Tan Tjeng Bok (lahir di Jakarta, 30 April 1899 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1985 pada umur 85 tahun) adalah aktor kawakan Indonesia di era tahun 1940an hingga tahun 1970an.
Awal karir
Memulai karier sebagai biduan ketika umurnya baru 12 tahun di Bandung, alunan musik orkes keroncong menggaet hatinya. Ia bergabung dengan orkes Hoetfischer pimpinan Gobang berkeliling Jawa. Tetap membawa lagu kroncong Mauritsco, namanya mulai tenar. Tapi tiba di Bangil, ia kemudian bergabung dengan opera Dardanella pimpinan Pedro atau Pyotr Litmonov, seorang keturunan Rusia. Berkeliling terus, dari Sabang sampai Merauke. Dardanella tutup layar di awal tahun 1940-an, Tjeng Bok lalu ikut sandiwara keliling Orpheus pimpinan Manoch. Kemudian juga Star pimpinan Afiat. Tapi tak satupun grup-grup itu berhasil mengulang sukses Dardanella. Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, di Jakarta berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah Si Item masuk babak baru dunia perfilman.
Puncak karir
Pada masa jayanya Tan Tjeng Bok dikenal dengan julukan Si Item. Sebagai penyanyi keroncongtonil atau sandiwara paling populer sebelum Perang Dunia II, si Item, julukan Tan Tjeng Bok laksana magnet. Banyak menarik penonton wanita, ketika mereka hidup pada era Siti Nurbaya. Di samping terkenal sebagai Si Item, ia juga digelari Douglas Fairbank van Java (bintang Hollywood terkenal kala itu). dan pemain sandiwara (1920-1940), dia sempat mencapai puncak karirnya. Ketika jadi bintang keliling Dardanella,
Filmnya banyak disutradarai oleh Tan Tjoei Hock antara lain "Melarat Tapi Sehat" dan "Si Bongkok dari Borobudur" bermain dengan aktris Sofia WD, "SiGomar", "Singa Laoet", "Srigala Ite", dan "Tengkorak Hidoep". Dalam filmnya kebanyakan Ia berpasangan dengan aktris Hadidjah. Namanya sejajar dengan aktris top pada zaman itu antara lain Fifi Young, Aminah Cendrakasih, Marlia Hadi, dan Moh Mochtar.
Akhir karir yang muram
Menjelang usia tuanya pada tahun 1979, ia jatuh melarat. Ketika dirawat di rumah sakit, surat kabar Sinar Harapan membuka Dompet Tan Tjeng Bok dan berhasil menghimpun dana lebih dari dua puluh juta rupiah[2]. Padahal sebelum meninggal, ia masih menikmati bermain disejumlah film dan sinetron di televisi. Termasuk dalam Komedia Jakarta dan Senyum JakartaTVRI, bersama A. Hamid Arief. Yang juga dikabarkan saat meninggal (1979) tidak memiliki rumah sendiri. Padahal entah berapa puluh film dan sinetron yang ia bintangi. di
Keluarga
Tan Tjeng Bok, pertama kali menikah tahun 1917. Lebih dari seratus kali ia kawin cerai. Istrinya yang terakhir adalah Sarmini. Menghidupi 2 anak, Nawangsih dan Sri Anami.
Seniman Peranakan, Si Item Tan Tjeng Bok
Selama lebih dari tiga dekade nama Tan Tjeng Bok begitu ngetop di dunia perfilman Indonesia, terutama pada era 70-an. Meski sebetulnya karir aktingnya sudah dimulai sejak Indonesia belum merdeka dengan torehan tiga film pada tahun 1941.
Bagi penggemar film, sandirwara, serial TV, Tan Tjeng Bok bukan saja dikenal jenaka. Dialah aktor tiga jaman yang pernah dimiliki Indonesia.
Tan Tjeng Bok adalah anak tunggal dari pasangan keturunan Tionghoa bernama Tan Soen Tjiang dan gadis betawi asli dari daerah Jembatan Lima bernama Darsih. Perkawinan itu tak direstui orangtua Tan Soen Tjiang, sehingga ayahnya kawin lagi dengan gadis Tionghoa yang memberi Tan Tjeng Bok delapan adik tiri.
Tan Tjeng Bok kecil terkenal badung alias nakal. Kabarnya, dia sering dimarahi oleh ayahnya karena kerap berbuat hal-hal yang menjengkelkan. Diantara keluarganya yang berkulit putih, warna kulit Tan Tjeng Bok lebih gelap maknaya sejak kecil dia dipanggil Si Item dan kemudian Pak Item atau Oom Item.
Perjalanan Karir Yang Panjang
Waktu kecil Oom Item sering bolos dari HollandsChinese School atau Sekolah Dasar di Jalan Braga, Bandung. Berkali-kali gurunya melapor kepada orang tuannya. Sampai kelas tiga, oleh ayahnya ia disuruh berhenti sekolah.
Setelah tak bersekolah ikut rombongan sandiwara De Goudvissen sebagi kasung atau pesuruh. Di situ ia mengerjakan apa saja, menyapu, mengepel, menimba air, membersihkan alat musik. Ia tidak digaji, hanya makan dan pondokannya ditanggung. Usianya baru 13 tahun waktu itu, dan baginya sudah lebih dari cukup jika boleh menikmati alunan suara Beng Oeng. Tjeng Bok kecil ini rupanya diam-diam senang tarik suara, dan Ben Oeng adalah penyanyi pujaannya.
Suatu kali dia pernah dipaksa naik panggung, menggantikan Beng, yang kebetulan berhalangan. Walaupun cuma dibekali latihan kilat, penampilan perdananya ternyata sukses. Tepuk tangan membahana, sedangkan Item menjauh ke satu pojok terisak-isak. Ia teringat Darsih, ibunya yang hidup menjanda di Betawi. Tak disadarinya bahwa detik itu awal kariernya sebagai artis sudah dimulai.
Tan Tjeng Bok kecil senang keluyuran malam, meski ayahnya melarang dirinya keluar rumah. Kalau keluar malam dia senang nonton sandiwara, wayang China, atau tonil. Darah seni memang mengalir hebat dalam dirinya, dia tergolong seniman serba bisa. Dia piawai dalam bernyanyi dan berakting. Dia juga menggemari musik keroncong. Salah satu lagu yang sering dibawakan adalah lagu keroncong Mauritsco. Dia pun mulai bergabung dengan berbagai grup keroncong di Jakarta. Mendengar itu, ayahnya yang tinggal di Bandung marah besar, karena memandang nista dunia tarik suara yang identik dengan ngamen. Dia dipaksa pulang ke Bandung. Tetapi di Bandung, ia tetap saja keluyuran. Malam Tahun Baru Imlek, ia tetap saja bergabung dengan rombongan Lenong Si Ronda pimpinan Ladur. Sehabis Imlek, rombongan berkeliling ke perkebunan-perkebunan di daerah Jawa Barat. Ketika itulah ayahnya tak sabar lagi. Ia diusir, sejak saat itu ia tak berjumpa lagi dengan ayahnya sampai di tahun 1920-an ketika ia mendengar kabar si ayah meninggal, sedangkan Ibunya meninggal tahun 1930-an. Setelah 6 bulan, ia kembali ke Bandung, Tjeng Bok bergabung dengan Stambul Indra Bangsawan. Awalnya sebagai tukang membenahi panggung. Belakangan toneel directeur (pemimpin pentas), Djaffar Toerki menariknya sebagai pemain pembantu dan iapun puas. Tak kerasan di Stambul, ia bergabung dengan orkes Hoetfischer pimpinan Gobang, ia berkeliling Jawa. Tetap membawa lagu kroncong Mauritsco, namanya pun mulai tenar.
Bergabung dengan Dardanella
Suatu saat, ketika Orkes Hoetfischer sedang pentas di Kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, bertemulah Tan Tjeng Bok dengan Pyotr Litmonov atau Pedro, seorang keturunan Rusia yang memimpin grup tonil atau opera Dardanella.
Dardanella adalah grup tonil (sandiwara) terkemuka saat itu di Indonesia. Reputasinya sudah internasional, Dardanella yang berdiri pada 21 Juni 1926 merupakan kelompok kesenian pertama Indonesia pertama yang memiliki pengakuan Internasional. Mereka pernah pentas menjelajahi empat benua, dari Singapura, Rangoon, Madras, Calcuta, New Delhi, Bombay, Baghdad, Basra, Kairo, Roma, Muenchen, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota di Amerika.
Bahkan pertunjukan mereka di Rangoon dan New Delhi sempat ditonton tiga tokoh besar politik modern India: Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan Rabindranath Tagore. Belum lagi, saat menggelar pertunjukan di Muenchen, pimpinan besar Jerman kala itu, Adolf Hitler, sempat berniat datang menyaksikan. Akan tetapi, karena alasan kedaruratan rencana itu dibatalkan.
Di Dardanella, Tan Tjeng Bok alias Oom Item merengkuh puncak karir. Ia merasa puas. Bahkan lupa daratan. Berkeliling terus, dari Sabang sampai Merauke. Grup ini memang luar biasa. Dikenal sejak 1915 sampai 1940. Bermain disetiap kota berbulan-bulan. Ceritanya hebat-hebat, seringkali karya Shakespeare. Misalnya cerita Hamlet, Romeo and Juliet, juga cerita 1001 Malam seperti Pencuri dari Baghdad atau cerita film seperti Tiga Orang Tamtama penembak karangan Alexander Dumas Pere atau yang dikenal dengan terjemahan Tiga Orang Panglima Perang.
Ia ikut berkeliling Indonesia, memonopoli satu kurun zaman yang bisa disebut sebagai masa keemasan tonil di Indonesia. Tan Tjeng Bok dan Devi Dja, salah satu pemain wanita Dardanella yang lain, tak ubahnya superstar.
Dalam periode ini, Oom Item hidup bagaikan dalam dongeng. Dia bahkan mendapat julukan “Douglas Fairbanks van Java”(Douglas Fairbanks adalah bintang Hollywood yang ngetop pada jaman itu) . Dia juga memperoleh bayaran paling tinggi, seimbang dengan kualitas permainannya. Sebagai bintang yang paling tinggi bayarannya dalam Dardanella, ia hidup mewah. Punya mobil sedan 8 silinder merk Studebaker seharga 2.000 Gulden.
Sementara teman sepermainannya Dewi Dja, belakangan menjadi tokoh wanita yang dikagumi banyak orang. Dewi Dja orang Indonesia pertama yang bisa menembus Hollywood. Dia juga pernah ikut demonstrasi di depan kantor PBB di New York untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia.
