KRISIS
Waktu mengungsi dimasa revolusi, Jaka (Rd Sukarno) menitipkan rumahnya kepada husin (Udjang), yang lalu menyewa – kontrakkannya. Maryam (Tina Melinda) harus menerima kenyataan pahit yang masih harus di tambah lagi dengan kedatangan saudaranya, Danu (Wahid Chan) dan istrinya Ratih (Risa Umami). Danu ini menggunakan uang negara untuk memanjakan istrinya. Ia ditangkap ketika sedang mengadakan selamatan tujuh bulan kandungan istrinya. Karena kaget, Ratih melahirkan mendadak dan mengeluarkan banyak darah.. sementara yang lain panik, pemuda acuh tak acuh Ridwan (Aedy Moward) menyumbangkan darah. Hal ini membuat Ros (Nurnaningsih) tertarik, padahal sebelumnya ia lebih menaruh perhatian pada Surya (Ismail Saleh), yang ternyata seorang pengecut. Dan film ini dilanjutkan lagi dengan judul Lagi-Lagi Krisis.
News
Usmar Ismail di set shooting
Bercita-cita menaikkan mutu film Indonesia, ternyata Perfini mengalami krisis, karena produksinya kurang diminati penonton. Usmar Ismail mencoba kompromi dengan film ini. Ternyata laris dan bisa mengatasi krisis keuangan Perfini. "Krisis" adalah film terlaris Indonesia sesudah sukses besar "Terang Boelan" (1938). Reddin adalah anak Usmar Ismail.
Sejarah perfilman Indonesia pernah mencatat bahwa Usmar ismail dengan film Krisisnya (Krisis Perumahan) mampu menggeser keberadaan film-film inport di bioskop kelas satu. Pada masa itu belum pernah terjadi sebuah film mampu bertahan selama 35 hari , dengan penonton yang relatif besar jumlahnya. Dimana pada saat itu film Indonesia harus selalu berhadapan dengan dominasi film import, tidak saja secara komersial-ekonomis tetapi juga sosial-politis. Krisis ini mencerminkan dimana problem pemasaran masih terletak pada sikap pengusaha bioskop, sehingga film indonesia belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Sejarah perfilman Indonesia pernah mencatat bahwa Usmar ismail dengan film Krisisnya (Krisis Perumahan) mampu menggeser keberadaan film-film inport di bioskop kelas satu. Pada masa itu belum pernah terjadi sebuah film mampu bertahan selama 35 hari , dengan penonton yang relatif besar jumlahnya. Dimana pada saat itu film Indonesia harus selalu berhadapan dengan dominasi film import, tidak saja secara komersial-ekonomis tetapi juga sosial-politis. Krisis ini mencerminkan dimana problem pemasaran masih terletak pada sikap pengusaha bioskop, sehingga film indonesia belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Waktu mengungsi dimasa revolusi, Jaka (Rd Sukarno) menitipkan rumahnya kepada husin (Udjang), yang lalu menyewa – kontrakkannya. Maryam (Tina Melinda) harus menerima kenyataan pahit yang masih harus di tambah lagi dengan kedatangan saudaranya, Danu (Wahid Chan) dan istrinya Ratih (Risa Umami). Danu ini menggunakan uang negara untuk memanjakan istrinya. Ia ditangkap ketika sedang mengadakan selamatan tujuh bulan kandungan istrinya. Karena kaget, Ratih melahirkan mendadak dan mengeluarkan banyak darah.. sementara yang lain panik, pemuda acuh tak acuh Ridwan (Aedy Moward) menyumbangkan darah. Hal ini membuat Ros (Nurnaningsih) tertarik, padahal sebelumnya ia lebih menaruh perhatian pada Surya (Ismail Saleh), yang ternyata seorang pengecut. Dan film ini dilanjutkan lagi dengan judul Lagi-Lagi Krisis.
