Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Pembalasan Ratu Laut Selatan. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Pembalasan Ratu Laut Selatan. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Maret 2010

BUMBU SEX BIAR FILM LAKU

Sex, Lies, and Horror
Bumbu Film Agar Laku
 
Kenapa film mu banyak paha dan dadanya?
Kata produser agar filmnya laku, pak.
Menurut KFC, Paha dan dada banyak peminatnya, kalau sayap tanpa bulu ketek, kurang pak. 
Iya pak, mereka bisa, kenapa kita tidak?


Erotika tak sekadar bumbu dalam film horor Indonesia. Dia menjadi menu utama.Resepsi pernikahan baru saja usai, tapi Omi sudah mengomel di kamar pengantin sebuah hotel. Dia memergoki Coky, suaminya, berbicara pada gadis misterius yang mengucapkan kata kasar dan kemudian menghilang. Dari pintu lift terdengar suara memanggil Coky. Suara perempuan. Coky penasaran mengejar suara itu hingga lapangan parkir mobil.

Coky menemukan Omi, istrinya, dengan wajah dahaga akan seks. Meski ragu dan takut, dia memenuhi ajakan syur di lantai parkir. Selagi bercumbu, tubuh Omi berubah jadi Kinanti, gadis misterius yang dibunuh setelah diperkosa lima tahun sebelumnya. Coky, salah satu pemerkosa, tewas mengerikan di tangan arwah Kinanti, dalam film Misteri di Malam Pengantin, yang dibintangi Kiki Fatmala dan dibuat pada 1993.



Pada film yang dibuat setahun sebelumnya, Kembalinya si Janda Kembang, yang dibintangi Sally Marcelina, kita bisa menyaksikan perempuan dengan suara mendesah menyusupi malam sebuah hotel. Bibirnya merah basah. Rambut tergerai panjang. Tubuhnya sintal dibalut kaus ketat. Dengan roknya yang tersibak, dia memasuki kamar tempat seorang pemuda telah menunggu. Di layar kita menyaksikan mereka bergumul di ranjang. Pergumulan yang ganjil. Janda seksi itu belakangan diketahui sebagai arwah gentayangan.

Adegan syur seperti itu menjadi menu utama hampir semua film horor Indonesia yang dibuat pada kurun sama. Tema film bisa beragam. Ada legenda mistik, balas dendam, rebutan harta, dan perselingkuhan. Tapi, apa pun judulnya, seks selalu muncul lebih dominan di tengah alur cerita yang tidak penting.

Resep menjual seks lewat tema horor memang menjadi tren film Indonesia sejak 1980-an. Para produser dan sutradara kala itu mulai menghidupkan kisah misteri dan legenda tradisional dengan kemasan baru: bumbu paha montok atau sekelebatan adegan ranjang. Bersama Suzanna, yang sempat dijuluki bomseks Indonesia, mereka sukses merebut penonton.

Setelah Nyi Blorong (1982) sukses membukukan rekor ditonton 354 ribu orang, produser datang dengan sekuel: Perkawinan Nyi Blorong (1983) dan Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986). Pada era ini juga muncul film sejenis seperti Nyi Ageng Ratu Pemikat, Malam Satu Suro, dan Santet.

Meski racikan seks plus horor telah meluas, tak ada reaksi masyarakat seluas ketika muncul film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989), yang dibintangi Yurike Prastika dan digarap oleh sutradara Tjut Djalil. 

Seperti film-film sebelumnya, kisah legenda dan efek khusus horor dalam film ini tenggelam di bawah adegan sensual Yurike. Film itu akhirnya ditarik dari peredaran menyusul protes masyarakat, bahkan juga anggota DPR, karena dinilai menonjolkan seks dan kekerasan. Padahal, katanya, sudah membukukan rekor baru: menyedot 500 ribu penonton.

Bagaimanapun, keberanian para produser dan sutradara mengeksploitasi seks dan horor tak pernah surut. Pada era 1990 mereka mengorbitkan bintang-bintang baru yang bahkan lebih berani dari Suzanna dan Yurike: Lela Anggraini, Taffana Dewi, Sally Marcelina, dan Malfin Shayna. Variasi tema cerita tetap itu-itu saja, meski judulnya bisa sangat beragam, seperti Pusaka Penyebar Maut, Godaan Perempuan Halus, atau Gairah Malam.

Jika sempat menontonnya, jangan berharap menikmati bangunan cerita yang runut dan logis. Dalam Skandal Iblis (1992), misalnya, dikisahkan sebuah kalung jimat kuno yang membuat pemakainya ketagihan berhubungan seks. Tak lain karena jimat itu dihuni roh perempuan cantik nan bahenol. Jangan pula berharap menikmati akting bagus, karena memang bukan itu tujuan film ini dibuat. Seksualitas, ingat, adalah menu utamanya. Lela Anggraini, sang bintang utama film itu, yang kini berusia 33 tahun, melukiskan perannya dengan baik. "Pokoknya haus seks, gila harta demi seks, dengan menghalalkan berbagai cara," katanya kepada TEMPO.

Lela, wanita berdarah Palembang-Surabaya, mengaku telah membintangi setidaknya 20 film horor-seks sejenis, termasuk tiga sekuel berjudul Selir yang dibuat dari 1991 hingga 1994. "Dalam film-film ini sang selir menginginkan kedudukan melebihi ratu," kata Lela. "Untuk memenuhi ambisinya, dia rela menjual jiwanya pada iblis, tidur dengan iblis."

Kiki Fatmala, 34 tahun, tampil sangat berani dalam Misteri di Malam Pengantin. Meski begitu, dia menyebut peran dan adegan di situ masih wajar. "Masih sebatas seks biasa," katanya. "Nggak vulgar." Dalam film arahan sutradara Atok Suharto itu dia mengatakan tidak benar-benar telanjang ketika memerankan Kinanti, si arwah penasaran. "Saya memakai kain tembus pandang berwarna putih berenda dan pakai celana dalam model mini," katanya. "Waktu itu saya pakai penutup dada juga."

Jika tidak disorot lampu terang, kata Kiki, kulit tubuhnya tak kan kelihatan. 

Kiki mengaku sempat protes ketika film itu selesai dibuat dan ternyata tubuhnya disiram cahaya terang hingga menerawang. Tentu saja protes itu ditolak. Sebab, mana ada film tanpa cahaya. Dan lagi, Kiki sendiri tampak menyukainya: dia masih membintangi setidaknya lima film serupa sesudahnya.

Lela Anggraini, kini ibu seorang putri, mengaku sering menggunakan peran pengganti untuk adegan panasnya. Ketika sebuah film menuntut visualisasi adegan percumbuan dengan menampilkan paha secara utuh, dia keberatan. Sutradara memenuhi permintaannya dan menggantinya dengan paha orang lain. "Paha seorang pria yang kebetulan memang putih mulus tanpa bulu," kata Lela tergelak.

Tjut Djalil, sutradara Pembalasan Ratu Laut Selatan yang menghebohkan, kini berusia 70 tahun dan sudah pensiun. Dia tetap berkeras bahwa seks adalah bumbu dalam filmnya, bukan menu utama. "Unsur seks dalam film horor itu sama halnya dengan komedi yang sengaja dimasukkan untuk membumbui cerita horor," katanya. "Seks dan komedi adalah pernyataan terselubung bahwa horor itu sebenarnya tidak ada." Bagi Djalil, tokoh seksi sama halnya dengan tokoh komedi seperti Bokir atau Pak Tile almarhum.

Taffana Dewi, pemeran pembantu dalam Misteri Permainan Terlarang (1992) dan Gairah Malam (1993), juga menilai wajar tuntutan untuk tampil panas. "Film itu bukan realita," kata cewek kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1974 yang kariernya berawal jadi model kalender dan iklan itu. "Saya tidak membaurkan keduanya, fiksi dan realita."

Atok Suharto, sutradara horor yang juga terkenal lewat Si Manis Jembatan Ancol, membutuhkan bumbu sensualitas agar film horor tidak secara fisik menakutkan. "Biar ngepop, lah," katanya. "Saya tidak melihat horor adalah setan. Saya hanya berpatokan pada hitam dan putih, yang baik dan jahat. Yang baik mengalahkan yang jahat. Itu saja intinya," kata Atok.

Bagaimanapun, Atok punya syarat khusus untuk bintang-bintang yang terlibat dalam filmnya. "Harus berwajah cantik, tubuh bagus, lembut, cara bicaranya juga menarik," katanya. 
 
"Namun dia juga harus punya nuansa misteri dalam dirinya, seperti Diah Permatasari itu."

Menimbang besarnya pasar film horor-seks, para produser, sutradara, maupun penulis skenario tak segan-segan mendorong pemain untuk tampil berani. "Kami hanya mengikuti skenario saja dan tuntutan dari produsernya," kata Lela Anggraini. "Tapi, kalau porsi seksnya sampai 70 persen, kami akan mempertanyakan dan menimbangnya."

Sally Marcelina, kini 33 tahun, mengaku, "Saya tak lagi main film horor seperti dulu." Terutama setelah dia kini punya anak kecil. Padahal namanya hampir telah identik dengan film-film horor nan seronok. Memulai karier pada usia 16 tahun, Sally pernah begitu sibuk main dalam 7-8 film seperti itu setiap tahun, termasuk dalam dua sekuel film Misteri Janda Kembang (1991 dan 1992). Film yang sama diangkat ke sinetron televisi pada 1997, dan Sally tampil jauh lebih sopan.
Kombinasi horor dan erotika memang bukan monopoli film lokal. Film Ghost yang sangat populer juga menyajikan erotisme Demi Moore dan Patrick Swayze. Tapi adegan itu bahkan sangat minimal, sementara alur ceritanya tetap utuh. Dalam Vampire in Venice (1988), sutradara Augusto Caminito secara dahsyat melukiskan emosi erotik di balik ketakutan sekaligus kepasrahan kepada penguasa kegelapan, pangeran drakula yang merajai lorong dingin Kota Venezia, Italia. Tapi tanpa terjatuh dalam erotisme murahan. Di situ aktor kawakan Klaus Kinski bermain cemerlang bersama aktris Barbara de Rossi.

Di samping akting yang prima, kecanggihan skenario menjadi modal utama film apa pun. 

Tapi banyak sutradara maupun produser Indonesia akan bertanya: buat apa susah-susah jika paha dan dada saja sudah laku dijual?