Dewi dja pernah menari atau menjadi koreografer untuk film Road to Singapore (1940), Road to Morocco (1942), The Moon and Sixpence (1942), The Picture of Dorian Gray (1945), Three Came Home (1950) dan Road to Bali (1952). Anaknya yang bernama Ratna Assan bahkan pernah menjadi salah satu pendukung film terkenal Papillon (1973) yang dibintangi Dustin Hoffman dan Steve McQueen.
Kembali ke cerita Oom Item, saat bergabung dengan Dardanella adalah peroide emas dirinya. Dia mengaku sering gonta-ganti perempuan. Dengan uang dan kepopuleran yang dimiliki tak sulit memang bagi Oom Item untuk menggaet perempuan.
Tapi seperti dalam tonil yang sering dia mainkan, sebuah ‘sandirawa hidup’ pasti akan berakhir. Dardanella tutup layar pada awal tahun 1940-an, Oom Item lalu ikut sandiwara keliling Orpheus pimpinan Manoch. Kemudian juga Star pimpinan Afiat. Tercata beberapa kali Oom Item berpindah-pindah grup Tapi tak satupun grup-grup itu berhasil mengulang sukses Dardanella Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, di Jakarta berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah Si Item masuk babak baru dunia perfilman.
Merambah Film
Sejak Dardanella bubar, praktis hampir tak ada grup tonil atau sandiwara yang bisa mengulang kejayaannnya. Namun di masa itu pula, dunia perfilman mulai merambah Indonesia, meski masih dengan hasil gambar hitam putih. Selama satu tahun di 1941, Oom Item membintangi tiga film berjudul “Si Gomar”, “Srigala Item” dan “Tengkorak Hidup”. Ketika Jepang masuk dan perang dunia kedua berkobar, dunia film Indonesia sempat terhenti sebelum menggeliat lagi pada dekade 50-an. Pada dekade itulah, Oom item menancapkan hegemoninya di panggung layar lebar Indonesia. Dia membintangi sepuluh judul film selama tahun 50-an. Lalu memasuki tahun 70-an namanya semakin berkibar. Dalam kurun waktu sepuluh tahun antara 1970 sampai 1980 tersebut Oom Item tak kurang membintangi 25 judul film. Suatu jumlah yang luar biasa pada masa itu.
Filmnya banyak disutradarai oleh Tan Tjoei Hock antara lain "Melarat Tapi Sehat" dan "Si Bongkok dari Borobudur" bermain dengan aktris Sofia WD, "SiGomar", "Singa Laoet", "Srigala Ite", dan "Tengkorak Hidoep". Dalam filmnya kebanyakan Ia berpasangan dengan aktris Hadijah. Namanya sejajar dengan aktris top pada zaman itu antara lain Fifi Young, Aminah Cendrakasih, dan WD. Mochtar.
Selama hidupnya Oom Item mengaku kawin cerai mencapai 100 kali. istrinya yang terakhir adalah Sarmini berasal Bojonegoro yang memberinya dua anak, Nawangsih dan Sri Anami. Ia menempati sebuah rumah sederhana di Bandengan Utara, Gang Makmur, Jakarta Kota. Sampai menjelang akhir karirnya, Dalam film “Syahdu” ia masih sanggup merogoh honor Rp. 1 Juta dari produser.
Oom Item kemudian jatuh melarat, lalu pada tanggal 27 November 1979 ia sakit tua dan dirawat di R.S Husada. Keluarganya bahkan tak punya cukup uang untuk membayar biaya perawatan. Oom Item ketika jaya dikenal suka berfoya-foya dan berpesta. Bahkan beberapa temannya menyebut dia angkuh dan sombong. Sikap ini kemudian disesali Oom Item di kemudian hari. Pada tahun 1980 seorang pelukis Oto Suastika membuat lukisan potret Tan Tjeng Bok dan di jual uangnya untuk Oom Item
Ketika dirawat di rumah sakit itu, surat kabar Sinar Harapan juga sempat membuka Dompet Tan Tjeng Bok dan berhasil menghimpun dana lebih dari dua puluh juta rupiah untuk membiayai perawatan Oom Item.
Setelah enam tahun sakit-sakitan, pada 15 Februari 1985 Oom Item meninggal dunia, tanpa meninggalkan harta benda yang berarti kecuali nama besarnya di dunia perfilman Indonesia
MASA LALUNYA
Sejak masih kecil, ia dipanggil dengan sebutan Item oleh orang-orang.
Ia lahir di daerah Jembatan Lima, kini masuk wilayah Jakarta Barat,
pada 30 April 1899. Ayahnya seorang keturunan Tionghoa. Ibunya, Darsih,
orang Betawi. Hasilnya adalah Tan Tjeng Bok, yang punya kulit lebih
gelap dari teman-temannya sesama keturunan Tionghoa.
Saat
usianya 8 tahun, Tjeng Bok pindah ke Bandung. Dia bersekolah di
Hollandsch-Chineesche School. Dia hanya bertahan dua tahun di sekolah
itu dan pindah ke Tiong Hoa Hwee Koan. Tapi dasar tak suka berlama-lama
di sekolah, dia suka ngeluyur untuk menonton pertunjukan musik keroncong.
“Di sekolah saya paling gemar menyanyi, di luar sekolah saya sangat menggemari keroncong,” kata Tjeng Bok kepada majalah Star Weekly.
Gara-gara keroncong, dia sering kabur dari kelas. “Saya hanya
bersekolah tiga hari dalam seminggu.” Ayahnya terang berang tak kepalang
mendengar kelakuan Tjeng Bok.
Tjeng Bok memang punya bakat
jadi penyanyi. Suaranya lantang dan gayanya menawan. Namanya sebagai
penyanyi keroncong lumayan kondang di Kota Kembang. Saat umurnya
menginjak 14 tahun, Fandy menulis di Para Penghibur, Tjeng Bok
bergabung dengan grup sandiwara India Ratu pimpinan W.P. de Geer,
seorang keturunan Belanda-Afrika. Tapi di India Ratu, Tjeng Bok hanya
mendapat peran sebagai tukang tarik layar. Sesekali dia juga merangkap
menjadi pelayan bagi para pemain India Ratu.
Kendati
kariernya bersama Dardanella relatif singkat, kelompok sandiwara inilah
yang mengorbitkan nama Tan Tjeng Bok di atas panggung pertunjukan.
Bahkan dia menjadi salah satu pemain sandiwara yang menerima honor
paling besar kala itu. Tjeng Bok, yang semula hanya pemuda rudin,
menjadi bintang yang kaya raya. Dia bisa membeli mobil, sepeda motor,
dan hidup mewah.
Kepada Junus Jahja, penulis buku Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya,
Tjeng Bok mengakui peran A. Piedro, pendiri dan manajer Dardanella.
“Karena dialah saya bisa bermain anggar, lalu sukses dalam karier saya
sampai digelari Douglas Fairbanks van Java,” kata Tjeng Bok. Douglas
Fairbanks adalah aktor Hollywood yang berjaya pada 1910-an hingga
1920-an. Permainan anggar Tan Tjeng Bok melawan Astaman merupakan salah
satu adegan yang ditunggu-tunggu oleh penonton Dardanella. Bisa
bernyanyi, bisa melucu, dan bisa main anggar membuat dia punya penggemar
tersendiri.
Ketika industri film mulai menggeliat, Tjeng Bok juga ikut main film. Di film pertamanya, Srigala Item,
yang diproduksi pada 1941, Tjeng Bok beradu akting dengan Hadidjah dan
Moh Mochtar. Meski sudah malang melintang di atas panggung, Tjeng Bok
tetap saja grogi berakting di muka kamera. Sekali gugup, seterusnya dia
makin jago berakting. Hingga menjelang akhir usianya, kata Fandy, Tan
Tjeng Bok masih terus bermain film.
Tapi masa-masa dia kaya
raya itu sudah lama sekali berlalu. Hidupnya memang sangat boros. Belum
lagi istrinya yang ada di mana-mana. Pada saat dia meninggal pada 15
Februari 1985, bisa dibilang Tjeng Bok hidup miskin. Rumahnya di daerah
Bandengan, Jakarta, bisa dia beli setelah mendapatkan hadiah dari
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1970-an.
Dalam biografinya, Dewi Dja menggambarkan bagaimana karisma Tan Tjeng
Bok di atas panggung. “Ia seperti magnet yang menarik mata
perempuan-perempuan muda,” kata Dja. “Lebih-lebih ketika ia menyanyi
dengan suaranya yang menerawang, memikat hati para perempuan dan membuat
mereka tergila-gila.”
Pada masa jayanya, gaya Tan Tjeng Bok
selalu perlente, dengan baju dari kain yang mahal. Jam tangan yang
harganya juga sama mahalnya melingkar di tangannya. Mobil mewahnya
selalu licin dan kinclong. Bukan hanya pakaian dan tongkrongannya yang
gaya, Tjeng Bok pun acap kali menghabiskan duitnya di restoran-restoran
mahal. Tak aneh jika perempuan-perempuan muda selalu merubungnya dan
menghujaninya dengan rupa-rupa hadiah.
Tak tua, tak muda, sudah
bersuami, atau masih lajang selalu diladeni oleh Tjeng Bok. Padahal dia
sendiri juga bukan bujangan. Ketika bergabung dengan Dardanella, Tjeng
Bok sudah punya seorang istri dan seorang anak. Tapi status tak jadi
penghalang bagi Tjeng Bok. Dia memang sulit terpuaskan oleh satu
perempuan di sampingnya.
Ivera Klimanov, ibu Piedro, pun dia
ladeni. Padahal Ivera terang jauh lebih tua dari dia. Setelah hubungan
gelapnya dengan Ivera terbongkar, dengan enteng saja Tjeng Bok
menceraikan dua istrinya. Kendati tak suka dengan perkawinan ibunya
dengan Tjeng Bok, Piedro tak bisa berbuat apa-apa. “Aku sudah
melarangnya, tapi dia memaksa. Terserah!” kata Piedro dengan jengkel.
Sama pula dengan nasib hubungan Tjeng Bok dengan perempuan-perempuan
lain, hubungannya dengan Ivera hanya berumur pendek. “Saya sudah tidak
tahan,” ujar Tjeng Bok kepada Dewi Dja. Dia mengutarakan niatnya pergi
dari Dardanella dan meninggalkan Ivera. Fandy Hutari menduga perkawinan
Tjeng Bok dengan para perempuan itu tak beda dengan “kawin kontrak”. Tak
ada surat-surat, tak ada segala macam upacara pernikahan.