PERFINI |
RENDRA KARNO TINA MELINDA UDJANG SULASTRI AEDY MOWARD NURNANINGSIH WAHID CHAN RISA UMAMI ISMAIL SALEH REDDIN GITO |
News
TIDAK kurang dari almarhum Umar Ismail sendiri ketika itu yang telah memainkan tangan. Bukan sebagai tanda Cut buat juru kamera melainkan sebagai sebuah kepalan yang di Jotoskan kerahang seorang bernama Weskin, pemegang kuasa tunggal soal perbioskopan di kawasan Jawa Barat termasuk Jakarta. Itu peristiwa di tahun 1954. Mengapa sang sutradara yang terkenal bertangan halus itu sampai main tonjok? Tentu ada pasal. Di tahun-tahun itu produksi film pribumi keadaannya bagai kaum paria. Bioskop-bioskop kelas wahid membarikade dirinya bagi kemungkinan giliran masuknya film jenis ini. Dan ketika menerima jotosan Usmar konon Weskin hanya balas berkata "Saya memahami sikapmu, karena untuk kepentingan tanah airmu". Tidak terjadi duel. Juga tidak tersiar sentimen rasial. Sebab tak lama kemudian gedung Metropole satu-satunya yang termewah waktu itu--mulai membuka pintu buat memutar film "Krisis". Sekaligus dengan hasil yang lumayan mengagetkan: sanggup bertahan 35 hari, bahkan di hari terakhir masih tetap penuh. Soalnya kemudian Metropole menghentikan pertunjukan karena ada ancaman dari MGM, bila giliran tak juga disediakan bagi film yang diageninya kontrak niscaya bubar. Cabe rawit. Film memang barang dagangan, setidaknya begitu satu-satunya kesimpulan yang ada di kalangan pedagang film dan pengusaha bioskop. Hasrat memperjanjikan bahwa film itu bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan, penerangan dan sebangsanya, seperti telah tercantum dalam ketetapan MPRS, nampaknya sementara ini boleh tinggal sebagai cita-cita. Sebab bioskop yang berserakan di pelbagai kota, dijalankan pemiliknya menurut pola untung-rugi. Sehingga boleh berpikir bolak-balik lebih dulu buat memprodusir sebuah film yang bertema pendidikan. Kenyataan pula sebelum sebuah film sampai pada publik, yang menentukan patut tidaknya diputar adalah pedagang film Jan pemilik bioskop.
17 Oktober 1954.
17 Oktober 1954.
Indonesia telah bangga dengan salah satu film nasional yang dapat
menandingi film luar negeri. Para pemainnya, penyelenggaranya, apalagi
regiseur merangkap produsernya sangat bangga oleh sukses-nya film
“Krisis” yang dapat dinikmati oleh rakyat, dari kaum desa sampai kepada
kaum intelektualnya, kaum peminat dan kaum kritikus film. Dalam film ini
dibanggakan akan kekuatan regissur dalam mengatur sesuatunya dalam
action, decorasi, dll, dan apalagi dalam memilih tokoh-tokoh yang kuat
untuk membawakan peranannya masing-masing. Diantara sekian banyak
pemain, yang diperkenalkan, terdapatlah nama Nurnaningsih, yang
benar-benar dalam lm ini mendapat sukses besar oleh kekuatan tari,
dialog (meskipun sedikit ke-Jakarta-an, misalnya dalam: Saya ladeni
semua), lagu dan action. Diantara kritikus film banyak yang mengharapkan
akan kariernya bintang baru ini. Bahkan seorang diantara kritikus yang
sudah banyak menyelami film mengatakan bahwa Nurnaningsih dapat
menempati tempat dari almarhumah Miss Rukiah.
