Ada Apa di FFI 1977?
Maaf, mengapa juri bicara keras ?
FFI 1977 berakhir dengan ketersinggungan, hasil yg diumumkan dewan juri mengagetkan orang-orang film. kritik yang disampaikan terasa keras sekali, dan tak ada piala citra untuk film terbaik.
AGAK kurang sedap, memang. Festival Film Indonesia 1977 nyaris dibuka tanpa doa, berlangsung tanpa glamor dan warna, dan berakhir pekan lalu dengan ketersinggungan. Ceritanya bisa dimulai dari Majelis Ulama Daerah Khusus bukota lakarta. Untuk upacara pembukaan di Gedung Citra di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, panitia rupanya menghubungi Majelis itu. Mereka minta agar dari Majelis ada yang berkenan membacakan doa dalam upacara Sabtu 26 Pebruari itu. Tapi Majelis ternyata menolak. Dengan bahasa yang halus tapi lugas, isi surat balasan kurang-lebih bernada "maaf-kami-takbersedia" Baik Majelis sebagai lembaga, maupun para ularna secara perorangan yang sudah dihubungi Majelis, menyatakan berat hati.
Alasan: film nasional, "dalam beberapa hal tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia" .... Tentu saja adanya doa tak Wlaramkan, walaupun dalam FFI '77 ikut juga misalnya salah satu prestasi film Indonesia: Tante Sex. Dan doa pun dibacakan oleh H.O.R. Udaya dari Dinas Kerokhanian DKI. Tapi Majelis Ulama DKI Jakarta nampaknya hanya bermaksud mengingatkan: bagi sementara kalangan yang cukup bersuara, film kita justru sedang diragukan "wajah Indonesia"-nya.
Harian terkemuka Kompas, misalnya, dalam tajuk yang menanggapi hasil-hasil FFI '77, menulis: "Dihadapkan pada persaingan sesama rekan di dalam negeri dan terhadap film impor, kita mendapat kesan, unsur komersialisme semakin menonjol pada perfilman kita. Jarang film yang benar-benar berjiwa dan berwajah Indonesia". Maka pasti bukan cuma basa-basi bila dalam pidato pembukaan yang dibacakan oleh Sekjen Departemen Penerangan Soetikno Lukitodisastro, Menteri Mashuri menyambut gembira tema FFI '77: "upaya menemukan identitas Indonesia dalam film nasional". Seraya mengingatkan bahwa identitas nasional tidak boleh diberi arti yang "sempit dan picik", Menteri memuji kesadaran untuk tidak membuat film Indonesia "dengan klise film asing".
Di tengah-tengah tuntutan semacam itulah - yang sebenarnya memantulkan kembali kritik terhadap film Indonesia sejak tiga tahun yang silam -- FFI '77 berlangsung. Berbeda dengan festival di Surabaya, Medan dan Bandung, misalnya, kali ini tak ada "pawai artis". Tak nampak khalayak ramai berkerumun di panas terik mengelu-elukan bintang-bintang pujaan mereka. Mungkin ini karena orang lakarta sudah terbiasa dengan tokoih layar putih. Tapi mungkin pula karena, seperti dikatakan Ketua Kayawan Film dan Televisi Soemardjono menjelang pembukaan, FFI '77 ini "disederhanakan, sehubungan dengan pemilu". Tak kurang penting ialah pendekatan festival tahun ini, yang diselepggarakan lebih cepat dari seharusnya - juga karena pemilu. Menurut Soemardjono, "tahun ini pendekaan yang bersifat promosi dihapuskan". Mungkin dari situ pula bisa dicari sebab, mengapa festival berlangsung sonder keramaian tongjring-tongjring, tak nampak bergincu dan berdandan.
Pendeknya, serius.
Bahkan Turino lunaidi, Ketua Yayasan FFI, dalam pidato pembukaan menyatakan tekadnya buat lebih "meningkatkan mutu". Ia kaitkan tekad ini dengan kenyataan, bahwa dewan juri - sebagai peniiai buat menentukan siapa yang berhak mendapatkan piala Citra - "selalu jadi sasaran kritik". Tidak jelas adakah untuk menghindarkan kritik maka buat FFI '77 uni Turino meminta bantuan Dcwan Kesenian Jakarta untuk memilih para anggota dewan juri. Dengan tanpa banyak kesukaran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyusun para juri. Sudah sejak 1973 sebenarnya secara tak langsung DKJ ikut dalam penjurian festival: dari tahun ke tahun, seorang atau lebih anggotanya selalu termasuk dalam regu juri. Kali ini prosesnya lebh diperlancar karena Soemardjono sendiri, yang di samping Turino merupakan motor penggerak FFI, adalah anggata DIW Komite Film. Dan regu juri pun dibentuklah: D. Djajakusuma, H. Rosihan Anwar, Irawati M. Sudiarso, Zulharmans, Setyadi Tryman MS., Dr. Soedjoko, D. Peransi, TaufKl Ismail, Salirn Said. Sebagian besar dari mereka pernah duduk sebagai anggota dewan juri lebih dari satu kali FFI. Setidaknya 7 dari 9 mereka adalah "muka-muka lama". Melihat itu, memang tak terduga bahwa keputusan juri FFI '77 ternyata merupakan keputusan yang berbeda dari yang pernah ada selama ini. Setidaknya jika Tunno mengharapkan bahwa juri kali ini bisa bebas dari kritik, ia keliru sama sekali. Belum pernah sebelumnya FFI mernutuskan bahwa untuk satu tahun tidak ada flm terbaik yang berhak satu piala Citra.
Dan belum pernah penilaian juri terus-terang dicerca orang film seperti dalam FFI '77 ini. "Orang film biasa bermulut manis, terutama di muka pers", kata seorang wartawan film, "tapi kali ini tumben tidak". Suasana yang kurang lazim memang terasa dalam acara penutupan FFI '77. Dan itu nampak sejak jam-jam sebelum pengumuman juri. Di luar Gedung Citra di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang luas itu, tak banyak tanda-tanda bahwa suatu puncak acara sedang berlangsung di bagian dalam. Tak ada penonton berjubel. Mobil-mobil tak 'sampai berdesakdesak memenuhi tempat parkir. Di dalam, para hadirin yang pada duduk di kursi gedung bioskop itu sebagian esar adalah orang film yang tak pasang dasi. Pakaian gemerlap dan resmi yang biasanya bermunculan di penutupan FFI kali ini tak nampak merata.
Bahkan musikus Idris Sardi -- yang malam itu kemudian menerima satu piala Citra untuk iringan musiknya - cuma berbaju lengan pendek. "Seperti habis dari lapangan golt", komentar seorang tamu. Keadaan kian kurang rapi ketika acara diundurkan hampir satu setengah jam.
Para hadirin mengisi waktu sembari bergurau, atau ngobrol. Juga mereka yang di baris terdepan, di mana sudah duduk menunggu Menteri Penerangan Mashuri dengan nyonya dan juga Gubernur Ali Sadikin dengan nyonya. Juga bekas Menteri Penerangan Budiardjo, kini duta besar untuk Spanyol, yang sedang di Jakarta. Apa boleh buat semuanya harus menanti naskah hasil penilaian juri tiba dari kantor Komdak Metro Jaya, di mana dokumen itu terjaga secara tradisionil dalam sampul yang dilak supaya jangan sampai dipalsukan atau dibocorkan. Setelah akhirnya acara dimulai, dengan penyiar TVRI Anita Rachman di depan mike, ternyata urutan berubah sedikit: Gubernur Ali Sadikin tak jadi memberikan pidato sambutan. Ia kelihatan batuk-batuk. Akhirnya langsung Menteri Mashuri yang dipersilakan ke atas pentas, setelah - dengan isyarat ia sekali lagi menawarkan kesempatan itu pertama-tama kepada Gubernur (Bang Ali menggeleng dengan hormat). Pidato Menteri tak panjang.
Dalam baju batik warna coklat dan santai, Menteri berbicara tanpa teks - dan diselingi humor. Ia mengingatkan lagi akan pentingnya masalah identitas dalam film nasional, dan pendekatan integral dalam menanoani masalah film.
Setelah Menteri Penerangan, sampailah puncak acara yang ditunggu: pengumuman juri. Rupanya karena panjangnya naskah pengumuman, para juri menampilkan H. Rosihan Anwar dan Ketua D. Djajakusuma untuk membacakan hasil penilaian mereka. Direncanakan bahwa Rosihan akan membaca bagian pertama, berupa penilaian umum dewan juri terhadap semua film yang ikut FFI '77. Djajakusuma kemudian akan membacakan siapa-siapa pemenang yang berhak mendapatkan piala Citra dan piala lain. Pilihan atas Rosihan sebagi pembaca hasil penilaian umum ternyata menghasilkan sesuatu yang menarik: Rosihan telah membikin mata acara itu suatu pertunjukan tersendui. Mula-mula tibalah perwira kepolisian yang bertugas mengawal dokumen hasil penilaian juri, ke atas pentas. Disaksikan para hadirin, Rosihan membuka dan mengeluarkan isi amplop kuning itu. Ia setengah bergurau: "Supaya dapat disaksikan bahwa para juri pun memperhatikan faktor sekuriti". Setelah itu ia mulai membaca dengan suara jelas, berirama dan di sanasini kocak - seraya tubuhnya tidak menghadap ke hadirin, lantaran mencari cahaya lampu yang paling efektif. Agaknya buat pertama kali dalam sejarah FFI sejak 1973, bahwa hasil penilaian umum dewan juri bisa menarik perhatian seperti malam itu. Biasanya hadirin mendengarkannya sebagai sekedar pengantar yang tak perlu. Biasanya mereka tak sabar menanti pengumuman para pemenang piala Citra. Tapi kali ini, hadirin pasang kupung. Gaya Rosihan membaca memang memikat, tapi juga isi penilaian umum itu memang mengagetkan. Sebab di sana tak ada kalimat ramah yang bisa membungkus kritik. Pukulannya terasa keras sekali.
Antara lain: "Dari penilaian 27 film cerita itu, Dewan Juri berkesimpulan: film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser semata-mata sebagai alat hiburan yang tidak selalu berarti sehat. Produser film Indonesia menampakkan diri terutama sebagai pedagang-pedagang impian.
Dalam posisi demikian memang produser tidak berpijak pada bumi Indonesia, sebab mimpi yang indah selalu berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal". "Kecuali sebagian kecil, film-film ini samasekali tidak memperlihatkan keterlibatan sosial. Beberapa fulm mencoba berbicara tentang masalah sosial, tapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan lingkungan, maka masalah sosial yang ditampilkan terasa sangat dibuatbuat dan semu". "Dibandingkan dengan tahun 1973 umpamanya terlihat adanya kemunduran dalam keragaman tema dan lingkungan cerita.
Bersamaan dengan itu keragaman watak manusia juga semakin miskinù" "Penulis skenario, sutradara dan editor belum menguasai wawasan dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi kejadian-kejadian kebetulan, tidak bermotif". "Juga fotografi film kita masih pada tingkat menciptakan gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi musik dan pengarahan artistik". Tak salah lagi: dewan juri FFI '77 memang menggebrak prestasi film Indonesia selama tahun 1976. Sebagai klimaksnya bahkan diputuskan bahwa tidak ada piala Citra diberikan kepada "film terbaik". Tak ada film yang memenuhi syarat dewan juri FFI '77. Syarat itu, berbeda dengan syarat dewan juri sebelumnya, rupanya berdasarkan ketentuan tersendiri: gelar "Film Terbaik" hanya akan diberikan kepada sebuah film yang berhasil mengumpulkan empat piah penopang, yakni pengolahan cerita (skenario) terbaik, sinefotografi terbaik, penyutradaraan terbaik dan pemaduan-gambar (editing) terbaik. Dari semua film yang masuk, agaknya hanya Si Dul Anak Modern dan Sesuatu yang Indah yang hampir saja lulus ke kelas tertinggi yang ditentukan para juri itu. Kedua film itu, masing-masing disutradarai oleh Syumanjaya dan Wim Umboh, memang bertanding dengan sengit dalam rapat-rapat penilaian.
Tapi akhirnya Si Dul hanya memperoleh piala Citra untuk penyutradaraan dan pengolahan cerita - di samping satu Citra lagi buat aktornya, Benyamin S. sebagai si Dul. Sesuatu yang Indah hanya memperoleh Citra buat editing, yang dilakukan Wim Umboh sendiri, di samping Citra untuk musik dan Citra lain untuk Christine Hakim, pemegang peran utama wanita. Dengan komposisi semacam itu, wajar jika tak ada satu pihak yang puas benar. Apalagi suasana sebelumnya telall jadi panas oleh gebrakan-gebrakan juri. Di pentas, ketika semua pemenang sudah berjajar untuk disalami dan aipotret, hanya Syumanjaya yang nampak senyum-senyum terus bagaikan Jimmy Carter. Wim Umboh tampak tidak begitu cerah.
Dalam jas hitam dan dasi konservatif, ia nampak capek. Widyawaty yang cantik, yang diantar suaminya Sophaan Sophian sampai ke tepi pentas juga tak ada menunjukkan kegembiraan. Sebagai peran pendukung wanita, ia telah berhasil mengalahkan calon kuat lain, misalnya konon Rae Sita dalam Cintaku di Kampus Biru. Tapi bintang dalam One Way Ticket ini agaknya ikut gundah: suaminya marah kepada dewan juri yang baru saja mengecam film Indonesia secara tajam. Cuma Christine Hakim yang kemudian mengikuti Syumanjaya dalam soal wajah riang: dengan pakaian putih mengkilap seperti seorang puteri dari dongeng Yunani, Christine senyum ke sana ke mari - sejak penyanyi Brury Pesulima, pacarnya, melepaskannya naik pentas untuk terima piala. Ini adalah Citranya yang kedua.
Di tahun 1974, Christine menang untuk hal yang sama dalam film Cinta Pertama. Sementara itu, cukup banyak juga yang tak datang ke pentas, ketika nama mereka diumumkan sebagai pemenang. H. Syamsuddin Yusuf, pemenang sinefotografi untuk film Ateng Sok Tahu (yang juga film terlaris selama 1976), tak muncul. Roy Marten, bintang muda baru yang menarDk perhatian sejak Cintaku Di Kampus Biru, juga tak hadir buat menerima piala Usmar Ismail sebagai aktor harapan dalam Sesuatu Yang Indah, Sudarsono Wiryosuwaryo, pengarah artistik buat film Mustika Ibu, juga tak kelihatan.
Mungkin orang yang sama sekali tidak dikenal ini tak mengharap, bahwa ia akan bisa mendapatkan sebuah Citra -- terutama dalam film yang kata setengah orang dibikin secara tak serius. Sebaliknya yang punya cukup alasan untuk berharap menang, tapi ternyata namanya tak disebut-sebut adalah Marini, untuk peranannya dalam Sesuatu Yang Indah, dan Wahab Abdi, untuk peran pendukung dalam Si Dul. Kedua pemain berbakat dan serius ini barangkali termasuk yang kecewa . . . Tapi suasana sehabis pengumuman yang juga dibacakan oleh Rosihan Anwar itu, (karena D. Djajakusuma roboh pingsan setelah tiga kalimat di atas pentas), terutama bukanlah suasana kecewa. Melainkan tersinggung. Siapa-siapa yang menang Citra bahkan kali ini tak dibicarakan dan dipersoalkan - satu hal yang juga belum pernah terjadi dalam FFI yang terdahulu.
Di plaza Gedung Citra, di mana makanan dan minuman disediakan buat para hadirin setelah gong penutup dipukul enteri lashuri, resepsi jadi hangat oleh pembicaraan sekitar kritik tajam juri kepada film Indonesia. "Saya sih tidak mempersoalkan keputusannya", kata Ny. Halidar Hadiyuwono, produser dan tokoh PPFI (Persatuan Produser Film).