Walaupun
hidupnya tampak kacau, ada sisi patriotik pada Tan Tjeng Bok. Saat
tinggal di Bojonegoro, menurut Fandy, Tjeng Bok pernah menggelar
pertunjukan sandiwara untuk menggalang dana bagi perjuangan Indonesia.
Fandy menduga kebencian Tjeng Bok kepada Belanda bersumber dari
pengalaman buruknya saat masih remaja. “Dia pernah dipukul oleh seorang
Belanda,” kata Fandy.
DUNIA KRONCONGBuaya sering diidentikkan dengan laki-laki yang sering tebar pesona
kepada para wanita. Di dunia keroncong, buaya diartikan sendiri. Buaya
di dunia keroncong adalah untuk mereka yang suaranya menawan menyanyikan
lagu-lagu keroncong. Mereka adalah idaman perempuan di masa lalu atas
suara merdunya.
Menurut Windoro Adi dalam Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi
(2010), pernah ada sekumpulan pengamen remaja Indo-Belanda yang sering
keliling bernama De Wandelende Kerontjong di akhir abad XIX di Betawi.
Mereka juga dipuja gadis-gadis zaman itu, termasuk dari keluarga kelas
menengah.
Musik keroncong, selain dipertunjukkan di panggung, kadang juga diperdengarkan di radio. Menurut Fandi Hutari, penulis buku Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang (2013), bersama musik lain keroncong sering diperdengarkan di NIROM Ketimoeran pada masa kolonial.
“Dari
Kampung Tugu, keroncong berkembang ke Kemayoran tahun 1918-1919 di
antara orang-orang Indo-Belanda. Musisi keroncong kemayoran yang populer
saat itu antara lain Atingan, J. Dumas, Jan Schneider, Kramer, M Sagi,
Any Landow dan Ismail Marzuki,” tulis Windoro Adi.
Tentu saja
ada nama-nama lain yang juga populer selain yang disebut Windoro Adi.
Belakangan, muncul nama-nama yang dianggap sebagai buaya keroncong
seperti Tan Tjeng Bok, Kusbini, Gesang dan generasi setelah mereka ada
Mus Mulyadi, Mantous dan lainnya.
Douglas Fairbank dari Hindia Belanda Berkeroncong
Seabad
silam, tersebutlah seorang pemuda peranakan Tionghoa yang begitu
tergila-gila pada dunia panggung. Ayahnya seorang guru silat Tionghoa,
sementara ibunya keturunan Betawi Jembatan Lima. Ia adalah Tan Tjeng
Bok. Menurut Yunus Yahya, dalam bukunya Peranakan Idealis
(2002), Tan Tjeng Bok yang sekolah hanya sampai kelas tiga Hollandsch
Chineesche School (HCS) Braga, akhirnya memilih jadi anak panggung.
Ayahnya menentang keras hasrat seni itu hingga mengusir Tan Tjeng Bok.
Namun, ia tetap melakoni kegemarannya ini.
Sejak
1917, ketika usianya belum genap 20 tahum, Tan sudah dianggap jago
menyanyikan lagu-lagu keroncong. Setidaknya dia pernah membuat rekaman
lagu keroncong seperti Stambul, Keroncong Kemayoran, Moritsko Merayap.
Belakangan, Tan juga jadi aktor panggung tersohor di zamannya. Tan, yang
juga sering dipanggil Item, terkenal bersama kelompok sandiwara
Dardanella. Menurut Fandi Hutari, kelompok Sandiwara pimpinan Piedro ini
pernah keliling dunia. Namun, Tan tak ikut keliling dunia bersama
Piedro dan memilih membangun kelompok sandiwara sendiri meski hanya
sebentar.
Meski sudah terkenal jauh sebelum tahun 1940an, bahkan
dijuluki Douglas Fairbank dari Hindia Belanda, Tan baru ikut film ketika
usianya sekitar 40an tahun. Meski lebih dikenal sebagai pemain
sandiwara, juga film, Tan masih bernyanyi. Suatu kali, Presiden Soekarno
pernah bertemu Tan. Ternyata, Soekarno sudah kenal nama Tan Tjeng Bok
yang sohor di dunia sandiwara. Dalam buku Peranakan Idealis, digambarkan
Soekarno sumringah bertemu Tan dan menunjuk ke dada kiri Tan. Adegan
ini diabadikan. Fotonya disimpan di rumah Tan.
“O, ini toh Tan
Tjeng Bok? Ayo ke sini... nyanyi sama-sama saya!” ajak Soekarno.
Kemudian Tan dan Sang Presiden berkoncong ria. Tan pun sering diundang
Presiden Soekarno bernyanyi. Tan tentu bangga bisa menghibur Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia itu. Kesan Tan, “Bung Karno itu suaranya enak.”
Tan
Tjeng Bok lebih bisa diingat generasi sekarang, karena rekaman
lagu-lagu keroncong Tan yang direkam di awal abad lalu, masih bisa
ditemukan dunia maya. Generasi yang jadi musisi keroncong sebelum Tan,
tak bisa diabadikan dalam sebuah rekaman piringan hitam dan tak tercatat
dalam sejarah. Generasi setelah Tan, lebih banyak lagi penyanyi
keroncong yang bisa rekaman dan dikenal.
Kusbini, Bram Atjeh dan Gesang
Nama
Kusbini, dikenal sebagai penggubah lagu Bagimu Negeri. Lagu yang sering
diputar dalam acara-acara nasional di Indonesia. Meski Kusbini pernah
dituduh membajak lagu ini dari J Sumedi, tetapi pengadilan memutuskan
Kusbini adalah penggubahnya. Sebelum menggubah lagu-lagu perjuangan,
Kusbini termasuk penyanyi keroncong.
Tak hanya bernyanyi,
Kusbini juga kadang mengaransemen lagu. Dia pernah mengaransemen lagu
legendaris Nina Bobo. Lagu-lagu yang pernah dibawakannya adalah Cinta
Tanah Air, Merdeka, Pembangunan, Salam Merdeka, Keroncong Purbakala,
Pamulatsih, Bintang Senja Kala, Keroncong Sarinande, Keroncong Moresko,
Dwi Tunggal, Ngumandang Kenang.
Menurut RZ Leiriza, dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan
(1990), di awal-awal kariernya sebagai musisi, pada zaman kolonial
sejak 1935 hingga 1939, Kusbini adalah pemain biola sekaligus penyanyi
yang sering bermain untuk radio NIROM dan sebagai musisi di rumah
produksi pringan hitam Hoo Soen Hoo. Di masa pendudukan Jepang, Kusbini
tetap menjadi musisi di radio militer Hosyo Kenri Kyoku. Di masa
revolusi barulah dia membuat lagu-lagu perjuangan.
Di antara
buaya keroncong yang lahir sebelum tahun 1920an, selain Tan Tjeng Bok
dan Gesang, ada suara Abraham Titeley alias Bram Aceh yang juga masih
bisa ditemukan masih bisa ditemukan di dunia maya. Ia terlahir dari
keluarga Ambon di Aceh. Ayahnya bekerja di bagian musik militer KNIL
Aceh. Bram yang suka bernyanyi itu, serius di musik. Karena lahir besar
di Aceh juga, nama Aceh melekat di belakang nama panggilannya. Jadilah
Bram Aceh.
Bram pertama rekaman di tahun 1934. Lagu-lagu yang
pernah dibuatnya antara lain Selamat Tinggal Kota Betawi dan Sapa Suruh
Datang Jakarta (1977). Selain keroncong, Bram bermain musik Hawaiian. Di
tahun 1940an, Bram dikenal sebagai buaya keroncong. Di tahun 1955, Bram
memenangkan kontes keroncong Jakarta Raya. Di masa tuanya, Bram masih
terus bernyanyi. Kebiasaan bernyanyi itu menurun ke cucu-cucunya, yang
terkenal di jalur musik pop seperti Harvey Malaiholo, Irma June dan
Glenn Fredly.
Selain nama-nama besar di
atas, tentu saja sosok laki-laki sederhana bernama Gesang Martohartono
tak bisa dilupakan dari khazanah keroncong Indonesia. Siapa tak kenal
lagu Bengawan Solo (1940)? Hampir semua orang Indonesia mengenalnya.
Lagu ini bahkan terkenal hingga ke Jepang dan Tiongkok. Pernah muncul
juga dalam sebuah film mandarin berjudul The Sun Also Rise(2007). Bahkan
dalam film karya sutradara legendaris Jepang, Akira Kurosawa, Nora Inu
(1949). Lagu ini pernah dibawakan Oslan Husein dengan irama yang agak
mendekati rock n roll, menurut David Tarigan dari Irama Nusantara.
Menurut
Denny Sakrie, dalam 100 tahun Musik Indonesia (2015), Gesang hanya
dikenal seorang penyanyi keroncong yang bernyanyi di hajatan
kecil-kecilan di sekitar Solo sebelum lagu itu tercipta. Selain Bengawan
Solo, Gesang juga membuat lagu lain meski sambutan publik jauh dari
meriah. Gesang pernah menggubah Keroncong Roda Dunia, Keroncong Si Piatu
dan Sapu Tangan.
Bengawan Solo sendiri tercipta ketika Gesang
Martohartono ketika duduk melamun di tepi kali Bengawan Solo. Gesang
menghayati dan mengagumi kali besar penting di Jawa Tengah itu. Lalu dia
memutuskan menulis lagu itu. Setelah bekerja keras 6 bulan, lagu itu
tercipta. Berpuluh-puluh tahun setelah tercipta, lagu ini sering diputar
dan diaransemen dengan berbagai versi. Lagu ini masuk dalam 150 Lagu
Terbaik Indonesia Versi Majalah Rolling Stone 2009. Lagu ini tentunya
membuktikan Gesang juga salah satu Buaya Keroncong Indonesia.
1975
DUNIA TEATER
MENCARI tempat tinggal Tan Tjeng Bokdi Bandengan
Utara boleh dikatakan gampang-gampang susah. Setelah menanyakan beberapa
kali kepada tukang becak dan penjual rokok kemudian belok kiri dan
kanan, akhirnya berhasil jugalah kami menemui gang-nya. Melalui jalan
tanah berliku, tibalah kami di muka sebuah warung yang ditunggui oleh
seorang ibu yang berperawakan gemuk. Baru kami ingin bertanya, tampak
sekilas di dalam sosok tubuh yang kami cari. Rupanya ia sedang duduk
dengan santainya di atas kursi malas plastik, bercelana pendek, berkaos
kutang tengah, menikmati kepulan kretek.
