TIGA DARA
Film ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tiga anak perempuan yang semuanya masih lajang. Ibu mereka meninggal, dan ketiganya tinggal bersama nenek dan ayah yang terus sibuk.
Mengemban amanat almarhumah, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Konflik inilah yang menjadi cerita menarik dari lakon Tiga Dara.
Memuji penulisan skenario dan alur ceritanya, dialoq dan sebagainya,..semua orang bertanya, kenapa film Usmar, Asrul dan lainnya sangat baik skenarionya....kenapa sekarang tidak ada sebagi mereka? Jawabannya hanya satu,...mereka adalah sastrawan, hampir semua penulisa skenarion waktu dulu adalah seorang sastrawan, yang sangat amat menguasai kosa kata, kalimat, dan sebagainya sehingga menlahirkan sesuatu yang sudah tentu dasyat. Tetapi saat ini, penulis skenario asal tulis atau asal penulis saja. Serasa bisa menulis cerita dalam FB, sudah merasa mampu menulis skenario film. Bagaimana bisa bagus?
Film ini terlibat juga Misbach, yang di percaya sebagai anggota pengarang di perfini. Ini adalah film cerita ringat, kata Misbach. Umar terpaksa memproduksi film ini untuk menolong perusahaan perfini yang sudah diambang pinggir jurang kebangkrutan, dan sudah diancam di sita bank. Dalam cerita ini ada sejumlah nyanyian yang dibawakan secara bersautan atau tunggal, padahal adegan ini mirip film India yang selama ini ditentang oleh perfini, tapi karena untuk menyelamatkan perfini, dalam keadaan kepepet. Film ini diluncurkan tahun 1957 dan meledak di pasar. Akan tetapi film ini mendapat keritikan yang tajam dari kubu komunis, dalam bahasa yang kasar mereka menyatakan Usmar menghianati cita-citanya.
PERFINI
“Bung kira ini jalanan punya bung! Seenaknya saja jalan tidak lihat-lihat,” hardik Nunung. Sang pemuda, yang belakangan diketahui bernama Toto, berusaha menolongnya. “Saudara, tidak apa-apa? Biar saya antar,” katanya. “Tidak usah, jangan pegang-pegang!” Nunung membentak pemuda itu. Toto kian kikuk, permintaan maafnya kandas, malah dihardik di depan kerumunan orang. “Ya ampun, galaknya,” ujar seseorang yang heran melihat Nunung mengamuk.
Meski Nunung menolak, Toto tak patah arang. Diam-diam Toto membuntutinya hingga ke tujuan. Tak berselang lama, Toto sudah muncul di teras rumah Nunung, berpakaian rapih lengkap dengan karangan bunga di tangannya. Nana, adik Nunung, menerima tamu itu dengan pandangan takjub. “Ada orang gagah mencarimu,” kata Nana kepada Nunung, yang masih terbaring lemas di tempat tidur.
Itulah awal kisah romantika cinta segitiga yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang menjadi cerita utama film Tiga Dara. Kehadiran Toto menyita perhatian Nana yang agresif (diperankan oleh Mieke Wijaya). Adapun Toto sudah jelas jatuh cinta kepada Nunung (Chitra Dewi), yang ketus dan pendiam, sejak insiden tabrakan itu.
Tiga Dara, film produksi 1956 yang berkisah tentang romantika tiga anak perawan itu, kembali diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu sore lalu. Setelah puluhan tahun, film karya sineas kawakan Usmar Ismail (almarhum) itu hadir kembali sebagai penutup perhelatan Bulan Film Nasional 2010, yang digelar oleh Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta.
Meski produksi “jadul” dengan kondisi seadanya, Tiga Dara tetap menjadi kisah yang menarik. Bahkan, pada zamannya, film itu sangat fenomenal. Banyak penikmat sinema Indonesia yang meletakkan film produksi Perfini itu pada deretan film terbaik.
Konflik cinta segitiga makin seru dengan munculnya si bungsu Nenny yang cerdik. Saat cinta Toto telah berpaling dari Nunung ke Nana, Nenny (Indriati Iskak) dan sang ayah justru merencanakan siasat merebut kembali cinta Toto untuk Nunung.
Bukan karena mereka pro-Nunung, melainkan keduanya hanya ingin mewujudkan obsesi sang nenek, yang menginginkan Nunung segera menikah. “Kalau dilangkahi Nana, Nunung bisa jadi perawan tua,” kata sang nenek geram.
Sepintas, kisah garapan Usmar Ismail tersebut memang sederhana. Bahkan kita tak perlu berpikir keras untuk memahami dan menebak akhir film tersebut. Tapi, bila melihat akting para pemain dengan penokohan yang kuat dan pengambilan gambarnya yang apik, tak berlebihan jika memberikan dua acungan jempol untuk film yang juga dibintangi Bambang Irawan dan Fifi Young tersebut.