Dwi Arjanto dan Fitri Oktarini (Tempo News Room)



FILM PANAS, ARTIS PANAS JUGA

Suara dari balik seluloid yang panas itu

Berikut siapa dan mengapa dari beberapa bintang, produser, dan sutradara yang belakangan ini terlibat film panas itu.

INNEKE KOESHERAWATI, bintang Gadis Metropolis dan Kenikmatan Tabu, antara lain. "Saya sumpek kalau tak ada syuting," kata gadis 18 tahun ini. Kata orang, ia ngetop sejak berani melakukan adegan panas dalam Gadis Metropolis. Tapi buru-buru ia bilang keberaniannya masih sesuai dengan alur cerita dan masih ada pakaian yang melekat di tubuhnya. "Saya tak mau disuruh bugil," kata cewek 168 cm dengan berat 54 kg ini. Pertama kali mengenal syuting semasa SMP, menjadi figuran dalam film remaja, Lupus IV. Ia dibayar Rp 15 ribu untuk syuting seharian, kata juara kontes gadis berbakat versi majalah Gadis tahun 1990 itu.

Ia pertama kali jadi pemeran utama dalam Misteri Ronggeng dengan honorarium Rp 300 ribu. Saat itu "saya tak punya modal akting, dan masih takut-takut." Ayahnyalah, seorang karyawan perusahaan swasta, pernah ikut grup teater di Bandung, yang mengajarinya pasang aksi di depan kamera. Apa yang dicarinya dari film-film yang mengharuskannya memamerkan bentuk tubuhnya itu? "Terus terang saja, uang," kata lulusan SMA PSKD II Matraman, Jakarta itu, seraya mengepulkan asap Dunhill mentol dan menenggak Capuccini. 
 
Dan duit itu kini tengah mengalir deras. Tahun ini ia bikin kontrak delapan film panas, dengan tarif Rp 10 juta hingga Rp 15 juta satu film. Dengan uangnya Ine kini pergi ke mana-mana dengan sedan Great Corolla, ditemani sebuah telepon genggam. Tak risi disebut bintang seks? "Habis, tak ada pilihan lain,"jawabnya. "Memang, saya disebut-sebut sebagai bomb sex, tapi itu berarti saya diperhatikan orang," ucap bibir tipisnya yang menebarkan bau parfum Kenzo yang lembut. TAFANNA DEWY, pemeran pembantu dalam Misteri Permainan Terlarang dan Gairah Malam. "Film itu bukan realita, antara keduanya tak saya baurkan," kata cewek kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1974 itu. Bibir mungilnya disapu lipstik merah menyala. Rambut ikal kecokelatan, dan sesekali digerainya di sela dada dan punggungnya yang terbuka. 

Itulah Tafanna Dewy, artis panas pendatang baru yang sedang sibuk memilih lagu di sebuah karaoke di kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Tak lama kemudian terdengarlah suaranya mendesah, mendendangkan Mutiara yang Hilang. Tafanna mengaku mulai gemar tampil di depan publik sejak di bangku SMA. Tahun 1990, disabetnya Putri Ayu Malioboro, setahun kemudian Putri Batik Indonesia, dan tahun 1992 ia merebut Putri Esteem 1992. Masuklah tawaran untuk menjadi model iklan dan kalender, tentu saja dalam pose pamer bentuk tubuh. Dunia film dimasukinya setelah bermain dalam sinetron Sebening Air Matanya (bersama Adi Kurdi dan Uci Bing Slamet), dan Si Buta Dari Goa Hantu tayangan RCTI sebagai Komariah Si Mawar Berbisa. Setelah dua kali berperan dalam film, tawaran main film mengalir, katanya. "Tapi, kok perannya itu-itu melulu," ujar cewek yang gemar mandi lulur ini.

Baru dalam Tergoda Nafsu, yang baru akan beredar, ia mendapatkan peran utama. Tapi, ya, "itu-itu juga." Ia memerankan tokoh Elisa yang lembut, korban perkosaan. Gadis 167 cm dengan berat 48 kg ini mengaku melakukan adegan-adegan syur tanpa canggung. Karena sudah terbiasa? Bukan itu soalnya, tapi karena ia selalu dikawal sang ibu, sekaligus guru dan manajernya, hingga merasa aman. LELA ANGGRAINI, berperan pembantu di Kenikmatan Tabu, menjadi peran utama dalam film silat Selir Sriti. Tapi yang paling mengesankan buat Lela adalah film Skandal Iblis, film panasnya pertama. "Skandal iblis, ya apalagi kalau bukan skandal seks yang brutal," tuturnya sambil ngakak. Bercelana pendek, dengan kaus tanpa lengan, di rumahnya, pekan lalu, Lela kelihatan seadanya. "Bila perlu, ke warung saya cuma dengan kain melilit di tubuh," katanya tanpa bergurau. 

Janda kembang yang akan genap 27 tahun Oktober nanti itu sudah membintangi sekitar 20 film. Film pertamanya, setelah meninggalkan profesinya sebagai model di Surabaya, adalah film komedi Giliran Saya Mana, bersama Kadir dan Doyok. Ketika itu ia sekadar muncul sebagai figuran, hanya berbikini. Wanita 170 cm dengan berat 53 kg ini dengan sadar melakukan peran-perannya dalam film panas. "Produser tak mau rugi, mencari yang mau buka-bukaan, berani, cantik, mulus. Dan modal saya memang cuma itu, badan," katanya terus terang. Wanita yang bicaranya ceplas-ceplos ini toh tak mau melakukan adegan bugil. "Buat apa, kan nanti dipotong sensor juga, dan enak dong para kru film, mendapatkan hiburan gratis. Tapi mau juga, lo, kalau dibayar semiliar...," tawanya yang keras terdengar lagi. Berapa ia dibayar? Masih di bawah Rp 30 juta, katanya. Hasil main dalam filmnya antara lain berwujud 2 ha kebun pepaya hawai di Bogor, yang buahnya ia pasok ke beberapa pasar swalayan di Jakarta. AYU YOHANA, bintang dalam Susuk Nyai Roro Kidul. "Dulu, pada adegan perkosaan wanitanya masih pakai baju. Sekarang, wah ...," kata Ayu, yang sudah terjun dalam film panas sejak awal 1980-an.

Janda yang tingginya 160 cm dan berat 48 kg ini mengaku tak sungkan melepaskan penutup dadanya, asal "sutradara yang minta". Bahkan mojang Priangan yang mogok SMA-nya ini siap melakukan adegan bugil bila saja aktris lain begitu juga, dan memang sutradaranya mengharuskannya begitu. Tekad Ayu terjun dalam film memang besar. Ia bersedia melakukan adegan buka-bukaan sekadar untuk merintis jalan ke dunia film. "Waktu itu ada yang bilang yang bisa jadi bintang film hanyalah orang-orang kaya," ceritanya. Tak tahunya, peran itulah yang kemudian selalu diterimanya, dan makin lama perannya makin panas saja. FERRY ANGRIAWAN, Produser PT Virgo Putra Film, yang sudah membuat 50 film. Beberapa di antaranya mendapat penghargaan. Cinta di Balik Noda, misalnya, mendapat Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1985, untuk aktris utama terbaik (Meriam Bellina). Pada festival tahun 1986, Cinta Anak Zaman meraih Citra untuk aktor pembantu terbaik (Didi Petet). Tahun berikutnya, Selamat Tinggal Jeannete, pemeran pembantu wanitanya yang mendapat Citra (Ria Irawan). Dan Festival Film Indonesia 1988 memberinya Citra lagi untuk peran pembantu wanita (Ayu Azhari) dalam Dua Kekasih. 

Dengan prestasinya itu, toh Ferry terpaksa ikut arus, membuat film-film yang menyajikan adegan panas sebagai menu utamanya: Gadis Metropolis, Tiga Dalam Satu, dan beberapa lagi. Awalnya adalah terjangan film impor, tahun 1991. Ia mengaku ketika itulah mulai babak-belur. "Utang saya banyak," katanya terus terang. Ia bahkan sampai menjual rumah yang pernah ditinggali ketika masih menjadi suami Meriam Bellina. Maka, ia pun melakukan strategi menekan ongkos produksi: memakai artis yang belum punya nama. Maka, apalagi yang keluar dari cara itu bila bukan film syur tadi, tutur anak seorang pemilik sembilan bioskop di Sumatera Barat ini. "Mau bagaimana lagi, itu yang disenangi penonton sekarang?" katanya. Ferry punya resep sendiri untuk film-filmnya. "Yang penting citra, bukan detailnya. Dan itu bisa lewat ekspresi wajah, kaki, atau tangan yang seksi," katanya. Ia pun melakukan taktik yang tampaknya dilakukan oleh hampir semua produser film panas: gambar dan foto yang dipasang sebagai reklame filmnya sebenarnya tak ada dalam adegan sesungguhnya.

Dengan resep itu ia mengaku bisa untung 30% dari modal Rp 250 juta -- rata-rata ongkos produksi film panas sekarang. Sebagai produser profesional, katanya, ia tak peduli filmnya dicap murahan, ngeseks, atau apa pun. Yang penting, dapur produksinya jalan. TJUT DJALIL, sutradara yang filmnya lima tahun lalu menghebohkan, Pembalasan Ratu Laut Selatan. "Film Indonesia sekarang sudah murni barang dagangan," kata lelaki berusia 62 tahun ini. Tjut termasuk orang film yang bicara blak-blakan. Coba dengar pendapatnya tentang film Indonesia belakangan ini. "Film Indonesia? Itulah film yang dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, tak peduli segi artistik dan alur cerita. Pokoknya, ada adegan cumbu-mencumbu, cium-mencium, polos-polosan, lalu ah-eh-oh." 
 
Ia pun tak ingin sok-sokan membuat film horor atau film laga berbumbu seks, karena harus mengeluarkan ongkos untuk adegan-adegan tipuan yang biayanya mahal. Menurut pendapatnya, dunai film Indonesia kini dikuasai oleh produser. Dulu, misalnya, pengedar masih ikut menentukan artisnya. Malah kala itu produser menyetujui saja usul pengedar. Sekarang zaman sudah berbeda, kata Tjut, "produser yang punya duit yang menentukan segalanya. Dari soal cerita sampai bintangnya...." Sutradara tinggal menjalankan apa maunya produser. "Maka, kalau mau jujur, saya membuat film semata karena urusan perut," kata ayah sembilan anak itu, yang mengaku honorariumnya sebagai sutradara kini sekitar Rp 10 juta bersih. Orang Aceh yang pernah menjadi pegawai negeri lalu menjadi wartawan di Medan ini, awal tahun 1960-an, pindah ke Jakarta. Setelah diterima menjadi asisten sutradara, tahun 1974 film pertamanya lahir, Benyamin Spion 025, sebuah film komedi satir. Melihat sosok Tjut, sulit membayangkan bahwa dari tangannya lahir film-film merangsang. Tjut, yang berambut lurus, bertubuh ceking, adalah haji yang rajin salat. Meski dia yang mengarahkan artis untuk membuka ini-itu, ia mengaku tak pernah tergoda. "Mending perempuan desa, asli dan sederhana, jauh dari polesan rias wajah atau manipulasi keseksian karena operasi," katanya.