"Komentarnya itu yang menyakitkan hati". Dari wajah Ny. Hadiyuwono yang tenang, sampai dengan ucapan bintang film dan praduser Ratno Timur yang memaki, tak pelak lagi: sebagian besar orang film merasa dewan juri telah "menghina" mereka atau "menggurui". Bahkan tiba-tiba tertiup kecurigaan rara juri ditunggangi oleh anggota-anggota Lembaga Pengembangan Film Nasional (Lepfinas yang baru saja dibentuk oleh Menteri Penerangan. Sebagai salah satu bukti: Ketua Dewan Juri Djajakusuma dan anggota Dewan Juri Zulharmans adalah orang Lepfinas. "Keputusan yang menjelek-jelekkan film nasional itu adalah bombardemen pertama mereka sebelum Lepfinas bekerja", tuduh seorang produser yang minta agar namanya dirahasiakan.
Tapi kenapa bombardemen itu, bila betul ada, harus datang dari Lepfinas? Rupanya ada perkiraan bahwa Lepfinas akan mengarahkan film ke suatu kecenderungan yang tak menguntungkan para produser yang telah terbiasa dengan gaya selama ini. Misalnya, dengan mengurangi aksentuasi komersiil seraya melahirkan film-film "nyeni" yang biasanya dapat keplok tapi tak laku.
Mungkin pula dengan lebih meneliti soal ijin produksi, sehingga film macam Tante Sex tidak perlu ada, sementara film seperti Enam Jam di Yogya dapat dibuat lagi tanpa repot mencari cukong. Namun apapun niat Lepfinas nanti, nampaknya agak terlampau jauh juga tuduhan bahwa dewan juri telah diperalat lembaga tersebut. Tak setiap hal selalu bisa dikait-kaitkan dengan "penunggangan" dan merupakan hasil suatu konspirasi. "Yang jelas maksud kami baik", kata Setiadi Tryman M.S., wartawan senior Sinar Harapan yang juga anggota juri. "Demi kemajuan film nasional juga". Pembelaan Setiadi bisa dimengerti.
Betapapun, bagi orang di luar memang timbul pertanyaan apa gerangan yang menyebabkan dewan juri FFI '77 keras berbicara? Sebuah dugaan menyebutkan, bahwa suara keras itu disebabkan karena di antara ke-9 orang juri itu tak terdapat tokoh-tokoh tua seperti Ny. Maria Ulfah Subadio, R.M. Sutarto dan Moh. Said, yang dalam beberapa penjurian sebelumnya ikut serta. Seandainya di antara juri itu ada mereka, demikian kata dugaan itu, pasti juri FFI '77 akan lebih hati-hati dalam merumuskan kalimat-kalimat kritiknya. Tapi bagaimana dengan adanya D. Djajakusuma dan H. Rosihan Anwar? Meskipun lebih muda dari Pak Said, misalnya, mereka bisa dianggap bukan orang-orang tua yang suka menggebrakkan pendapatnya di depan publik. Dan mereka dalam FFI '77 bukan tinggal membacakan kalimat-kalimat yang disusun orang lain. Di samping itu, mereka sudah punya pengalaman penjurian FFI. Juga para anggota dewan juri bukan orang-orang baru dalam mengikuti perkembangan film Indonesia. Dengan kata lain, tak mungkin para juri FFI '77 termasuk orang yang kaget melihat wajah film Indonesia --betapapun jeleknya. Maka bisa saja diperkirakan adanya faktor lain sebagai penyebab. Mungkin justru karena sudah lama mengikuti perkembangan film nasional, suara keras mereka itu terdengar.
Para juri mungkin merasa bahwa sudah saatnya kini kecenderungan yang mereka anggap kurang sehat dalam film nasional diperingatkan dengan tanda seru.
Dari segi bisnis, film Indonesia setidaknya rata rata bukanlah usaha yang rugi. Kini, dengan adanya PT Perfin dan keharusan bagi bioskop buat memutar film nasional, tanggungjawab sosial para produser dan orang film menjadi lebih perlu disadari. Paling sedikit, termasuk dalam tanggungjawab sosial itu ialah membuat film yang bermutu, agar bioskop jangan kena getahnya - suatu tuntutan yang misalnya terdengar di Surabaya (lihat: Bisnis). Tapi benarkah itu semua jadi alasan juri FFI '77 buat bicara keras? Setidaknya dari catatan dua anggota juri, yang ditulis khusus untuk TEMPO nomor ini, dapat diperkirakan bahwa juri punya kesan: nampaknya kritik yang sudah lama terdengar terhadap film Indonesia, oleh para produser kurang diperhatikan. Misalnya adanya pameran kemewahan yang tak pada tempatnya, munculnya adegan erotik yang vulger, tak cocoknya latarbelakang sosial antara cerita film dengan masyarakat yang ada - semua itu masih berulang dari tahun ke tahun. Masalahnya, tentu saja, adakah semua hal yang "kurang sehat" itu semata-mata, merupakan kesalahan orang film? Bagaimana pun juga, prestasi film nasional selama ini bukan semata-mata merupakan hasil keinginan mereka sendiri.
Struktur perfilman Indonesia sejak 1973 menyebabkan kehidupan perfilman sangat ditentukan oleh permintaan pasar, perizinan pemerintah serta restu Badan Sensor.
Pasar, peranan pemerintah dan kekuasaan sensor itu toh termasuk bagian kenyataan Indonesia yang ikut memberi corak "wajah Indonesia" dalam film kita - suka atau tak suka para juri terhadap mutu "wajah" itu. Kekurangan dewan juri FFI '77. mungkin karena mereka seakan-akan tak memasukkan pertimbangan semacam itu dalam penilaian "galak" yang mereka umumkan. Kekurangan lain yang bukan kesalahan para juri - agaknya ialah berubahnya ketentuan penilaian dari tahun ke tahun, bersamaan dengan berubahnya susunan juri. Di dalam FFI '77 misalnya, para bintang yang suaranya terdengar di layar putih karena hasil dubbing suara orang lain, tidak dapat biji tinggi. Ini tak berlaku di festival sebelumnya - hingga pembuat film tak siap agaknya buat menghadapi perubahan itu. Juga tak adanya film terbaik dalam FFI '77 adakah berdasarkan ketentuan dewan juri tahun ini semata-mata. Mungkin sikap teguh ini baik. Tapi tidakkah kini timbul kesan bahwa film Si Dul Anak Modern seakan-akan lebih jelek dari Si Mamat, film terbaik FFI '74? Atau bahwa Yang Indah lebih jelek dari Perkawinan, pemenang film terbaik FFI '73? Jawabnya, tentu saja, "belum tentu". Sebab kriteria berbeda. Tapi di situlah justru soalnya: kenapa FFI tak punya pegangan yang agak tetap? Walhasil, FFI '77 menimbulkan perdebatan. Seperti FFI sebelumnya, hanya lebih keras kali ini. Dan para juri FFI '77 terkena kritik - seperti para juri sebelumnya, hanya jauh lebih keras kali ini. Mungkin semua itu justru menarik bagi suatu dialog, jika nanti para produser - seperti direncanakan Turino Junaidy - jadi bertemu dengan dewan juri. Turino sendiri, sebagai Ketua Yayasan Festival Film, mulai dikecam oleh rekan-rekannya. Ia ikut bertanggung jawab dalam soal ini, seperti dikatakan Wim Umboh akhir pekan lalu kepada TEMPO. Tapi setidaknya suara keras dan kontroversi dalam FFI '77 menunjukkan satu hal yang patut dibanggakan: bahwa festival film Indonesia berbeda dengan sementara festival di luar negeri yang cuma merupakan acara bagi-bagi hadiah, lalu ajojing dan cincay.
Cerita angka, FFI 1977
Dari 27 film cerita yang ikut ffi 1977, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia yang hidup di lingkungan desa (14,9%).
Penyair Taufiq Ismail adalah salah seorang juri dalam FFI 1977. Ia sejak lama "penasaran" tentang tuduhan bahwa film Indonesia "banyak sex", "tidak mencerminkan kenyataan Indonesia", "memamerkan kemewahan" dan semacam itu. Apa betul? Berapa persen yang begitu? tanya Taufiq dalam hati. Maka sejak hari pertama penjurian ia bawa buku catatan dan menyiapkan satu sistem buat menghitung, seberapa jauh tuduhan di atas terbukti. Sehabis penjurian ia pergunakan mesin hitung (jangan lupa, dokter hewan ini pernah belajar statistik). Hasilnya ia terakan di bawah ini: DARI 27 film cerita yang ikut Festival Film Indonesia 1977, 23 buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%) dan 4 buah mengenai manusia desa dengan desa sebagai lingkungan (14,9%). Hampir seluruhnya mengenai kelas menengah (92,6%). Hanya dua film saja murni bercerita tentang petani di pedesaan (7,4%). Dari dua film selebihnya yang mengambil tempat di desa juga, sebuah (3,7%) para pelakunya berpindah ke kota, sedangkan satu lagi (3,7%) pada prinsipnya para pelakunya tinggal di desa saja walaupun pernah pindah ke kota dalam jangka waktu pendek.
Film terakhir ini misalnya, berkisah tentang dua keluarga di desa: satu kelas menengah pernah tinggal di kota (orang kaya dengan sejumlah sawah, kebun dan ternak) dan satu kelas bawah (pedagang kopi di warung dinding bambu). Lambang Kekayaan Mobil Jerman Barat Mercedes-Benz sebagai simbol kekayaan mulai digeser oleh sedan mahal bikinan Swedia itu, Volvo Lima buah film secara menyolok memperlihatkan merek-merek mobil ini (18,5). Mercedes-Benz bersiluncur dengan sedapnya pada tiga film (satu di antaranya di jalanan desa tak beraspal, milik petani-peternak kaya itu), dan Volvo pada dua film. Pada dua film terakhir ini, Volvo terdapat lebih dari sebuah dan lebih dari satu warna, pada masing-masing film. Perabot Ukir Sebagai pertanda taraf ekonomi orang Indonesia yang tinggi baik juga disebut tentang perabot ukir. Pada 55,5% dari seluruh film (15 buah), atau 65,2 dari film yang ceritanya bermain di kota, nampak perabot ukir menjadi unsur penting dalam penataan artistik. Perabot ukir ini meliputi kursi dan meja tamu, kursi dan meja makan, lemari hiasan dan lemari pakaian. Lampu gantung berukir bergantungan di langit-langit. Pada sebuah rumah pelacuran nampak sampai tiga lampu gantung semacam ini masuk dalam frame. Sejalan dengan perabot ukir dan lampu gantung berukir ini juga hampir selalu digunakan bunga plastik dan permadani.
Bunga plastik tidak selalu tumbuh di rumah tokoll-tokoll Indonesia kaya saja, tetapi terdapat juga sebagai elemen penataan artistik di rumah tokoh yang tidak berada. Pada dua film (7,2%) perabot ukir sedemikian berdesak desaknya dalam adegan, sehingga kelihatan seperti toko meubel yang tak punya gudang atau rumah orang kaya Indonesia yang meluap nafsu pamernya.
Pada kedua film tersebut penataan artistik semacam ini tidak lagi mendukung dramaturgi. Gejala Anak Tunggal 70,3% film menampilkan tokoh anak tunggal. Artinya tokoh pada 19 film adalah anak satu-satunya dalam keluarga. Baru pada 8 film selebihnya (29,7%) keluarga Indonesia itu beranak lebih dari satu orang. Dari film yang 19 itu, dua film (7,4%) menunjukkan dua anak tunggal dalam setiap filmnya, sedangkan satu film (3,7%) menampilkan empat anak tunggal. (Ceritanya begini: dua anak tunggal berpacaran, kawin dan beranak. Anaknya tunggal pula. Salah satu tokoh dalam plot cerita juga anak tunggal. Jadi ada empat anak tunggal dalam satu film). Bagaimana kira-kira keterangan wajah anak tunggal yang demikian dominan dalarn film kita ini? Anak yang banyak menyulitkan penulis skenario. Dia mesti mengarangkan dialognya, mengembangkan perwatakan mereka, menganyam mereka dalam jalinan konflik secara rapi, mengatur pengadeganan mereka, pokoknya repotlah. Kenapa mesti repot-repot amat? Anak Tunggal Sajalah Begitu juga dengan tokoh-tokoh tambahan lain, yang dari sudut pandangan produser menambah biaya saja. Biasa pula jadi korban adalah pembantu rumah-tangga. Demikianlah kita lihat pada 5 film (18,5%) ada keluarga Indonesia yang kelas sosial dan secara ekonomis berkecukupan, tetapi tidak ada pembantu atau babunya, tanpa alasan yang logis terjalin dalam alur cerita.
Kehormatan Kelab malam muncul pada 52,1% film yang ceritanya berlangsung di kota (12 dari 23 film, jadi lebih dari separo). Di setiap adegan kelab malam selalu ada botol minuman keras dan hostess. Seperti di sasana tinju, kerja orang Indonesia selalu berantem di kelab malam.
Pada keenam film (22,2%) di mana diceritakan wanita Indonesia hidup ekonominya terdesak, Ibu Kita Kartini dipaksa untuk: menjual kehormatannya, menyanyi lantas menjual kehormatan, dan memijat di rumah mandi uap dan akhirnya menjual kehormatan juga. Tidak pada sebuah filmpun yang ikut FFI 1977 ini wanita Indonesia yang hidupnya secara ekonomis sudah terlampau kepepet, diberi jalan mencari nafkah dengan mati-matian menjahit, jualan gado-gado, jadi guru, makelaran barang perhiasan, mencuci pakaian orang, menyapu jalan raya, kerja di pabrik plastik, jadi buruh batik, atau kerja kasar lainnya. Semuanya ambil jalan pintas: jual kehormatan. Hubugan Kelamin Hubungan kelamin di luar pernikahan yang dinampakkan di layar putih terdapat pada 11 film, atau 40,7%. Dari 11 film itu, 5 film (18,5%) memperlihatkan adegan hubungan sex dengan pelacur dan bukan-pelacur, pada satu film (3,7%) dengan pelacur saja, dan pada 5 film (18,5%) melulu dengan bukan-pelacur. Dilihat dari jumlah peristiwa hubungan kelamin, maka terdapat 6 peristiwa hubungan kelamin dengan pelacur (37,5%) dan 10 peristiwa hubungan kelamin dengan bukan-pelacur (62,5%). Yang dimaksud dengan bukan-pelacur itu adalah kekasih, kenalan, babu dan isteri orang. Indikasi ke arah masyarakat permissive? Hubungan sex dengan yang sejenis dan masturbasi tidak ada. Kasus perkosaan tidak dicatat. Tokoh yang bunuh diri terdapat pada dua film (7,2%) dan yang mencoba bunuh diri tapi gagal atau digagalkan ada pada 4 film (14,4%). Tema dan Cerita Dilihat dari ceritanya, 20 film (74%) berjenis drama, 2 buah (7,4%) komedi, sebuah kisah kejahatan dengan suspense (3,7%), 3 buah cerita anak-anak (11,2%) dan sebuah lagi cerita anak-anak belasan tahun atau remaja (3,7%). Tiga dari 20 film drama tersebut merupakan film berurai air mata (15%). Enam buah di antaranya (30%) diramu dengan bumbu dan cabe sex yang kuat. Contoh dialog dari salah satu di antara film sex yang pedas itu: "barangmu itu masih mulus". Nafsu berahi dikatakan "ngumpul di paha".
