Tampilkan postingan dengan label USMAR ISMAIL 1949-1970. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label USMAR ISMAIL 1949-1970. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Februari 2011

TIGA DARA / 1956

TIGA DARA


Dibintangi oleh Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak, masing-masing sebagai tokoh Nunung, Nana, dan Neni. Tak hanya mereka, Rendra Karno, Bambang Irawan, dan Fifi Young juga turut memperkuat. Tiga Dara Sutradara Usmar Ismail Produser PT Perfini Penulis Usmar Ismail Pemeran Chitra Dewi Mieke Wijaya Indriati Iskak Rendra Karno Bambang Irawan Fifi Young Hassan Sanusi Durasi .. menit Negara Indonesia.

Film ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tiga anak perempuan yang semuanya masih lajang. Ibu mereka meninggal, dan ketiganya tinggal bersama nenek dan ayah yang terus sibuk.

Mengemban amanat almarhumah, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Konflik inilah yang menjadi cerita menarik dari lakon Tiga Dara.

Memuji penulisan skenario dan alur ceritanya, dialoq dan sebagainya,..semua orang bertanya, kenapa film Usmar, Asrul dan lainnya sangat baik skenarionya....kenapa sekarang tidak ada sebagi mereka? Jawabannya hanya satu,...mereka adalah sastrawan, hampir semua penulisa skenarion waktu dulu adalah seorang sastrawan, yang sangat amat menguasai kosa kata, kalimat, dan sebagainya sehingga menlahirkan sesuatu yang sudah tentu dasyat. Tetapi saat ini, penulis skenario asal tulis atau asal penulis saja. Serasa bisa menulis cerita dalam FB, sudah merasa mampu menulis skenario film. Bagaimana bisa bagus?

Film ini terlibat juga Misbach, yang di percaya sebagai anggota pengarang di perfini. Ini adalah film cerita ringat, kata Misbach. Umar terpaksa memproduksi film ini untuk menolong perusahaan perfini yang sudah diambang pinggir jurang kebangkrutan, dan sudah diancam di sita bank. Dalam cerita ini ada sejumlah nyanyian yang dibawakan secara bersautan atau tunggal, padahal adegan ini mirip film India yang selama ini ditentang oleh perfini, tapi karena untuk menyelamatkan perfini, dalam keadaan kepepet. Film ini diluncurkan tahun 1957 dan meledak di pasar. Akan tetapi film ini mendapat keritikan yang tajam dari  kubu komunis, dalam bahasa yang kasar mereka menyatakan Usmar menghianati cita-citanya.

 PERFINI

CHITRA DEWI
INDRIATI ISKAK
MIEKE WIJAYA
RENDRA KARNO
FIFI YOUNG
HASSAN SANUSI
BAMBANG IRAWAN

 
News 
Tiga Perawan, Satu Cinta
Film klasik Indonesia yang menyuguhkan realitas masyarakat dengan jujur. Alur ceritanya sederhana, karakter tokohnya kuat, dan akting para pemainnya lumayan hebat. Suatu siang pada 1956. Jakarta terpanggang terik mentari yang bersinar garang. Peluh yang deras bercucuran membuat Nunung bergegas pulang. Ia mempercepat langkahnya, menuju pangkalan becak di seberang jalan dekat tikungan, tanpa peduli keadaan sekitarnya. Namun, saat Nunung menyeberang, tiba-tiba sebuah skuter menyeruduknya. “Gubrak...!” Nunung terjatuh, kakinya terluka. Sementara itu, sang pengendara skuter terjungkal tak jauh dari tunggangannya.


“Bung kira ini jalanan punya bung! Seenaknya saja jalan tidak lihat-lihat,” hardik Nunung. Sang pemuda, yang belakangan diketahui bernama Toto, berusaha menolongnya. “Saudara, tidak apa-apa? Biar saya antar,” katanya. “Tidak usah, jangan pegang-pegang!” Nunung membentak pemuda itu. Toto kian kikuk, permintaan maafnya kandas, malah dihardik di depan kerumunan orang. “Ya ampun, galaknya,” ujar seseorang yang heran melihat Nunung mengamuk.


Meski Nunung menolak, Toto tak patah arang. Diam-diam Toto membuntutinya hingga ke tujuan. Tak berselang lama, Toto sudah muncul di teras rumah Nunung, berpakaian rapih lengkap dengan karangan bunga di tangannya. Nana, adik Nunung, menerima tamu itu dengan pandangan takjub. “Ada orang gagah mencarimu,” kata Nana kepada Nunung, yang masih terbaring lemas di tempat tidur.