Ia kini menunggu saat "pensiun". Ia mengaku mengalami konflik batin tiap membuat film panas. "Saya punya anak yang bekerja sebagai guru SMA," tuturnya. Itulah salah satu yang menyebabkan konflik batin itu, dan karenanya ia ingin bisa cepat berhenti dari dunia film. 

RAAM SORAYA, produser yang sudah bikin 50 film, demi film Indonesia mengaku pernah langsung meminta Badan Sensor Film melonggarkan guntingnya. "Saya minta supaya ada pancingan buat penonton, supaya mereka mau masuk bioskop yang memutar film Indonesia. BSF setuju. Dan bioskop luber lagi, bioskop kelas bawah tapi," tuturnya. Raam tidak membantah, filmnya banyak menampilkan adegan seks. "Tapi itu cuma bumbu," ujarnya. Dialah produser Pembalasan Ratu Laut Selatan. Dalam sebelas hari, sebelum terjadi protes dan ia menarik film itu dari peredaran, sudah 500.000 karcis terjual. "Karena film itu diributkan, orang malah penasaran dan mencari film itu," katanya kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. Ada yang disayangkan Raam, bahwa film-film sekarang bebas ditonton semua umur. Mestinya itu cuma untuk orang dewasa, katanya. Bahkan film komedi Warkop, menurut dia tak cocok ditonton anak-anak, karena banyak adegan buka dada dan paha. Jebolan Institut Teknologi Surabaya ini masuk dunia film dengan menjadi distributor film di Jawa Timur, tahun 1973, terlebih dahulu. Baru tahun 1987 ia mendirikan PT Soraya Intercine Film


Sabtu, 05 Maret 2011

GADIS METROPOLIS / 1992

GADIS METROPOLIS


Tiga gadis yang saling bersahabat, Lisa (Sally Marcelina), Fanny (Inneke Koesherawati) dan Sandra (Febby R. Lawrence), adalah gadis metropolis yang hidupnya hanya hura-hura dan tanpa moral. Fanny dengan seenaknya tidur dengan Jacky, pacar Lisa yang barusan bentrokan. Lalu karena ia ingin jadi penyanyi, maka dengan gampangnya juga tidur dengan produsernya, sambil terus terang pada pacar yang dicintainya, dan lalu dikawininya, yaitu Maxi (Alex Kembar), yang homoseks. Sandra, seorang foto model, kepribadiannya hampir sama juga dengan Fanny. Perbedaannya, Fanny senang sama oom-oom yang berduit. Sedangkan Lisa yang dianiaya oleh teman-teman Jacky, dirayu terus oleh seorang tante yang lesbian, Mirna (Baby Zelvia). Suami Mirna lebih gila lagi. Dia selalu membawa perempuan pulang ke rumah. Ketika Lisa kembali lagi pada Jacky, maka ngamuklah Mirna. Jacky dibunuhnya.
 P.T. VIRGO PUTRA FILM


SALLY MARCELINA
INNEKE KOESHERAWATI
FEBBY R. LAWRENCE
ALEX KEMBAR
JAMES SAHERTIAN
BABY ZELVIA
PIET PAGAU
PITRAJAYA BURNAMA
GUGUN BENGET
DAVID G. TASMAN
TEDDY MALA
LUTHI TAMBAYONG

INNEKE KOESHERAWATI, bintang Gadis Metropolis dan Kenikmatan Tabu, antara lain. "Saya sumpek kalau tak ada syuting," kata gadis 18 tahun ini. Kata orang, ia ngetop sejak berani melakukan adegan panas dalam Gadis Metropolis. Tapi buru-buru ia bilang keberaniannya masih sesuai dengan alur cerita dan masih ada pakaian yang melekat di tubuhnya. "Saya tak mau disuruh bugil," kata cewek 168 cm dengan berat 54 kg ini. Pertama kali mengenal syuting semasa SMP, menjadi figuran dalam film remaja, Lupus IV. Ia dibayar Rp 15 ribu untuk syuting seharian, kata juara kontes gadis berbakat versi majalah Gadis tahun 1990 itu. Ia pertama kali jadi pemeran utama dalam Misteri Ronggeng dengan honorarium Rp 300 ribu. Saat itu "saya tak punya modal akting, dan masih takut-takut." Ayahnyalah, seorang karyawan perusahaan swasta, pernah ikut grup teater di Bandung, yang mengajarinya pasang aksi di depan kamera. Apa yang dicarinya dari film-film yang mengharuskannya memamerkan bentuk tubuhnya itu? "Terus terang saja, uang," kata lulusan SMA PSKD II Matraman, Jakarta itu, seraya mengepulkan asap Dunhill mentol dan menenggak Capuccini. Dan duit itu kini tengah mengalir deras. Tahun ini ia bikin kontrak delapan film panas, dengan tarif Rp 10 juta hingga Rp 15 juta satu film. Dengan uangnya Ine kini pergi ke mana-mana dengan sedan Great Corolla, ditemani sebuah telepon genggam. Tak risi disebut bintang seks? "Habis, tak ada pilihan lain,"jawabnya. "Memang, saya disebut-sebut sebagai bomb sex, tapi itu berarti saya diperhatikan orang," ucap bibir tipisnya yang menebarkan bau parfum Kenzo yang lembut. 

TAFANNA DEWY, pemeran pembantu dalam Misteri Permainan Terlarang dan Gairah Malam. "Film itu bukan realita, antara keduanya tak saya baurkan," kata cewek kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1974 itu. Bibir mungilnya disapu lipstik merah menyala. Rambut ikal kecokelatan, dan sesekali digerainya di sela dada dan punggungnya yang terbuka. Itulah Tafanna Dewy, artis panas pendatang baru yang sedang sibuk memilih lagu di sebuah karaoke di kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Tak lama kemudian terdengarlah suaranya mendesah, mendendangkan Mutiara yang Hilang. Tafanna mengaku mulai gemar tampil di depan publik sejak di bangku SMA. Tahun 1990, disabetnya Putri Ayu Malioboro, setahun kemudian Putri Batik Indonesia, dan tahun 1992 ia merebut Putri Esteem 1992. Masuklah tawaran untuk menjadi model iklan dan kalender, tentu saja dalam pose pamer bentuk tubuh. Dunia film dimasukinya setelah bermain dalam sinetron Sebening Air Matanya (bersama Adi Kurdi dan Uci Bing Slamet), dan Si Buta Dari Goa Hantu tayangan RCTI sebagai Komariah Si Mawar Berbisa. Setelah dua kali berperan dalam film, tawaran main film mengalir, katanya. "Tapi, kok perannya itu-itu melulu," ujar cewek yang gemar mandi lulur ini. Baru dalam Tergoda Nafsu, yang baru akan beredar, ia mendapatkan peran utama. Tapi, ya, "itu-itu juga." Ia memerankan tokoh Elisa yang lembut, korban perkosaan. Gadis 167 cm dengan berat 48 kg ini mengaku melakukan adegan-adegan syur tanpa canggung. Karena sudah terbiasa? Bukan itu soalnya, tapi karena ia selalu dikawal sang ibu, sekaligus guru dan manajernya, hingga merasa aman. 

LELA ANGGRAINI, berperan pembantu di Kenikmatan Tabu, menjadi peran utama dalam film silat Selir Sriti. Tapi yang paling mengesankan buat Lela adalah film Skandal Iblis, film panasnya pertama. "Skandal iblis, ya apalagi kalau bukan skandal seks yang brutal," tuturnya sambil ngakak. Bercelana pendek, dengan kaus tanpa lengan, di rumahnya, pekan lalu, Lela kelihatan seadanya. "Bila perlu, ke warung saya cuma dengan kain melilit di tubuh," katanya tanpa bergurau. Janda kembang yang akan genap 27 tahun Oktober nanti itu sudah membintangi sekitar 20 film. Film pertamanya, setelah meninggalkan profesinya sebagai model di Surabaya, adalah film komedi Giliran Saya Mana, bersama Kadir dan Doyok. Ketika itu ia sekadar muncul sebagai figuran, hanya berbikini. Wanita 170 cm dengan berat 53 kg ini dengan sadar melakukan peran-perannya dalam film panas. "Produser tak mau rugi, mencari yang mau buka-bukaan, berani, cantik, mulus. Dan modal saya memang cuma itu, badan," katanya terus terang. Wanita yang bicaranya ceplas-ceplos ini toh tak mau melakukan adegan bugil. "Buat apa, kan nanti dipotong sensor juga, dan enak dong para kru film, mendapatkan hiburan gratis. Tapi mau juga, lo, kalau dibayar semiliar...," tawanya yang keras terdengar lagi. Berapa ia dibayar? Masih di bawah Rp 30 juta, katanya. Hasil main dalam filmnya antara lain berwujud 2 ha kebun pepaya hawai di Bogor, yang buahnya ia pasok ke beberapa pasar swalayan di Jakarta. 

AYU YOHANA, bintang dalam Susuk Nyai Roro Kidul. "Dulu, pada adegan perkosaan wanitanya masih pakai baju. Sekarang, wah ...," kata Ayu, yang sudah terjun dalam film panas sejak awal 1980-an. Janda yang tingginya 160 cm dan berat 48 kg ini mengaku tak sungkan melepaskan penutup dadanya, asal "sutradara yang minta". Bahkan mojang Priangan yang mogok SMA-nya ini siap melakukan adegan bugil bila saja aktris lain begitu juga, dan memang sutradaranya mengharuskannya begitu. Tekad Ayu terjun dalam film memang besar. Ia bersedia melakukan adegan buka-bukaan sekadar untuk merintis jalan ke dunia film. "Waktu itu ada yang bilang yang bisa jadi bintang film hanyalah orang-orang kaya," ceritanya. Tak tahunya, peran itulah yang kemudian selalu diterimanya, dan makin lama perannya makin panas saja. 