Ketika ibu penjaga warung mengetahui bahwa kami mencari Tjeng Bok,
segera ia mempersilahkan kami masuk sambil ia sendiri memperkenalkan
diri sebagai Nyonya Tan Tjeng Bok. Sedangkan Tjeng Bok bergegas masuk
ganti pakaian dan istrinya sendiri kembali ke tugasnya melayani pembeli
di warungnya.
Buaya Keroncong
Beberapa menit kemudian, tampillah di muka kami seorang tua yang
berwajah agak hitam, berambut tipis yang sudah memutih, berkemeja batik
bermotif kupu-kupu dan celana hitam. Itulah dia Tan Tjeng Bok alias si
item, alias Om Tan. Setelah kami ceritakan maksud kedatangan kami, ia
tersenyum hingga terlihat lima buah gigi, sebuah di barisan atas dan
empat di barisan bawah. Mula-mula sangkaan kami suaranya akan sekeras
dan sekasar seperti yang kami lihat dalam lakon sandiwara atau film,
ternyata dugaan kami meleset. Suaranya cukup pelan, diselingi gerak
tangan dan mimik.
Kira-kira 60 tahunan yang lalu sekitar tahun 1914/1915, ia cuma “30%
terkenal” itupun sebagai “buaya keroncong” yang bernyanyi dari panggung
yang satu ke panggung yang lain. Ketika itu pemuda tan Tjeng Bok berusia
14 tahun dan tergabung dalam club Keroncong “Suara Miskin”. Dengan club
inilah ia mengikuti Concours pertamanya dan berhasil merebut hadiah
pertama yang waktu itu lumayan besarnya dalam melagukan “keroncong
Moritsku”. Tetapi sayang pujian dan sanjungan karena “tarik suaranya”
membuat ia lupa diri hingga tidak mau sekolah. Ancaman orangtuanya yang
kaya tidak diindahkannya sehingga akhirnya ia minggat.
Rupanya pemilik “Suara Miskin: selain memiliki club keroncong,
tertarik pula di bidang panggung sehingga group operanya diberi nama
Grup Opera Indo-Tionghoa. Sesudah main dalam opera ini Tan Tjeng Bok
berganti bergabung dengan rombongan kesenian lainnya. Dulu mereka patuh
pada pengatur, tidak berani semaunya. Sesudah berdandan duduk dengan
tenang karena takut dandanannya akan menjadi kusut atau kotor sebelum
naik panggung.
Sekitar tahun 1918/1919 barulah kemudian Tan Tjeng Bok mengikuti rombongan Dardanella.
Raja Jin, Romeo & Juliet
Oleh Pedro Litmanoff, pemimpin Dardanella, Tjeng Bok alias si Item
diberi peran yang cukup penting sebagai manusia yang menjelam dari Jin
dalam cerita “Raja Jin”. Kemudian dilanjutkan lagi dengan cerita The
Three Musketeers, Romeo Dan Juliet (Ia selaku Romeonya!). karena
peranannya sebagai Zorro dalam Mark Of Zorro, pemuda berbadan besar dan
berpinggang kecil ini, diberi julukan Douglas Fairbanks van Java oleh
para pemujanya. Dalam pementasan ini ia bermain baik sekali seperti
Douglas Fairbanks yang asli.
Tingkahnya macam-macam bila di hotel. Kalau mereka menginap di
tingkat atas, tak pernah ia naik atau turun melalui tangga yang ada.
Seutas tali digantungkan dari atas dan begitulah ia naik dan turun
melalui seutas tali. Berbagai kenangan manis dialaminya antara lain
ketika rombongan hijrah ke Medan tahun 1925, mereka disambut dengan
terompet dan sanjungan penggemarnya dengan teriakan “hoop Douglas
Fairbanks van Java, hoop Tan Tjeng Bok”.
Sutradara Ketoprak main di Pasar
Tak heran bila pemuda ini terlibat dalam “affair”. Perkawinan
pertamanya adalah dengan kakak Pedro, Nyonya Litmanoff. Tetapi inipun
tidak berakhir lama. Ia lari dan meninggalkan rombongan Dardanella.
Salatiga tujuannya dan di sana ia berlagak sebagai sutradara dalam
ketoprak “Wargawandowo”. Inipun terpaksa dilakukannya untuk menyambung
hidup. Selama mengikuti seni Jawa, Anjar Asmara menyusulnya, dan
mengajaknya untuk bermain film. Waktu itu filmnya pertama “serigala
Hitam” dengan honor sebesar 1.000 gulden dan dikontrak selama tiga
tahun. Rupanya pun tidak lama. Sekitar tahun 1942, ia ikut Miss Tjitjih,
tapi kemudian ditinggalkannya lagi untuk merantau ke Purwakartadan
mencoba untungnya bermain sandiwara di pasar. Tetapi inipun tidak lama,
ia kembali ke Jawa dan bermain dalam Wayang Wong dan ludruk.
Tukang Sate, Tukang Telur Diangkat ke Panggung
Jaman revolusi diisinya bermain sandiwara dengan tukang sate dan
tukang telur. Tukang-tukang ini dididiknya untuk berakting, karena hasil
dari pementasan adalah untuk dana para pejuang.
Konon di tahun 1946 inilah Oom Tan bertemu dengan Nona Wok yang
kemudian diteruskan dengan perkawinan. Inipun ada ceritanya. Waktu itu
anak buah Tjeng Bok menempati rumah Nona Wok. Untuk menemui anak buahnya
Tjeng Bok mendatangi mereka sehingga setiap kali mereka bertemu jua.
Ketika anak buahnya sudah tidak bisa membayar uang sewa, Tjeng Bok jatuh
hati pada Wok dan jadilah mereka suami-istri hingga kini.
Perkawinan mereka ini dianugrahi dua puteri. Yang seorang ikut
suaminya di Probolinggo dan seorang lagi berkeluarga dan tinggal bersama
ayah-ibunya. Hingga kini Tjeng Bok sendiri hampir bercucu delapan
orang, lima dari puterinya di probolinggo dan tiga dari seorang lagi.
Item Bukan julukan
Nama Item bukanlah merupakan nama julukan tetapi nama benarnya. Nama
itu didapat dari seorang dukun ketika ia selalu sakit-sakitan. Mungkin
namanya terlalu berat, kata dukun. Akhirnya namanya ditambah si Item.
Pedro Litmanoff-lah yang menyebabkan ia memakai kembali nama Tan Tjeng
Bok dan untuk TV kembali ia gunakan nama si Item dalam “Senyum Jakarta”
Lukisan di Cobek
Mengisi waktu luangnya Oom Tan (panggilan sesama artis) pernah
membuat lukisan di atas cobek berupa bunga-bunga beraneka warna. Kini
selain main film ia juga mengisi casette dengan Irama Keroncong.
Tjeng Bok yang dilahirkan di bilangan Jembatan Lima sekitar 76 tahun
yang lalu, tidak tahu bila tepatnya ia dilahirkan. Tahunnya kira-kira
1899 tapi tanggal dan bulannya tidak tahu. Jadi setiap tahun baru, ia
menambah jumlah umurnya dengan setahun lebih tua. Film yang sudah
dibintanginya sampai kini sudah sekitar 50 judul. Yang baru
diselesaikannya adalah “Drakula Mantu” di mana ia berperan sebagai
drakula.
Ia masih akan tetap bermain, baik untuk film maupun sandiwara. Hanya
saja ia pernah berkabung ketika “istrinya” dalam “Senyum jakarta” Fifi
Young meninggal dunia. “Waktu itu saya tidak mau shooting atau bermain
sandiwara” baru sesudah abu Fifi dibuang, ia bermain kembali.
Warung dan Ruang Tamu
Pengabdiannya dalam dunia pentas menghasilkan tanda penghargaan dan
uang sebesar Rp. 150.000 dari DKI Jaya. Berkat uang inilah ia mendirikan
warung yang kini. Stoples yang berisi keperluan dapur, rokok, telur,
dan lain-lain berjejer di warung. Nyonya yang berjaga di warung,
sekali-kali masih ikut dalam pembicaraan kami sambil melayani
pembelinya. Warung dengan kamar tamu mereka ini terletak dalam satu
ruangan.
Ruang tamu yang kecil dan bersih pagi itu penuh berisi tamu. Selain
kami sendiri, masih ada enam tamu lainnya yang datang. Sehingga
akhirnya dua tamu lain kebagian tempat di luar rumah. Di atas buffet
yang berisi gelas, terpajang foto besar Almarhum Fifi Young dengan Tan
Tjeng Bok . selain itu masih bergantung beberapa foto Tjeng Bok dari
tahun-tahun yang lalu. Sambil mengakhiri wawancara ia sempat bergurau
mengenai rumahnya. :Kalau hujan lebat, disertai angin, keluarga saya
lari keluar karena takut kerobohan rumah.” Mungkin ini cuma lelucon,
karena kami sendiri tidak percaya.
TAN TJENG BOK COME BACK
Come Back-nya Tan Tjeng Bok dalam dunia film disambut gembira. Pernah
dia diminta untuk main dalam cerita “Desa yang Dilupakan” tidak
diterima.. Ibukota Film jakarta yang telah berhasil meminang Om Tan main
dalam film “Badai Selatan”.
“Kalau bukan Mas Waldy yang datang ada saya, tetap saya tidak mau,”
kata Om Tan sungguh-sungguh. Raut mukanya yang sudah berkerincut dan
kehitam-hitaman melukiskan pengalaman hidup yang beraneka. Hanya sikap
dan gerak-geriknya yang tetap tidak berobah. Tubuhnya yang kokoh kuat
itu masih kelihatan kesigapannya. Hanya usia tua mengurangi kekuatan
jasmaniahnya. Kemauannya sih masih besar, tapi tenaga geraknya sudah
banyak turun. Ketika dia main dalam suatu adegan kelahi di Pantai Parang
Tritis Jogjakarta, Om Tan masih sanggup memperlihatkan keuletannya.
Tapi jangan disuruh dia main kelahi lama-lama, nafasnya akan habis!
Selain dadanya kembang-kempis, lututnyapun terasa akan lepas. Selesai
menunaikan adegan kelahi, Om Tan masih menunjukkan kesanggupannya
untuk mengulangi adegan itu. Tidak mau menyerah begitu saja. Orang tua
ini nampaknya keras. Pasti di waktu mudanya lebih-lebh.