Dan ketika tante syahwat itu berbaring-baring malas dengan pejantan sewaan di atas pasir pantai, dia mengelus lutut sang gigolo dengan tungkai kirinya seraya memuji "bulu maut" lelaki itu. Lingo di kalangan tante-tante sex umur 40-an adalah istilah ekonomi input untuk hubungan kelamin dan output untuk entah apalah itu. Contoh salah satu adegan Tante Sex (skenario Pitrajaya Burnama, sutradara Bay Isbahi): kamera menembak reproduksi Venus Boticelli, pelahan menggusur ke bawah dan Tuty S berbaring miring, pakaiannya dua potong tekstil hitam agak menerawang yang dinamakan orang pakaian dalam, dan di depannya anak belasan tahun (Rano Karno) melotot mempelajari topografi Tante Kita yang tidak berimbang komposisi hormonnya itu. Exhibisionisme untuk pendidikan sex? Dari 27 film ini cuma sebuah yang menggambarkan patriotisme (3,7%), yaitu mengenai penunaian tugas merebut Irian Barat (Semoga Kau Kembali, skenario dan sutradara Motinggo Busye). Yang dalam alur cerita memaparkan revolusi kernerdekaan dengan adegan pertempuran cuma satu juga 3,7%) yaitu Mustika Ibu (skenario Sufriamin Umar, sutradara Wisjnu Mouradhy). Namun kisah utamanya adalah perjalanan hidup seorang pengusaha, sebuah biografi sebenarnya seorang usahawan perkapalan Indonesia turunan Cina dari Nam An. Apakah film kita kehilangan tema patriotisme?
Ya. Berjuang melawan tahayul adalah tema film Apa Salahku (skenario dan sutradara Sandy Suwardi Hasan), sebuah film drama berurai air mata, yang satu-satunya menggarap tema ini (3,7%).
Tanpa berkhotbah mengenai modernisasi, tanpa pretensi mau jadi manusia moderen, Apa Salahku menggambarkan pertikaian di masyarakat desa yang masih membandel percaya pada kesialan yang dibawa sejak lahir paa seorang anak perempuan desa kecil, Faradilla Sandy. Drama satire satu-satunya (3,7%) Si Doel Anak Moderen, skenario dan sutradara Sjumanjaya, mencemooh pemuda pinggiran yang mau jadi pemuda ibukota (yang kepingin jadi "anak modern") dan juga mengejek habis-habisan orang Betawi keturunan Arab Hadramaut sekaligus orang-orang kampung yang karikatural itu. Orang-orang kampung itu diberi Syumanjaya kopiah haji di kepala mereka. Pembukaan wilayah rimba raya Indonesia yang mengundang mesin-mesin baru nampak sebagai latar belakang pada sebuah film -(3,7o), skenario Arifin C. Noer, sutradara Wim Umboh, berjudul Sesuatu Yang Indah. SYI bertema kisah cinta segitiga-segiempat dua orang penerbang kakak-adik. Masalah manusia Indonesia dengan alam rimba raya yang perawan dan keras, dengan kerja menggali tambang dan kontak manusia dengan mesin-mesin baru serta konflik yang munkin timbul karenanya. tidaklah dipersoalkan dalam SYI. sebab tidak diangap Penting.
Film anak-anak (11,2%) yang 3 buah itu berturut-turut mengenai penculikan anak orang kaya, fantasi jadi gubernur Jakarta selama satu hari dan perlawanan terhadap tahayul orang desa. Sebuah film remaja (3,7%) berjudul Remaja 76 (skenario Ismail Soebardjo dan Teguh Esha, sutradara Ismail Soebardjo) mengisahkan kehidupan biasa anak-anak remaja di sebuah SMA Jakarta.
Alur cerita mendatar tetapi hidup dengan dialog yang segar, bukan bahasa-buku. Walaupun kisah drama dengan bumbu dan cabe sex banyak (30%), tetapi yang bertema kekerasan, hanya satu (5%). Orang biasanya menggandengkan kecenderungan sex dengan kekerasan. Film dengan tema cerita rakyat absen dalam festival ini (0%). Meskipun film-film kita ternyata urban (85,1%), tetapi tema yang diangkat dari masalah sosial di kota berpusu-pusu di sekitar soal terbatas benar: narkotika, kesulitan ekonomi (erat dengan jual kehormatan), cinta tidak sampai, otoritas orang tua pada anak. Masalah sosial yang aktuil seperti sulitnya mendapatkan kesempatan kerja, hancurnya industri kecil, krisis perumahan, berjangkitnya hama pertanian, kepadatan penduduk di pulau Jawa, mahalnya biaya pendidikan, untuk beberapa misal, belum dipetik jadi tema yang dikembangkan sebagai kisah manusia Indonesia. Produser tidak tertarik pada tema-tema ini? Betul.
Film Dokumenter Ada sebuah film animasi dan 9 dokumenter. Dari yang 9 ini 4 mengenai pembangunan fisik, 2 mengenai olahraga, dan berturut-turut masing-masing satu mengenai adat, bunga dan riwayat hidup pemimpin pergerakan nasional. Sembilan dari 10 film ini bertata-warna, dan sebuah hitam-putih, yaitu Ki Hadjar Dewantoro. Sehabis melihat segala yang gemerlapan dari entri festival, menyaksikan film hitam-putih dokumenter mengenai almarhum Ki Hadjar, saya jadi terpukau.
Film itu secara teknis, miskin. Dengan teknik wawancara kita dibawa menyelusuri kehidupan pemimpin tua itu. Wajah Ki Hadjar yang kerut-merut, kurus, berkemeja katun itu mengingatkan kita bahwa pernah dulu ada di antara kita keteguhan cita-cita, keluhuran budi dan kesederhanaan hidup, yang kini begitu menipis di zaman kita ini. Adegan pemakaman alangkah mengharukan. Kolonel Soeharto, berbintang tiga, adalah inspektur upacara. Jenazah masuk tanah, semua mengusap mata: sebuah kesederhanaan telah dikuburkan. Lampu ruangan hidup kembali dan kita tercenung.
Mengapa "Harapan" FFI Menghilang?
PUNCAK Festival Film Indonesia (FFI) 2008 Bandung berlalu sudah. Ternyata, peringkat "pemain harapan", tak pernah lagi hadir. Penerima gelar Aktor/Aktris Harapan atau Pendatang Baru Terbaik, selama ini tenggelam di balik pamor pemenang Piala Citra. Padahal, di awal kembalinya festival film (FFI 1973 Jakarta), kedua penghargaan itu menyatu ke dalam gelar Aktor/Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik, yang diberikan kepada Arman Effendy ("Mereka Kembali") dan alm. Tanty Yosepha dari film "Seribu Janji Kumenanti".
Kemenangan mereka, bahkan dihargai dengan Piala Citra. Sayangnya, tak pernah terdaftar dalam deretan para pemenang lambang supremasi perfilman nasional itu ("PR",7/12). Tidak setiap FFI pula, dewan juri memberi anugerah untuk insan film yang dinilai prospektif itu. Dalam FFI Surabaya (1974), Medan (1975), dan Bandung (1976), gelar pemain harapan itu absen. Di Bandung justru muncul predikat Aktor/Aktris Pendatang Baru Terbaik, yang dimenangi Enteng Tanamal dari film "Jangan Biarkan Mereka Lapar" (Christ Pattikawa), dan Marini dalam film "Cinta" karya alm. Wim Umboh.
Berselang tiga kali FFI sejak 1973, Roy Marten terpilih jadi Aktor Harapan (1977) dari film "Sesuatu yang Indah" (Wim Umboh). Meski tidak ada penerima aktris harapan, namun Ismail Soebardjo bergelar Sutradara Harapan Terbaik (film "Remaja ’76"). Itu gelar "langka", yang tak pernah berulang lagi di pentas festival film. Di Ujungpandang 1978 pun, hanya terpilih Aktor Harapan untuk Rachman Arge (film "Jumpa di Persimpangan"). Pasangan gelar Aktor/Aktris Harapan, muncul lagi di FFI 1979 Palembang, yang diraih Alan Suryaningrat ("Pengemis dan Tukang Becak"), dan Nur ’Afni Oktavia dalam film "Pulau Cinta". Amak Baljun dari film "Janur Kuning" (alm. Alam Rengga Surawidjaya), dan Farah Meuthia dalam film "Yuyun" karya alm. Arifien C Noer, merebut gelar tersebut di FFI 1980 Semarang.
Mencermati kilas-balik FFI dalam penetapan gelar harapan, terkesan menggelikan di FFI 1981 Surabaya. Seolah bimbang di antara peringkat aktor harapan dan pendatang baru terbaik! Hasilnya, Adi Kurdi yang tampil apik dalam film "Gadis Penakluk" (Edward Pesta Sirait) ditetapkan sebagai Aktor Pendatang Baru Penuh Harapan.
Kalau maknanya tak banyak berbeda dengan FFI terdahulu, kenapa gelar itu mesti berganti? Bahkan, bentuk hadiah harapan itu belum pernah baku. Seusai FFI 1973 menghadiahkan Piala Citra, penerima gelar itu berganti dengan piala khusus, seperti Piala Suryosumanto, Piala PWI Jawa Barat, serta Medali Emas Parfi. Sejak kebangkitan lagi FFI dalam kondisi kekinian, kategori harapan tak pernah mengemuka. Gelar keaktoran Adi Kurdi pun yang menjanjikan dengan "penuh harapan", hanya sekali itu saja terjadi.
Gemilang
Banyak kenyataan membuktikan, harapan di balik peringkat "harapan" itu, mampu berbuah prestasi gemilang. Pesatnya reputasi Tanty Yosepha, hingga melaju ke tingkat The Best Actrees versi PWI Jaya Seksi Film 1974, dari film "Suster Maria" (S.A. Karim), merupakan cerminan terpuji. Penerima gelar Aktris Harapan Pendatang Baru Terbaik FFI 1973 itu, menajamkan lagi suksesnya dengan gelar Aktris Terbaik FFI 1975 Medan, sekaligus berjaya di Festival Film Asia (FFA) ke-21 Jakarta, dari film "Setulus Hatimu" karya Arizal.
Tanty Yosepha penyanyi cantik bersuara melankolis, membintang dalam masa kejayaan perfilman nasional. Setelah pernah lama menghilang, kekuatan aktingnya masih berdaya saing dalam peraihan Piala Citra. Di FFI 1982 Jakarta, Tanty terjaring nominasi pemeran utama wanita terbaik dari film Dokter Karmila (Nico Pelamonia), namun tersisih kemenangan Jenny Rachman dari film Gadis Marathon (Chaerul Umam). Ismail Soebardjo sang Sutradara Harapan Terbaik FFI 1977, menguatkan pembenaran "harapan" dewan juri festival itu.
Terbukti, film karyanya kemudian, "Perempuan Dalam Pasungan", sukses menjadi Film Terbaik, dan menobatkan Ismail Soebardjo berkelas Sutradara Terbaik FFI 1981 Surabaya. Memang, tak semua pemenang harapan, mampu memperbaiki peringkatnya. Laju karier Arman Effendy (1973), Racman Arge (1978), Alan Suryaningrat (1979), Amak Baljun (1980), serta Adi Kurdi (1981), agaknya tidak terkembang secerah harapan. Reputasi Roy Marten menguat dalam perfilman, namun itu dicapainya sebelum bergelar Aktor Harapan (1977).
Sejarah bersaksi, Franky Rorimpandey sebagai Aktor Pendatang Baru Terbaik di film "Fadjar di Tengah Kabut" (Usmar Ismail) dalam Pekan Apresiasi Film Indonesia 1967, tak bisa melambungkan keaktorannya. Agaknya, peluang pemain pria tidak selicin artis wanita. Berbeda dengan alm. Suzanna sebagai Aktris Harapan (1960), dari film "Asrama Dara" (Usmar Ismail), yang secepat itu jadi bintang gemilang. Franky Rorimpandey melesat sebagai Sutradara.Terbaik dan membuahkan Film Terbaik ("Perawan Desa") di FFI 1980.
Pelengkap
Lain dengan Enteng Tanamal, Marini, dan Nur ’Afni Oktavia, yang kembali menggeluti profesinya semula sebagai pemusik dan penyanyi pop. Hanya saja Farah Meuthia, yang menghilang bersama kekuatan potensinya. Betapa pun, peringkat harapan tidak harus hilang dari FFI. Terlebih, karena penilaian sistem nominasi diterapkan sejak FFI 1979 di Palembang. Masih terbuka peluang bagi dewan juri, untuk memilih insan film yang memenuhi kriteria "harapan", dengan menjaring lagi pemenang di antara nama yang dinominasikan.
Namun, Alan Suryaningrat dan Nur ’Afni Oktavia (1979), ternyata masih saja nama di luar nominasi. Begitu juga dalam festival film berikutnya. Semasa PWI Jaya Seksi Film menggelar tradisi tahunan, pemilihan The Best Actor & Actress, konsisten menetapkan peringkat pemain harapan. Pada pergelaran pertama (1970), terpilih empat aktor (almarhum); Farouk Affero ("Noda tak Berampun"), W.D. Mochtar ("Kutukan Dewata"), Dicky Zulkarnaen ("Si Pitung"), dan Sandy Suwardi Hassan ("Nyi Ronggeng").
Predikat Aktris Harapan terbagi kepada Suzanna ("Bernapas Dalam Lumpur"), Chitra Dewi ("Nyi Ronggeng"), Widyawati ("Hidup, Cinta, dan Air Mata") dan Mieke Widjaya ("The Big Village"). Di putaran 1971, terjaring nama Rachmat Hidayat, alm. Maruli Sitompul, alm. Soekarno M. Noer dan Rima Melati. Setiap tahun, pemain harapan silih berganti, terkadang berulang dengan perbaikan peringkatnya. Tahun 1972, alm. Sophan Sophiaan berada di urutan keempat ("Perkawinan"), setara dengan Lenny Marlina ("Teror Tengah Malam").
Kejelian dalam memilih pemain harapan, menguat dengan prestasi Rano Karno sebagai Aktor Harapan I ("Rio Anakku" 1973), yang membawahi alm. Purnomo, alm. Kusno Soedjarwadi, dan Slamet Rahardjo ("Cinta Pertama"). Terbukti, Rano mampu bergelar Aktor Terbaik FFI 1990 dari film "Taksi" (Arifien C. Noer). Tak banyak lagi diingat orang, Christine Hakim pun pemboyong enam Piala Citra, berangkat dari prestasi Aktris Harapan II ("Cinta Pertama"), setelah alm. Fify Young dari film "Jembatan Merah" (1973).
Ini bisa dimaknai, predikat "harapan" bukan sekadar gelar pelengkap! FFI 1973 dan 1974 pernah memilih peringkat "terbaik II" bidang film, sutradara, aktor, dan aktrisnya, namun kemudian gelar itu lenyap. Tak jelas, dari jaringan nominasi saja tak pernah lahir pemenang harapan. Bahkan FFI 1980 Semarang memvonis tidak ada aktor terbaik di antara sederet nama yang dinominasikan. Tragis, aktor harapan pun luput.***
Catatan Kelam Dunia Perfilman
CATATAN kelam dunia perfilman nasional dimulai tahun 1977. Tragedi pengeroyokan remaja di Jakarta, 8 September 1977, merenggut nyawa Arry Suprapto, putra pasangan artis almarhum Suzanna dan Dicky Suprapto, yang tengah populer dalam perfilman nasional. Kepergian Arry Suprapto (17) mengusik keharuan insan film nasional, karena reputasi abang kandung penyanyi Kiky Maria itu mengembang bersama sukses film "Tuan Tanah Kedawung" karya Liliek Sujio, "Nafsu Gila" dan "Pulau Cinta" karya Ali Shahab.
Serangan jantung menutup riwayat artis Ratmi B-29, setiba di Makassar untuk shooting film "Direktris Muda" garapan alm. Kusno Soedjarwadi, pada 31 Desember 1977. Tetapi, Suratmi kelahiran Bandung 26 Desember 1932, bukan satu-satunya artis jenaka korban serangan jantung. Penyakit itu juga mengakhiri aksi Jalal (11 November 1980), primadona pelawak "Surya Group" Surabaya, yang bertubuh tinggi besar. Aksen Madura Ayub Abdul Jalal, pelawak kelahiran Mojokerto 12 Februari 1946 itu, yang turut mendukung kejutan sukses Dorris Callebaut di film "Inem Pelayan Sexy" karya alm. Nyak Abbas Akup (1978).