Itulah awal kisah romantika cinta segitiga yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang menjadi cerita utama film Tiga Dara. Kehadiran Toto menyita perhatian Nana yang agresif (diperankan oleh Mieke Wijaya). Adapun Toto sudah jelas jatuh cinta kepada Nunung (Chitra Dewi), yang ketus dan pendiam, sejak insiden tabrakan itu.


Tiga Dara, film produksi 1956 yang berkisah tentang romantika tiga anak perawan itu, kembali diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu sore lalu. Setelah puluhan tahun, film karya sineas kawakan Usmar Ismail (almarhum) itu hadir kembali sebagai penutup perhelatan Bulan Film Nasional 2010, yang digelar oleh Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta.


Meski produksi “jadul” dengan kondisi seadanya, Tiga Dara tetap menjadi kisah yang menarik. Bahkan, pada zamannya, film itu sangat fenomenal. Banyak penikmat sinema Indonesia yang meletakkan film produksi Perfini itu pada deretan film terbaik.


Konflik cinta segitiga makin seru dengan munculnya si bungsu Nenny yang cerdik. Saat cinta Toto telah berpaling dari Nunung ke Nana, Nenny (Indriati Iskak) dan sang ayah justru merencanakan siasat merebut kembali cinta Toto untuk Nunung.


Bukan karena mereka pro-Nunung, melainkan keduanya hanya ingin mewujudkan obsesi sang nenek, yang menginginkan Nunung segera menikah. “Kalau dilangkahi Nana, Nunung bisa jadi perawan tua,” kata sang nenek geram.


Sepintas, kisah garapan Usmar Ismail tersebut memang sederhana. Bahkan kita tak perlu berpikir keras untuk memahami dan menebak akhir film tersebut. Tapi, bila melihat akting para pemain dengan penokohan yang kuat dan pengambilan gambarnya yang apik, tak berlebihan jika memberikan dua acungan jempol untuk film yang juga dibintangi Bambang Irawan dan Fifi Young tersebut.


Yang membuat Tiga Dara hebat, kisah sederhana film itu juga dibungkus dengan skenario menarik dan alur cerita yang rapih serta bisa dinalar. Kesan kaku dan jadul bahkan tak muncul dalam adegan. Penggunaan bahasa sehari-hari yang luwes membuat film yang skenarionya ditulis sendiri oleh Usmar Ismail itu menjadi dekat dengan penonton. Di zamannya, film musikal hitam-putih tersebut menorehkan penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia pada 1960-an untuk tata musik terbaik. Selain itu, Tiga Dara menjadi salah satu film terlaris Indonesia era 1950-an, dari sisi kualitas gambar, film Tiga Dara yang diputar Rabu sore lalu itu masih di bawah standar, sehingga membuat mata kurang nyaman. Meski begitu, film berdurasi 116 menit tersebut tetap menarik dari segi alur cerita, karakter para tokoh, dan akting para pemainnya.


Tiga Dara boleh dibilang jauh berbeda dengan film-film nasional sekarang. Sementara sebagian besar film sekarang cenderung jauh dari realitas sosial dan menjual mimpi, Tiga Dara menyuguhkan permasalahan sosial yang nyata saat ini. Bahkan film itu jauh dari kesan membodohi masyarakat.

KRISIS / 1953

KRISIS

 Usmar Ismail di set shooting

Bercita-cita menaikkan mutu film Indonesia, ternyata Perfini mengalami krisis, karena produksinya kurang diminati penonton. Usmar Ismail mencoba kompromi dengan film ini. Ternyata laris dan bisa mengatasi krisis keuangan Perfini. "Krisis" adalah film terlaris Indonesia sesudah sukses besar "Terang Boelan" (1938). Reddin adalah anak Usmar Ismail.

Sejarah perfilman Indonesia pernah mencatat bahwa Usmar ismail dengan film Krisisnya (Krisis Perumahan) mampu menggeser keberadaan film-film inport di bioskop kelas satu. Pada masa itu belum pernah terjadi sebuah film mampu bertahan selama 35 hari , dengan penonton yang relatif besar jumlahnya. Dimana pada saat itu film Indonesia harus selalu berhadapan dengan dominasi film import, tidak saja secara komersial-ekonomis tetapi juga sosial-politis. Krisis ini mencerminkan dimana problem pemasaran masih terletak pada sikap pengusaha bioskop, sehingga film indonesia belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Waktu mengungsi dimasa revolusi, Jaka (Rd Sukarno) menitipkan rumahnya kepada husin (Udjang), yang lalu menyewa – kontrakkannya. Maryam (Tina Melinda) harus menerima kenyataan pahit yang masih harus di tambah lagi dengan kedatangan saudaranya, Danu (Wahid Chan) dan istrinya Ratih (Risa Umami). Danu ini menggunakan uang negara untuk memanjakan istrinya. Ia ditangkap ketika sedang mengadakan selamatan tujuh bulan kandungan istrinya. Karena kaget, Ratih melahirkan mendadak dan mengeluarkan banyak darah.. sementara yang lain panik, pemuda acuh tak acuh Ridwan (Aedy Moward) menyumbangkan darah. Hal ini membuat Ros (Nurnaningsih) tertarik, padahal sebelumnya ia lebih menaruh perhatian pada Surya (Ismail Saleh), yang ternyata seorang pengecut. Dan film ini dilanjutkan lagi dengan judul Lagi-Lagi Krisis.