Tan Tjeng Bok di jaman sebelum perang terkenal sebagai Douglas
Fairbank Indonesia. Ya, di jaman itu, orang mantep betul. Kalau
dikatakan mirip dengan tokoh-tokoh asing. Julukans emacam itu dijadikan
ukuran mutu baik di jaman itu. Suatu reklame di masyarakat jaman itu,
dapat julukan tokoh asing. Dalam jaman kejayaan Tan Tjeng Bok rasanya
sampai sekarang belum ada yang menandingi. Pernah dia mengalami hidup
tidak pernah menginjak jalan. Pergi ke tempat pertunjukan, mobil sudah
siap di depan pintu. Begitu sampai di tempat pertunjukan terus naik
tangga pintu masuk Gedung pertunjukan.. Selesai pertunjukan, mobil
sudah beberapa menit menunggu. Hotel tempat dia menginap bukan hotel
sembarangan.
Jaga Nama
Soal nama bagi seniman atau siapapun adalah soal kehormatan/ Soal
nama juga jadi jaminan. Maka Om Tan sejak mulai berkecimpung dalam dunia
sandiwara hal itu dia pegang teguh. Mungkin karena ejekan orangtuanya
merupakan cambuk baginya. Ketika pemuda Tan Tjeng Bok memasuki dunia
sandiwara ayahnya tidak menyetujui.
“Kau anak murtad, Nggak pantas jadi anakku” demikian hardik ayahnyayang tidak menyetujui pemuda Tan jadi anak panggung.
Kemauan keras yang sudah mentapkan keputusan dalam hatinya mendorong
Tan untuk tetap terus jalan menempuh hidup sebagai seniman panggung. Dia
telah yakin, bahwa di lapangan inipun dia dapat menjunjung nama baik
dirinya dan ikut mengabdi pada kenamaan senibudaya bangsa. Bagaimanapun
celaan orang terhadap tindakannya itu tidak dihiraukan.
“Nah, sekarang aku menang. Anak-anak pelajar dan mahasiswa ikut
sandiwara dan film” kata Om Tan kepada wartawan MP ketika dia di Parang
Tritis Jogjakarta mengikuti pembikinan film “Badai Selatan”. Wajah Om
Tan ketika itu berseri-seri bangga. Kebanggaan hati seniman yang setelah
mengalami kepahitan dan kemanisan hidup sebagai seniman di jaman
sebelum perang Dunia ke II. Hati siapa yang tidak bangga bawa pendirian
hidupnya dapat mengatasi ujian di jaman berat.. Di sinilah kebanggaan
orang yang tidak dapat dinilai dengan apapun juga. Ini hanya dapat
dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Bagaimanapun juga orang akan
berbesar hati, bila orang dapat lulus ujian terhadap pendapatnya yang
waktu itu dicerca atau dicela orang. Di sini pulalah orang menghargai
pribadi seseorang. Pendirian teguh dan tepat alam penelaahan
perkembangan jaman serta dibenarkan oleh jaman berikutnya merupakan
kenikmatan bagi si pemilik pendirian dan penelaah perkembangan jaman itu
sendiri. Di sinilah sekarang orang dapat memberi salut
setinggi-tingginya, karena ialah lulus ujian dan merupakan pelopor dunia
sandiwara indonesia. Kesungguhan hati dan rasa penh tanggung jawab
terhadap kesenian sandiwara serta kesadarannya terhadap hari kemudiannya
mendorong dia untuk bertindak waspada dan bijaksana. Namanya di dunia
seni dia pelihara baik-baik. Sampai sekarang diantara seniman-seniman
panggung sandiwara dan film, menurut saudara Waldy, Om Tan lah yang
masih bersih namanya, dan tetap dihormati.
Jaga Tnggi nama Baiknya
Cerita tentang menjaga nama baik, Om tan bilang: “Bagi bintang film
atau seniman, yang penting ialah nama. Jangan sampai namanya tercela
karena tindakan sendiri. Maka bertindak disipliner, korekt, sopan dan
saling menghargai perlu jadi pedoman”.
Selanjutnya Om Tan bilang: “Kalau ada orang yang royal, maka yang
paling royal ialah seniman. Biasanya bila beli tidak pernah
ditawar-tawar. Apa yang dikatakan oleh penjual dibayar. Pendeknya tak
pernah ditawar-tawar”.
Soal makan dan minum dia cerita bahwa pernah dia bersama
teman-temannya mendapat jaminan penuh. Oleh managernya disuruh minta
makan dan minuman apa saja yang disukainya. Minuman keras berbagai merk
yang ada di kulkas disikat habis oleh teman-temannya . Om tan juga
minum, tapi pakai perhitungan. Hidup semacam itu, berlangsung beberapa
minggu.
Jadi Petani di Bojonegoro
Sampai sekarang Om Tan sudah 17 tahun tidak muncul di atas panggung
atau di film. Selama itu dia meninggalkan jakarta terus menetap di
bojonegoro sebagai petani. Dengan istrinya dia mengatur hidupnya dengan
tanamannya seluas 4 ha. Istrinya berjualan di rumah. Dari buah pepaya
saja sudah cukup banyak terima duit. Hasil penjualan buah pepaya itu
sebagian dia pergunakan untuk beli burung dan ikan. Macam-macam burung
dan ikan dia beli. Banyak aquarium berisi berbagai jenis ikan. Kucing
dari berbagai jenis dia pelihara juga. Antara lain Angora. “Sekarang
saya baru menikmati hidup. Apa yang paling kusuka sudah terpenuhi. Tapi
rupanya saya harus mengalami malapetaka. Benar-benar sedih rasanya
kehilangan segala yang kucintai. Karena dirasakannya dengan terpaksa”.
Pada suatu waktu rumahnya kedatangan petugas pemberantas Malaria.
Petugas-petugas itu membawa penyemprot DDT. Entah bagaimana cara kerja
petugas itu, tapi sesudah selesai disemprot, semua ikan di dalam
aquarium mati . tidak hanya itu, burung-burung peliharaan dan
kucing-kucingnya ikut mati. Orang boleh mengira-ngira berapa ribu
kerugiannya. Untuk kembali memelihara ikan dan burung, dan kucing
rasanya belum timbul kembali dalam hatinya. Entah nanti.
Anaknya Tidak Ada yang Ikuti jejaknya
Tentang anaknya, Om Tan mengatakan bahwa seorangpun tidak ada yang
terjun dalam dunia sandiwara atau film. Tapi dia tetap bangga sebab
generasi berikutnya dari kalangann pelajar sudah banyak yang
melanjutkan cita-citanya. Membina dan mempertinggi dunia sandiwara dan
film.
Pernah dia bersama dengan anak dan cucunya melhat pertunjukan film di
mana Om Tan ikut di dalamnya. Ketika cucunya melihat kakek Tan Tjeng
Bok muncul di layar putih, dia berteriak “Tuh, Engkong, Mak”. Ibunya
menututup mulut anaknya agar tidak kedengaran penonton sebelahnya.
Rupanya anak menantunya tidak suka jadi perhatian orang banyak yang
biasanya ingin lihat bintang film kenamaan yang sesungguhnya bukan dalam
gambar.
DI PANGGUNG, TIDAK DI TEMPAT LAIN
08 Mei 1976
DASAR anak tunggal, ia badung. Apalagi ketika ayahnya Tan Soen-tjiang, Cina totok - tak bisa lebih setanun berumah-tangga dengan isterinya, Dasih, wanita Betawi tulen asal Jembatan Lima. Perkawinan itu tak disetujui oleh keluarga lelaki. Lalu ayahnya kawin lagi dengan gadis Tionghoa. Karena itu, dibanding ke delapan adiknya--yang kini semuanya sudah tiada --kulitnya terbilang berwarna. Dari situ bermula ia dipanggil Si Item, dan kemudian Pak atau Oom Item. Ketika keturunan Cina ramai-ramai ganti nama Indonesia, ia justru bertahan dengan nama pemberian orang-tuanya: Tan Tjeng-bok. "Yang penting kan prilaku kita, sebagai ukuran baik-tidaknya pribadi seseorang", kata aktor 3 jaman yang tetap laris itu. Selain Si Item ia anggap sebagai nama Indonesianya, lebih dari itu juga sebagai merek dagangnya sekaligus. Dalam setiap pertunjukan di televisi, klab malam atau di mana pun --ia selalu memakai nama itu untuk setiap tokoh yang ia perani. Acaranya memang tak tetap. Tapi di televisi, sejak 4 tahun lalu, sebulan 2 kali ia muncul dalam grup Senyum Jakrta bersama artis-artis lama dan baru. Yang lama misalnya Netty Herawaty, Darussalam, Djauhari Effendy. Yang baru: Mansyursyah, Didit Kasidi, Lenny. Untuk pertunjukan di tempat lain sekarang ia memakai namanya sendiri untuk grupnya, Tan Tjeng-bok Cs. Sebelumnya, di klab malam, ia pernah memakai nama Metropolitan Big Five. Tapi belum sampai 2 bulan grup ini bubar. Karirnya yang pertama sebenarnya sebagai biduan - ketika umurnya baru 12 tahun, di Bandung. Ia sendiri lahir di Jakarta 2 tahun sebelum abad ke-l9. berakhir. Belum setahun, kedua orangtuanya bercerai. Ibu tetap di Jakarta, ayah Hijrah ke Bandung. Selama 6 tahun dirawat ibunya, kemudian dibawa ayahnya ke Bandung. "Ibu tiri maupun adik-adik dan ayah saya sebenarnya baik.
