Tampilkan postingan dengan label KRISIS / 1953. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KRISIS / 1953. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Februari 2011

KRISIS / 1953

KRISIS

 Usmar Ismail di set shooting

Bercita-cita menaikkan mutu film Indonesia, ternyata Perfini mengalami krisis, karena produksinya kurang diminati penonton. Usmar Ismail mencoba kompromi dengan film ini. Ternyata laris dan bisa mengatasi krisis keuangan Perfini. "Krisis" adalah film terlaris Indonesia sesudah sukses besar "Terang Boelan" (1938). Reddin adalah anak Usmar Ismail.

Sejarah perfilman Indonesia pernah mencatat bahwa Usmar ismail dengan film Krisisnya (Krisis Perumahan) mampu menggeser keberadaan film-film inport di bioskop kelas satu. Pada masa itu belum pernah terjadi sebuah film mampu bertahan selama 35 hari , dengan penonton yang relatif besar jumlahnya. Dimana pada saat itu film Indonesia harus selalu berhadapan dengan dominasi film import, tidak saja secara komersial-ekonomis tetapi juga sosial-politis. Krisis ini mencerminkan dimana problem pemasaran masih terletak pada sikap pengusaha bioskop, sehingga film indonesia belum bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Waktu mengungsi dimasa revolusi, Jaka (Rd Sukarno) menitipkan rumahnya kepada husin (Udjang), yang lalu menyewa – kontrakkannya. Maryam (Tina Melinda) harus menerima kenyataan pahit yang masih harus di tambah lagi dengan kedatangan saudaranya, Danu (Wahid Chan) dan istrinya Ratih (Risa Umami). Danu ini menggunakan uang negara untuk memanjakan istrinya. Ia ditangkap ketika sedang mengadakan selamatan tujuh bulan kandungan istrinya. Karena kaget, Ratih melahirkan mendadak dan mengeluarkan banyak darah.. sementara yang lain panik, pemuda acuh tak acuh Ridwan (Aedy Moward) menyumbangkan darah. Hal ini membuat Ros (Nurnaningsih) tertarik, padahal sebelumnya ia lebih menaruh perhatian pada Surya (Ismail Saleh), yang ternyata seorang pengecut. Dan film ini dilanjutkan lagi dengan judul Lagi-Lagi Krisis.

PERFINI

RENDRA KARNO
TINA MELINDA
UDJANG
SULASTRI
AEDY MOWARD
NURNANINGSIH
WAHID CHAN
RISA UMAMI
ISMAIL SALEH
REDDIN
GITO

News

TIDAK kurang dari almarhum Umar Ismail sendiri ketika itu yang telah memainkan tangan. Bukan sebagai tanda Cut buat juru kamera melainkan sebagai sebuah kepalan yang di Jotoskan kerahang seorang bernama Weskin, pemegang kuasa tunggal soal perbioskopan di kawasan Jawa Barat termasuk Jakarta. Itu peristiwa di tahun 1954. Mengapa sang sutradara yang terkenal bertangan halus itu sampai main tonjok? Tentu ada pasal. Di tahun-tahun itu produksi film pribumi keadaannya bagai kaum paria. Bioskop-bioskop kelas wahid membarikade dirinya bagi kemungkinan giliran masuknya film jenis ini. Dan ketika menerima jotosan Usmar konon Weskin hanya balas berkata "Saya memahami sikapmu, karena untuk kepentingan tanah airmu". Tidak terjadi duel. Juga tidak tersiar sentimen rasial. Sebab tak lama kemudian gedung Metropole satu-satunya yang termewah waktu itu--mulai membuka pintu buat memutar film "Krisis". Sekaligus dengan hasil yang lumayan mengagetkan: sanggup bertahan 35 hari, bahkan di hari terakhir masih tetap penuh. Soalnya kemudian Metropole menghentikan pertunjukan karena ada ancaman dari MGM, bila giliran tak juga disediakan bagi film yang diageninya kontrak niscaya bubar. Cabe rawit. Film memang barang dagangan, setidaknya begitu satu-satunya kesimpulan yang ada di kalangan pedagang film dan pengusaha bioskop. Hasrat memperjanjikan bahwa film itu bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan, penerangan dan sebangsanya, seperti telah tercantum dalam ketetapan MPRS, nampaknya sementara ini boleh tinggal sebagai cita-cita. Sebab bioskop yang berserakan di pelbagai kota, dijalankan pemiliknya menurut pola untung-rugi. Sehingga boleh berpikir bolak-balik lebih dulu buat memprodusir sebuah film yang bertema pendidikan. Kenyataan pula sebelum sebuah film sampai pada publik, yang menentukan patut tidaknya diputar adalah pedagang film Jan pemilik bioskop.