PERFINI

RENDRA KARNO
TINA MELINDA
UDJANG
SULASTRI
AEDY MOWARD
NURNANINGSIH
WAHID CHAN
RISA UMAMI
ISMAIL SALEH
REDDIN
GITO

News

TIDAK kurang dari almarhum Umar Ismail sendiri ketika itu yang telah memainkan tangan. Bukan sebagai tanda Cut buat juru kamera melainkan sebagai sebuah kepalan yang di Jotoskan kerahang seorang bernama Weskin, pemegang kuasa tunggal soal perbioskopan di kawasan Jawa Barat termasuk Jakarta. Itu peristiwa di tahun 1954. Mengapa sang sutradara yang terkenal bertangan halus itu sampai main tonjok? Tentu ada pasal. Di tahun-tahun itu produksi film pribumi keadaannya bagai kaum paria. Bioskop-bioskop kelas wahid membarikade dirinya bagi kemungkinan giliran masuknya film jenis ini. Dan ketika menerima jotosan Usmar konon Weskin hanya balas berkata "Saya memahami sikapmu, karena untuk kepentingan tanah airmu". Tidak terjadi duel. Juga tidak tersiar sentimen rasial. Sebab tak lama kemudian gedung Metropole satu-satunya yang termewah waktu itu--mulai membuka pintu buat memutar film "Krisis". Sekaligus dengan hasil yang lumayan mengagetkan: sanggup bertahan 35 hari, bahkan di hari terakhir masih tetap penuh. Soalnya kemudian Metropole menghentikan pertunjukan karena ada ancaman dari MGM, bila giliran tak juga disediakan bagi film yang diageninya kontrak niscaya bubar. Cabe rawit. Film memang barang dagangan, setidaknya begitu satu-satunya kesimpulan yang ada di kalangan pedagang film dan pengusaha bioskop. Hasrat memperjanjikan bahwa film itu bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan, penerangan dan sebangsanya, seperti telah tercantum dalam ketetapan MPRS, nampaknya sementara ini boleh tinggal sebagai cita-cita. Sebab bioskop yang berserakan di pelbagai kota, dijalankan pemiliknya menurut pola untung-rugi. Sehingga boleh berpikir bolak-balik lebih dulu buat memprodusir sebuah film yang bertema pendidikan. Kenyataan pula sebelum sebuah film sampai pada publik, yang menentukan patut tidaknya diputar adalah pedagang film Jan pemilik bioskop.


17 Oktober 1954.
Indonesia telah bangga dengan salah satu film nasional yang dapat menandingi film luar negeri. Para pemainnya, penyelenggaranya, apalagi regiseur merangkap produsernya sangat bangga oleh sukses-nya film “Krisis” yang dapat dinikmati oleh rakyat, dari kaum desa sampai kepada kaum intelektualnya, kaum peminat dan kaum kritikus film. Dalam film ini dibanggakan akan kekuatan regissur dalam mengatur sesuatunya dalam action, decorasi, dll, dan apalagi dalam memilih tokoh-tokoh yang kuat untuk membawakan peranannya masing-masing. Diantara sekian banyak pemain, yang diperkenalkan, terdapatlah nama Nurnaningsih, yang benar-benar dalam lm ini mendapat sukses besar oleh kekuatan tari, dialog (meskipun sedikit ke-Jakarta-an, misalnya dalam: Saya ladeni semua), lagu dan action. Diantara kritikus film banyak yang mengharapkan akan kariernya bintang baru ini. Bahkan seorang diantara kritikus yang sudah banyak menyelami film mengatakan bahwa Nurnaningsih dapat menempati tempat dari almarhumah Miss Rukiah.

Yang berarti jejak para bintang film sebelum perang pemain watak yang terkenal itu, dapat ditempati oleh Nurnaningsih. Dalam pujian seperti itu Nur bangga dengan beralasan yang kuat. Oleh suksesnya film “Krisis” Nur jadi sangat populer. Sangat disukai oleh peminat film. Saat yang gemilang ini tentu memancarkan nama baik, nama yang kini sudah tidak asing lagi bagi para penggemar layar putih. Jika krisis sudah dibicarakan, orang tentu tidak dapat melupakan Nurnaningsih, selain regissur-nya. Dan kalau pandangan seseorang kritikus film yang sudah pula menyelami dalam-dalam akan soal film dengan segala segi-seginya mengadakan suatu pernyataan yang demikian, sudah barang tentu tidak dapat kita anggap kecil saja.