FERRY ANGRIAWAN, Produser PT Virgo Putra Film, yang sudah membuat 50 film. Beberapa di antaranya mendapat penghargaan. Cinta di Balik Noda, misalnya, mendapat Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1985, untuk aktris utama terbaik (Meriam Bellina). Pada festival tahun 1986, Cinta Anak Zaman meraih Citra untuk aktor pembantu terbaik (Didi Petet). Tahun berikutnya, Selamat Tinggal Jeannete, pemeran pembantu wanitanya yang mendapat Citra (Ria Irawan). Dan Festival Film Indonesia 1988 memberinya Citra lagi untuk peran pembantu wanita (Ayu Azhari) dalam Dua Kekasih. Dengan prestasinya itu, toh Ferry terpaksa ikut arus, membuat film-film yang menyajikan adegan panas sebagai menu utamanya: Gadis Metropolis, Tiga Dalam Satu, dan beberapa lagi. Awalnya adalah terjangan film impor, tahun 1991. Ia mengaku ketika itulah mulai babak-belur. "Utang saya banyak," katanya terus terang. Ia bahkan sampai menjual rumah yang pernah ditinggali ketika masih menjadi suami Meriam Bellina. Maka, ia pun melakukan strategi menekan ongkos produksi: memakai artis yang belum punya nama. Maka, apalagi yang keluar dari cara itu bila bukan film syur tadi, tutur anak seorang pemilik sembilan bioskop di Sumatera Barat ini. "Mau bagaimana lagi, itu yang disenangi penonton sekarang?" katanya. Ferry punya resep sendiri untuk film-filmnya. "Yang penting citra, bukan detailnya. Dan itu bisa lewat ekspresi wajah, kaki, atau tangan yang seksi," katanya. Ia pun melakukan taktik yang tampaknya dilakukan oleh hampir semua produser film panas: gambar dan foto yang dipasang sebagai reklame filmnya sebenarnya tak ada dalam adegan sesungguhnya. Dengan resep itu ia mengaku bisa untung 30% dari modal Rp 250 juta -- rata-rata ongkos produksi film panas sekarang. Sebagai produser profesional, katanya, ia tak peduli filmnya dicap murahan, ngeseks, atau apa pun. Yang penting, dapur produksinya jalan. 

TJUT DJALIL, sutradara yang filmnya lima tahun lalu menghebohkan, Pembalasan Ratu Laut Selatan. "Film Indonesia sekarang sudah murni barang dagangan," kata lelaki berusia 62 tahun ini. Tjut termasuk orang film yang bicara blak-blakan. Coba dengar pendapatnya tentang film Indonesia belakangan ini. "Film Indonesia? Itulah film yang dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, tak peduli segi artistik dan alur cerita. Pokoknya, ada adegan cumbu-mencumbu, cium-mencium, polos-polosan, lalu ah-eh-oh." Ia pun tak ingin sok-sokan membuat film horor atau film laga berbumbu seks, karena harus mengeluarkan ongkos untuk adegan-adegan tipuan yang biayanya mahal. Menurut pendapatnya, dunai film Indonesia kini dikuasai oleh produser. Dulu, misalnya, pengedar masih ikut menentukan artisnya. Malah kala itu produser menyetujui saja usul pengedar. Sekarang zaman sudah berbeda, kata Tjut, "produser yang punya duit yang menentukan segalanya. Dari soal cerita sampai bintangnya...." Sutradara tinggal menjalankan apa maunya produser. "Maka, kalau mau jujur, saya membuat film semata karena urusan perut," kata ayah sembilan anak itu, yang mengaku honorariumnya sebagai sutradara kini sekitar Rp 10 juta bersih. Orang Aceh yang pernah menjadi pegawai negeri lalu menjadi wartawan di Medan ini, awal tahun 1960-an, pindah ke Jakarta. Setelah diterima menjadi asisten sutradara, tahun 1974 film pertamanya lahir, Benyamin Spion 025, sebuah film komedi satir. Melihat sosok Tjut, sulit membayangkan bahwa dari tangannya lahir film-film merangsang. Tjut, yang berambut lurus, bertubuh ceking, adalah haji yang rajin salat. Meski dia yang mengarahkan artis untuk membuka ini-itu, ia mengaku tak pernah tergoda. "Mending perempuan desa, asli dan sederhana, jauh dari polesan rias wajah atau manipulasi keseksian karena operasi," katanya. Ia kini menunggu saat "pensiun". Ia mengaku mengalami konflik batin tiap membuat film panas. "Saya punya anak yang bekerja sebagai guru SMA," tuturnya. Itulah salah satu yang menyebabkan konflik batin itu, dan karenanya ia ingin bisa cepat berhenti dari dunia film. 

RAAM SORAYA, produser yang sudah bikin 50 film, demi film Indonesia mengaku pernah langsung meminta Badan Sensor Film melonggarkan guntingnya. "Saya minta supaya ada pancingan buat penonton, supaya mereka mau masuk bioskop yang memutar film Indonesia. BSF setuju. Dan bioskop luber lagi, bioskop kelas bawah tapi," tuturnya. Raam tidak membantah, filmnya banyak menampilkan adegan seks. "Tapi itu cuma bumbu," ujarnya. Dialah produser Pembalasan Ratu Laut Selatan. Dalam sebelas hari, sebelum terjadi protes dan ia menarik film itu dari peredaran, sudah 500.000 karcis terjual. "Karena film itu diributkan, orang malah penasaran dan mencari film itu," katanya kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. Ada yang disayangkan Raam, bahwa film-film sekarang bebas ditonton semua umur. Mestinya itu cuma untuk orang dewasa, katanya. Bahkan film komedi Warkop, menurut dia tak cocok ditonton anak-anak, karena banyak adegan buka dada dan paha. Jebolan Institut Teknologi Surabaya ini masuk dunia film dengan menjadi distributor film di Jawa Timur, tahun 1973, terlebih dahulu. Baru tahun 1987 ia mendirikan PT Soraya Intercine Film. Sri Pudyastuti R., Wahyu Muryadi, dan Indrawan.

Selasa, 15 Februari 2011

FILM INDONESIA YANG DI BANNED

Beberapa film-film yang dibanned (mungkin sama LSF?)



• Pagar Kawat Berduri(1961)

Diganyang oleh PKI, diselamatkan Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.



• Tiada Jalan Lain (1972)

Karena produsernya, Robby Tjahjadi terlibat dalam kasus penyelundupan mobil mewah.



• Romusha (1972)

Dianggap dapat mengganggu hubungan dengan Jepang




• Inem Pelayan Seksi (1976)

Diharuskan berganti judul dari judul semula Inem Babu Seksi.




• Wasdri (1977)

Skenarionya dianggap bisa menyinggung pejabat Kejaksaan Agung, karena Wasdri, buruh angkut di Pasar Senen, Jakarta hanya diberi upah oleh seorang istri Jaksa hanya separuh dari yang biasanya ia terima.




• Yang Muda Yang Bercinta (1977)

Dianggap mengakomodasi teori revolusi dan kontradiksi dari paham komunis.bonus nya : poppy dharsono bugil di film ini!. Film ini akhirnya beredar secara utuh loh di era film2 sex 90-an! yati octavia dan w.s rendra pemain disini.




• Bung Kecil (1978)

Isinya tentang orang muda yang melawan feodalisme.




• Bandot Tua (1978)

Dipangkas habis-habisan dan diganti judulnya menjadi Cinta Biru, karena kata “Bandot” dinilai bermakna negatif.




• Petualang Petualang (1978)

Judulnya diharuskan diubah dari “Koruptor, Koruptor”. Film ini mengisahkan berbagai bentuk korupsi besar-besaran




• Buah Hati Mama (1983)

Memuat dialog tentang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Bagian ini digunting habis. ini pelem ryan hidayat saat cilik...puput novel juga mejeng disini. sophan sophian dan widyawati pemeran ortu nya.




• Saidjah dan Adinda(1988)

Judul berubah dari Max Havelaar dan menggambarkan Max Havelaar yang berhati mulia, sementara penguasa pribumi justru menghisap rakyat.oh ya, aktor amrik Rutger Hauer (pendukung batman begins) peran utamanya.


• Ketika Musim Semi Tiba (1988)
Karena keseksian meriam bellina jadi penari erotis di Roma, kena cekal, tapi akhirnya beredar setelah di potong sana sini...duh mbak mer...magma perfilman nasional




• Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988)

Karena eksploitasi seks dari yurike prastica, setelah di revisi berganti judul jadi "misteri pusaka laut selatan". lucunya beberapa taun setelah 'MPLS' beredar, versi "PRLS" edar secara utuh.




• Jurus Maut

Tentunya sex nya vulgar.




• Kuda Kuda Binal

Walaaah...ini pasti deh banyak adegan 'sekwilda' dan 'bupati' yang super berani pada masa nya hueheue ga sopan!




• Cinta Biru

Kalo nih judulnya "cinta putih" yakin ga di cekal 




• Kanan Kiri OK

Diharuskan berganti judul dari "Kiri Kanan OK "karena kata 'Kiri' memberi kesan PKI. bisaan deh alasannya




• Tinggal Landas

Sutradaranya, Sophan Sophiaan, diminta menambahkan kata Buat Kekasih, karena Indonesia saat itu sedang dalam proses tinggal landas.




• Nyoman dan Presiden (1989)

Diminta agar judulnya diubah menjadi Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, atau Nyoman dan Indonesia.



Anak Perawan di Sarang Penyamun, 
Hingga Pagar Kawat Berduri
Oleh Alwi Shahab

Judul di atas adalah buku Sutan Takdir Alisjahbana diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1941. Sampai sekarang selama 67 tahun buku tersebut masih digemari. Entah sudah berapa belas kali cetak ulang oleh penerbit yang sama. Anak Perawan di Sarang Penyamun sebetulnya cuma cerita roman biasa. Tapi, masalahnya jadi lain ketika ia difilmkan. Apalagi diproduksi saat situasi politik tahun 1960-an memanas. Film yang disutradarai oleh Usmar Ismail (Perfini) kontan diboikot oleh golongan kiri dan akhirnya oleh Badan Sensor Film (BSF) ditarik dari peredaran. Alasannya Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi rektor Universitas Nasional (Unas), ketika itu melarikan diri ke Malaysia karena menentang Bung Karno. Film itu sendiri dibintangi aktor ganteng Bambang Hermanto dan artis cantik Nurbani Yusuf.