Catatan hitam di balik kejutan duka keartisan, tergores bersama tragedi di Jakarta, 18 Juni 1984. Aktris film Marlia Hardi, ditemukan tewas tergantung di rumahnya, dengan belitan tali plastik. Sungguh di luar dugaan, akhir kehidupan pelakon ibu bijak dan agamis itu, sangat kontroversial dengan banyak peran dalam filmnya. Kekuatan akting almarhumah yang memikat penonton film dan televisi, sejak tampil di film "Untuk Sang Merah Putih" (1950) hingga "Kereta Api Terakhir" (1984) itu, berpuncak tanya dalam kepiluan.
Almarhumah pernah terjaring ke dalam nominasi Aktris Terbaik FFI 1981 Surabaya, atas film "Busana Dalam Mimpi" (Ida Farida). Sukses gemilang karier pimpinan grup sandiwara televisi "Keluarga Marlia Hardi" itu, ternyata berakhir dramatis bagai ending lakon film.
Kedukaan menimpa pula pelawak Gepeng yang berpulang 16 Juni 1988, saat sukses jadi primadona group lawak "Srimulat". Pelawak bernama Aries Freddy yang berpenampilan "kutilang" (kurus, tinggi, langsing) itu, pernah dibintangkan di film "Untung Ada Saya" (1982) karya Liliek Sujio. Judul filmnya menjual dialog khas kejenakaan Gepeng, yang menggelitik tawa.
21 Mei 1977
Antara rencana cerita dan film ...
Direktorat Bina Film Departemen Penetangan baru-baru ini mengadakan suatu sayembara penulisan cerita untuk film. Penyair Taufiq Ismail adalah salah seorang di antara anggota juri bagi sayembara tersebut. Tulisan berikut ini adalah catatan Taufiq dari pengalamannya memeriksa 856 naskah peserta sayembara. Ia membandingkannya juga dengan film-film yang dilihatnya selama jadi juri FFI '77 (TEMPO, 12 Maret 1977). DARI 856 naskah cerita film yang ikut Sayembara Penulisan Cerita Film Indonesia 1977 (diselenggarakan oleh Direktorat Film, Deppen), dinyatakan memenuhi syarat 561 naskah. Tujuh orang juri bekerja selama tiga bulan, dan untuk mencapai lima cerita yang dianggap terbaik, 33 naskah dipilih masuk final. Cerita angka ini mengenai naskah yang 33 buah itulah. Lingkugan Cerita Dari 33 naskah yang masih babak akhir itu, 21 buah bercerita tentang manusia Indonesia di kota (63,6%) dan 12 berkisah tentang orang desa di pedesaan (36,4%). Dilihat dari gerakan pelaku terlihat 4 cerita urbanisasi, dan sebuah dengan ciri gerakan dari kota ke desa. Nampaknya para pengarang ini lebih besar perhatiannya pada desa dibandingkan dengan para pembuat film kita yang ikut Festival Film Indonesia 1977 yang silam. (FFI: kota 81,5%, desa 14,9%). Kelas Masyarakat Empat naskah bercerita mengenai kalangan atas (12,1%), 20 tentang kelas menengah (60,6%) dan 9 mengenai kelas bawah (27,3%). Perlu jadi catatan bahwa dari 4 cerita kelas atas itu 3 mengenai raja-raja zaman dahulu dan 1 mengenai anak pegawai tinggi setingkat di bawah Dirjen zaman ini, yang kaya-raya, punya lima perusahaan (impor-ekspor, angkutan, tekstil, peternakan sapi dan real estate) dan, betul seperti dugaan anda, anak itu ketagihan obat bius. Film-film FFI tahun ini tidak memaparkan kehidupan kelas atas, sangat berorientasi pada kelas menengah (92,6%) dan nyaris luput memotret kehidupan kelas bawah (7,4%). Lambang Kekayaan Pengarang-pengarang ini rupanya tak begitu peduli akan mobil sebagai simbol kemewahan orang kota Indonesia: merek-merek mobil yang disebut paling pol Fiat, Citroen (itupun salah eja lagi: Zitroen), dan misalnya tentang mobil seorang pemilik perkebunan kaya-raya, perinciannya hanyalah "sedan berwarna abu-abu dan baru berumur setahun". Mobil pegawai tinggi yang punya lima perusahaan di atas, dan juga mobil anaknya si korban narkotika yang akan diangkat jadi direktur perusahaan "Cendana Biru" itu pun tidak diberi merek yang tegas. Sineas Indonesia yang mengikutkan filmnya di FFI yang lalu memperlihatkan Mercedes-Benz dan Volvo secara nyinyir pada 18,5% entri festival. SPCFI: 6,06%, atau pada dua cerita.
Dalam soal bermobil-mobil ini pembuat flm kita nyinyir dan berisik, sedangkan para pengarang gagu tapi bersahajanya mencurigakan. Perabot mewah (termasuk perabot ukir) muncul sebagai latar belakang pada 5 cerita, atau 15,2%. Dua dari lima cerita itu berlangsung di keraton zaman dahulu. FFI: 55,5%, dan semuanya perabot ukir Indonesia mutakhir. Sepeda Tokoh-tokoh pada dua cerita (6,06%) pergi ke mana-mana naik sepeda. Semuanya tokoh guru, semuanya di kota kecil. Pak guru SMA kita ini, muda, berpacaran boncengan naik sepeda Pergi menunaikan tugas mengajar, naik sepeda. Gam baran suasana seadanya dan serasi. Yogya kota sepeda itu tidak tertangkap dalam film Kampus Biru. Ada mekanisasi besar-besaran pada kendaraan roda dua ini di kota itu. Sebuah long shot pada Kampus Bn menggambarkan deretan parkir berpuluh-puluh sepeda motor bikinan Jepang itu, dan pada shots lain mahasiswa bersliweran dengan kuda karbon-dioksid itu: barangkali memang dianggap tidak perlu sepeda-sepeda diikutkan dalam gambaran Yogya sebagai suatu suasana. Sepeda dalam FFI 1977: 0%. Gejala Anak Tunggal Lumayan juga banyaknya tokoh anak tunggal yang muncul dalam cerita-cerita sayembara ini, yaitu pada 14 naskah atau sebanyak 42,4%. Namun anglia ini belum menandingi ledakan anak tunggal di FFI sebesar 70,3%, yang memberi kesan kuat bahwa mayoritas keluarga Indonesia cuma bisa beranak satu orang saja. Kembali pada SPCFI lagi, maka tokoh-tokoh yang berasal dari keluarga Melayu yang beranak lebih dari satu terdapat pada 11 cerita (33,4%). Naskah yang ada anak tunggal dan anak lebih dari tunggal ada 4 buah (12,1%), kemudian yang tidak jelas statusnya ada 4 buah pula (12,1%). Klab Malam Klab malam, tempat mandi uap dan rumah pijat muncul dalam alur cerita 3 naskah, berarti besarnya adalah 14,3% dari cerita yang berlangsung di kota. FFI yag lalu: 52,1%. Fantasi pengarang peserta sayembara mengenai klab malam, tempat mandi uap dan rumah pijat, ternyata miskin. Meminjam istilah militer, kuat dugaan kita mereka tidak "mengenal medan". Sineas kita lebih bersahabat dengan tempat-tempat itu.
Kehormatan Apabila 22,2% film peserta FFI 1977 mengisahkan wanita Indonesia yang terdesak hidup ekonominya lantas segera disorongkan pembuat film lewat jalan pintas menjadi penjual kehormatan, maka hal semacam itu pada SPCFI 1977 terdapat sebesar 6,06% (pada dua naskah). Mengherankan sabarnya tokoh-tokoh pimpinan wanita Indonesia zaman ini, yang tidak pernah angkat bicara mengenai penggambaran cucu-cucu Ibu Kita Kartini di seluloid, yang lebih banyak sebagai obyek sahaja - cuma syaraf dan daging, tanpa otak dan tulang itu. Riwayat Nyi Gunawarman (karangan Pamelingan) adalah kutub yang melawan kecenderungan itu. Ini dia cerita yang bisa memuaskan fernale chauvinistis, karena sang Nyi Gunawarman, tokoh wanita zaman dahulu kala ini mengkotak-katikkan lelaki seenaknya. Dia membujuk, memperdaya, menipu lelaki, dari bawahan sampai raja. Nampaknya lelaki bagi Nyi Gunawaman adalah semacam lempung untuk benda keramik. Sedap juga membaca naskah begini, sesudah melihat film yang 22,2o dan cerita yang 6,06% tadi, yang menjadikan wanita Indonesia semata-mata jadi obyek belaka. Hubungan Kelamin Kegiatan menghubung-hubungkan kelamin ini terdapat pada 9 cerita, yaitu yang di luar pernikahan: satu dengan pelacur (11%) dan 8 dengan bukan-pelacur (89%). FFI: 6 berbanding 10 (37,5% berbanding 62,5%). Yang dimaksud dengan bukan pelacur adalah teman, kekasih, dan (dalam satu dongeng rakyat Irian Barat) adik kandung sendiri. Tidak ada penggambaran hubungan kelamin dengan pembantu rumah tangga (dalam FFI ada), atau dengan yang sejenis. Masturbasi ada (satu cerita, 3,03%, sedangkan pada FFI 0%). Tema dan Cerita Untuk memudahkan perbandingan dengan FFI 77, maka penggolongan jenis cerita dari naskah-naskah SPCFI ini disesuaikan dengan jenis film peserta festival itu. Dengan demikian ditemukan drama 51,6%, komedi 9,1%, cerita kejahatan dengan suspense 0%, cerita anak-anak 15,1%, cerita revolusi 15,1% dan cerita rakyat 9,1%. Untuk perbandingan dengan FFI 77, dapat dilihat tabel di halaman ini. Jenis komedi cuma sedikit saja lebih banyak pada naskah cerita film (9,1) dibanding dengan film (7,4%). Dilihat dari segi jumlah, kedua-duanya sedikit sekali. Orang Indonesia suka lelucon dan banyolan, suasana negeri ini pun cukup kocak dari masa ke masa, namun itu tidak terwakili pada kedua peristiwa FFI dan SPCFI ini. Terlampau sedikit kita diberi kesempatan untuk ketawa sejadi-jadinya dan secara lepas: seri kocak Ateng-lskak terlalu jasmaniah, Benyamin garapan Syuman menyorongkan pil pahit ke langit-langit mulut kita.
Wilayah humor yang digarap pengarang peserta SPCFI lumayan pula sempitnya lewat tiga cerita: dongeng kanak-kanak Pak Mujur (nama samaran pengarang Yusi Syamsidar), Akhmad Dikubur Hidup-hidup (nama samaran Akhmad Idris) dan Riwayat Nyi Gunawarman (nama samaran Pamelingan). Yang terakhir ini berkisah tentang kemampuan serang janda zaman baheula mempermain-mainkan para pria dari bintara sampai raja, yang mengukuhkan dia sebagai subyek dan menjadikan lelaki obyek. Humor yang tangkas dan cerdas seperti yang tergambar pada sketsa-sketsa Arwah Setiawan (majalah Astaga mendiang) tidak nampak samasekali, yang secara umum kelihatan ialah pemaparan situasi komedi. Dialog tidak ping-pong. Sayang sekali film Inem Pelayan Sexy (skenario dan sutradara Nya' Abbas Acup) tidak ikut dalam festival yang lalu. Cerita kejahatan dengan suspence tidak ada yang masuk final SPCFI. Cerita anak-anak yang didaktis ada 5 buah (15,1%) dan dua di antaranya bisa juga digolongkan pada cerita bertema penanaman rasa cinta tanah-air, karena berlatar-belakang revolusi kemerdekaan. (FFI: 11,2 %). Kisah revolusi terdapat sebanyak 15,1%, dan dalam festival film yang lalu 0%. (Ada sebuah film yang dalam alur ceritanya ada adegan pertempuran di zaman revolusi, Mustika Ibu, tetapi itu bukan tema utamanya). Yang digarap pengarang-pengarang kita ialah peristiwa gerbong maut yang terkenal di Jawa Timur itu (Tragedi Gerbong Maut, nama samaran Widyakelana), pemberontakan Madiun (Singa Lodaya, samaran Macan Tutul dan Pengorbanan, samaran Suha), kemudian tentang lima pquang yang terdampar di sebuah pulau dan akhirnya mati semua (Lahirlah Kami, nama samaran Saba). Cerita rakyat yang absen di FFI 77, muncul sebanyak 9,1% di SPCFI. Mereka itu: Keluarga Siri (nama samaran pengarang Aldous Clesja), sebuah dongeng rakyat Irian Jaya yang belum dikenal luas di Indonesia. Dua cerita berikutnya dari Jawa Timur, yaitu Jaka Tingkir (nama samaran Chres) dan Sarip Tambak Yasa (nama samaran Brother de Luxe 1350). Yang terakhir ini memenangkan hadiah. Pro Orde Baru, Anti PKI Satu-satunya naskah (3%) yang terjalin erat dengan peristiwa demonstrasi pelajar-pelajar sekolah menengab menentang Orde Lama di tahun 1966, adalah Yang Pernah Jadi Tokoh, karangan (nama samaran) Abu Istighfar. Tempat terjadinya kisah ini ialah Tegal, di sebuah SMA Negeri, dengan tokoh seorang guru muda idealis yang berhasil memenangkan Orde Baru tetapi kalah dalam bercinta. Di FFI tidak ada film yang menggarap tema dengan latar belakang ini.
Para Pemenang Dari lima naskah yang menang itu, tiga buah (60%,) berjenis drama, sebuah diangkat dari cerita rakyat (20%) dan sebuah lagi cerita kanak-kanak (20%). Cerita kanak-kanak ini dapat juga digolongkan pada cerita revolusi, karena jalinan kisahnya erat sekali dengan masa perjuangan kemerdekaan. Tiga cerita mengenai manusia desa berlangsung di pedesaan pula (60%) dan dua cerita selebihnya mengenai manusia kota, terjadi di kota pula (40). Sinansari Ecip memenangkan hadiah pertama, sejuta rupiah, untuk naskahnya Pulang. Ini adalah kisah tentang konflik-konflik di antara gerombolan pencuri ternak di pedalaman Sulawesi Selatan Karakterisasi kuat, penceritaan mengalir lancar dan banyak kejutan-kejutan. Latar belakangnya sebagai wartawan tergambar pada ketelitiannya mengenai nama tempat, jarak, dan warna lokal Ecip, kini dosen publisistik di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, telah berkali-kali memenangkan hadiah penulisan roman Dewan Kesenian lakarta dan hadiah penulisan sebagai wartawan. Tiba-tiba Malam, cerita kedua seharga juta ini ditulis Putu Wijaya. TTM menggambarkan pertikaian adat-istiadat di sebuah desa Bali dan keinginan campur-tangan pihak luar untuk membuat kehidupan desa jadi moderen. Pengembangan watak dan penggarapan peristiwa dijalankan secara rapi oleh Putu sampai klimaksnya. Pada bagian akhir terasa pengendoran stamina. Putu, dramawan-wartawan yang hampir selalu menang pada setiap sayembara novel dan drama DKJ, menguasai benar lingkungannya di Bali. Suasana teduh dan damai di lingkungan biara Katolik tergambar benar dalam Damai, karya Mudjimanto As, seorang pengarang baru yang kerja sehari-harinya di persurat-kabarnya juga. Temanya "damai ada dalam diri kita sendiri".