17 Oktober 1954.
Indonesia telah bangga dengan salah satu film nasional yang dapat menandingi film luar negeri. Para pemainnya, penyelenggaranya, apalagi regiseur merangkap produsernya sangat bangga oleh sukses-nya film “Krisis” yang dapat dinikmati oleh rakyat, dari kaum desa sampai kepada kaum intelektualnya, kaum peminat dan kaum kritikus film. Dalam film ini dibanggakan akan kekuatan regissur dalam mengatur sesuatunya dalam action, decorasi, dll, dan apalagi dalam memilih tokoh-tokoh yang kuat untuk membawakan peranannya masing-masing. Diantara sekian banyak pemain, yang diperkenalkan, terdapatlah nama Nurnaningsih, yang benar-benar dalam lm ini mendapat sukses besar oleh kekuatan tari, dialog (meskipun sedikit ke-Jakarta-an, misalnya dalam: Saya ladeni semua), lagu dan action. Diantara kritikus film banyak yang mengharapkan akan kariernya bintang baru ini. Bahkan seorang diantara kritikus yang sudah banyak menyelami film mengatakan bahwa Nurnaningsih dapat menempati tempat dari almarhumah Miss Rukiah.

Yang berarti jejak para bintang film sebelum perang pemain watak yang terkenal itu, dapat ditempati oleh Nurnaningsih. Dalam pujian seperti itu Nur bangga dengan beralasan yang kuat. Oleh suksesnya film “Krisis” Nur jadi sangat populer. Sangat disukai oleh peminat film. Saat yang gemilang ini tentu memancarkan nama baik, nama yang kini sudah tidak asing lagi bagi para penggemar layar putih. Jika krisis sudah dibicarakan, orang tentu tidak dapat melupakan Nurnaningsih, selain regissur-nya. Dan kalau pandangan seseorang kritikus film yang sudah pula menyelami dalam-dalam akan soal film dengan segala segi-seginya mengadakan suatu pernyataan yang demikian, sudah barang tentu tidak dapat kita anggap kecil saja.

Pembaca sendiripun tidak dapat menyangkal bahwa mainnya Nurnaningsih dalam “krisis” aalah sangat baik dan boleh dibanggakan. Para pembaca MP terdorong oleh desakan para pembaca, redaksi sendiripun merasa wajib untuk mendekati pembaca, sehingga mengiriminya sepucuk surat. Dan untuk surat kita itu, Nurnaningsih menulis:
***
Sdr. Redaksi yth.
Bersama surat ini saya juga mengirim foto ukuran briefkaart untuk dimuat dalam majalah MInggu Pagi.
Tentang kesukaan saya adalah melukis (8 tahun), bermain piano (1o tahun), menyanyi (2 tahun), main film (1 tahun) dan sedikit berenang-renang, dan menari-nari, menanam tanaman bunga-bunga, menonton  bioskop, berfoto yang aneh-aneh, melihat pemandangan yang indah-indah, op reis gaan dan apa lagi ya…..
Ya, sudah hanya itu saja barangkali. Oh, ya masih ada juga, kadang-kadang bersemadi atau berpuasa tidak makan nasi dan ikan.
Sekian saja dulu Jika saudara akan memajujkan pertanyaan-pertanyaan apa saja tentang diri saya, saya sanggup membalasnya.
***

Keinginan dan kesukaan saya itu banyak sekali sehingga kalau ditulis tidak ada habis-habisnya.

Demikian singkat tulisannya, tetapi bagi kita sudah cukup jelas apa yang kita hasratkan dari dia. Kita langsung bertemu dengan tulisannya jadi obat rindu. Kita langsung dengan buah tangannya yang sedikit itu tetapi telah melengkapi bayangan dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak terjawab.
 
Akhir-akhir para pembaca mungkin sudah dengar akan berita-berita tentang gambar bintang film ini dalam surat-surat kabar Jakarta. Oleh adanya sesuatu kesan yang tidak/belum sepadan diadakan  pada masa kini di Indonesia. Menurut surat kabar itu, Nurnaningsih telah dihadapkan kepada Jaksa Tinggi dan Polisi Kesusilaan oleh peredaran foto-fotonya yang laris di kota Jakarta. Benar tidaknya kita belum tahu, dan akan seluk-beluknya pun tidak kita ketahu. Tetapi meskipun saudari Nurnaningsih suka sekali per-foto yang aneh-aneh, keanehan yang ditimbulkan untuk menggegerkan kaum pendidik jakarta itu sudah bukan keanehan lagi. Kekaguman akan Nurnaningsih serta meloncatnya nama baiknya dalam film  tentu tidak akan kurang-kurang meminta perhatian dari para peminatnya untuk membeli sekedar foto-fotonya (andai kata ia suka mengedarkan foto-fotonya). Kita juga, dari redaksi mengharapkan agar suksesnya dalam film itu dapat kontinyu demi kemajuan dunia per-film-an nasional dan untuk menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia oleh keseniwatiannya. Dan janganlah ia menjadi “krisis” karena suksesnya dalam film, sehingga nama baiknya selalu dapat terjamin, meskipun ia mebimbulkan keanehan. Tetapi lebih baiklah ia menunjukkan kekaguman dan ketakjuban daripada keanehan. Itulah yang kita sukai dari para artis film.