Rupanya sejak dulu film tak dapat dipisahkan dari unsur politik dan juga ideologi. Seperti di tahun 1960-an, ketika kalangan ‘kiri’ sangat kuat, dunia film pernah mereka pecah-belah. Rupanya dendam lama masih berlangsung. Karena itu, sejumlah elemen masyarakat di kota Solo dan sekitarnya menolak pengambilan gambar film Lastri di wilayah eks Keresidenan Surakarta dengan melakukan demo. Mereka menilai dari sinopsisnya, film tersebut menggambarkan ajaran komunisme.

Film yang akan melibatkan artis Marcella Zalianty yang kini tengah berada dalam tahanan Polda Metro Jaya karena dituduh melakukan penganiayaan, rencananya akan disutradarai oleh Eros Djarot. Memang terjadi pro dan kontra terhadap film di mana Lastri ketika terjadi peristiwa G30S dituduh sebagai anggota Gerwani. Bahkan Erot bersikukuh akan meneruskan pembuatan film tersebut dengan memindahkan ke daerah lain.

Sutradara H Misbach Yusa Biran (75 tahun), yang pada tahun 1950-an dan 1960-an selalu menjadi incaran kecaman dan hujatan golongan ‘kiri’ terus terang menyatakan tidak setuju terhadap film ‘Lastri’. Mantan Kepala Sinematek Indonesia ini beralasan, film tersebut ceritakan orang-orang kiri pro-PKI yang menjadi korban ketika terjadi peristiwa G30S Oktober 1965. Film ini, kata dia juga akan menanamkan kebencian masyarakat terhadap ABRI. Bagaimana akibatnya kalau masyarakat membenci Angkatan Bersenjatanya?

Misbach di masa berkuasanya kelompok kiri beberapa karyanya dilarang terbit, menilai film Lastri secara politis sangat besar pengaruhnya bagi generasi muda. Mereka akan beranggapan bahwa PKI adalah pihak yang benar. Tuduhan bahwa PKI bersalah dalam peristiwa 1965 adalah bohong belaka. Dengan demikian, generasi muda akan bersimpati pada PKI yang mereka nilai prorakyat. Ujung-ujungnya adalah antiagama yang ikut aktif dalam pengganyangan PKI. Meskipun PKI sendiri sulit hidup lagi di Indonesia tapi isme dan ajarannya akan berpengaruh.

Dalam bukunya Kenang-kenangan Orang Bandel, Misbach menceritakan, ”Cara kalangan kiri melakukan serangan terhadap mereka yang dianggap lawan semakin gencar dan kasar. Main babat.” Film Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani dan Anak Perawan di Sarang Penyamun harus ditolak karena Sutan Takdir Alisjahbana. Terhadap film yang kedua memang ditolak oleh Badan Sensor. Tapi, terhadap film Pagar Kawat Berduri Bung Karno diminta menjadi ‘juri’. Bung Karno menonton dan berpendapat film Asrul Sani tidak ada masalah.

Lewat produksi Kedjora, Pagar Kawat Berduri (1961), Asrul mengangkat mengenai sejumlah pejuang yang ditawan Belanda dalam kampinan Koenen (diperankan Bernard Ijzerdraat/Suryabrata).

Salah seorang tawanan, Parman (Sukarno M Noor) justru berteman dengan Belanda kepala kamp itu, antara lain melayaninya main catur. Film ‘humanisme universal’ ini membuat Asrul terus dikecam pihak komunis, karena menampilkan penjajah Belanda yang baik hati. Pagar Kawat Berduri berdasarkan cerita karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan kala itu mantan anggota RPKAD (Resimen Para Komando AD - kini Kopassus).

Pada 1960-an, kaum ‘kiri’ giat merayu siap saja agar masuk perangkap. Tapi, banyak yang tidak tergiur antara lain Sukarno M Noor, ayah si ‘Doel’ Rano Karno (kini wakil bupati Tangerang). Kala itu, BPS (Badan Pendukung Sukarno) yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno, menganut paham ini.

Ketika dunia film dipecah belah kalangan ‘kiri’, Sukarno M Noor bersama Usmar Ismail, Nisbach, Asrul Sani, bergabung dengan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), untuk menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) PKI.

Pada 1965, pengganyangan terhadap film-film Barat khususnya AS makin menjadi-jadi dengan terbentuknya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Tidak tanggung-tanggung kalangan kiri ini kemudian membakar gedung pusat distribusi film Amerika yang sekarang ini letaknya di samping Bina Graha di ujung Jalan Veteran IV.
Kala itu, gedung masih sederhana dan hanya satu tingkat. PAPFIAS kemudian bukan hanya melarang film-film AS, tapi juga film antek-anteknya, semua film negara Barat. Kala itu, film Italia dan Inggris juga digemari masyarakat.

Untuk membantu bioskop dari kekosongan penonton, masuklah film RR Cina, Rusia, Polandia, dan negeri-negeri komunis atau sosialis lainnya. Akibatnya bioskop-bioskop sebagian besar mati dan menjadi gudang. Karena masyarakat tidak senang menonton film-film dari negara komunis/sosialis yang isinya penuh propaganda.mr-republika

Minggu, 21 Maret 2010

SEX SEX YANG DIKEJAR SENSOR

22 Juli 1989
SEX & SENSOR
Lingkaran setan dalam film indonesia

AKIBAT penarikan peredaran film Pembalasan Ratu Laut Selatan dan Akibat Terlalu Genit bukan main. Tjut Djalil tiba-tiba jadi orang penting.

Seks dan sadisme muncul sebagai musuh terbesar film Indonesia. Kedua film yang bersangkutan dicari-cari. Sementara itu, Badan Sensor Film (BSF) sebagai lembaga yang paling berwenang dalam meloloskan sebuah film dikecam habis-habisan. Sehari setelah penarikan itu, Menteri Penerangan Harmoko melantik anggota BSF periode 1989-1991, lebih cepat sebelas hari dari masa kepengurusan yang diketuai Thomas Soegito. Lolosnya PRLS produksi Soraya Intercine Film yang disutradarai Tjut Djalil memang mengundang gunjingan. Film itu tidak saja dianggap mengeksploitir perilaku seks secara berlebihan tapi juga mengumbar berbagai adegan brutal. Kecerdasan penonton seperti dihina. Seorang penulis surat pembaca di harian Kompas menyebutnya sebagai kebebasan seks yang "amburadul". Astaghfirullah. Imbauan agar PRLS diperiksa kembali kontan disuarakan oleh sejumlah tokoh masyarakat. Mulai dari wartawan, pengamat film, ulama, hingga wakil rakyat di DPR. Ketika berlangsung dengar pendapat antara Komisi I dan Menpen Harmoko, Kamis dua pekan lalu, beberapa anggota DPR RI juga menyoroti PRLS secara kritis. Malah, dengan nada keras, Ali Tamin, S.H. menganjurkan supaya BSF diajukan ke pengadilan. "Ini sangat penting guna menjaga tertibnya dunia perfilman nasional," kata anggota Komisi I ini seperti yang ditulis di harian Sinar Pagi. Hal senada juga dikatakan pengamat film Dr. Salim Said. "Pembuat film dan produsernya harus diperiksa. Kalau terbukti salah, ya ditindak," katanya tegas. Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa pemecatan dari organisasi atau pencabutan izin produksi. Ia mengibaratkan dengan apa yang terjadi di bidang pers. "Kalau punya SIUPP, silakan terbit. Dan kalau dianggap salah, dibredel," tambah Salim. "Seharusnya dalam dunia film juga begitu."

Menurut Salim, yang dipersoalkan dalam PRLS sebenarnya bukan soal film seksnya. "Tapi, kejorokannya yang digugat," kata anggota Dewan Film Nasional itu. Harus diakui, pengertian jorok bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Dulu, adegan ciuman dilarang, sekarang sudah biasa. Tapi, itu pun masih harus mempertimbangkan kondisi masyarakat dan tuntutan cerita. Di sinilah peran BSF. Ada dugaan lain yang bernada minor. Kelonggaran yang diberikan BSF itu erat hubungannya dengan masalah uang. Sudah menjadi rahasia umum - seperti yang diceritakan seorang sutradara - bahwa siapa yang bisa membayar mahal kepada BSF, filmnya akan selamat. Sulitnya, tidak ada data tertulis untuk membuktikan kebenaran cerita itu. Maka, ketika pelantikan pengurus baru dipercepat sebelas hari, tudingan ke alamat BSF yang bermarkas tak jauh dari Sarinah di Jalan Thamrin itu makin menjadi-jadi. Namun, menurut Menteri Penerangan, tidak ada alasan khusus yang mendorong dipercepatnya upacara pelantikan. "Waktu yang tersedia beberapa hari menjelang masa efektifnya BSF dapat dipergunakan untuk melakukan orientasi," katanya, ketika melantik pengurus BSF yang baru.

Lebih jauh ia mengatakan bahwa BSF yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, wakil instansi, dan para ahli berbagai disiplin ilmu hendaknya mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan kriteria penyensoran yang mengacu pada kepentingan masyarakat. Soal lolosnya PRLS? "Itu termasuk kesalahan mekanisme kerjanya. Maka, kepada pengurus yang baru saya minta agar mengubah cara penyensoran yang selama ini dipakai. Tidak lagi tiga orang dalam tiap kelompok, tapi lima orang," kata Menteri Harmoko kepada Heddy Susanto dari TEMPO. Seribu tudingan "miring" yang ditujukan ke BSF juga tak membikin keder pengurus lama. "BSF selalu berusaha agar isi dan tema setiap film tidak bertentangan dengan Pancasila. Untuk itu BSF punya buku pintar," kata Thomas Soegito, yang masa tugasnya berakhir Sabtu pekan ini. Tugas kerja badan ini pada dasarnya tidak terlepas dari para anggotanya yang berjumlah 39 orang - kini 45 orang. Mereka duduk di lembaga itu sebagai wakil departemen, lembaga nondepartemen, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat. Lembaga nondepartemen, misalnya, ada Mabes ABRI, Bakin, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, BP7. Dari organisasi masyarakat, antara lain MUI, KWI, PGRI, PWI, KNPI, Kowani, Angkatan 45, Pramuka. Secara umum kriteria film yang diproduksi tidak boleh mencerminkan sikap anti Tuhan dan merusakkan kerukunan umat beragama serta tidak bertentangan dengan kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri. Seandainya terselip adegan porno, sadisme, atau horor yang berlebihan, wajib dibuang. Toh, masih ada saja film-film yang mengundang kecaman pedas sehingga BSF harus bekerja ekstrakeras. 

