUSUMA
Actor
KEMBANG-KEMBANG PLASTIK 1977 WIM UMBOH
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Actor
SERIBU JANJI KUMENANTI 1972 ISKAN LAHARDI
Actor
DERITA TIADA AKHIR 1971 IKSAN LAHARDI
Actor
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Actor
KEBON BINATANG 1955 NJOO CHEONG SENG
Actor
KRISIS 1953 USMAR ISMAIL
Actor
PENDEKAR BAMBU KUNING 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
PATGULIPAT 1973 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
MENCARI AYAH 1974 INDRA WIJAYA
Actor
COWOK KOMERSIL 1977 ARIZAL
Actor
NAPSU GILA 1973 ALI SHAHAB
Actor
MALAM JAHANAM 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Actor
KLENTING KUNING 1954

Actor
LANTAI BERDARAH 1971 MOH YUNUS
Actor
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Actor
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Actor
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Actor
MALAM SATU SURO 1988 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Actor
SUSANA 1974 B.Z. KADARYONO
Actor
BENYAMIN SPION 025 1974 TJUT DJALIL
Actor
DJEMBATAN EMAS 1971 IKSAN LAHARDI
Actor
REMANG-REMANG JAKARTA 1981 LUKMANTORO DS
Actor
DENDAM BERDARAH 1970 LIE SOEN BOK
Actor