Pembaca sendiripun tidak dapat menyangkal bahwa mainnya Nurnaningsih dalam “krisis” aalah sangat baik dan boleh dibanggakan. Para pembaca MP terdorong oleh desakan para pembaca, redaksi sendiripun merasa wajib untuk mendekati pembaca, sehingga mengiriminya sepucuk surat. Dan untuk surat kita itu, Nurnaningsih menulis:
***
Sdr. Redaksi yth.
Bersama surat ini saya juga mengirim foto ukuran briefkaart untuk dimuat dalam majalah MInggu Pagi.
Tentang kesukaan saya adalah melukis (8 tahun), bermain piano (1o tahun), menyanyi (2 tahun), main film (1 tahun) dan sedikit berenang-renang, dan menari-nari, menanam tanaman bunga-bunga, menonton  bioskop, berfoto yang aneh-aneh, melihat pemandangan yang indah-indah, op reis gaan dan apa lagi ya…..
Ya, sudah hanya itu saja barangkali. Oh, ya masih ada juga, kadang-kadang bersemadi atau berpuasa tidak makan nasi dan ikan.
Sekian saja dulu Jika saudara akan memajujkan pertanyaan-pertanyaan apa saja tentang diri saya, saya sanggup membalasnya.
***

Keinginan dan kesukaan saya itu banyak sekali sehingga kalau ditulis tidak ada habis-habisnya.

Demikian singkat tulisannya, tetapi bagi kita sudah cukup jelas apa yang kita hasratkan dari dia. Kita langsung bertemu dengan tulisannya jadi obat rindu. Kita langsung dengan buah tangannya yang sedikit itu tetapi telah melengkapi bayangan dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak terjawab.
 
Akhir-akhir para pembaca mungkin sudah dengar akan berita-berita tentang gambar bintang film ini dalam surat-surat kabar Jakarta. Oleh adanya sesuatu kesan yang tidak/belum sepadan diadakan  pada masa kini di Indonesia. Menurut surat kabar itu, Nurnaningsih telah dihadapkan kepada Jaksa Tinggi dan Polisi Kesusilaan oleh peredaran foto-fotonya yang laris di kota Jakarta. Benar tidaknya kita belum tahu, dan akan seluk-beluknya pun tidak kita ketahu. Tetapi meskipun saudari Nurnaningsih suka sekali per-foto yang aneh-aneh, keanehan yang ditimbulkan untuk menggegerkan kaum pendidik jakarta itu sudah bukan keanehan lagi. Kekaguman akan Nurnaningsih serta meloncatnya nama baiknya dalam film  tentu tidak akan kurang-kurang meminta perhatian dari para peminatnya untuk membeli sekedar foto-fotonya (andai kata ia suka mengedarkan foto-fotonya). Kita juga, dari redaksi mengharapkan agar suksesnya dalam film itu dapat kontinyu demi kemajuan dunia per-film-an nasional dan untuk menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia oleh keseniwatiannya. Dan janganlah ia menjadi “krisis” karena suksesnya dalam film, sehingga nama baiknya selalu dapat terjamin, meskipun ia mebimbulkan keanehan. Tetapi lebih baiklah ia menunjukkan kekaguman dan ketakjuban daripada keanehan. Itulah yang kita sukai dari para artis film.

LAGI-LAGI KRISIS / 1955

 
Film "sambungan" "Krisis" (1953) yang sukses secara komersil.

Film ini adalah Komedi. Husin bin Said (Udjang) tiba-tiba dapat ilham untuk jadi dukun. Dia pasang papan nama. Maka berduyun-duyun orang datang minta bantuan: orang yang berniat jadi atase kebudayaan, anggota parlemen, istri pembesar yang suaminya pacaran lagi, produser, calon bintang film dll. Entah kenapa, produser film Henry Bross (S. Bono) dan calon bintang film Mimi (Diana Subroto), berhasil membuat Husin berusaha keras membantu melaksanakan niat mereka. Kisah ini juga yang jadi tiang utama film, di samping merupakan kesempatan sutradara untuk mengejek dunia film. Apalagi kemudian datang kawan Husin, Pedro (Rd. Ismail), pemain sandiwara yang sudah tua dan tak terpakai, tapi masih berilusi tentang kejayaannya sebagai aktor. Rumah Husin ini bertetangga dengan keluarga Jaka Prawira-Mariam (R. Sukarno, Tina Melinda). Ke rumah ini datang mertua mereka, RA Berlian (Edifah Hanoem), ningrat yang suka mengatur. Untuk membantu kawannya tadi, Husin mengatur siasat agar Pedro menaklukkan Berlian. Siasat berhasil. Uang untuk membuat film keluar. Setengah jalan, produksi berhenti, karena rahasia persekongkolan terbongkar. Bahkan seluruh pasien Husin datang menuntut karena tak ada yang berhasil. Film ini sarat dengan sentilan terhadap keadaan sosial sezaman.