Tapi entah mengapa saya sering tak betah di rumah", katanya. Dan ia sendiri mengaku, semasa kecil memang nakal. Ngamen Itu Nista Amat sering bolos dari Hollandsch Chinese School (setingkat SD) di jalan Braga, berkali-kali gurunya melapor kepada orang-tuanya. Saking pusingnya, baru sampai kelas 3 sang ayah menyuruhnya berhenti. Toh ia tak bebas bermain. Ia belajar silat di rumah, di bawah asuhan ayahnya sendiri yang konon pernah jadi murid kedua seorang guru persilatan Sianw Lin-shi. Ia senang. Karena kepatuhannya sewaktu-waktu ia mendapat kesempatan main di luar rumah. "Tapi jangankan diijinkan, tanpa ijin pun saya senang kluyuran", kata Tjeng-bok lagi mengenang masa kecilnya. Yang mengaet hatinya ternyata orkes kroncong. Mula-mula sebagai penonton biasa, belakangan turun berjoget dan mencoba tarik suara. Dengan lagu Kroncong Muritsku, ia berhasil. Terakhir ia pun tercatat sebagai biduan Orkes Kroncong Si Goler pimpinan Mat Pengkor. Tapi mendengar itu, ayahnya - yang sehari-hari berdagang barang pecan-belah di jalan Klenteng, Bandung naik pitam, karena memandang dunia ngamen sebagai nista. Maka Si Item dihajar. Merasa tertekan, ia minggat ke Jakarta, mencari ibunya yang ternyata masih tinggal di Jembatan Lima - sanpai meninggalnya sekitar tahun 30-an. Di Jakarta orkes kroncong lagi menjamur saat itu. Tapi Si Item tak lagi berminat. Ia malah jadi kranjingan pada Wayang Cina, semacam stamboel atau komedi bangsawan, sejenis perkumpulan sandiwara Miss Tjitjih di Jakarta sekarang. Bedanya, Wayang Cina hanya memainkan cerita-cerita Tiongkok. Ia ikut rombongan Sui Ban-lian yang waktu itu main tetap di Serina Park, persisnya di Pasar Bulan, Mangga Besar. Meski hubungannya dengan sutradara Tek Bie intim betul, toh selama 3 bulan tak sekali pun ia diajak main. "Soalnya para pemain suka ngisap candu. Saya tidak. Saya cuma ditugaskan jadi pesuruh saja", tuturnya. Mendadak ayahnya menyusul. Tapi di Bandung, ia tetap saja kluyuran. Suatu kali, malam Tahun Baru Imlek saat banyak orang ngamen -- ia bergabung dengan rombongan lenong Si Ronda pimpinan Ladur. Habis Imlek, rombongan berkeliling ke perkebunan-perkebunan di Jawa Barat. Dan ketika itulah ayahnya tak sabar lagi. Ia diusir Sejak itu tak lagi berjumpa dengan ayahnya--sampai di tahun 20-an ia mendengar kabar si ayah meninggal. Rombongan Si Ronda berkeliling jalan kaki. Dari Bandung ke barat, pernah sampai Puncak, Bogor. Ke arah lain pernah sampai Sumedang. Karena administratur perkebunan yang orang Belanda tak suka lenong, yang menanggap mereka cuma mandor-mandor saja. Itu pun tak setiap mandor. Maka pahit getir pun ia rasakan: dalam perjalanan mereka tak jarang kelaparan. Untung, daerah perkebunan begitu luas hingga tidak setiap meter terawasi penjaga. Maka Ladur, pemimpin rombongan dan 18 anak-buahnya, tak ragu-ragu menyikat buah apa saja yang mereka jumpai. "Satu batang rokok cap Bolong terbuat dari tembakau Jawa, rasanya seperti rokok putih sekarang --terkadang diantri oleh 8 orang" kata Tjeng bok. Begitulah,selama 6 bulan Si Ronda mengembara. Kembali ke Bandung. Tjeng-bok bergabung dengan stamboel Indra Bangsawan. Mula-mula diterima sebagai tukang membenahi panggung. Belakangan, toneel directeur (sutradara) Djalfar Toerki menariknya sebagai pemain pembantu. Ia puas. Soalnya 'stambul yang ini dari seberang, kalau tak salah dari Inggeris". Ratna Asan Tak krasan ikut stambul, ia bergabung dengan orkes Hoetf scher pimpinan Gobang, keliling Jawa. Dari kota ke kota, namanya mulai tenar. Lagu yang sering dibawakannya tetap kesayangannya yang dulu: Kroncong Muritsku. Kepuasan dengan grup ini pun tak sebe rapa. Di Bangil, ia ketemu opera Dardanella pimpinan Pedro yang keturunan lusia. "Dengan Dardanella inilah saya baru merasa puas. Saya lupa daratan Keliling terus, boleh dikata dari Sabang sampai Merauke". Dikenal sejak 1915 sampai menjelang 1940, grup ini memang luar biasa waktu itu.
Main di setiap kota sampai berbulan-bulan, Dardanella selalu menyewa gedung bioskop untuk panggungnya. Di Jakarta, biasanya main di bioskop Thalia. "Ceritanya hebat-hebat, sering kali karya Shakespeare", ujar Tjengbok mengenang bangga. Misalnya Hamlet, Romeo and Juliet dan lain-lain. Tapi juga cerita-cerita 1001 Malam seperti Thief of Baghdad, atau cerita-cerita film seperti Mark of Zorro, Son of Zorro, The Three Musketeers. Sesudah marhum Andjar Asmara masuk, tahun 1920, sering juga dimainkan naskah karangan bekas wartawan terkenal majalah D'Orient itu. Antara lain Rantai 99, Boven Digoel, Soeara Dala Koeboer, Medan bij Nacht Yang paling terkenal adalah cerita Dr. Samsi, dimainkan oleh pasangan Astaman sebagai Dr. Samsi dan Tan Tjeng-bok sebagai Leo van de Bruijn. Untuk membekali ketangkasan pemain-pemainnya, Pedro tak tanggung-tanggung memanggil guru khusus untuk mengajar 'seni' akrobatik seperti trapeezee, ringen, shandowtracker. Mengenang marhum Pedro, Tjeng-bok berkata: "Saya berterima-kasih kepadanya. Karena dialah, saya dulu pandai main anggar. Lantas sukses dalam karir saya, sampai-sampai digelari orang Douglas Fairbanks van Java". Douglas Fairbank Sr (1883 -1939) adalah bintang film dan produsir Hollywood yang lebih terkenal karena peranan-peranannya sebagai pahlawan, antara lain dalam film-film The Mark of Zorro (1920), The Three Musketeers (1921, Robin Hood (1922), The Black Pirate ( 1926) dan The Iron Mask (1929 ) . Bersama Charlie Chaplin ia mendirikan perusahaan film United Artists. Bintang Dardanella yang lain, misalnya Riboet Dua dan Miss Dja. Tapi honor Tjengbok menurut pengakuannya paling tinggi di antara semua pemain. Itulah sebabnya, ketika itu, ia hidup mewah - punya mobil sedan 8 silinder merk Studebaker seharga 2.000 gulden.
Kalau Dardanella main di Jakarta, ia tidur di sebuah hotel di Bogor. Tapi musim bukannya tak pernah berubah. Akhir tahun 30-an Dardanella melaneong ke luar negeri. Ia tak bernafsu ikut . 'Bagaimana mungkin akan berhasil kalau pemain-pemainnya tak mahir bahasa Inggeris?", begitu pikiran Tjeng-bok. Benar. Karena yang bisa ngomong Inggeris cuma Anjar Asmara, sampai di India Dardanella bubar. Sebagian anggotanya, termasuk Anjar AsmaraKembali ke tanah air. Selebihnya berkelana, antara lain Miss Dja yang sampai kini menetap di AS bersama anak perempuannya Ratna Asan, yang belakangan main dalam film Papillon bersama Steve McQueen. Nyaris bagaikan cerita panggung, perjalanan karirnya tak sepi dari pasang-surut. Begitu Dardanella tutup layar, Tjeng-bok ikut sandiwara keliling Orfeuse pimpinan Manoch, kemudian juga Star pimpinan Afiat. Biar pun diperkuat oleh si Douglas Fairbanks van Java tak satu pun grup-grup itu mampu mengulang kecemerlangan Dardanella. Untung keadaan segera berubah, dan nasib Si Item pun berubah pula. Menjelang Jepang masuk, di Jakarta berdiri perusahaan Java Industrial Film (JIF) milik The Tjeng-boen. Dengan JIF inilah Si Item memasuki babak baru: perfilman. Film pertamanya Srigala Hitam. Disutradarai Tan Tjoei-hok, pemilik studio Hajam Woeraek. Itu sudah jamannya Film bicara "Tentu saja tidak sebaik film-film sekarang yang pengisian suaranya pakai dubbing. Dulu teknik rekamannya langsung ketika shooting", kata Tjeng-bok. Kawan mainnya dalam film itu antara lain Muhammad Mohtar dan Hadidjah, ibunya violis Idris Sardi. "Ketika itu cuma saya yang dikontrak. Lainnya pemain lepas. Saya dikontrak 3 tahun dengan bayaran 250 gulden sebulan", tambahnya. Kontrak belum berakhir, studio Hajam Woeroek keburu diduduki Jepang. Jadi Kenek Oplet JIF pun berantakan, meskipun sebelumnya sempat menyelesaikan beberapa film yang dibintangi Tan Tjeng-bok: Ajah Berdosa, Si Gomar, Singa Laoet, Rentjong Atjeh. Dengan film-film yang dibuat setelah kemerdekaan sampai kim, Tjeng-bok sudah main tak kurang untuk 50 judul. Filn-filmnya yang kemudian ini antaranya: Sebulan Di Ibukota, Badai Selatan, Aku Tak Berdosa, Ketemu Jodoh, Tabah Sampai Akhir, Drakula Mantu. Paling akhir adalah Sjahdu, disutradarai oleh John Tjasmadi, yang sampai kini belum beredar. Ia juga pernah main ludruk dan ketoprak. Setelah JIF bangkrut, ia masuk Miss Tjitjih pimpinan Said Abubakar Bafagih, yang ketika itu main secara tetap di Kebon Pala, Jakarta.
Sekarang, seperti diketahui, di Jelambar di sebelah barat kota -- setelah beberapa waktu pindah-pindah tempat. Pernah tinggal di Bandung, Tjeng-bok tak sulit main dalam cerita-cerita berbahasa Sunda. Said Abubakar bahkan pernah mempercayakannya menyutradarai beberapa lakon, di antaranya Fir'aun, Sultan Hasanuddin dan cerita-cerita kepahlawanan lainnya. Tapi toh ada juga kesulitan lain yang justru tidak terduga: penguasa melakukan sensus terhadap emua orang Cina, yang kemudian diharuskan bayar pajak orang asing Karena di Jawa Timur semua tak begitu ketat ia lari ke sana. Di masa itulah ia ikut rombongan ludruk, juga ketoprak, bahkan juga rombongan wayang orang Wargo Wardowo pimpinan Ripto di Surabaya. Ia ditugaskan sebagai penata teknik dan pengurus peralatan pang gung. Dua pekan lalu, di rumah nya di jalan Bandengan Utara Gang Makmur Jakarta Utara, ia berkata: "Harap dicatat, sayalah orangnya yang membongkar. ludruk, ketika itu, menjadi tidak melulu memakai bahasa Jawa". Bagaimana bentuk 'pembongkaran' itu secara terperinci, tidak sempat diterangkan. Yang pasti, setelah Proklamasi ia kembali ke Jakarta.