Dua tahun lalu sewaktu film Ketika Musim Semi Tiba (KMST) diloloskan, BSF juga dibantai habis-habisan. Film yang dibintangi Meriam Bellina itu dinilai banyak menyajikan adegan erotis. Namun, Thomas Soegito dengan lihai berkelit. "BSF punya misi moral dalam membantu perfilman nasional, hingga sedapat mungkin meluluskan 100%," ucapnya (TEMPO, 6 Juni 1987). Tentang bumbu seks, katanya, "Bumbu boleh saja, tapi jangan terlau main jalan." Belakangan, setelah dua bulan bertengger di sejumlah bioskop, film laris tahun 1987 itu ditarik dan diperiksa ulang oleh BSF. Uniknya, pada saat yang sama, film-film sejenis lainnya, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bundar Bulat, Nyi Blorong, meledak di pasaran. Dan aman-aman saja alias luput dari perhatian publik. Tak heran kalau produser KMST, Ferry Angriawan, mencak-mencak karena merasa dikerjain. Kehadiran film bertema seks di Indonesia sebenarnya sudah cukup tua. Tentu dengan kadar yang berbeda-beda.

Pada awalnya adalah film Antara Bumi dan Langit yang disutradarai Dokter Huyung pada 29 tahun silam. Empat bulan sebelum film tersebut diedarkan, muncul protes dari Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan lantaran ada poster bergambar orang sedang berciuman. Tapi, sepuluh tahun kemudian, Turino Djunaidi sukses menampilkan Djakarta-Hongkong-Macao, sebuah film bertema action dengan selingan adegan ciuman di sana-sini. Proses selanjutnya berlangsung cepat. Lahirnya kebijaksanaan impor film di tahun 1967 makin merangsang kehadiran film-film Indonesia yang berbau pornografi. Film-film Orang-Orang Liar, Hidup, Cinta dan Airmata, lalu Bernapas Dalam Lumpur (BDL) adalah wajah perfilman kita dua dasawarsa yang lalu. BDL dengan bintang utama Suzzanna yang diproduksi tahun 1970 mencatat rekor sebagai film terlaris yang ditonton hampir 130 ribu orang. Suatu jumlah yang fantastis pada zaman itu. Sejak itu pula nama Suzzanna melesat bagi meteor dan banyak yang menjadikannya sebagai bintang simbol seks. Honornya mencapai Rp 1 juta. Belakangan, Paula Rumokoy yang tampil lewat Dan Bunga Bunga Berguguran ikut menyemarakkan suasana. Lalu menyusul Tuty Suprapto dengan Tante & Sex. Setelah itu Yatti Octavia dalam Intan Perawan Kubu. Era 1970-1980 boleh dibilang masa kebangkitan film yang mengekspose adegan dari ranjang ke ranjang. 
Film jenis lain, seperti Tuan Tanah Kedawung, Si Buta dari Gua Hantu atau Si Gondrong dengan silat sebagai menu utama, kalah pamor. Begitu pula yang bertema musik seperti Dunia belum Kiamat. Tapi, film seks ketika itu tidak sampai terjebak pada kemesuman. Bahkan, film lain yang memasang judul vulgar semacam Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku Sayang atau Pahitnya Cinta Manisnya Dosa melabrak tanpa halangan apa pun. Buktinya, tak ada protes yang mengharuskan BSF mengadakan peninjauan kembali. Tampilnya film-film Indonesia yang penuh adegan panas akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari makin berkembangnya teknologi informasi di masyarakat. Contohnya, lewat parabola, acara-acara di luar negeri mudah diikuti. Tanpa sensor lagi. Kehadiran video gelap juga menjadi faktor pemacu. Gejala inilah yang disadap para produser yang sudah membuktikan bahwa film dengan latar belakang seks dan kekerasan jadi senjata sakti di pasaran. Maka berlomba-lombalah mereka menghadirkannya sebagai bagian dari sebuah bisnis. Sulit disangkal, bumbu seks dalam sebuah film jadi faktor pelaris. Ini alasan klasik yang sudah dikumandangkan sejak Wim Umboh menggarap Bunga-Bunga Berguguran di tahun 1970-an. "Masuknya seks hanyalah untuk menarik penonton agar suka datang melihat film-film kita," katanya. Bahkan, Asrul Sani ketika itu dengan gamblang mengatakan, "Saya yakin kelak film Indonesia akan berkembang ke arah mempersembahkan seks secara wajar. " Dua puluh tahun kemudian hal yang sama dibeberkan oleh Gope T. Samtani. "Untuk daya tarik, seks menjadi penting sebagai bumbu," kata produser PT Rapi Films. Ia memberikan batasan toleransi sekitar 10% . "Porsi sekecil itu paling untuk iklan masih bisa diterima," tambahnya. Dengan resep ini, Rapi yang memproduksi film dengan biaya Rp 150 hingga Rp 200 juta bisa memetik keuntungan minimal 20% perfilm. "Sekarang ini film legenda dan mistik memang sedang disukai, terutama di daerah," kata Gope lagi. Segmen pasarnya pun sudah jelas yakni menengah ke bawah. Film jenis ini dalam setiap penyelenggaraan FFI porsinya rata-rata mencapai 60 persen. Setidak-tidaknya ini membuktikan betapa besarnya jangkauan pasarnya. Tapi, ia menolak anggapan bahwa film yang laku harus dengan embel-embel seks dan sadisme.

Sebaliknya, Nyak Abbas Acub setuju dengan pendapat bahwa film seks dan sadisme pasti digandrungi. "Umumnya laku. Film Suzzanna, tidak ada yang tidak laku," kata sutradara Inem Pelayan Sexy ini. Sebab, memang sudah terjadi pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat. "Akan berkembang terus karena setiap kurun waktu akan ada nilai-nilainya sendiri," katanya lebih lanjut. Menurut teorinya, kondisi film Indonesia sendiri. "Kita sekarang ini dijejali dengan film impor. Sehingga, agar survive, film nasional cari jalan. Ibarat Ellyas Pical diadu dengan Mike Tyson. Jelas, bukan lawannya. Tapi Mike Tyson malah didukung. Jadi, tidak salah kalau Ellyas Pical main kayu, cari batu," kata sutradara penuh humor itu. Jadi, dalam bisnis film yang serba tidak pasti, banyak faktor yang saling mempengaruhi laku tidaknya sebuah film. Sialnya, film yang laku belum berarti keuntungan besar masuk ke kantong produser karena hasil peredaran jatuh ke tangan "booker" atau distributor. Dan peran"booke" ini tidak bisa diremehkan. "Kadang-kadang kami dibisiki produser bahwa maunya 'booker' itu begini," cerita Mat Noer Tindaon, sutradara Akibat Pergaulan Bebas yang pernah dihebohkan tahun 1977. Untuk menggambarkan betapa besarnya kekuasaan produser, bisa diceritakan oleh Djun Saptohadi. Ketika ia menggarap film Sembilan Wali produksi Soraya Intercine Film pada 1985, Djuntak berdaya dengan titipan produser. Adegan panas yang seharusnya tampil selintas, atas permintaan produser, diubah menjadi tontonan buah dada. "Tak pelak lagi, gara-gara itu saya dicerca di mana-mana," kata Ketua I Kelompok Sutradara KFT ini. "Situasi semacam ini dihadapi 80 persen sutradara yang ada," tambahnya.

Munculnya lembaga distributor atau "booker" tidak urung ikut ambil andil dalam soal kualitas. Karena merasa tahu jenis film yang laku, bintang yang digemari, tema cerita yang disenangi penonton, para "booker" sering bertindak sebagai penentu. Target produksi bukanlah piala Citra. Yang penting bisa dijual, laku, dan menguntungkan. Sebelum berproduksi, seorang produser biasanya konsultasi dulu dengan "booker". Setelah ada kesepakatan, dana pun mengalir dari "booker". Sistem ijon semacam inilah yang melahirkan film-film yang banyak mendapat cercaan. Namun, produser atau "booker" tak bisa disalahkan begitu saja. "Lahirnya film kacangan merupakan pertemuan produser bermental dagang dengan sutradara tanpa kemampuan dan cita-cita," kata Nasri Chepy, sutradara film Catatan Si Boy yang meledak itu. Ia juga tidak menutup mata adanya praktek jual nama sutradara. Maksudnya, sutradara hanya dibeli namanya, sedang praktek di lapangan dilakukan orang lain. Lalu apa resep sebuah film yang baik? "Sebenarnya, yang penting adalah membuat film yang kena di hati masyarakat," kata Raam Punjabi dari Parkit Film. Sebagai pengusaha sah saja kalau berorientasi pada keuntungan. "Film bukan hanya untuk tuntunan tapi juga barang dagangan," tambah produser yang doyan membuat film-film mahal ini. Ia mengatakan bahwa yang dibuat dengan modal besar belum tentu laku di pasaran. Film Peluru dan Wanita, misalnya, dengan sedikit bumbu seks dan dibikin dengan biaya Rp 2,5 milyar, tidak begitu bergema.

Lain halnya dengan Catatan Si Boy dan Saur Sepuh yang mendapat sambutan hangat sehingga boleh dijuluki film laris tahun 1988. Keduanya dibuat secara berseri. Dan tahun ini Namaku Joe dan Kabayan Saba Kota laku keras. Tak hanya di bioskop papan bawah Kabayan berjaya. Di bioskop kelas satupun mereka selalu dipenuhi pengunjung. Ini membuktikan tak semua film dengan tema "biasa" tak bisa dijual. Jauh sebelumnya, film-film warop Prambors seperti Maju Kena Mundur Kena, Gantian Dong, dan Kesempatan Dalam Kesempitan juga merajai pasaran. Begitu pula Pengorbanannya Rhoma Irama. Rata-rata menyedot di atas 1.000.000 penonton. Sementara itu, film-film yang masuk nominasi FFI, yang dari segi kualitas bisa diandalkan, malah kedodoran. Paling tinggi hanya menjaring 500 ribu orang, kecuali Pemberontakan G30S-PKI dan Sunan Kalijaga yang di atas 1.000.000.