Yang berarti jejak para bintang film sebelum perang pemain watak yang
terkenal itu, dapat ditempati oleh Nurnaningsih. Dalam pujian seperti
itu Nur bangga dengan beralasan yang kuat. Oleh suksesnya film “Krisis”
Nur jadi sangat populer. Sangat disukai oleh peminat film. Saat yang
gemilang ini tentu memancarkan nama baik, nama yang kini sudah tidak
asing lagi bagi para penggemar layar putih. Jika krisis sudah
dibicarakan, orang tentu tidak dapat melupakan Nurnaningsih, selain
regissur-nya. Dan kalau pandangan seseorang kritikus film yang sudah
pula menyelami dalam-dalam akan soal film dengan segala segi-seginya
mengadakan suatu pernyataan yang demikian, sudah barang tentu tidak
dapat kita anggap kecil saja.
Pembaca sendiripun tidak dapat menyangkal bahwa mainnya Nurnaningsih
dalam “krisis” aalah sangat baik dan boleh dibanggakan. Para pembaca MP
terdorong oleh desakan para pembaca, redaksi sendiripun merasa wajib
untuk mendekati pembaca, sehingga mengiriminya sepucuk surat. Dan untuk
surat kita itu, Nurnaningsih menulis:
***
Sdr. Redaksi yth.
Bersama surat ini saya juga mengirim foto ukuran briefkaart untuk dimuat dalam majalah MInggu Pagi.
Tentang kesukaan saya adalah melukis (8 tahun), bermain piano (1o
tahun), menyanyi (2 tahun), main film (1 tahun) dan sedikit
berenang-renang, dan menari-nari, menanam tanaman bunga-bunga, menonton
bioskop, berfoto yang aneh-aneh, melihat pemandangan yang indah-indah,
op reis gaan dan apa lagi ya…..
Ya, sudah hanya itu saja barangkali. Oh, ya masih ada juga, kadang-kadang bersemadi atau berpuasa tidak makan nasi dan ikan.
Sekian saja dulu Jika saudara akan memajujkan pertanyaan-pertanyaan apa saja tentang diri saya, saya sanggup membalasnya.
***
Keinginan dan kesukaan saya itu banyak sekali sehingga kalau ditulis tidak ada habis-habisnya.
Demikian singkat tulisannya, tetapi bagi kita sudah cukup jelas apa
yang kita hasratkan dari dia. Kita langsung bertemu dengan tulisannya
jadi obat rindu. Kita langsung dengan buah tangannya yang sedikit itu
tetapi telah melengkapi bayangan dan pertanyaan-pertanyaan yang selama
ini tidak terjawab.
Akhir-akhir para pembaca mungkin sudah dengar akan berita-berita
tentang gambar bintang film ini dalam surat-surat kabar Jakarta. Oleh
adanya sesuatu kesan yang tidak/belum sepadan diadakan pada masa kini
di Indonesia. Menurut surat kabar itu, Nurnaningsih telah dihadapkan
kepada Jaksa Tinggi dan Polisi Kesusilaan oleh peredaran foto-fotonya
yang laris di kota Jakarta. Benar tidaknya kita belum tahu, dan akan
seluk-beluknya pun tidak kita ketahu. Tetapi meskipun saudari
Nurnaningsih suka sekali per-foto yang aneh-aneh, keanehan yang
ditimbulkan untuk menggegerkan kaum pendidik jakarta itu sudah bukan
keanehan lagi. Kekaguman akan Nurnaningsih serta meloncatnya nama
baiknya dalam film tentu tidak akan kurang-kurang meminta perhatian
dari para peminatnya untuk membeli sekedar foto-fotonya (andai kata ia
suka mengedarkan foto-fotonya). Kita juga, dari redaksi mengharapkan
agar suksesnya dalam film itu dapat kontinyu demi kemajuan dunia
per-film-an nasional dan untuk menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia
oleh keseniwatiannya. Dan janganlah ia menjadi “krisis” karena suksesnya
dalam film, sehingga nama baiknya selalu dapat terjamin, meskipun ia
mebimbulkan keanehan. Tetapi lebih baiklah ia menunjukkan kekaguman dan
ketakjuban daripada keanehan. Itulah yang kita sukai dari para artis
film.