DariFilm ini Misbach diajak menjadi asisten sutradara, dan dia bercerita tentang film ini ceritanya bagus, tetapi pemain dan pemasaran film ini jelek. Film ini sebenarnya kririk dan jangkauannya jauh lebih luar dari pada film Krisis, dan sasaran kritiknya masih belum luas di masyarakat awam, hanya orang tertemntu yang paham, seperti orang yang pergi ke dukun itu dengan logat batak agar di doakan menjadi atase kebudayaan di Paris atau Di Wasinton DC, yang memerankanya Rosihan Anwar, dan hanya seniman yang paham maksud kritikan atau sindiran itu, Jadi film ini hanya mudah di rasakan oleh seniman dan orang film saja, tetapi masyarakat luas tidak.

PERFINI

RENDRA KARNO
TINA MELINDA
RD ISMAIL
S. BONO
UDJANG
SULASTRI
EDIFAH HANOEM
DIANA SUBROTO
ROSIHAN ANWAR
MASITO SITORUS
BASUKI DJAELANI
JUNIAR

DARAH DAN DOA /LONG MARCH, THE / 1950

DARAH DAN DOA /LONG MARCH, THE
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Mengisahkan perjalanan panjang (long march) prajurit RI, yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kapten Sudarto (Del Juzar). Ditunjukkan ketegangan sepanjang jalan dan dalam menghadapi serangan udara dari musuh, Belanda. Juga ketakutan dan penderitaan lainnya. Tak ketinggalan disinggung adanya pengkhianatan. Perjalanan diakhiri dengan telah berdaulat penuhnya Republik Indonesia pada 1950. Kisah ini disajikan dalam bentuk narasi. 

Fokusnya pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan bagai "pahlawan", tapi sebagai manusia. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogya dan dalam perjalanan ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak sebagai peragu. Waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penelitian, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan sepanjang perjalanan. Ia memilih tidak memenuhi panggilan penelitian dan memilih keluar dari tentara, apalagi melihat anak buah tadi sudah bergaya dengan jip dinasnya. Film diakhiri dengan ditembaknya Sudarto oleh anggota partai komunis yang diperanginya waktu terjadi Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun (1948). Suatu hal yang secara prinsip ditentangnya karena berarti perang saudara. Revolusi juga memakan korban anaknya sendiri yang baik, begitu kira-kira yang ingin dikemukakan film ini.

(dalam bahasa Inggris: The Long March [of Siliwangi] atau Blood and Prayer) ialah sebuah film Indonesia karya Usmar Ismail yang diproduksi pada tahun 1950 dan dibintangi oleh Faridah. Film ini merupakan film Indonesia pertama yang sepenuhnya dibuat oleh warga pribumi[rujukan?]. Film ini ialah produksi pertama Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting pertama film ini (30 Maret 1950) kemudian dirayakan sebagai Hari Film Nasional berdasarkan Keppres Nomor 25/1999[1]. 

Kisah film ini berasal dari skenario penyair Sitor Situmorang[rujukan?, menceritakan seorang pejuang revolusi Indonesia yang jatuh cinta kepada salah seorang Belanda yang menjadi tawanannya. Film "Darah dan Doa" juga disebut "Long March Siliwangi" adalah film pertama karya Usmar Ismail pada umurnya yang ke 29 tahun yang merupakan juga film Indonesia yang pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi. Sifat-sifat utama dan nilai-nilai yang dianut ialah patriotisme atau cinta tanah air, nasionalisme yang tinggi, dan idealisme yang menyala-nyala atau hidup dengan cita-cita. Selain itu juga Usmar Ismail juga orang yang mendalam sekali religiositasnya. Usmar Ismail yang telah diakui sebagai bapak perfilman Indonesia, perlu dikenang kembali motivasi dan aspirasi masa mudanya untuk dicari aspirasi yang dapat dipetik untuk zaman sekarang yang jauh lebih komplek. "Film saja jang pertama", itulah yang diucapkan bapak tokoh perfilman Indonesia Usmar Ismail dalam pemutaran film "Darah dan Doa" pertunjukan perdananya di Istana Negara pada pertengahan tahun 1950. Darah dan Doa adalah film Indonesia pertama yang mendapat kehormatan untuk di putar dikediaman Presiden Soekarno, dan film yang disutradarai Usmar Ismail ini dinilai banyak pemuka bangsa, yang seratus persen dibuat dan dikerjakan dengan tanggungjawab sendiri. 