Singkat kata, film-film terlaris dalam sepuluh tahun terakhir ini kalau tidak Warkop Prambors, Rhoma Irama, yang bertemakan takhyul atau seks. Ketika dalam FFI 1984 diumumkan tidak ada film terbaik, orang pun tersentak. Apalagi setelah Juri tidak memberikan Citra untuk cerita asli. Apa yang terjadi dengan film Indonesia? Sudah begitu parahkah situasinya? Dari segi cerita sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya mandek begitu kata D. Djajakusuma almarhum sutradara Harimau Campa. "Cerita asli kurang digali karena produser memang maunya demikian." Maka, bermuculanlah film-film yang dibuat dengan semangat seks dan kekerasan yang idenya berkiblat ke film asing. Celakanya, BSF kurang tajam mengasah pisau guntingnya sehingga film semacam Pembalasan Ratu Laut Selatan lolos dengan mulus. Padahal, dampak film yang menyajikan adegan sanggama dan sadisme sudah sering terdengar. Dari sejumlah kasus perkosaan yang terjadi di sejumlah daerah beberapa waktu lalu dalam persidangan terungkap bahwa pelakunya yang rata-rata masih remaja terpengaruh oleh film yang ditonton. Kelonggaran itu pula yang dipertanyakan oleh seorang ibu yang tinggal di Denpasar, Bali, belum lama ini. Ia melampiaskan unek-uneknya dengan menulis surat pembaca di sebuah surat kabar karena anaknya yang masih duduk di taman kanak-kanak disodori film Malu-Malu Mau dengan bintang Warkop. Adegan seks mungkin tidak ada. Yang dipertanyakan, tepatkah film semacam itu untuk konsumsi anak-anak. Sebenarnya, di setiap daerah sudah ada Bapfida (Badan Pengawas Perfilman Daerah) yang tugasnya meneliti film-film yang akan diputar di bioskop. Lembaga ini tidak berhak menyensor. "Tapi, kalau ada yang tidak sesuai dengan kultur daerah kami kembalikan," kata M. Supratomo, Sekretaris Bapfida Yogyakarta. Film PRLS, misalnya, langsung ditolak. Hal yang sama antara lain juga dilakukan oleh Bapfida Jawa Tengah dan Bapfida Suatera Utara. Toh, masih ada yang kecolongan. "Terus terang saja kami ketrucut," kata Soediono, Ketua Bapfida Jawa Timur. Film PRLS sempat lima hari diputar di Surabaya sebelum turun perintah pencabutan. Di kota ini, PRLS tidak menimbulkan reaksi tajam karena penontonnya sepi.

PRLS telah menjadi "tumbal" yang membuat kita semua mengamati lagi film nasional. Lebih dari itu menyengat orang film sendiri untuk berpikir. Seks dan sadisme bukan satu-satunya masalah. Itu baru sebagian dari masalah yang mestinya muncul ke permukaan. Banyak persoalan lain yang belum terbeber. Kebodohan sebagian orang film sendiri dalam medlanya, sebagaimana disinyalir oleh Teguh Karya, juga merupakan lingkaran setan, kemacetan film nasional. Meskipun menurut Eros Djarot, sebenarnya, "Tidak ada lingkaran setan, yang ada hanya setan yang melingkar-lingkar." Yusroni Henridewanto,Tommi T., Muchsin Lubis, Jelil Hakim, Jalil Hakim, I Made Suarjana

Rabu, 16 Februari 2011

POTONGAN & DAFTAR FILM SELULOID DALAM LACI SENSOR

10 April 2006

Potongan & Daftar film Seluloid dalam Laci Sensor
"Setiap zaman menuliskan kisah muramnya sendiri." (Spike Lee, sutradara Malcom X)
Rambut, kumis, cambang, dan jenggot Judy Soebroto telah memutih. Usianya kini 61 tahun. Ia masih memendam rasa kecewa yang dalam. Film garapannya, Nyoman dan Presi-den-, 17 tahun lalu dilarang hanya karena ia me-nolak mengganti judul film menjadi Nyoman dan Me-rah Putih. Sampai kini ia masih tak paham benar me-ngapa Departemen Penerangan saat itu alergi ter-hadap pemakaian kata "Presiden" sebagai judul film.
 
Judy memperlihatkan setumpuk dokumen yang te-lah lusuh dimakan usia. Ia menunjukkan surat lolos sensor Badan Sensor Film pada 1989. Film itu telah dinyatakan lulus dengan judul Nyoman dan Presi-den. Dan menurut Judy, tak satu frame pun yang di-sensor dari film itu.
 
Sebuah surat panggilan dari Departemen Pene-rangan kemudian meruntuhkan harapan Judy yang ingin menyaksikan filmnya diputar di bioskop-bioskop. Judy diminta mengganti judul film dengan lima judul lain: Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, dan Nyoman dan Indonesia. "Saya menolak karena kalau judulnya diganti akan menghilangkan makna seluruh film," ucapnya kepada Tempo pekan lalu.
 
Ia mengungkapkan, tak ada sama sekali hal yang bisa dianggap membahayakan negara dari filmnya. Ia tak menghina presiden, juga tak mengkultuskannya. Filmnya hanya bertutur tentang seorang bocah Bali berusia 11 tahun yang terobsesi ingin bertemu Presiden. Kalau tetap memakai judul itu, ucap Judy mengutip pejabat Departemen Penerangan yang me-nemuinya, film itu bisa merongrong kewibawaan lem-baga kepresidenan.
 
Lantaran ia tetap menolak mengganti judul, -Nyo-man- dan Presiden dilarang beredar di bioskop -ko-mer-sial. Peraih Piala Citra FFI 1978 sebagai -penata artistik ter-baik dalam film Jakarta-Jakarta itu pun se-ketika bangkrut. Ongkos produksi sekitar Rp 700 ju-ta melayang. "Saya benar-benar jatuh miskin," ucap-nya.
 
Selain Judy, ada puluhan sineas lain yang ber-nasib apes karena film mereka dilarang. Dalam seja-rah film Indonesia, lebih dari 60 film yang dilarang di-putar di bioskop, tertahan bertahun-tahun di laci ba-dan -sensor, atau ditarik dari peredaran karena protes masya-ra-kat.
 
Ratusan film dari total produksi film Indonesia yang mencapai 2.438 film harus berurusan de-ngan Departemen Penerangan dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda)-ini lembaga pengawasan di daerah di bawah koordinasi Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di era Orde Baru-sejak saat skenario ditulis hingga revisi judul film sebelum beredar, seperti pada kasus Nyoman. Film-film itu masih harus menghadapi kejamnya gunting Badan Sensor Film (sekarang Lembaga Sensor Film) dan keputusan Jaksa Agung yang sewaktu-waktu bisa membatalkan peredaran film.
 
Hantu sensor itu mengganggu para pekerja film sejak Bapak Perfilman Usmar Ismail memprotes sensor terhadap film The Long March dan Antara Bumi dan Langit dalam tulisannya di Star News pada 25 September 1954. Film Asrul Sani, Pagar Kawat Berduri, bahkan tak cuma disensor, tapi juga diganyang oleh Partai Komunis Indonesia. Film itu hanya bisa diselamatkan oleh Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.
 
Pemerintahan Orde Baru kemudian menggali l-ebih dalam "kuburan" bagi pelbagai film, dari mulai Romusha (1972) hingga Nyoman dan Presiden (1989). Di masa ini ada sekitar 50 film yang terganjal atau ter-tahan di meja sensor. Fenomena sensor ter-akhir -dia-lami oleh film Buruan Cium Gue (2005) yang -di-protes dai Abdullah Gymnastiar dan Majelis Ul-a-ma Indonesia.
 
Sebagaimana Judy, produser Romusha Ny. Julies Rofi'ie juga tekor modal lantaran pelarangan. Ia telah mengeluarkan uang Rp 150 juta untuk membuat film yang mendeskripsikan kekejaman Jepang terhadap pekerja paksa pribumi di zaman prakemerdekaan. Badan Sensor Film pun sudah mengeluarkan surat lulus sensor. Namun, saat Julies hendak mengambil empat copy film di badan itu, sebuah larangan jatuh dari "langit". Bukan dari Badan Sensor, melainkan langsung dari Istana Presiden. Julie dipanggil oleh Sudjono Humardhani. Menurut Julies, Asisten Pribadi Presiden Soeharto itu mengatakan, "Film buatanmu itu bisa merusak hubungan dengan Jepang."
 
Jenderal Angkatan Udara itu, kata Julies, kemudian menjanjikan pihak Jepang akan mengganti biaya produksi. Sang jenderal menyebut angka Rp 1 miliar. Julies pun kontan mengangguk-angguk. Namun, bertahun-tahun kemudian, meski Julies telah bolak-balik ke kantor dan ke rumah Humardhani, uang tak kunjung turun. "Bagaimana ini, Pak? Saya bisa gulung tikar," ucap Julies kepada sang jenderal. Pecah-nya peristiwa Malari dan kemudian wafatnya Humar-dhani di Tokyo pada 1986 segera memupus segala harapan Julies hingga kini.
 
Titah, bisikan atau celoteh pejabat yang ber-pe-ngaruh di zaman Orde Baru bisa menghentikan pe-r-edar-an sebuah film. Dengan cukup angkat telepon, i-mpian sineas bisa buyar seketika. Inilah sensor di atas sensor. Di atas Badan Sensor Film dan Departemen Pe-nerangan-Direktur Bina Film menjadi titik kekuasa-an absolut-masih ada lapisan sensor lain yang se-waktu-waktu bisa mengintervensi masalah estet-ika film. "Sensor tidak satu pintu. Pihak lain tak berhubungan dengan film bisa mempengaruhi," kata S.M. Ardan, kurator film.
 
Sikap pengawasan berlebihan itu, kata Ardan, menja-di ironis di kala pemerintah pada 1970-an meng-gen-carkan produksi film dengan memberikan suntikan- se-besar Rp 7,5 juta untuk setiap produksi film. P-ada kurun waktu 1970-1980 itu pun produksi melo-njak menjadi sekitar 604 judul film. "Produ-ser dibe-ri pin-jam-an tanpa bunga. Ramai-ramai buat film. Kasar-nya, tukang cabe pun bisa bikin film." kata Ardan.
 
Tapi Menteri Penerangan kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 224 Tahun 1977. Surat ini dianggap sebagai penyebab lesunya produksi film nasio-nal. Konsep "kultural edukatif" yang mesti dipunyai oleh sebuah film, sebagaimana diatur dalam surat itu, dianggap tak jelas. Definisi "kultural eduka-tif" pada akhirnya dimonopoli oleh tafsir sepihak Departemen Penerangan.
 