Cerita juta rupiah ini berkisah tentang jalan hidup seorang muda, 20-an, anak pegawai tinggi yang kaya-raya, ketagihan narkotika, dirawat dan jatuh cinta pada susternya. Pengarang tidak mendalam benar tentang masalah ketergantungan pada obat bius ini. Pengarang tenar cerita anak-anak Djokolelono, bekerja di bidang periklanan, memenangkan hadiah keempat untuk cerita Sarip Tambak Yasa (Rp 300.000). Tokoh "Robin Hool Jawa Timur ini kuat sekali penampilan dan pengembanga wataknya, melalui dialog. Dialog ringkas, tangkas dan sehari-hari. Ada hal yang terletak di luar logika, tapi karena ini dongeng, ya bolehlah. Menentang Matahan adalah cerita anak-anak dengan latar belakang revolusi, berlangsung dari Surabaya menuju ke barat. Susilomurti (dia menerima Rp 200.000) memang penulis cerita anak-anak, di samping juga wartawan. Kisahnya agak sentimentil, tentang seorang anak-anak yang kehilangan orang tua dan penglihatannya selama mengungsi. Dia pandai main biola dan akhirnya jadi musikus kenamaan. Sumbangan Berarti Untuk tahap ini, kelima naskah pemenang SPCFI ini akan jadi sumbangan berarti bagi kurangnya cerita yang baik dalam industri film Indonesia. Terpulang pada produser untuk melayarputihkan cerita-cerita ini. Di samping itu, naskah-naskah yang masuk final pun, bukannya jelek untuk dipilih. Untuk memperkaya khazanah, perlulah SPCFI semacam ini dilakukan setiap tahunnya.
12 Maret 1977
Ketua juri pingsan. orang film marah ketua juri pingsan. orang film marah
ALAT pendingin bioskop Citra tidak sanggup mendinginkan ruangan yang penuh sesak itu. Gumpalan asap rokok mengambang di atas kepala sejumlah besar orang-orang film, yang gelisah menantikan pengumuman dewan juri. Kegelisahan kemudian beralih jadi kedongkolan. Waktu itu Rosihan Anwar, salah seorang anggota dewan juri, mulai membacakan pertimbangan dan pandangan dewan juri terhadap 37 film (27 film cerita, 10 film dokumenter) yang mereka nilai selama setengah bulan bekerja. Teriakan terdengar dari berbagai penjuru gedung.
Mereka yang duduk di depan - menteri penerangan, gubernur serta pejabat tinggi lainnya -- kelihatan asyik menikmati gaya teatral Rosihan dalam menyampaikan pertimbangan dewan juri itu. Dari belakang, kelihatan Ali Sadikin tertawa dan mengangguk-angguk justru pada saat orang film meneriaki kritik dewan juri terhadap film dan pembuat film Indonesia. Setelah membacakan tinjauan juri, Rosihan turun dari panggung untuk memberi kesempatan kepada D. Djajakusuma. Ketua Dewan Juri ini dapat giliran mengumumkan hasil pemilihan juri. Dari kursinya ke panggung, D. Djajakusuma, 57 tahun, Anggota Akademi Jakarta, dan tokoh perfilman senior, diantar oleh teriakan dan ejekan sejumlah suara. Suara itu menggema dalam gedung yang makin penuh sesak oleh kegelisahan. Ketua juri pun mulailah mengumumkan satu pemenang dalam bidang film dokumenter. Tiba-tiba suara Djajakusuma melemah, bagai pita perekam yang kehabisan batu batrei. Bahkan badannya perlahan-lahan doyong ke belakang. Dua artis pengawal piala menyelamatkan Djajakusuma dari jatuh telentang.
Adegan selanjutnya adalah penggotongan ketua dewan juri dari panggung ke mobil yang membawanya ke rumah sakit. "Pak Djaja tidak tahan diejek" komentar Wim Umboh. Tapi dokter di Rumah Sakit Jakarta dengan yakin menyebut kelelahan sebagai penyebab robohnya pak Djaja. "Bukan cuma sekali itu terjadi, saya beberapa kali menyaksikan pak Djaja pingsan selagi bekerja", kata penyair Taufiq Ismail, anggota dewan juri dan teman serumah Djajakusuma. Rosihan tampil kembali. Suasana kembali bergema seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Di Plaza, di ruangan bertenda terpal di kompleks Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, sejumlah makanan lezat menanti hadirin yang baru saja bersama menutup Festival Film Indonesia 1977. "Sampai ketemu di Ujung Pandang, tahun depan", kata Anita Rahman, penyiar televisi yang memimpin upacara malam itu. Suara Anita masih lantang, tapi desau suara orang-orang film yang berbicara - beberapa malah berteriak-menelan suara penyiar cantik itu. Protes sudah bermula di kursi masing-masing dan meledak tatkala semuanya sudah berada di Plaza. Bintang film dan sutradara Ratno Timur -- pemeran terbaik pria tahun silam di FFI Bandung -- dengan penuh emosi mendatangi seorang juri yang sehari-harinya bekerja sebagai wartawan. "Bung, saya ingin belajar bikin film dari wartawan.
Bagaimana, sih, film baik itu? Jangan mentang-mentang wartawan jadi juri lalu ngomong seenaknya di panggung. Taek, ah". Rosihan Anwar malah ditantang oleh nyonya Ratno Timur untuk bikin film, Rosihan tidak menolak. Katanya kepada wartawan TEMPO: "Saya sekarang ini memang lagi cari duit untuk menghidupkan kembali Perfini yang ditinggal mati oleh Usmar Ismail". Kemarahan tidak cuma hinggap pada suarni isteri Ratno Timur. Sebagian besar orang film malam itu betul-betul marah. "Mereka sangat tersinggung oleh pernyataan dewan juri", kata Wim Umboh. Laporan mengenai yang tersinggung, yang marah, yang dongkol Jnaupun yang (ternyata ada juga) senang dikerjakan oleh beberapa wartawan TEMPO yang malam itu berada di kompleks Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Inilah laporan itu: Gani Rachman, produser yang mengikutkan dua filmnya dalam FFI '77 Janji Sarinah dan Dr Firdaus: "Juri kali ini tidak fair. Buktinya? Silakan lihat sendiri film-film yang menang. Apa film-film itu pantas dapat piala? Komentar juri keterlaluan".
Nico Pebmonia, sutradara terbaik FFI '76 di Bandung, tahun ini menyertakan filmnya Tiga Wajah Perempuan: "Saya tahu komentar juri cambuk. Tapi mestinya yang bersifat mendidik, dong. Ini, sih, keterlaluan. Dan film saya, itu betul-betul wajab Indonesia yang saya angkat dari kehidupan gadis pemijat. Saya memang tidak mencari piala, tapi kalau tadi saya menang, tidak akan saya ambil. Bagaimana saya bisa menerima penghargaan setelah sebelumnya saya diejek". Sophan Sophian, (bintang film yang kini jadi sutradara. Isterinya, Widyawati, dalam FFI ini menang sebagai pemeran pendukung terbaik wanita): "Biar saya dianggap kampungan, tapi bagi saya juri-juri iri hati pada orang film yang kini bisa hidup lebih baik dari penghasilan di dunia film kita yang maju. Komentar juri itu memang baik kalau dibacakan di Hyde Park, London. Tapi di sini suasananya lain. Kalau saja ada kebebasan politik, saya akan membikin film tentang kasus Budiaji, Krakatau Steel, atau bahkan mungkin tentang Peristiwa 15 Januari. Juri mestinya konsekwen, kalau tidak ada film Indonesia yang baik, tidak usah bagi-bagi piala. Isteri saya tadinya saya larang menerimanya, tapi Widya merasa tidak enak, ditambah lagi pak Djaja pingsan. Apa boleh buat, deh". Yudi Astono Cahaya, pedagang kayu dan produser yang menyertakan sebuah filmnya, Cinta Rahasia? dalam FFI ini: "Kita terima apa yang diumumkan dewan juri, tapi saya tidak dapat membenarkan cara pembeberan yang amat terbuka. Saya tahu juri itu orang-orang pintar.
Tapi orang-orang pintar, kok tega ngomong begitu di depan umum. Saya harap saja salah satu di antara mereka membikin film nanti, biar tahu sulitnya keadaan di lapangan. Ah? tidaklah sama mereka semua". Drs. H Amura, (panitia FFI): "Keputusan juri kali ini mengerikan. Tapi di sana tidak tercium bau sabun sama sekali". Deddy Sutomo, (bintang film? bekas anggota grup teater Rendra di awal tahun enam puluhan. Tahun ini membintangi dua film yang ikut FFI Musrika Ibu dan Embun Pagi): "Saya senang dengan hasil juri. Kalau memang tidak ada film baik? tidak usah diberikan hadiah. Komentar juri yang keras? Saya juga senang. Juri memperlihatkan mereka punya sikap". Drs. Hood Idris, (produser film seri-seri Benyamin yang juga importir film-film India): "Keputusan uri itu tepat sekali. Ini cambuk yang baik. Saya akui film kita memang tidak ada yang bermutu, termasuk film saya sendiri". H. Turmo Djunaedi, (Ketua yayasan FFI, produser, tapi tidak menyertakan filmnya dalam FFI '77 ini): "Keputusan untuk tidak memilih film terbaik terlalu pagi. Saya bukan tidak setuju, tapi nanti setelah FFI selesai berlangsung di enam kota yang telah kita tentukan. Tentang pandangan dewan juri, saya kira tidak pada tempatnya dibacakan di sini. Itu sama saja dengan memaki didepan hadirin anak-anak kita yang sedang kita kawinkan". Wim Umboh, sutradara dan produser yang selalu menang sebagai editor terbaikl: "Ada beberapa juri yang melihat film Indonesia dengan mata sebelah. Sangat tidak bersahabat dengan film kita. Saya tidak akan ikut FFI lagi jika orang semacam itu masih duduk sebagai juri pada masa-masa mendatang. Orang semacam itu sama sekali tidak mengikuti jatuh bangunnya perfilman kita yang masih dalam tarap perkembangan. Bagi saya, pertimbangan dewan juri yang keras itu tidak apa-apa. Cuma saya khawatir tahun depan makin kurang saja yang ikut FFI". Benyamin S, (pemeran utama terbaik FFI 1973 dan FFI sekarang): "Cambukan juri itu baik, tapi tempatnya tidak tepat. Cambuklah kami di kamar, jangan di tempat umum. Film-film yang saya bikin sendiri memang tidak saya ikutkan FFI. Terus terang saja, dari film-film itu saya cuma cari uang. Tapi mulai sekarang saya akan lebih hati-hati dan akan meningkatkan diri". Drs. Sjuman Djaja (sutradara dan penulis skenario yang tahun ini memenangkan dua piala citra): "Saya tidak tersinggung oleh pertimbangan dewan juri itu. Itu kan masalah kata-kata saja. Tapi keras macam apapun, saya anggap tetap baik. Dan yang marah-marah itu 'kan mereka yang bikin film jelek. Film saya 'kan menang". Soemardjono, (Sekjen Majlis Musyawarah Perfilman Indonesia): "Saya senang dengan keputusan dewan juri. Saya tidak berkeberatan mereka mengemukakan latar belakang penilaiannya. Curna kalau pendirian itu tidak disetujui masyarakat film, harus diadakan forum terbuka untuk membicarakan hal tersebut. Ialau juri tidak hisa mempertanggungjawabkan penilaiannya, maka keputusan mereka harus dicabut. Kalau tidak, kita akan jatuh pada sinisme yang justru akan mengakibatkan pessimisme".
21 Mei 1983
Mengenal film kita mengenal wajah..
SETELAH menonton 27 film cerita, Dewan Juri Festival Film Indonesia 1977 sampai pada kesimpulan: " . . . film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produsen film kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijakkan kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal." Bagai disengat lebah, kalangan film memberikan reaksi di luar kebiasaan mereka yang suka basa-basi. Yang tidak terkejut nampaknya kalangan pengamat perfilman yang sejak lama sudah menyuarakan hal yang sama. Demikianlah Salim Said membuka telaahnya dalam Profil Dunia Film Indonesia, sebuah buku 152 halaman yang diterbitkan PT Grafiti Pers akhir 1982. Disiapkan untuk penerbitan tahun 1979, karya it4 sendiri berasal dari skripsi sarjana FIS-UI dua tahun sebelum itu. Namun apa yang dikemukakannya tetap saja relevan dengan situasi sekarang: Salim, redaktur film TEMPO sejak didirikannya majalah ini sampai saat ia pergi belajar Ilmu Politik ke Ohio State University, AS, selepas ia lulus UI, hakikatnya berusaha menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai kehidupan perfilman Indonesia. Dan bukan sekadar mencatat peristiwa aktual. Di awal tahun tujuh puluhan, tulis Salim lebih lanjut, Rosihan Anwar sudah dengan kesal melontarkan pertanyaan: "Mengapa film Indonesia mesti memperlihatkan hal itu ke itu juga: rumah mewah, Mercedes Benz, pemuda ngebut dengan sepeda motor Honda, night club?" Arief Budiman juga bertanya mengenai "adegan-adegan erotis" yang "hampir terdapat pada semua film Indonesia". Jawaban nampaknya harus diperoleh dari H. Asrul Sani, sastrawan yang jadi penulis skenario dan sutradara film. Asrul menjelaskan: "Cerita-cerita film kita pada umumnya sekarang bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari finansir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur yang menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi orang tidak bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi dari kehadiran dari sekian persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman." Bahkan sutradara Wim Umboh menyatakan, "sebagian besar cerita film Indonesia dikarang oleh produsernya sendiri."
Dari pengalamannya sebagai sutradara maupun produser, Wim dengan tidak ragu-ragu menyebut film impor sebagai sumber ilham. Akibat dari yang dijelaskan Wim itu bisa disaksikan di layar putih: rumah mewah dengan pelayan yang minim, anak tunggal yang jatuh cinta juga kepada anak tunggal, cara berpakaian yang sulit ditemukan padanannya dalam hidup sehari-hari di negeri yang pendapatan per kapitanya kurang dari US$300. Mengenai gejala anak tunggal itu, menarik untuk mengikuti catatan Taufiq Ismail, salah seorang anggota Dewan Juri FFI 1977. Taufiq menemukan 70,3% peserta festival mengemukakan kisah anak tunggal yang memberi kesan kuat bahwa mayoritas keluarga Indonesia cuma beranak satu orang saja. Juga, 81,5% film peserta itu bermain di kota. Tentu saja angka yang tinggi ini harus dihubungkan dengan kenyataan bahwa menggambarkan kemewahan lebih mungkin dengan menggunakan kota sebagai latar belakang. Dari 27 film cerita, 55,5% menonjolkan perabot ukir mewah buatan mutakhir. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa ciri-ciri tersebut tidak lahir begitu saja, melainkan lewat proses yang panjang. Dari tulisan pada majalah lama di Museum Pusat Jakarta, bisa diketahui bahwa usaha pertama pembuatan film cerita di Hindia Belanda dilakukan pada tahun 1926. Pelopornya adalah dua orang kulit putih, Heuveldorp dan Kruger. Dengan membentuk perusahaan yang bernama Java Film Company di Bandung, kedua orang itu berhasil membuat film pertama mereka, Loetoeng Kasaroeng. Heuveldorp tidak meninggalkan jejak. Dia maupun Kruger kekurangan modal. Dan, di tangan orang Tionghoalah akhirnya film mendapatkan bentuknya sebagai usaha dagang. Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail memulai suatu tradisi yang sama sekali baru untuk dunia perfilman di Indonesia. Usmar membuat film dari cerita-cerita yang digalinya dari kenyataan hidup di sekelilingnya. Makawajah Indonesia memang bisa terlihat lewat film-film Usmar dan kawan-kawannya yang bergabung dalam Perusahaan Film Nasional (Perfini) itu. Tapi Usmar Ismail tidak bertahan lama.