Film Darah dan Doa dibuat berdasarkan cerita Sitor Situmorang, sebuah film pertama tentang revolusi .

Film ini masuk dalam golongan film tentang revolusi. Ada beberapa konflik dalam film ini.

Pertama Ketika Adam mengusir gadis Indo -Jerman yang dipacari Sudarto ketika batalionnya berada di Sarangan selepas menumpas pemberontakan komunis di Madiun 1948. Saat kehidupan yang kontras antara kehidupan keluarga Sudarto berantakan, sedangkan Adam bahagia menerima surat dari istrinya di Bandung. Dalam kesepian ini gadis Indo itu muncul di kesepian Sudarto. Bagi Adam hubungan komandannya itu bisa rusak disiplin pasukannya, maka harud diputuskan.

Kedua, konflik Sudarto dengan kepala stafnya lagi-lagi dengan wanita. Dalam perjalanan panjang (long march) kembali ke Jawa Barat, Sudarto berkenalan dengan juru rawat Widya. Sekali lagi mereka saling jatuh cinta, dan sekali lagi Adam menentangnya. Malang bagi Sudarto dan Widya berpisah dengan pasukannya setelah di serbap oleh pasukan DI/TII (darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Adam menilai kejadian itu sebagai desersi. Lalu laporan dikirimkan ke markas divisi. 

Yang menarik adalah tulisan itu ditulis bukan karena dendam pribadi , karena tidak ada alasan pribadi juga Adam membenci Sudarto. Yang ada adalah situasi yang penuh tidak kepastian di tengah-tengah revolusi dan Adam mencoba menegakkan dan mempertahankan suatu kepastian di tengah ketidak pastian.



Menjelang akhir cerita Adam mendekati ajalnya, setelah tertembus peluru, sempat minta maaf dan pengertian Sudarto atas tindakannya itu. Sudarto mengerti semua. Pebedaan watak nampaknya tidak menghalangi kedua perwira untuk saling menghormati.

Dalam film ini juga digambarkan eksekusi seorang mata-mata (R.Ismail) yang dijalankan oleh seorang sersan. Sebelum eksekusi dilakukan seorang perwira menegur sang sersan yang kelihatannya termenung. Apa kau kenal orang ini? tanya perwira itu. Ya, dia ayahku., jawab sersan. Lalu sersan harus menjalankan perintah atasannya itu. Usmar menggambarkannya dengan datar.

Selanjutnya penyelesaian cerita tragis lagi ketika semua sudah selesai berperang, Sudarto memutuskan untuk berhenti menjadi tentara, sedangkan Adam mati di kamar pondoknya tertembak peluru oleh seorang sisa pemberontakan di Madiun.

Film ini banyak dipuji karena kejujurannya, meskipun mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak, tetapi pada proses pembuatannya Usmar terasa bebas menuangkan segala idenya tentang manusia yang terseret ke dalam kancah revolusi.

Tehnik pembuatan film ini, bila dilihat sekarang sangat kuno, tetapi tertutup pada kejujuran yang menyertainya. Justru keharuan itu datang dari sebuah kejujurandan kesederhanaan penggambaran manusia-manusia yang terserimpung ke dalam kancah revolusi. Sehingga film ini beda dengan film revolusi yang lainnya yang dibuat saat itu juga yang lebih mengutamakan tata warna kecemerlangan serta efek khusus yang fantastis sehingga menghilangkan nilai dramtik dan kejujuran ceritanya itu sendiri.

Dengan mematikan ke dua tokohnya ini Adam dan Sudarto, Usmar meramalkan masa depan bangsa ini tidak ada pada Adam orang yang terlalu serius, juga tidak pada Sudarto yang intelektual. 

Tetapi ada apada Aedy Moward yang sibuk dengan kepentingan pribadi disaat semua orang sibuk berperang. Usmar menggambarkan tokoh ini yang selalu sibuk mencari pacar di setiap ada kesempatan dalam perjalanan Long March, dan selalu mencari rokok yang enak di zaman yang susah. Ia juga digambarkan sedang makan nasi bungkus secara diam-diam dibalik batu besar, sedangkan yang lain pada kelaparan.Dan ada juga pada tokoh Awaluddin perwira dengan watak yang tak punya warna jelas.