Tidak lagi kluyuran. Kecuali kalau ada panggilan main di tempat lain atau ia sendiri sengaja berlibur. Meski begitu, di Jakarta nasibnya tidak lantas baik. Kehidupan sandiwara di awal Republik berdiri memang agak suram, setidaknya tak sebagus yang dibayangkannya ketika masih di Jawa Timur. Maka ketika seorang kawannya mengajak jadi kenek oplet, ia tak menolak. Tapi dua tahun bekerja ia merasa tak cocok. Sambil tetap menumpang di rumah kawannya di Gudang Arang di Jakarta Kota, ia mencoba jual obat. "Ayah saya dulu juga pandai mengobati sakit eksim. Bahan-bahannya dari reramuan daun dan akar-akaran. Saya masih hafal resepnya". Bahkan ayahnya pernah berpesan agar sesudah dewasa kelak ia mempraktekkan kebolehan itu untuk menolong orang lain, tanpa bayar. Apa boleh buat, warisan itu akhirnya ia praktekkan justru untuk mencari nafkah. Ia pasang iklan dan peminatnya ternyata lumayan. Setiap penderita kebetulan selalu sembuh dengan cepat. Dan suatu waktu, persisnya lupa, ia ketemu marhum Bing Slamet yang sudah lama mengenalnya. Bing mengajaknya melawak di Princen Park, taman hiburan Lokasari sekarang. "Bak buaya tak melewatkan bangkai, saya sambut ajakan Bing dengan gembira", katanya. Baru setelah itu karirnya sebagai tukang ngamen nyambung lagi, meski 'jabatan' sebagai tukang obat tak ditinggalkannya. Cuma tak lagi pasang iklan - hanya kalau ada orang datang saja. Ia sudah tua sekarang. Garis-garis di wajahnya sudah dalam. Tapi kulitnya belum rapuh betul.Mata dan kupingnya masih berfungsi baik. Ia masih tampak sehat, memang. Waktu kanak-kanak dulu suka berenang, tapi bukan di pemandian yang resmi. Cuma di kali Ciliwung atau Angke - karena ibunya, sesudah menjanda, jadi tukang cuci pakaian yang tentu saja selalu bergiat di pinggir sungai. Si Item kecil ketika itu memang membantu memikul bakul cucian ke sana. Sesudah dewasa, beberapa waktu ia senang juga jalan kaki. Sebelum jam 5 pagi biasanya sudah bangun dan dari rumahnya, di bilangan Bandengan Jakarta Kota, jalan kaki ke Kantor Pos. Pulang-pergi jaraknya lebih dari 3 kilometer. Itu beberapa waktu yang lalu. Sekarang jarang.Malas " katanya. Rumahnya yang ia tinggali sekarang miliknya sendiri. Dibeli Rp 65 ribu 14 tahun lalu, setelah bertahun-tahun ngontrak melulu di Gudang Arang. Meskipun bangunannya bertingkat, rumah itu kelihatan agak sarat. Ukurannya cuma 4 x 9 meter tapi penghuninya 9 orang: Tjeng-bok sendiri, plus Sarmini isterinya ibu mertua, satu anak perempuan berikut suami, 3 cucu dan seorang lagi yang numpang. Anaknya sebenarnya 2 orang, cucu 8 orang. Anak yang tinggal bersamanya sekarang yang nomor 2, Sri Anami namanya, perempuan. Sejak umur 8 tahun, Sri Anami, isteri pegawai perusahaan Telesonic itu, jadi pemain wayang orang. Berhenti 7 tahun lalu -- setelah berumur 25 tahun lantaran berumah-tangga. Tak Tjeng Bok yang pertama kini di Purbolinggo, juga perempuan. Nawangsih namanya. Suaminya bekerja di pabrik gula. Perkawinan Tjeng-bok--Sarmini sudah berumur lebih 30 tahun. Menurut Tjeng-bok, isterinya yang berasal dari Jawa Timur itu isterinya yang terakhir.Isteri pertama dan kedua, orang Bandung. Isteri ke-3 sampai 10, dari Jawa Timur. Katanya sendiri, jumlah isterinya nemang bukan main, "lebih dari seratus". Tapi ia lupa namanya satu-persatu.Yang jelas, perlama kali ia menikah tahun 1917. "Yang paling berkesan ialah isteri saya yang kedua. Saya berumah-tangga sampai 2 tahun", katanya. Dua tahun merupakan rekor terlama, sebab dengan isteri-isteri lainnya (sebelum Sarmini), cuma bisa bertahan tak lebih dari 3 bulan saja .... Jual Layang-layang Ada sebab lain mengapa rumahnya terasa sumpek.
Meskipun Tjeng-bok mengambil tempat sendirian di tingkat dua, tak dengan sendirinya ia leluasa Potret-potret, guntingan koran, komik dan poster-poster serta banyak kertas-kertas lagi tak sedikit menyita ruangan: menempel di dinding dan bertumpukan pula di meja. Dua kursi plastik dan kursi kebun, juga ada di sana. Di bawah, selain padat oleh 8 penghuni juga padat barang-barang. Satu ruangan besar bagian depan untuk warung. "Isteri saya itu iseng. Dia buka warung", katanya. Warung itu kelihatannya lengkap menjual keperluan harian. Ada beras, gula, kopi, minyak goreng, minyak tanah, arang. Juga segala macam barang kelontong seperti benang jahit. ember plastik, bahkan juga layang-layang. Jalan depan rumahnya pun cuma 1 meter. Dan kampung itu memang cukup padat penduduk. Rumah-rumah berdempet, nyaris tak berjarak. Bocah-bocah pun lumayan banyak. Tetapi keluarga itu tampaknya betah di sana. Setidaknya sehari-hari kelihatan rukun dan damai. Kalau tak ada acara Tjeng-bok lebih sering di rumah saja. Sehari-harian di loteng. Kalau tak menerima tamu ya baca koran, komik atau mendengarkan musik. Tapi kalau di halaman ada yang berteriak: "Oom Item ada tamu! Oom Item ada tamu!", dan ia tak menyahut -- itu tandanya ia lagi tenang mendengkur di kursi, atau di dipan di ruangan bawah. Soalnya, siang-siang, sorot matahari begitu getol di bagian atas. Dan si Oom yang sudah uzur ini acap kali begitu lesu buat menantangnya. Tapi jangan dikira ia sudah layu. Main dalam film Syahdu, ia toh masih sanggup merogoh honor nyaris Rp 1 juta dari kantong produsir. Dan untuk setiap panggilan pertunjukan, ia memasang tarip Rp 250 ribu ke atas, main di TVRI, ia cuma mendapat Rp 10 ribu. "Dalam hal ini saya tak memperhitungkan honor. Yang penting, penampilan itu sebagai bukti bahwa saya masih artis", katanya. Maklum. Sebab apa yang telah ditumpuknya sepanjang usianya itulah sebenarnya satu-satunya hidupnya: di panggung, atal untuk penonton -- dan tidak di tempat lain.
HABIS MANIS SEPAH DITELAN
15 Juli 1972
TJAKAR-TJAKARAN halus antara pihak penjebar ketawa jang bernama Hamid Arief dan Amang Rachman tampaknja sudah berachir. Entah siapa jang menang. Orang pertama sampai besok pagi masih segar bugar dan terus menjebarkan ketawa lewat perkumpulannja jang bernama "Komedi Djakarta" di TVRI. Orang kedua jang senang sekali bila disebut Fred Astaire Indonesia, djuga masih tetap segar bugar namun kegiatannja dalam bidang ketawa mulai sepoi-sepoi. Akan tetapi walau pun demikian, tidak berarti Komedi Djakarta dapat dinobatkan mendjadi radja dilajar TV. Apa sebab? Aktris tua tjengeng jang tetap mewarisi kemolekan dan api daja tarik masa mudanja, tiba-tiba muntjul sebagai saingan.
Fifi Young, jang hampir mendjadi radja untuk peranan-peranan tua dalam dunia lajar perak Indonesia, achir bulan lalu telah memutuskan untuk membentuk gudang ketawa jang dinamakannja "Senjum Djakarta". Didukung oleh tiga batu jang keras: Netty Herawaty, Tan Tjeng Bok, Mansjur Sjah. orang tua jang penuh bakat ini telah menampilkan sebuah tjerita jang lumajan djuga grr-nja. Orang boleh sadja teringat kepada suguhan ekstra malam keempat rombongan ludruk jang main di TIM belum lama berselang. Sebab dalam tjerita ini tembok tipis jang tembus suara, mendjadi peran utama jang memproduksikan ketawa. Betapa tidak. Sebuah keluarga jang semula rukun tiba-tiba tidak dapat menghindarkan diri dari bentjana pertjeraian. Ini gara-gara Tan Tjeng Bok jang berperan sebagai suami selalu terlambat pulang. Fifi Young mentjak-mentjak lantas dengan tegas membagi rumah dengan dinding pemisah. Disinilah mulai timbul kesulitan bagi Netty Herawaty jang berperan sebagai anak, dalam menghadapi keinginan kekasihnja jang dimainkan oleh Mansjur Sjah, jang ingin tjinta mereka segera disimpulkan dalam sebuah perkawinan. Dinding jang tembus suara itu mendjadi sumber kuping menguping jang mengakibatkan salahpaham-salahpaham jang lumajan lutjunja. Artinja ludruk Surabaja di TIM boleh sadja disebut lebih lutju sedikit. Dukun. Dunia mistik tak dilupakan oleh tjerita jang datang dari kepala Netty Herawaty ini.