Akibat kekurangan modal, sikap masyarakat yang belum siap menerima kenyataan tentang dirinya digambarkan lewat layar putih, dan sensur yang terlalu ketat, Usmar terpaksa berkompromi. Dan usaha membuat film Indonesia dengan menampilkan wajah Indonesia boleh dikatakan gagal. Kebiasaan lama yang dimulai para produser Tionghoa yang sebenarnya juga tidak mati ketika Usmar bergiat -- kemudian merajai kembali dunia perfilman. Percobaan menembus cara kerja produser Tionghoa itu memang ada dilakukan, lewat Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) di akhir tahun enam puluhan. Tapi dengan alasan pemborosan, pemerintah -- yang mulanya mendukung badan tersebut -- setelah terus-menerus didesak para produser film, akhirnya membubarkan DPFN. Pola dagang yang dimulai orang Tionghoa itu bisa ditemukan akarnya di Hollywood, sedang pola yang dipelopori Usmar Ismail telah mendapat bentuknya dengan jelas pada Neo Realisme Italia, yang lahir sebagai reaksi terhadap Hollywood. Dalam literatur film, Neo Realisme Italia dikenal sebagai Movement sedang produksi Hollywood digolongkan sebagai Genre. Genre mendapatkan bentuknya yang jelas pada tahun 1918, ketika studio-studio Hollywood -- berkat pengalaman bertahun-tahun serta "panen" akibat hancurnya industri film Eropa -- melakukan usaha standarisasi. Saat itulah lahir formula pictures, istilah yang kemudian dikenal di Indonesia sebagai 'ramuan' atau "resep" untuk bikin film laku. Menjadi jelas kiranya bahwa masalah yang dihadapi film Indonesia sesungguhnya masalah yang cukup mendasar. Ia menyangkut nilai-nilai dan kebiasaan yang telah melembaga, lewat sejarahnya yang relatif panjang. Sialnya, setelah kemerdekaan diperoleh, subkultur seperti itu tetap hidup. Malah makin berkembang: selain oleh para pengusaha nonpribumi -- yang hingga kini tetap menguasai bisnis film di Indonesia juga berkat kepeloporan Almarhum Haji Djamaluddin Malik. Tokoh ini mendirikan perusahaan film, NV Persari, 1951, dengan menggunakan Hollywood sebagai contoh. Ciri Hollywood yang paling menyolok, diketahui, adalah membuat film sesuai dengan selera penonton. Dan karena selera penonton sebenarnya tidak bisa diketahui dengan pasti, hanya mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan orang-orang kelas bawah, maka film Indonesia yang dibuat produser-produser ini pun film bermutu rendah.
Yang penting bukan kualitas, tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul per tahun, tanpa pernah bersibuk dengan mutu. Tentang kecenderungan peniruan terhadap film asing, bisa dikatakan bahwa dari zaman sebelum perang film kita sebagian besar memang tiruan film impor. Ketika menjelang jatuhnya Hindia Belanda di sini diputar film Tarzan, produser film masa itu pun membuat film Tarzan Indonesia yang bernama Alang-alang Film Tengkorak Hidup dan Kedok Ketawa tidak lebih dari tiruan filmfilm Drakula yang beredar di Indonesia sebelum )epang mendarat. Bahkan pembuatan film Terang Boelan pada 1937 tidak bisa dipisahkan dari film Jungle Princess yang beredar di Indonesia masa itu. Akan halnya film buatan tahun lima puluhan hingga kini, soalnya juga tidak banyak berubah. Di studio Persari dahulu, Djamaluddin Malik tidak segan-segan mengundang sutradara India membuat kembali film yang pernah dibuatnya di India. Itulah riwayat kelahiran film Djandjiku, yang antara lain dibintangi Almarhum Abdul Hadi. Peniruan yang dilakukan di tahun tujuh puluhan sekarang ini kadang-kadang memang lebih halus -- sebagai yang dilakukan Wim Umboh lewat Pengantin Remaja, yang sebenarnya cuma merupakan saduran kreatif Love Story. Tapi peniruan yang kasar bukan tidak ada. Kebanyakan dilakukan terhadap film Mandarin, buatan Hongkong maupun Taiwan. Menarik untuk diketahui bahwa dari sebuah film Mandarin bisa lahir dua film Indonesia. Kasus ini menyangkut film Ilusia (sutradara: A. Karim) dan Biarkan Aku Pergi (sutradara: Wim Umboh). Juga film Rahasia Gadis (sutradara: B. Kadaryono) dan Surat Undangan (sutradara: Ishak Iskandar) amat dicurigai bersumber pada film Mandarin yang sama. Bisa dipahami, karena film dianggap semata-mata barang dagangan, yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal.
Sutradara -- yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan -- di sini harus tunduk. Sialnya, kecuali untuk beberapa sutradara, kedudukan lemah semacam itu tidak banyak dipersoalkan. Ini disebabkan oleh pengalaman kerja sutradara-sutradara tersebut yang umumnya sudah terbiasa dengan kedudukan tidak menentukan itu -- sebelum jadi sutradara. Dan keadaan tentu akan lebih buruk jika pemilik modal adalah mereka yang datang atau berasal dari cabang bisnis lain: tekstil, perkayuan, perhotelan, dan sebagainya. Tidak jarang pemilik modal jenis ini memaksakan karakter dagang kayu atau tekstil ke dalam kegiatan pembuatan film. Syahdan Heuveldorp dan Kruger, yang tercatat pertama kali membuat film (Loetoeng Kasaroeng) tahun 1926 di Bandung, lewat perusahaan mereka Java Film Company kemudian juga membuat film Euis Ayih di awal 1927. Mengenai kedua film tersebut, seorang wartawan yang menggunakan nama samaran Bandoenger menulis: Pembikinan permoela'an ini bisa dianggap ada djaoe dari sampoerna, bilah dibandingken dengen prodocties fabriek-fabriek Amerika dan Europa. Tetapi kaloe orang taoe, dengen kasoesahan begimana itoe kongsi film, soedah moesti bekerdja, jaitoe dengen kapitaal yang sanget diwatesin dan personeel yang tidak terbajar, ketabahan tida poenja decors dan studio yang tetap, inilah orang aken maloemken .... Tjoemalah bisa dipoedji ia poenja pekerdja'an techniek, jang bisa dianggep tida lebi bawah dari films loear negri. Ini adalah cerita tentang bagaimana film-film "kuno" itu dibuat. Setelah kedua film tadi, tidak ada lagi cerita mengenai usaha Heuveldorp bersama Kruger. Meskipun percobaan mereka tidak mengecewakan, di pasaran nampaknya mereka tidak berhasil. Sementara itu orang-orang Tionghoa, menurut Bandoenger, waktu itu sudah menguasai 85 persen bioskop di Hindia Belanda. Dan muncullah T.D. Tio Jr., dari rombongan Miss Ribut's Orion yang kini maju dan kaya. Tio ingin bikin film dengan Miss Ribut sebagai primadona. Maka didatangkanlah tiga bersaudara Wong dengan segala peralatannya, dari Syanghai. Sejarah kemudian tidak mencatat Miss Ribut sebagai bintang film.
Kabarnya lantaran hasil tes kamera atas diri bintang panggung ini tidak memuaskan suaminya. Wong bersaudara yang sudah telanjur datang itu akhirnya mendapatkan modal kerja dari David Wong Tionghoa peranakan dari Batavia yang waktu itu menjabat sebagai manajer umum General Motor. Kerja sama Wong totok dan Wong peranakan ini ditubuhkan pada 1928 dalam sebuah perusahaan yang bernama Halimoen Film. Satu-satunya produksi perusahaan ini adalah film Lily van Java yang sering juga disebut Melatie van Java. Mengenai film ini, H. Misbach Jusa Biran, penulis skenario dan kepala Sinematek Indonesia, ada menulis: Pemainnya orang intelek, mahasiswi Tjina peranakan, Lily Oey. Memang hebat waktu itu ada wanita Tionghoa bisa sampai tingkat perguruan tinggi, djuga kiranja akan mengedjutkan bahwa ada mahasiswi mau main film. Djalan tjerita hanja ala kadarnja sadja. Jang banjak diperhatikan hanja permainan tennis, mainan orang intelek ..... Menurut Armijn Pane, Lili Oey bukan orang Tionghoa kelahiran Indonesia pertama yang main film. Sebelumnya di Syanghai ada pula Tionghoa peranakan dari negeri ini yang main film. Armijn Pane menyebut film Syanghai Naik Djadi Dewa sebagai antara lain dibintangi oleh "Tionghoa asal Djakarta". Bermainnya Tionghoa peranakan Indonesia di Syanghai itu dimungkinkan oleh kenyataan bahwa pasaran film Syanghai di Indonesia amat kuat. Dan karena keuntungan itulah kemudian orang-orang Tionghoa di Batavia bertekad membuat film sendiri. Penonton potensial yang mereka gambarkan adalah orang Tionghoa. Karena itulah film yang mereka buat berkisar di sekitar orang Tionghoa, dengan teks Tionghoa di samping teks Melayu. Pemainnya juga diambil dari kalangan Tionghoa. Menggunakan pemain Tionghoa kemudian juga terlihat lagi dalam film Si Tjonat. Tontonan ini merupakan produksi pertama Batavia Motion Picture Company. Si Tjonat adalah cerita populer masa itu, baik di kalangan peranakan Tionghoa maupun pribumi, dan telah dimainkan beberapa rombongan sandiwara. Dalam salah satu penerbitan majalah Panorama, K.T.H. (Kwei Tek Hwei) ada memperkatakannya sedikit: Itoe tjerita tjoemah meloekisken saorang Boemipoetra jang sadari ketjil ada amat nakal, dan sasoedah boenoeh mati kawannja aken dirampas kerbonja jang lantes didjoeal, kamoedian melarikan diri dari kampoengnya ka Batavia, laloe bekerdja djadi djongos pada saorang Blanda, lantes eret barang itoe Blanda poenja njaie, kamoedian djadi kepala rampok, dan achirnja menaro tjinta pada satoe gadis Tionghoa jang tinggal di desa, anak dari saorang tani jang idoep dari piara babi dan mengebon sajoer, dan koetika itoe gadis tiada ladenin permintaannja, ia lantes bawa lari, tapi blakangan itoe gadis, nama Lie Couw Nio, ditoeloeng oleh toenangannja, Thio Sing Sang, jang oendjoek kagagahan di hadepan itoe kawanan pendjahat.
Film yang memperlihatkan kegagahan pemuda Tionghoa mengalahkan penduduk pribumi ini ternyata berhasil di pasaran. Sukses besar itu menurut K.T.H. bukan lantaran kebagusan jalan ceritanya melainkan oleh adegan perkelahiannya serta lelucon yang ditampilkan. Tahun 1928 Halimoen Film memunculkan Rampok Prianger. Film yang dibuat dengan resep Si Tjonat yang sukses, ternyata berakhir dengan kegagalan. Wong bersaudara memerlukan waktu dua tahun untuk bangkit kembali. Tapi komedi yang mereka bikin mengenai keadaan malaise di tahun 1930, Lari ka Arab, ternyata juga tidak menghasilkan uang. Kruger yang dulu memelopori percobaan membuat film, di tahun 1929 muncul kembali dengan perusahaan miliknya sendiri, Kruger Film Bedrijf. Tapi baik filmnya yang berjudul Atma de Visser (1929) maupun Amat Tangkap Kodok (1930) tidak menghasilkan uang. H. Misbach Jusa Biran menilai kegagalan Kruger ini sebagai akibat ketidakpekaan orang Jerman tersebut terhadap selera publik waktu itu. Filmnya yang terakhir kabarnya malahan menimbulkan kedongkolan publik pribumi, lantaran mereka digambarkan hanya sebagai tukang tangkap kodok. Di tahun 1929 tiga perusahaan baru muncul. Tapi yang terpenting adalah Tan's Film, yang pada zaman film bersuara nanti masih akan terus membuat film. Nansing Film Corp. yang juga berdiri di tahun 1929, cuma berhasil membuat sebuah film, Resia Boroboedoer, untuk kemudian bangkrut. Ini lantaran biaya yang terlalu banyak untuk mendapatkan seorang artis Syanghai, Olive Young. Honorarium cewek asing itu sampai f 10.000.00. Produksi pertama Tan's Film adalah cerita populer Njai Dasima. Penulis kritik K.T.H. menilai film itu cukup baik, meskipun "kaloe dipandang dengan katja mata kunst atawa menoeroet tjaranja satoe connoisseur, tjatjatnja memang ada banjak sekali." Njai Dasima itu ternyata laku, sehingga segera dibikin dua sambungannya, Njai Dasima II (1930) dan Pembalasan Nancy (1930). Sambungan ini pun mendapat sambutan baik. Tan's Film juga menarik perhatian lantaran usahanya menggunakan orang-orang Indonesia sebagai pemain. Beberapa peranan kurang penting di film-film terdahulu dari perusahaan lain memang telah menggunakan orang Indonesia, tapi baru. Tan's Film yang mencantumkan pada iklan Njai Dasima kalimat ini: Semoea Rol-rol Dipegang oleh Bangsa Indonesia Sendiri. H. Misbach Jusa Biran cenderung menilai penempatan kalimat tersebut sebagai hasil pengaruh Almarhum Andjar Asmara.
Sebab Andjar banyak sekali menulis mengenai Tan's Film, dan salah seorang pemain Njai Dasima adalah anggota Pandangsche Opera, rombongan yang di dalamnya Andjar Asmara juga pernah jadi anggota. Bisa diduga, diproduksinya Melatie van Agam oleh Tan's Film berdasar cerita percintaan karya wartawan terkenal Parada Harahap, juga atas anjuran Andjar Asmara. Lokasi film ini adalah Sumatera Barat. Dan pengeluaran Tan's Film ternyata tidak sia-sia: film ini pun menghasilkan uang. Majalah panorama malah menilai Melatie van Agam sebagai hasil terbaik Tan's Film hingga saat itu. Tahun 1931 merupakan tahun penting dalam sejarah film di Indonesia: pertama kalinya film bersuara dibikin di negeri ini. Usia film bisu sendiri di Indonesia terlalu singkat, sehingga tidak terlalu banyak hal bisa diperkatakan. Hanya saja penghasil film bisu terbanyak, dan sekaligus yang akan terus berproduksi di masa-masa mendatang, adalah perusahan milik Tan Koen Yauw itu. Bahwa hanya Tan Koen Yauw satu-satunya pemilik modal yang memasuki lapangan film, barangkali bisa dijelaskan begini: prospek pembikinan film bisu masa itu belum jelas, sebab film Hollywood yang juga bisu merupakan tontonan yang sulit dilawan. Perhatian berkurang terhadap film asing baru mulai ketika film asing itu sudah berbicara, yakni 1930. Ini tak sulit dimengerti: bahasa asing tak dimengerti penonton di sini, sementara pembuatan teks masih belum bisa dilakukan. Pada saat yang sama, kedudukan sandiwara atau tonil masih amat menarik perhatian penonton pribumi kala itu. Maka yang terutama nonton film hanyalah keturunan Tionghoa. Itulah sebabnya film bisu yang paling menarik adalah yang menggunakan cerita Tionghoa. Menarik untuk diketahui usaha seorang Inggris, Carli, membuat film mengenai kaum Indo Belanda dengan juga mempergunakan pemain Indo. Usaha itu gagal. Orang-orang Indo masa itu ternyata lebih suka menonton film impor. The Teng Choen, putra pedagang hasil bumi The Kim le, adalah peranakan Tionghoa kelahiran Betawi. Sembari belajar ilmu dagang di New York, The Teng Choen juga ikut sebuah kursus penulisan skenario. Akibat depresi yang melanda dunia, pendidikan Teng Choen tidak berlanjut. Tapi ia tidak pulang ke Batavia. Berkelana beberapa bulan di Eropa, akhirnya memutuskan ke Syanghai, pusat pembuatan film Mandarin masa itu. Ia berhasil membujuk ayahnya untuk mengalihkan pekerjaannya dari eksportir hasil bumi menjadi importir film Mandarin. Tahun 1930, Teng Choen kembali ke Batavia. Dengan mulainya film bersuara, pasaran film Mandarin yang tadinya bisu kini menjadi sulit. Tidak semua keturunan Tionghoa di Indonesia paham bahasa leluhur mereka.