Sutradara Jasso Winarto, misalnya, menjadi ko-r-ban tafsir sepihak itu. Film Bandot Tua (1978) arahan-nya dilarang beredar hanya karena kata "Bandot" dinilai bermakna negatif. Film ini beredar setelah dipangkas habis dan berganti judul menjadi Cinta Biru. "Bandot menjadi film pertama dan terakhir saya," ujar Jasso yang kemudian banting setir mendirikan lembaga riset Sigma Research Institute, Jakarta.
 
Bukan cuma sekali itu Jasso kepentok. Dalam Wasdri (1977), skenario yang ia tulis dicorat-coret Direktur Bina Film Deppen. Izin produksi kemudian tak dikeluarkan. Alasannya, skenario Jasso bisa me-nyinggung pejabat Jaksa Agung. Wasdri diangkat dari kisah nyata buruh angkut di Pasar Senen. "Dalam cerita, Wasdri hanya dibayar jasanya Rp 10 oleh Ibu Jaksa, sete-ngah dari tarif biasa yang ia terima," kata Jasso.
 
Kasus Wasdri menjadi kasus besar setelah ratus-an seniman menandatangani petisi Melawan Pema-sungan Kreativitas. Para seniman juga mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat, tapi pemerintah kukuh melarang.
 
Beberapa judul film lain tertahan di laci Badan Sensor, seperti Saijah dan Adinda, Yang Muda yang Bercinta, Bung Kecil, Jurus Maut, Kuda-kuda Binal, Cinta Biru, dan Petualang-petualang. Film lain bahkan dicabut karena membuat heboh seperti Tiada Jalan Lain (1972) dengan produser Robby Tjahjadi-ia terlibat kasus penyelundupan mobil mewah masa itu-dan Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang mengeksploitasi seks.
 
Intervensi Deppen terhadap perubahan judul juga muncul dalam film Inem Pelayan Seksi yang semula berjudul Inem Babu Seksi. Max Havelaar ber-alih menjadi Saijah dan Adinda. Bahkan judul kom-edi Warkop, Kanan Kiri OK, adalah hasil perubahan dari Kiri Kanan OK. "Kalau kata 'Kiri' didulukan, kesannya PKI. Pokoknya asal omong," ujar Ardan geleng-geleng kepala.
 
Pengalaman Sophan Sophiaan lain lagi. Saat membuat film Tinggal Landas, yang diangkat dari novel Bondan Winarno, ia disarankan oleh Dirjen Radio Televisi dan Film waktu itu untuk menambahkan kata "Buat Kekasih". "Kata Tinggal Landas itu tak boleh dipakai karena Indonesia sedang berada dalam masa tinggal landas," kata pria asal Makassar itu seraya terbahak.
 
Di judul film Buah Hati Mama, karya Sophan selanjutnya, Deppen menyoal dialog seorang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan Hoegeng (mantan Kapolri). Dialog itu digunting habis. Kala itu, Hoegeng yang populer lewat acara Hawaiian Senior di TVRI dianggap sensitif di zaman Soeharto.
 
Penyair W.S. Rendra yang baru menghirup u-dara kebebasan "diincar" ketika main film bersama Yati Octavia dalam Yang Muda yang Bercinta. Karya sutradara Syuman Djaja itu tak boleh beredar di wi-layah hukum Kodam Jaya. Waktu itu -Kepala -Pe-nerangan Laksusda Jaya, Letkol Anas Malik, memberi keterangan, film itu mengakomodasi teori revo-lusi dan kontradiksi paham komunis yang di-larang di Indonesia.
 
Tak hanya menyangkut isi, judul film bisa berubah total. Ditambah, atau dibolak-balik. Apalagi, bila ada adegan yang menyinggung pejabat yang berkuasa, jangan diharap film tersebut bisa melenggang mulus ke layar bioskop.
 
Pengawasan serba ketat itu bagi insan film merupa-kan awal dari kemunduran film Indonesia masa depan. "Zaman dulu, film Indonesia sudah dibatasi kreativitasnya, makanya jadi jelek sampai sekarang," kata Sophan pesimistis.
 
Kini zaman berubah. Masa lalu, meminjam ucapan Spike Lee, "Mungkin telah menuliskan kisah muramnya sendiri." Di saat angin kebebasan berhembus, para sineas masa kini bisa menuangkan ide-ide mereka kepada publik. Dan publik dapat menerima-nya dengan bijak.
Yos Rizal S., Evieta Fadjar P., Kurie Suditomo, Nurdin Kalim

DILARANG DAN TAK PERNAH BEREDAR
Romusha (1972) Produksi Sri Agung Utama Film
Film sudah lolos sensor, tapi tidak beredar karena ditahan Departemen Penerangan, dengan alasan mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. Kedutaan Jepang sendiri tidak pernah resmi melakukan protes, tapi produser Ny Julies Rofi'ie mengaku bahwa pihak Jepang keberatan. Penyelesaiannya, produser minta ganti rugi atas seluruh biaya produksi film itu, tapi uang ganti rugi yang dijanjikan tak pernah ada.
 
Wasdri (1977) Produksi PT Bola Dunia Film
Film dilarang meski baru pada tahap penulisan skenario. Departemen Penerangan menilai film yang skenarionya ditulis Yasso Winarto dan disutradarai Nico Pelamonia itu bisa merongrong kewibawaan pemerintah, karena memojokkan pejabat-pejabat pemerintah. "Jika ditonton orang luar negeri," kata Sunaryo St. Direktur Bina Film Departemen Penerangan waktu itu, "mereka akan mendapat kesan negara kita ini bobrok."
 
Para Perintis Kemerdekaan (1977) Produksi PT Taty and Sons Jaya Film
Film ini dilarang memakai judul Di Bawah Lindungan Ka'bah dan diganti menjadi Para Perintis Kemerdekaan. Meski diambil dari cerita karangan Hamka, Ka'bah dinilai punya konotasi pada lambang Partai Persatuan Pembangunan. Apalagi pada 1977 sedang berlangsung Pemilu.
 
Bung Kecil (1978) Produksi PT Dipa Jaya Film
Film ini tertahan di Badan Sensor Film selama lima tahun, setelah ada pemotongan baru lulus sensor pada 1983. Tapi, menurut sutradara Sophan Sophiaan, film ini kemudian sama sekali tak pernah beredar di bioskop. Ia pun tak pernah menyaksikannya dalam format VHS.
 
Nyoman dan Presiden (1989) Produksi PT Jantera Sidha Dyatmika
Departemen Penerangan meminta judul film diganti, karena penampilan Presiden Soeharto di film itu terkesan hanya tempelan. Ini dikhawatirkan akan mengganggu kewibawaan lembaga kepresidenan. Departemen Penerangan menggantinya menjadi Nyoman dan Merah Putih. Judul pengganti ini justru ditolak aparat Korps Polisi Militer karena terkesan berbau PKI. Sutradara Judy Soebroto menolak pergantian judul. Film pun akhirnya dilarang diputar di bioskop-bioskop.
 
TERTAHAN DI MEJA SENSOR
Max Havelaar (1975)- Saijah dan Adinda Produksi PT Mondial Motion Picture, Fons Rademaker Productie BV
Film ditolak Badan Sensor Film pada 1 April 1977. PT Mondial Motion Pictures (Indonesia) dan Fons Rademaker BV (Belanda) diminta melakukan revisi. Revisi dilakukan, tapi Saijah dan Adinda baru lolos 10 tahun kemudian. Di luar negeri, film besutan sutradara Belanda Fons Rademaker itu justru menuai banyak penghargaan.
 
Bandot Tua (1977)- Cinta Biru Produksi PT Nusantara Film, PT Candi Dewi Film
Tertahan di Badan Sensor Film beberapa tahun, dua kali berganti judul. Dari Bandot Tua, judul yang dipakai dalam surat izin produksi, lalu berubah jadi Bandot. Departemen Penerangan berkeberatan dengan kata "bandot" apalagi bertutur tentang seorang jenderal yang berselingkuh. Film ini akhirnya lolos sensor setelah mengalami pemotongan dan hampir menghabiskan inti film.
 
Yang Muda Yang Bercinta (1977) Produksi Matari Artis Jaya Film
Meski sudah lolos sensor pada 15 April 1978 dengan potongan 18 menit, film ini dilarang beredar pada Mei 1978 dengan wilayah hukum Kodam Jaya karena dinilai ada propaganda, agitasi dan menghasut generasi muda. Cukup berlarut, pembicaraan pada tingkat Kopkamtib, pada September 1993 baru diputar di Jakarta dan mendapat Citra pada FFI 1978 untuk pemeran pembantu terbaik, Nani Widjaya.
 
Jurus Maut (1978) Produksi PT Sinabung Raya Film
Tertahan selama empat tahun, dengan alasan tidak jelas. Ada sumber lain menyebut karena kritik terhadap beberapa pejabat dan adegan kekerasan berlebihan, setelah produser protes dan dipotong beberapa adegan, baru lulus sensor.
 
Petualang Petualang (1978) Produksi PT Jaya Bersaudara Film, PT Internasional Aries Angkasa Film
Film ini tertahan di Badan Sensor selama enam tahun. Film berjudul asli Koruptor-Koruptor ini lolos setelah dipotong tak kurang dari 319 meter, atau sekitar 20 menit. Judul pun harus diganti. Upaya mematikan semua tokoh dalam adegan terakhir juga atas inisiatif Badan Sensor. Saking parahnya pemotongan, kata "Tamat" sampai harus diukir di atas seluloid dengan menggunakan paku. "Ceritanya kacau, editing kacau. Seperti film misbar," kata Jajang Pamuntjak, istri sutradara Arifin C. Noer.
 
DICABUT DARI PEREDARAN
Tiada Jalan Lain (1972) Produksi PT Tunggal Djaya Film dan Spoon Brothers Film Co Hongkong

Sempat membuat ricuh organisasi film Indonesia yang menarik kembali rekomendasinya. Dan sempat dilarang beredar di seluruh Indonesia oleh Jaksa Agung RI dengan alasan bisa merusak kepribadian Indonesia, karena banyak menonjolkan kemewahan.
 
Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) Produksi PT Soraya Intercine Film
Film yang menghebohkan karena banyak mengeksploitasi seks, setelah mendapat protes dari masyarakat, ditarik dari peredaran oleh BSF. Ketika disensor ulang pada 1994, masa tayangnya jadi 80 menit.