Pasangan remadja jang tidak remadja lagi itupun datang kepada radja dukun Atmonadi untuk menerima nasehat-nasehat. Sang dukun jang terkenal karena silat non-komersiilnja serta merta bersimpati kepada mereka. Maka diberinja reramuan obat jang harus diminumkan kepada suami isteri jang sedang berperang itu, agar mereka saling gandrung kembali serta pada achirnja bisa rudjuk. Ini berarti pasangan remadja bisa melangsungkan love-story-nja dengan happy-end. Tetapi malang tak dapat ditolak: terdjadi kekeliruan. Sesudahnja obat berhasil diminumkan kepada Tan Tjeng Bok, sasaran selandjutnja meleset. Bukannja Fifi Young jang minum tetapi, sang mertua, ibunja Fifi Young - dimainkan oleh Romlah. Akibatnja saling gandrunglah sang mertua jang tua bangka pada mantunja Tan Tjeng Bok jang djuga tak kurang tuanja. Mumpung keluarga kumpul sang nenek minta dengan sangat agar dikawinkan tjepat-tjepat dengan menantunja. Karuan sadja Fifi Young djadi mentjak-mentjak, apalagi setelah tahu dirinja mau didukunkan. Dipuntjak suasana jang banjol inilah tjerita diselesaikan dengan diberi nama: Habis manis sepah ditelan. "Ini maksudnja bukan saingan, sekadar memenuhi andjuran TV jang menginginkan tjerita jang segar, bukan jang itu-itu sadja", kata Fifi kepada TEMPO. Betul tidak maksudnja itu hanja dia sendiri jang tahu. Tapi dapat diberitakan, perkumpulan ketawa jang selalu akan memainkan tjerita tanpa teks ini, tak bermaksud membaringkan dirinja dalam administrasi kepengurusan. "Tadinja saja ditundjuk sebagai ketua, tetapi saja pikir, baiknja tidak ada ketua sadja, kita selengearakan bersama", kata Fifi. Djelas terlihat keinginan dibawahnja untuk tidak mengikat para pendukungnja. Sebagaimana diketahui pemain profesional akan menderita kerugian kalau diikat oleh solidaritas organisasi. "Anggota-anggota Senjum Djakarta boleh main dimana sadja", kata Fifi tanpa memperdulikan apakah Hamid Arief nantinja tetap bersikeras pemain-pemain Lenggang Djakarta tak boleh main di grup lain. TIM Masuknja Mansjur Sjah dalam kelompok hiburan segar ini, merupakan suatu hal menarik. Sebagaimana diketahui pemain ATNI jang lebih sering main film ini, bukan tak punja bakat. Hadirnja dalam dunia jang njata-njata bergerak dibidang ketawa, bukan tidak mungkin akan mempengaruhi warna-warna suguhan perkumpulan Senjum Djakarta. Segi tjerita dan tehnik penjuguhan, sudah pasti tjukup memalukan kalau tidak ditambah oleh Mansjur dengan sedikit bumbu-bumbu akibat pengalamannja dalam teater.
Maka katakanlah bahwa ia mempunjai kans jang besar djuga untuk mendjadi tandingan Komedi Djakarta. Dari sudut jang lebih luas, monopoli Komedi Djakarta akan mendapat tantangan dari keinginan Senjum Djakarta untuk merebut publik. Ini akan mendjadi usaha bersaing jang rame dan menguntungkan penonton. Hanja sadja hal tersebut masih dalam reka-reka kita. Kelandjutan hidup Senjum Djakarta belum tjukup mejakinkan hanja dengan sekali pertundjukan. Walaupun tjita-tjitanja tjukup tinggi: mereka mau main di TIM djuga.
PAK ITEM MENINGGAL
23 Februari 1985
MENINGGAL dunia pada usia 85 tahun, Jumat dinihari pekan lalu, Pak Item alias Tan Tjeng Bok disemayamkan dua hari di rumahnya yang lama, di Pekojan, Jakarta Barat. Peti jenazah diletakkan di ruang tamu, yang keempat dindingnya penuh foto Almarhum in action. Bagi masyarakat penggemar film, tv, dan sandiwara, Tan TJeng Bok tidak sekadar jenaka. Dia adalah aktor tiga zaman. "Aktor pertama yang punya kehadiran di atas panggung," kata Sutradara Teguh Karya. Penampilan Tan Tjeng Bok memang memukau. "Item itu sejak dulu ya begitu itu, tinggi, besar, dan tidak tampan. Tapi dengan penampilannya, wah. . . suasana panggung jadi hidup," tutur Aktris Wolly Sutinah alias Mak Wok. "Kalau dia menyanyi, meski waktu itu tidak ada mik (pengeras suara), suaranya lantang enak didengar," kata Wok seraya mengenang alunan bariton si Item, yang kabarnya menggema indah ke seluruh gedung pertunjukan. Tjen Bok merintis karier di Bandung dari jenjang paling bawah. Semula ia bertugas sebaga kacung dalam rombongan sandiwara De Goudvissen. Di situ ia mengerjakan apa saja, menimba air, membersihkan alat musik, menyapu. Ia tidak digaji, hanya makan dan pondokannya ditanggung. Usianya baru 13 tahun waktu itu, dan baginya sudah lebih dari cukup jika boleh menikmati alunan suara Beng Oeng Tjeng Bok kecil ini rupanya diam-diam senang tarik suara, dan Ben Oeng adalah penyanyi pujaannya. Sekali waktu ia dipaksa naik pentas, menggantikan Beng, yang kebetulan berhalangan. Walaupun cuma dibekali latihan kilat, penampilan perdananya ternyata sukses. Tepuk tangan membahana, sedangkan Item menjauh ke satu pojok terisak-isak. Ia teringat Darsih, ibunya yang hidup menjanda di Betawi. Tak disadarinya bahwa detik itu awal kariernya sebagai artis sudah dipatok. Di samping bakat alam, suara, dan postur, Tan Tjeng Bok boleh dibilang tidak memiliki apa-apa. Pendidikan formalnya tidak menunjang, cuma sampai kelas II HIS, setingkat SD sekarang.
Latar belakang keluarga apalagi. Ayahnya, jago silat Tan Soen Tjiang, sangat menentang petualangan seni sang anak. Ia acap kali gusar, dan naik pitam. Si Item dihajar sampai minggat dari rumah. Ulet dan tekun mengikuti lomba tarik suara, Tan Tjeng Bok akhirnya terkenal sebagai buaya keroncong Kota Kembang. Waktu itu ia mulai memesonakan banyak wanita. Kariernya pun dikembangkan ke berbagai cabang seni. Dari keroncong ia meloncat ke Wayang Cina, sejenis perkumpulan Mis Tjitjih di Jakarta. Lalu bergabung dengan rombongan lenong Si Ronda berkeliling Jawa Barat, kemudian pindah ke Stambul Indra Bangsawan, akhirnya masuk orkes Hoetfischer. Di sini Item kembali menyanyi, mendendangkan Montsko ke seluruh Jawa. Nasib membawanya ke Bangil, bertemu Pedro, yang memimpin grup sandiwara Dardanella. Seperti sering dikisahkan kemudian, Tan Tjeng Bok menanjak ke puncak karier bersama Dardanella. Ia ikut berkeliling Indonesia, memonopoli satu kurun zaman yang bisa disebut sebagai masa keemasan tonil di Indonesia. Tan Tjeng Bok dan Devi Dja tak ubahnya superstar, tidak ada tandingannya. Dalam periode ini, Item hidup bagaikan dalam dongeng. Dia beroleh julukan baru, Douglas Fairbanks van Java. Dia juga memperoleh bayaran paling tinggi, seimbang dengan kualitas permainannya. "Tan itu bermain padat, sangat dominan. Katakanlah dia itu mewakili grand acting, permainan dalam gaya besar," ujar Teguh Karya, memuji. Pedoman Tjeng Bok yang paling diingatnya ialah, "Jangan beri kesempatan penonton makan kacang atau kuaci." Maksudnya, penonton mesti dipikat dari awal sampai akhir, jangan dibiarkan membagi perhatian ke tempat lain. Kedengarannya sederhana, tapi pelaksanaannya menuntut dedikasi luar biasa. Dedikasi itulah yang dihayati Pak Item sampai usia renta. Walau tidak pernah belajar teori seni peran, ia banyak menimba ilmu dari pengalaman. Kesetiaannya pada acting mengagumkan. Sanip, lawan bermainnya, menuturkan kejadian di Bogor puluhan tahun silam. Ia dan Item akan naik pentas, tapi malam sebelumnya aktor besar itu terserang panas tinggi.
Tapi entah bagaimana tiba-tiba aktor itu berdiri di panggung, mukanya berlumur lumpur. "Mungkin untuk mengurangi rasa panasnya," ujar Sanip. Dalam keadaan segawat itu, Tan Tjeng Bok masih sanggup menghidupkan cerita dan, seperti biasa, menguasai pentas. Terbukti juga ia di lahirkan untuk kamera. Aktris tua Chadidjah, ibunda Seniman Idris Sardi, membenarkan hal itu. Tampil bersama Tan Tjeng Bok dalam film Srigala Hitam (1941), Chadidjah langsung memuji. "Permainan Pak Item sudah bagus, biarpun baru pertama kali," katanya. "Dia memang selalu lebih bagus dari yang lain. Cuma aktingnya selalu berlebihan. Dalam kehidupan sehari-hari pun ia terkenal sombong, angkuh." Kesombongan yang menjerumuskan itu tidak diingkari, bahkan disesali Tjeng Bok kelak kemudian hari. Ia terbius ketenarannya sendiri, berfoya-foya bagaikan raja minyak masa kini. Dengan mudahnya ia gonta-ganti mobil dan istri. Bosan dengan Mercedes, beli Rolls-Royce, satu kemewahan luar biasa di tahun 1930-an itu. Istrinya 80 atau 100 barangkali. Betapa tidak. "Pemuja saya sebagian besar wanita, sehingga tidak ada kesukaran bagi saya untuk memilih pasangan. Dengan sedikit menggerakkan jari, beberapa wanita datang sekaligus," ujar Tan Tjeng Bok dalam satu wawancara panjang dengan majalah Femina. Tapi hidup gemerlapan itu cepat berlalu. Hartanya ludas untuk membiayai perkumpulan sandiwara yang dibentuknya sendiri, yang terus merugi. Sebelum Jepang masuk, Item sempat membintangi beberapa film: Srigala Hitam, Si Gomar, Singa Laoet, Tengkorak Hidup. Puluhan film lainnya menyusul kemudian: Melarat Tapi Sehat (1954), Judi (1955), Peristiwa Surabaya Gubeng (1956), Badai Selatan (1960), Bengaan Solo (1971). Belakangan, Tan Tjeng Bok juga muncul dalam sandiwara tv, acap kali bersama Mak Wok. Tapi kejayaan masa Dardanella tidak pernah kembali. Tingkat hidup Pak Item merosot tajam. Dalam masa suram, ia didampingi hanya seorang istri, Sarmini, yang dinikahi 1947. Dari wanita asal Bojonegoro ini ia beroleh dua anak, lima cucu.