Dan Teng Choen yang tahu kedudukan potensil kelompok tersebut tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan kamera sederhana yang dibawanya dari Syanghai, ia memutuskan membuat film bersuara dengan cerita Tionghoa yang berlatar belakang alam Indonesia. Dari perusahaannya yang bernama Cino Motion Pictures, Teng Choen menghasilkan film-film Sam Pek Eng Tay (1931), Pat Bie Fo (1932), Pat Kiam Hiap (1933), Ouw Phe Tjoa (1934). Tahun 1935, nama perusahaannya yang makin besar itu berubah menjadi The Java Industrial Film Co. (JIF). Tapi produksinya masih tetap cerita Tionghoa: Lima Siloeman Tikoes (1935), See Yoe Ang Hai Djie (1935), Ouw Phe Tjoa II (1936), dan Hong Lian (1937). Di tahun-tahun pertama dibuatnya film bersuara di Hindia Belanda, perusahaan-perusahaan milik orang kulit putih, yang memelopori pembuatan film bisu, ada mencoba melanjutkan usaha mereka yang gagal. Tapi film Indo seperti Karina's Zelfopoffering (1932) buatan Carli sama sekali tidak menghasilkan uang. Terpaksa Menikah (1932) buatan Kruger malahan terpaksa dijual sebelum selesai. Sedang Tjok Speelt voor de Film (1932) buatan Halimoen Film cuma memancing kemarahan orang-orang Indo yang merasa diperolok-olokkan. Lalu perusahaan baru milik orang Belanda, Java Pacific Film (Bandung) dengan Albert Balink dan Mannus Franken sebagai tokohnya, mempekerjakan Wong bersaudara dalam pembuatan film antropologis yang bernama Pareh (1934). Secara teknis film itu cukup bermutu. Tapi juga tidak menghasilkan uang. Penonton di Hindia Belanda tidak suka film yang menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang masih kuno. Hanya saja, film Pareh secara teknis meyakinkan para pembuatnya mengenai kemampuan mereka membuat film bersuara. Sebagai film antropologis, Pareh tentu saja menonjolkan alam Indonesia yang indah dan eksotis di mata orang Barat. Teknik sudah baik, pemandangan sudah indah, kurang apalagi? Kebetulan tahun 1936 itu beredar Dorothy Lamour, The Jungle Princess. Film ini bermain di tempat indah, Hawaii, yang dibikin lebih eksotis. Balink dan Wong serta wartawan terkemuka masa itu, Saeroen, kepala bagian pers Indonesia Kantor Berita Belanda, ada berbincang-bincang untuk membuat film macam yang dibintangi Dorothy Lamour itu. Pemandangan indah eksotis sudah ada di Indonesia, dan pemain ganteng sudah ditemui, yakni Raden Mochtar. Tinggal merangkai cerita. Dengan menggunakan resep-resep yang disadap dari The Jungle Princess itu. Saeroen menulis cerita untuk film Terang Boelan. Sebagai anti musik Hawaiian, dipergunakan lagu-lagu keroncong yang ketika itu amat digemari. Supaya lebih asyik lagi. Ditarik saja penyanyi terkenal masa itu, Nyi Roekiah, mendampingi Raden Mochtar. Tentu saja Roekiah harus pula menyanyi. Bersama Roekiah, ikut pula suaminya, pemusik terkenal, Kartolo. Hatta, untuk pembuatan film ini di tahun 1936 didirikanlah perusahaan baru. Algemeene Ned. Indie Film Synd. (ANIF).
Maka tahun 1937 awal, Terang Boelan siap beredar. Pada selebaran bioskop Orion yang mempertunjukkan film tersebut, cerita singkat "Film Indonesia yang pertama kali keluaran ANIF dengan pakai 100 persen bahasa Indonesia" itu tercetak seperti ini: Tjerita ini terjadinja ialah di poelau "Sawoba" di Indische Archipel, jang boeat kebagoesan dan keindahannja soenggoeh ta' kalah dengan poelau "Hawai" jang soedah terkenal. Dari sebab itoe kebanjakan orang membilang poelau Sawoba itoe ialah poelau Hawaii dari Hindia Belanda (dan seterusnya). Sawoba sendiri ternyata singkatan dari: Saeroen, Wong, dan Balink. Sukses besar dinikmati Terang Boelan: penonton sandiwara dan tonil yang tidak pernah secara serempak jadi penonton film, kini berduyun-duyun datang ke gedung bioskop. Impian para pembuat film untuk menarik sebanjak mungkin penonton, bukan cuma kalangan Tionghoa, nampaknya berhasil. Lantas saja resep Terang Boelan, sadapan The Jungle Princes itu, jadi mode. Dari sukses film itu juga para produser Indonesia menarik pelajaran mengenai film yang disukai masyarakat. Resepnya kira-kira ini: pemandangan yang indah-indah lagu-lagu merdu perkelahian yang seru penderitaan sang tokoh sebelum akhirnya menang pemain utama harus rupawan, kalau bisa orang terkenal di masyarakat, sebagai penyanyi atau apa saja. Dan karena orang tonil sudah punya nama, dan bisa pula bermain, maka disedot sajalah mereka ke dalam berbagai studio film. Itulah riwayat hijrahnya orang panggung ke dunia film, seperti Andjar Asmara, Nyoo Cheong Seng dan istrinya, Fify Young, Tan Tjeng Bok. Keadaan ini kemudian mengakibatkan dunia pentas kita masa itu dilanda krisis. Sukses Terang Boelan itu pun bukan cuma mengubah corak cerita film di Hindia Belanda, tapi juga mengundang para pemilik modal. Lagipula ada perkembangan penting: kekacauan yang melanda Cina, akibat serbuan Jepang ke Manchuria. Keadaan ini menimbulkan ketakutan para pemilik modal perfilman di Syanghai. Perlu cari daerah usaha baru. Maka ke Batavia, dari Syanghai, bukan cuma modal yang datang. Tapi juga peralatan dan tenaga ahli. Semua itulah yang menjadi sebab bertambahnya dengan pesat jumlah perusahaan film di Batavia menjelang datangnya bala tentara Jepang.
Dalam pada itu makin besarnya penonton pribumi dan orang sandiwara yang memadati dunia film, memberi karakter tersendiri terhadap film sebelum perang. Resep Terang Boelan yang diperoleh dulu masih tetap dipegang sarinya, tapi variasinya makin lama makin dekat kembali kepada sandiwara. Pengaruh sandiwara terlihat baik pada struktur cerita maupun pada cara bermain. Malah masa itu dengan cepat menjadi "sandiwara yang difilmkan". Ini bisa terasa lewat cerita tiruan Zorro macam Srigala Item atau Singa Laoet, atau cuplikan 1001 Malam macam Koeda Sembrani, Aladin, atau Djoela Djoeli Bintang Toedjoe. Lalu datanglah Jepang. Kemudian Proklamasi. Pengakuan Kedaulatan, Desember 1949, kemudian membawa orang-orang Republik dari Yogya kembali ke Jakarta. Di tahun 1950, untuk pertama kalinya, orang "pribumi" memberanikan diri mendirikan perusahaan film sendiri. Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini), sedang Djamaluddin setahun kemudian mendirikan Perseroan Artis Indonesia (Persari). Pada tahun yang sama, Dr. Huyung muncul pula sebagai pendiri perusahaan film yang bernama Kino Drama Atelier, sedang Perusahaan Film Negara ada pula terlibat dalam pembuatan film cerita. Tapi dari 13 perusahaan film yang berproduksi pada 1950, sebagian terbesar milik orang Tionghoa juga. Dan cara kerja mereka ternyata sama saja dengan cara sebelum Perang. Film-film berbau "tempo dulu" itu begitu hebat efeknya kepada masyarakat, sehingga usaha-usaha Perfini dan Kino Drama Atelier yang idealis itu, yang jumlah produksinya memang tidak besar, nyaris tidak mendapat perhatian. Djamal dengan mudah mendapat modal untuk membangun studio Persari, ketika Usmar Ismail dari Perfini masih harus antre mengerjakan filmnya di studio PFN. Bahkan ketika masih belum mempunyai perlengkapan studio yang memadai, dari pada antre lama di PFN, Djamal memilih Manila sebagai tempat mengerjakan film. Hubungannya dengan Manila di awal tahun lima puluhan itulah yang kemudian membuka mata Djamal kepada industri film, sehingga studionya yang kemudian dibangun secara besar-besaran di Polonia, dibangun berdasarkan pola Manila yang sebenarnya cuma merupakan tiruan kecil studio MGM di Hollywood. Ke Manila Djamal bukan cuma memproses film, tapi juga mengirim sejumlah karyawan Persari untuk belajar.
Sebagai pedagang yang juga sibuk di bidang perdagangan lainnya antara lain memiliki perusahaan dagang alat-alat listrik -- kemudian sibuk pula di pimpinan Partai Nahdatul Ulama (NU), kesempatan amat terbatas bagi "Big Boss" ini untuk terlalu banyak campur tangan pada film yang dibuat Persari, Dan karena yang berkuasa di Persari masa itu orang-orang bekas sandiwara, tidak mengherankan jika film Persari hampir semuanya berbau sandiwara dan amat dekat pada film produser Tionghoa. Bahkan orang-orang yang pernah bekerja di Persari bisa mengisahkan betapa Djamaluddin Malik tidak segan-segan menganjurkan peniruan terhadap film Tionghoa, jika memang dikehendaki penonton. Dan ketika film India sudah amat merajai bioskop Indonesia dan mendesak produksi dalam negeri, Djamaluddin sekalian mendatangkan sutradara dan sejumlah teknisi India untuk bikin film di Persari. Kata Djamal: "Kalau penonton mau yang India, kita kasih India, sampai mereka bosan." Djamal bukan tidak mau membuat film bermutu, terbukti dengan usahanya menyekolahkan tenaga-tenaga Persari ke luar negeri. Cuma lantaran tenaga-tenaga yang disekolahkan itu telah telanjur besar di dunia sandiwara keliling, sudah sulit bagi mereka bersikap dan berbuat lain dari yang lazim mereka lakukan. Keinginan membuat film baik itu bisa dilihat pada usaha Djamal mempekerjakan Asrul Sani di Persari, sejak 1954. Tapi Asrul Sani yang berada di lingkungan bekas-bekas anak sandiwara itu akhirnya juga tidak bisa berbuat banyak. Tapi kepeloporan Djamal dalam bidang industri (memiliki studio terbesar dengan peralatan lengkap) dan produksi (tahun 1952 dan 1953 menghasilkan film-film berwarna Rodrigo de Villa, Tabu, dan Lelani) masih belum juga memuaskan hatinya. Di tahun 1954, ia ingin membuat film yang betul-betul bermutu. Asrul menulis cerita dan skenario Lewat Djam Malam, yang tak mungkin difilmkan dengan tenaga-tenaga yang ada di Persari. Maka diadakannya kerja sama dengan Perfini. Sebagian besar modal, cerita, dan skenario serta sebagian pemain, dari Persari. Sedang sutradara (Usmar Ismail) dan tenaga teknis lainnya dari Perfini. Kerja sama Perfini-Persari itu berhasil dengan baik, dan Lewat Djam Malam menjadi film kebanggaan. Mencapai sukses artistik dan komersial, kerja sama Perfini-Persari itu kemudian ternyata tidak bisa dilanjutkan lantaran keributan pada Festival Film Indonesia pertama di tahun 1955.
Festival yang ketua dewan jurinya Andjar Asmara itu menghasilkan keputusan yang menyejajarkan Lewat Djam Malam dan Tarmina poduksi Persari yang disutradarai Lilik Soedjio. Keputusan itu menimbulkan heboh di kalangan pers film dan orang-orang film sendiri. Sastrawan dan kritikus film S.M. Ardan antara lain menulis: "...kemenangan film Tarmina segera mengingatkan kita akan lebih banjaknja orang-orang sandiwara duduk dalam panitya djuri, orang-orang jang tidak mengerti film. ...Film-film sematjam Lewat Djam Malam adalah suatu usaha ke arah seni film, mengapa djustru Tarmina jang masih merupakan sandiwara dipotret didjadjarkan dengan Lewat Djam Malam?" Tapi dari beberapa sumber yang ikut terlibat dalam festival tersebut, diperoleh keterangan bahwa kemenangan Tarmina tidak semata-mata soal selera juri. Festival yang seluruhnya dibiayai Djamaluddin Malik itu akhirnya juga harus memberikan keuntungan kepada Persari -- dalam bentuk kemenangan buat karya Lilik Soedjio, sutradara kebanggaan Persari masa itu. Dan tentu saja hal demikian tidak menggembirakan Usmar Ismail. Permainan di festival tahun 1955 sebenarnya bukan yang pertama kalinya. Di tahun 1954, ketika majalah Dunia Film pimpinan Abdul Latief melakukan angket bintang wanita terpopuler, yang mendapat suara terbanyak adalah Titien Soemarni. Tapi karena Djamaluddin Malik ingin yang menang binang Persari, akhirnya yang "terpilih" Netty Herawaty. Toh berbagai usaha dan "permainan" Djamaluddin Malik itu ternyata tidak bisa menyelamatkan Persari dari kesukaran yang berada di luar lingkungan studionya. Film-film Indonesia, yang hingga saat itu masih terus diputar di bioskop kelas bawah, di tahun 1955 amat disaingi film India -- setelah tahun-tahun sebelumnya harus berjuang melawan film-film Malaya dan Filipina. Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang didirikan bersama oleh Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail tahun 1954, pada 1955 melakukan desakan kepada pemerintah -- lewat pernyataan dan demonstrasi artis dan karyawan film -- agar menurunkan kuota film India. Djamaluddin Malik dan Persari berada dalam posisi amat sulit. Kredit pemerintah untuk membangun studio harus terus dibayar kembali. Maka bersama produser film lainnya, yang tergabung dalam PPFI, Djamaluddin dan Usmar Ismail sekali lagi meminta perhatian pemerintah, atau studio tutup. Kabinet yang berganti-ganti dan kurangnya orang yang mengetahui soal film dalam pemerintahan makin mempersulit keadaan. Sementara itu tekanan film impor terus pula mendesak film nasional. Karena tidak melihat jalan keluar lagi, tanggal 19 Maret 1957 PPFI mengumumkan penutupan studio-studio milik anggotanya. Berita itu menimbulkan heboh. Tapi tanggapan yang paling keras datang dari golongan kiri -- Lembaga Kebuyaan Rakyat (Lekra) dan Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis) -- yang mendesak agar pemerintah mengambil alih studio-studio tersebut. Campur tangan pemerintah dan janji Kementerian Perekonomian untuk meperjuangkan adanya kementerian yang membawahkan film, akhirnya berhasil melunakkan hati anggota PPFI dan membuka studio mereka pada tanggal 26 April 1957.
Tapi berita paling menarik kemudian adalah penahanan atas Djamaluddin Malik pada bulan Mei 1957. Tidak ada keterangan yang jelas dan pasti mengenai alasan Penguasa Perang menahan Djamal, tapi di kalangan kawan dekatnya ada dugaan kuat bahwa soalnya tidak bisa dipisahkan dari masalah politik. Ini diperkuat oleh serangan koran-koran kiri di Jakarta waktu itu -- terhadap Djamaluddin Malik, tapi juga Usmar Ismail. Tahun 1958, ketika Djamal keluar dari tahanan, keadaan perfilman sudah amat buruk. Persari yang tadinya merupakan studio terbesar tahun itu cuma memproduksi satu film, Anakku Sajang. Dan karena seluruh sisa utang Persari pada Bank Negara harus dilunasi pada 30 Juni 1958, tidak ada pilihan bagi Djamal selain menjual kompleks studionya di Polonia. Pembelinya: PN Areal Survey (Penas), yang hingga kini masih memiliki studio-studio tersebut. Sejak itu, meski tidak resmi bubar, Persari berhenti menjadi faktor penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Artis-artis dan karyawan-karyawannya, dengan bantuan keuangan dari Djamaluddin Malik, tetap mencoba membuat film di tempat lain. Tapi udara buruk perfilman masa itu amat tidak menolong mereka. Di kemudian hari beberapa kali Djamal mencoba kembali giat di dunia film, tapi keadaan politik menjelang Gestapu tidak membuka kesempatan. Ketika tekanan politik PKI sudah amat memuncak, Djamal, Usmar, Asrul Sani (ketiganya berkumpul dalam Partai NU) bersama-sama membuat film Tauhid (perjalanan haji) di Mekah, 1964. Setelah Gestapu, Djamal yang sudah sakit-sakitan makin lama makin jauh saja dari dunia film, pada saat ia makin menjadi orang partai. Djamaluddin Malik meninggal pada tahun 1970 di Jerman Barat, setelah menderita penyakit yang amat berat. Sudah tentu, meninggalnya Djamaluddin Malik sama sekali bukan matinya perfilman Indonesia. Masih ada berpuluh tokoh lain, produser maupun sutradara, dan Salim Said dalam telaahnya ini mencatat khususnya peranan menonjol Usmar Ismail. Inilah tokoh yang sudah di tahun 1950 berkata: "Kami tidak akan mempertimbangkan segi komersial" - dan yang menghasilkan film-film seperti Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Jogja dan Dosa Tak Berampun (1951), Krisis(1953), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (yang menurut D. Djajakusuma membuat Usmar sendiri sangat malu, karena 'kompromi'), Pedjuang, dan di tahun 1957 Delapan Pendjuru Angin, ketika dunia perfilman terasa "harus diselamatkan" dari kematian. Film terakhir Usmar, pejuang 'pola yang lain' dari pola komersial, dan pendidikan beberapa sutradara dan banyak tenaga film yang lebih muda, adalah Ananda, yang belum 100% selesai ketika maut merenggutnya pada 1971. Apa yang terjadi di masa pra-Gestapu sendiri, khususnya 1957-1965, dilukiskan Salim Said terutama dalam wujud macetnya secara total dunia perfilman kita dan berbagai 'kerusakan' yang diakibatkannya.