Film ini punya arti amat penting dalam sejarah: dimulainya pembuatan film "nasional", walau film cerita pertama yang dibikin di Indonesia adalah "Loetoeng Kasaroeng" (1926). Salah satu keputusan konferensi kerja Dewan Film Indonesia dengan organisasi perfilman pada 11 Oktober 1962 adalah "Menetapkan hari shooting pertama dalam pembuatan film nasional yang pertama "The Long March" sebagai Hari Film Indonesia." Meski 30 Maret (1950) telah dianggap sebagai Hari Film; serta Usmar Ismail (Perfini), disamping Djamaludin Malik (Persari), disepakati sebagai Bapak Perfilman Nasional, namun pengakuan resmi (pemerintah) baru terjadi pada 1999, setelah ditandatanganinya Keppres no 25/1999 oleh Presiden Habibie. Kisah yang sama dibuat kembali dalam film "Mereka Kembali" (1972)..
 SPECTRA FILM EXCHANGE
PERFINI

DEL JUZAR
FARIDA
AEDY MOWARD
SUTJIPTO
AWAL
JOHANNA
SUZANNA
RD ISMAIL
MURADI
MUHSJIRSANI
ELLA BERGEN
A. RACHMAN

TJITRA / 1949

TJITRA


Film ini diputar tahun 1949. Cerita yang ditulis pada awal zaman Jepang.

Ceritanya: Pemuda congkang Harsono (Rd.Sukarno) menodai gadis Suryani (Nila Djuwita) diperkebunan Mega putih milik keluarga, ia pergi ke Jakarta. Abangnya Sutopo (Rd Ismail) yang memang mencintai Suryani diam-diam mengambil alih tanggung jawab.

DiJakarta Harsono tererat dengan wanita genit Sandra. Kematian Sandra kemudian terbukti karena serangan jantung, bukan akibat cekikan. Harsono pulang ke perkebunan. Sutopo berusaha mengembalikan Suryani, yang masih mencintai Harsono, tetapi Suryani tetap memilih Sutopo sebagai suami.

Film Citra sudah terrefleksi kesadaran kebangsaan, sebagaimana lama kelihatan hasil kesusastraannya. Problemnya lebih kepada menghujam dasar kehidupan. film ke dua Harta Karun 1949. Kedua film itu produksi SPFC, Harta Karum diambil dari cerita Moliere, L'Avare dengan kesadaran mendekatkan karya sastra besar dengan film. Secara tehnis ia belum terampil menggarap film. Karena banyaknya adegan lucu yang ia garap tidak membuat penontonnya tertawa. Dio perusahaan SPFC South Pacific Film Corporation (Belanda) milik keturunan cina ini berpegang pada resep Amerika. Yang dimaksud Usmar dengan cara Amerika adalah bahwa SPFC lebih memperlihatkan isi cerita serta dramatisnya, dan perushaan yang peranannya dipegang Bos, dan Usmar menolak menyatakan ke dua karyanya itu Citra dan Harta Karun adalah film debutnya. Karena Usmar selalu menuruti tuntutan dan kemauan para bos produser, walaupun itu tidak ia sukai.
 SOUTH PACIFIC FILM

RENDRA KARNO
NILA DJUWITA
RD ISMAIL
A. HAMID ARIEF
MOH SAID HJ

LEWAT DJAM MALAM / 1954

LEWAT DJAM MALAM

 

Film Indonesia yang diproduksi tahun 1955. Film ini di mulai dari situasi perfilman Indonesia yang hanya bisa di putar dibioskop kumuh saja. Tahun 1954 Djamaludidin Malik dan Usmar Ismail mendesak pemerintah agar bioskop-bioskop kelas satu bersedia memutar film Indonesia, karena selama ini hanya kelas bioskop kumuh saja. Yang tergugah hatinya hanya walikota Jakarta Sudiro, dan mewajibkan bioskop kelas satu memutar satu film Indonesia setiap 6 bulan sekali. Tetapi hasilnya tidak memuaskan. Tahun berikutnya Djamaluddin mengajak semua perusahaan film membuat organisasi PPFI, dan mengajak bergabung dengan organisasi perusahaan film Se-Asia, lalu berusaha untuk ikut dalam Festival Film Asia (FFA). TEtapi kita baru hanya beberapa tahun saja membuat film yang mendingan, sudah mau beradu di ajang Asia, dengan Jepang dan negara maju lainnya. Maka untuk beradu di Asia, harus ada film bagus. Dibikinlah Film Lewat JDjam Malam ini join Persari dan Perfini, milik Djamaluddin dan Usmar Ismail, uang dari Djamluddin sedang kreatifnya Usmar Ismail. Tetapi sayang usaha untuk ke festival Asia harus gagal, karena pemerintah kita melarang kita ikut FFA (Festival Film Asia) yang pertama yang berlangsung di Tokyo, karena alasan adanya ketegangan antara pihak RI dan Jepang soal pampasan perang. Tapi Djamaluddin tidak marah, bahkan dia langsung membuat tandingannya FFI (Festival Film Indonesia) 1955.

Sinopsis Film ini menceritakan kisah ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Pada masa itu, tentara masih berusaha menguasai keadaan dan menyelenggarakan jam malam di Kota Bandung.



Mengisahkan seorang bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff) yang kembali ke masyarakat, dan coba menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan keluarganya atas perintah komandannya di masa perang terus menghantuinya. Tepat pada jam malam yang sedang diberlakukan, ia masuk rumah pacarnya, Norma (Netty Herawati). Itu awal film yang masa kejadiannya hanya dua hari. Keesokannya ia dimasukkan kerja ke kantor gubernuran. Tidak betah dan malah cekcok. Dengan kawan lamanya, Gafar (Awaludin), yang sudah jadi pemborong, ia juga tak merasa cocok. Ia masih mencari kerja yang sesuai dengan dirinya. Bertemu dengan Gunawan (Rd. Ismail), ia semakin muak, melihat kekayaan dan cara-cara bisnisnya. Apalagi setelah tahu, bahwa Gunawan merampas harta perempuan yang ditembak Iskandar itu lalu dijadikan modal usahanya sekarang. Kemarahannya memuncak. Ia lari dari pesta yang diadakan pacarnya untuk dirinya dan pergi mencari Gunawan ditemani bekas anak buahnya (Bambang Hermanto), yang jadi centeng sebuah rumah bordil. Penghuni rumah itu adalah Laila, pelacur yang mengimpikan kedamaian sebuah rumah tangga yang tak kunjung datang. Lalu dia pulang ke pesta, tapi ia melihat polisi datang. Ia curiga dirinya dicari-cari. Maka lari lagilah dia sampai kena tembak oleh Polisi Militer, karena melanggar peraturan (lewat) jam malam, justru di saat dia menghampiri kembali kekasihnya (Netty Herawati), satu-satunya orang yang mau mengerti dirinya. Mungkin bisa disebut karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah kritik sosial cukup tajam mengenai para bekas pejuang kemerdekaan pasca perang. Maka di akhir film dibubuhkan kalimat: "Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri." Kelemahan film ini mungkin terletak pada akhiran film yang berpanjang-panjang, dan pengungkapan kegelisahan tokoh utamanya yang kurang subtil dan terlampau fisik

Film ini di tulis Asrul Sani,usaha Usmar meramalkan mengenai jenis manusia yang bakal menangani negeri ini. Film ini mendapat pujian dari kalangan intelektual dan budayawan. Ini adalah film Usmar tentang revolusi yang sangat sempurna. Bahkan Sitor Situmorang (yang menulis ide gagasan untuk film Long March /Darah dan Doa) memuji film ini dari kesenian film ini pemberian bentuk banyak menunjukan kekurangan-kekuarangan, tapi dalam pada itu memperhatikan percobaan eksperimen yang dapat dipertanggung jawabkan.

Sedangkan dari sinematographic-nya jauh lebih sempurna dari film-film Usmar sebelumnya. Cara bercerita yang dipilihnya jelas sekali mendukung kisah yang ingin diangkat/disampaikan.




























Kelebihannya juga terlihat dalam film Lewat Djam Malam yang ditulis oleh Asrul Sani dan disutradarai Usmar Ismail. Iskandar (A.N. Alcaff), pejuang yang baru masuk kota, tetap dikejar perasaan bersalah. "Suara ibu dan anak-anak itu mengejar kepalaku," katanya kepada Gaffar (Awaloedin), teman seperjuangannya. Mereka sama-sama merasa bersalah karena pa da masa perjuangan mereka ikut bertanggung jawab atas pembantaian sebuah keluarga yang dianggap pengkhianat oleh atasannya, Gunawan (Aedy Moward). Film yang diproduksi tahun 1954 ini sudah membicarakan perbuatan kriminal dalam perang, sementara sebagian besar film Amerika mempersoalkannya ketika Perang Vietnam pecah. Progesifnya pemikiran sineas Indonesia masa itu sungguh membuat perfilman masa kini semakin kelihatan suram dan menyedihkan. Keterbatasan teknologi -- misalnya teknik perfilman hitam-putih -- malah menambah nilai artistik film-film tersebut.
PERFINI
PERSARI

A.N. ALCAFF
NETTY HERAWATI
DHALIA
BAMBANG HERMANTO
RD ISMAIL
AWALUDIN
TITIEN SUMARNI
AEDY MOWARD
ASTAMAN
A. HADI
WAHID CHAN
S. TAHARNUNU

Usmar Ismail Di lokasi shooting