Juga situasi khusus di masa Jepang selain perjalanan lebih lanjut perfilman kita selama dasawarsa terakhir, dengan lahirnya berbagai film dan sutradara yang lebih muda. Namun yang sangat penting agaknya keadaan ini: tetap kalahnya peranan sutradara oleh pemilik modal, yang di Indonesia umumnya langsung menjadi produser, dan yang di masa akhir juga dimasuki "unsur India". Bahkan istilah 'kompromi' sebenarnya tidak dikenal -- apalagi dipersoalkan -- oleh sebagian besar sutradara, mengingat riwayat mereka itu dalam hubungan kerja dengan si cukong. Sangat menarik adalah hasil pencatatan yang dilakukan KFT (Karyawan Film & Televisi) terhadap latar belakang pendidikan sutradara Indonesia, yang dicantumkan di buku itu. Dari situ terlihat, 60,4% sutradara kita berpendidikan SLA. 14,3% berpendidikan film luar negeri. Sedang yang berpendidikan SD tercatat 2,2%. Itu hitungan tahun 1976, terhadap 91 sutradara anggotanya. Bagaimana dengan bintang filmnya, yang hampir 500 orang itu? Terbesar berpendidikan SLP: 52%. Perguruan tinggi hanya 6%, sementara SD 25%. Memang, pendidikan formal bukan satu-satunya syarat. Tapi bila keadaan itu digabungkan dengan peranan pemilik modal, dan 'subkultur' mereka, harapan terwujudnya 'wajah Indonesia yang berwibawa' lewat perfilman kita agaknya memang tak usah diberi waktu terlalu cepat. Ataukah sikap kita terlalu pahit?
17 Maret 1979
Lesu, adakah manfaat yang bisa diharap
WARUNG
di Taman Ismail Marzuki setiap harinya ramai dengan orang film. Ini
pertanda yang jelas bahwa film lagi sepi - seperti kata seorang seniman
yang tiap harinya juga nongkrong di situ. Sutradara Khairul Umam
misalnya secara terbuka mengaku telah menganggur selama 7 bulan.
Sejumlah pemain pembantu (figuran) yang biasanya ikut panen jika
produksi lancar, kini terlihat lesu di kursi-kursi warung tempat
berkumpul para seniman itu (lihat: Suka Duka). Juga di Pusat Perfilman
Haji Usmar Ismail, dan di kantor-kantor produser -- walaupun orang-orang
yang hidupnya tergantung dari produksi ada juga yang berkunjung ke
tempat terakhir itu. "Daripada nganggur di rumah. Siapa tahu ada
produksi, dan kita kebagian peran," kata salah seorang. Masih di Pusat
Perfilman, kelesuan terbukti jelas jika orang melongok kantor PT Romei
Indah Film. Perusahaan yang mengkhususkan diri menyewakan alat-alat
pembuatan film -- lampu, kamera, lensa -- kini bahkan tidak bekerja
setengah kapasitas. "Biasanya kita kelabakan meladeni yermintaan," kata
seorang pegawai. Masa "kelabakan" yang disebut itu tentulah terjadi di
tahun-tahun 1977-1978. Menurut catatan Sinematek Indonesia, sepanjang
sejarah pembuatan film di negeri ini tahun tersebut merupakan masa
paling produktif. Antara Festival Film Indonesia (FFI) 1977 di Jakarta
dan FFI 1978 di Ujung Pandang, tercatat 134 film diproduksi di
Indonesia. Catatan Departemen Penerangan menunjukkan bahwa tahun
sebelumnya, 1976, cuma 58 film nasional yang diproduksi.
Lonjakan
yang amat menyolok ini juga merupakan hal yang baru pertama kalinya
terjadi. Yang juga pertama kali keputusan Menteri Penerangan yang
mewajibkan para importir ikut membuat film. Justru karena keputusan
itulah jumlah film meningkat 100% lebih. Bintang film yang lagi top,
seperti Roy Marten atau Yatti Octavia, masa itu pernah sekali kontrak 4
film. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang setiap bulannya
rata-rata menyelesaikan 2 film. Panen demikian tidak pula tanpa akibat
sampingan. Produksi yang mendadak naik membutuhkan banyak tenaga.
"Tenaga setengah jadi, mentah, masih mengkal, semua tersedot." Begitu
Misbach Jusa Biran, ketua Karyawan Film dan Televisi (KFT) pernah
berkata. Bukan cuma itu. Orang luar yang masih harus belajar ABC film
pun terserap masuk mengisi tempat-tempat kosong di dalam industri yang
mendadak bangkit itu. Maka terlihatlah betapa keanggotaan KFT dan Parfi,
persatuan para artis, bertambah dengan cepat. Dunia film ramai. Honor
artis menanjak. Sutradara yang dianggap bisa bekerja cepat diborong para
importir yang harus memproduksi banyak film karena juga ingin
memasukkan banyak film impor. Tiba-tiba terjdi pergantian kabinet.
Mashuri SH, Menpen yang mewajibkan importir berproduksi, pergi dari
Deppen. Setelah beberapa bulan kosong, datang ke sana Menpen yang baru,
Letjen Ali Murtopo.
Orang
film tidak usah menanti lama untuk tahu ke arah mana angin bertiup. Dua
hari setelah dilantik, kepada TEMPO Ali Murtopo menjelaskan: "Kondisi
seperti ini saya tidak senang. Karena di sini dititikberatkan segi
ekonomis yang hanya bisa dinikmati oleh produser . . . Jadi tidak boleh
asal produksi, asal banyak, tapi akibatnya merusak masyarakat."
Pernyataan Menpen Ali Murtopo itu menyentak orang film yang lagi panen.
Ke arah mana kita akan dibawa? Beberapa hari kemudian, di tengah
ramainya pesta film di FFI 1978 di Ujung Pandang, Dirjen RTF, Sumadi,
mengumumkan bahwa "produksi nantinya tidak akan diikatkan lagi dengan
imipor." Sungguh bagai petir di siang bolong bagi orang film. Dari Ujung
Pandang mereka pulang dengan lesu. Mereka menanti realisasi ucapan
Sumadi dalam bentuk surat keputusan. "Keputusan itu baru muncul bulan
Nopember, tapi telah melesukan produksi sejak FFI Ujung Pandang itulah,"
kata sutradara Bai Isbahi. Cerita di kalangan orang film nampaknya
cenderung membenarkan keterangan Bai Isbahi itu. Konon, bahkan beberapa
bintang yang telah teken kontrak -- dan menerima uang panjar - begitu
saja dibatalkan kontraknya oleh sang produser karena pernyataan Sumadi
itu. "Soalnya yang getol produksi dan punya uang untuk itu cuma para
importir. Kalau mereka tidak wajib produksi lagi, buat apa repot-repot,"
kata Sjuman Djaja. Dan Sjuman, yang beberapa film terakhirnya
diproduksi oleh importir, hingga hari ini belum kedengaran rencananya
bikin film lagi. Ketika surat keputusan Menteri belum juga muncul, dan
produksi terhenti lantaran menanti kebijaksanaan baru, yang muncul, eh,
Kenop 15. "Produksi makin sulit karena bahan baku film yang semuanya
impor -- melonjak dengan hebat, sementara harga tanda masuk bioskop
tidak naik," kata produser dan sutradara Turino Junaidi. Lima belas hari
kemudian, 30 Nopember, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari itu keluar
Sk Menpen No. 224 ditandatangani Menpen Ali Murtopo. Ucapan-Sumadi di
Ujung Pandang kini menjadi aturan resmi. Tapi keputusan baru itu bahkan
lebih dari sekedar menceraikan impor dari produksi. Lewat keputusan yang
sama juga diatur baha impor film boleh memasukkan 6 copy untuk setiap
judul. Sebelumnya cuma diizinkan 3 copy. Tidak heran kalau keputusan ini
disambut dengan pahit oleh kebanyakan orang film. "Peraturan baru
pemerintah itu sangat tidak bersahabat kepada kita orang film," kata FES
Tarigan, juru kamera. Sembari menganggur, orang-orang film yang kini
punya waktu banyak itu mulai tampil dengan renungan, pendapat, bahkan
saran. Tidak jarang di antara mereka terjadi debat sengit mengenai
bagaimana cara mengatasi kelesuan yang ada. Sjuman Djaja dan sutradara
muda Djun Saptohadi menuding Sk 224 itu sebagai sumber kelesuan. "Ibarat
orang mau bunuh tikus dalam rumah, yang dibakar rumahnya." Begitu
perumpamaan yang dipakai Djun.
Akan
halnya keputusan Mashuri "mengawinkan produksi dengan impor," oleh
banyak orang film dinilai cukup baik. "Paling tidak membuka lapangan
kerja dan memberi kesempatan melatih ketrampilan," kata salah seorang di
antara mereka. Mengenai lahirnya film-film jelek akibat wajib produksi
tersebut, dengan mengeluh, Edward Pesta Sirait, sutradara, berkata: "Itu
salah kitalah orang film. Produser kan cuma punya uang, yang bikin film
kita ini. Kalau film jelek, kitalah yang salah." Dan tampillah Asrul
Sani. Bekas penyair yang kini jadi sutradara itu nampak tidak terlalu
kecewa dengan keadaan sekarang. Asrul menilai "menurunnya jumlah
produksi tidak mutlak berarti merosotnya film kita." Argumentasi Asrul:
"Dari 134 film buatan tahun 1977-1978, 70% sebaiknya tidak perlu
dibikin. Mutunya jelek." Asrul juga menilai tidak adil wajib produksi di
masa kemarin itu. "Coba saja. Seorang importir yang menanam modal Rp
100 juta untuk sebuah film, akan mendapat insentif sama dengan seorang
produser yang cuma memproduksi film dengan modal Rp 40 juta." Tidak
setujukah Asrul dengan kebijaksanaan wajib produksi itu? Ternyata bukan
itu soalnya. Bersama dengan Sjuman dan Turino, Asrul melihat manfaat
kebijaksanaan yan lampau itu tapi harus ada sistim kontrolnya," katanya.
Kepada TEMPO, Sjuman menjeskan bahwa ketidakadilan peraturan dulu itu
-- sebagai yang diuraikan Asrul -- dapat diatasi jika ada kontrol
terhadap mutu film yang dibuat para importir tersebut. "Aparat kontrol
itu terdiri dari tokoh masyarakat, orang, film dan pemerintah," begitu
penjelasan Sjuman. Kabarnya Mashuri sendiri sudah merencanakan sistim
kontrol ini. "Tapi ia keburu pindah ke Senayan," kata Sjuman pula.
Karena tidak adanya kontrol itulah maka lahir film-film yang "seharusnya
tidak diproduksi." Bagi kalangan importir, justru film-film bermutu
rendah itulah yang merusak selera penonton dan membuat para penonton
menjauhi film Indonesia. Importir dan pemilik bioskop seperti Rudi
Lukito, misalnya, menyatakan film rongsokan itu yang menjadi sebab
kelesuan produksi film nasional sekarang."Lah, kalau tidak ada yang
nonton, uang tak terkumpul, bagaimana mau produksi lagi, "begitu Rudi
pernah berkata. Laporan para wartawan TEMPO dari daerah juga menyebut
menurunnya jumlah penonton film nasional di wilayah mereka.
Tapi
sumber-sumber yang dihubungi para wartawan TEMPO itu tidak menyebut
secara jelas sumber kelesuan itu: Kenop 15 atau mutu film yang rendah.
Akan halnya masalah mutu, sebagian besar orang film mengakui bahwa SK
224 ini bisa diharapkan berbuat sesuatu. Seperti kata Rudi Lukito:
"Sebab nanti ya orang membuat film secara sungguh-sungguh dan tidak
sekedar mengejar tah film impor." Misbach Jusa Biran tidak seoptimis
Rudi. Tapi ia toh "percaya pada pemerintah yang tentu tidak tega melihat
orang film lama menganggur." Bagaimana pemerintah menyatakan rasa tidak
teganya terhadap orang-orang film? Hingga hari ini belum diketahui.
Tapi, sehubungan dengan pernyataan Ali Murtopo bahwa film harus bersifat
"cultural educative," tanggal 21 Maret ini sebuah seminar akan
diorganisir oleh Deppen. "Dari berbagai kalangan akan diminta sumbangan
fikiran," kata Haji Djohardin, orang lama Direktorat Film yang kini
beredar kembali di Deppen. Tapi ketika berbagai seminar dan lokakarya
perfilman asyik berlangsung-antara lain yang diadakan Angkatan 45 -
masalah izin memasukkan 6 copy bagi film impor itu memang mencemaskan.
"Dengan 3 copy saja kita kelabakan. Apalagi dengan 6 copy. Pokoknya
makin sempitlah pasaran film nasional," keluh Turino Junaedi. Soekarno
M. Noer, aktor dan produser, bahkan menyebut 6 copy plus tidak adanya
wajib produksi bagi importir sebagai sumber kelesuan film nasional
sekarang. "Kita akan tetap produksi. Itu pasti. Dari dulu juga begitu.
Tapi akan diputar di mana kalau bioskop sudah dipenuhi film impor?"
Bagaimana komentar para importir mengenai 6 copy itu? Marius Nizart dari
PT Suptan (importir film Mandarin) menyebut kebijaksanaan itu sebagai
"menguntungkan penonton." Alasannya? "Mereka tidak perlu menanti lama
lagi dan tak usah menyaksikan film yang baret-baret akibat terlalu
banyak diputar." Jiwat dari PT Bola Dunia Film (importir film India)
dengan terus terang mengaku tidak bakal menebus 6 copy film yang
diimpornya. "Memasarkan 3 copy saja sulit, apa lagi 6." Tapi kalau
filmnya memang baik dan bisa menarik banyak penonton, tentu "kesempatan
itu kita pergunakan," kata Rudi yang nampak sependapat dengan Jiwat.
Tapi baik Rudi maupun Jiwat keduanya juga sependapat, bahwa film impor
yang baik sekarang sulit didapat. "Selain harganya sudah amat mahal,
pasaran dalam negeri juga lesu -- harga tanda masuk tak bisa naik -- dan
video tape merajalela dengan cerita-cerita top tanpa sensor," kata
Rudi. Walhasil, kelesuan dan debat masih terus berlangsung dalam dan di
sekitar dunia film nasional, ketika FFI 1979 di Palembang sudah berada
di ambang pintu. Dengan produksi yang melorot secara fantastis, bisa
dipastikan bahwa pesta di Palembang tidak bakal menarik bagi banyak
orang film.