Yang membuat Tiga Dara hebat, kisah sederhana film itu juga dibungkus dengan skenario menarik dan alur cerita yang rapih serta bisa dinalar. Kesan kaku dan jadul bahkan tak muncul dalam adegan. Penggunaan bahasa sehari-hari yang luwes membuat film yang skenarionya ditulis sendiri oleh Usmar Ismail itu menjadi dekat dengan penonton. Di zamannya, film musikal hitam-putih tersebut menorehkan penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia pada 1960-an untuk tata musik terbaik. Selain itu, Tiga Dara menjadi salah satu film terlaris Indonesia era 1950-an, dari sisi kualitas gambar, film Tiga Dara yang diputar Rabu sore lalu itu masih di bawah standar, sehingga membuat mata kurang nyaman. Meski begitu, film berdurasi 116 menit tersebut tetap menarik dari segi alur cerita, karakter para tokoh, dan akting para pemainnya.
Tiga Dara boleh dibilang jauh berbeda dengan film-film nasional sekarang. Sementara sebagian besar film sekarang cenderung jauh dari realitas sosial dan menjual mimpi, Tiga Dara menyuguhkan permasalahan sosial yang nyata saat ini. Bahkan film itu jauh dari kesan membodohi masyarakat.
Dibintangi oleh Chitra Dewi, Mieke Wijaya, dan Indriati Iskak, masing-masing sebagai tokoh Nunung, Nana, dan Neni. Tak hanya mereka, Rendra Karno, Bambang Irawan, dan Fifi Young juga turut memperkuat. Tiga Dara Sutradara Usmar Ismail Produser PT Perfini Penulis Usmar Ismail Pemeran Chitra Dewi Mieke Wijaya Indriati Iskak Rendra Karno Bambang Irawan Fifi Young Hassan Sanusi Durasi .. menit Negara Indonesia.
Film ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tiga anak perempuan yang semuanya masih lajang. Ibu mereka meninggal, dan ketiganya tinggal bersama nenek dan ayah yang terus sibuk.
Mengemban amanat almarhumah, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Konflik inilah yang menjadi cerita menarik dari lakon Tiga Dara.
Memuji penulisan skenario dan alur ceritanya, dialoq dan sebagainya,..semua orang bertanya, kenapa film Usmar, Asrul dan lainnya sangat baik skenarionya....kenapa sekarang tidak ada sebagi mereka? Jawabannya hanya satu,...mereka adalah sastrawan, hampir semua penulisa skenarion waktu dulu adalah seorang sastrawan, yang sangat amat menguasai kosa kata, kalimat, dan sebagainya sehingga menlahirkan sesuatu yang sudah tentu dasyat. Tetapi saat ini, penulis skenario asal tulis atau asal penulis saja. Serasa bisa menulis cerita dalam FB, sudah merasa mampu menulis skenario film. Bagaimana bisa bagus?
Film ini terlibat juga Misbach, yang di percaya sebagai anggota pengarang di perfini. Ini adalah film cerita ringat, kata Misbach. Umar terpaksa memproduksi film ini untuk menolong perusahaan perfini yang sudah diambang pinggir jurang kebangkrutan, dan sudah diancam di sita bank. Dalam cerita ini ada sejumlah nyanyian yang dibawakan secara bersautan atau tunggal, padahal adegan ini mirip film India yang selama ini ditentang oleh perfini, tapi karena untuk menyelamatkan perfini, dalam keadaan kepepet. Film ini diluncurkan tahun 1957 dan meledak di pasar. Akan tetapi film ini mendapat keritikan yang tajam dari kubu komunis, dalam bahasa yang kasar mereka menyatakan Usmar menghianati cita-citanya.
PERFINI
CHITRA DEWI INDRIATI ISKAK MIEKE WIJAYA RENDRA KARNO FIFI YOUNG HASSAN SANUSI BAMBANG IRAWAN |
News
Tiga Perawan, Satu Cinta
Film klasik Indonesia yang menyuguhkan realitas masyarakat dengan jujur. Alur ceritanya sederhana, karakter tokohnya kuat, dan akting para pemainnya lumayan hebat. Suatu siang pada 1956. Jakarta terpanggang terik mentari yang bersinar garang. Peluh yang deras bercucuran membuat Nunung bergegas pulang. Ia mempercepat langkahnya, menuju pangkalan becak di seberang jalan dekat tikungan, tanpa peduli keadaan sekitarnya. Namun, saat Nunung menyeberang, tiba-tiba sebuah skuter menyeruduknya. “Gubrak...!” Nunung terjatuh, kakinya terluka. Sementara itu, sang pengendara skuter terjungkal tak jauh dari tunggangannya.
Film klasik Indonesia yang menyuguhkan realitas masyarakat dengan jujur. Alur ceritanya sederhana, karakter tokohnya kuat, dan akting para pemainnya lumayan hebat. Suatu siang pada 1956. Jakarta terpanggang terik mentari yang bersinar garang. Peluh yang deras bercucuran membuat Nunung bergegas pulang. Ia mempercepat langkahnya, menuju pangkalan becak di seberang jalan dekat tikungan, tanpa peduli keadaan sekitarnya. Namun, saat Nunung menyeberang, tiba-tiba sebuah skuter menyeruduknya. “Gubrak...!” Nunung terjatuh, kakinya terluka. Sementara itu, sang pengendara skuter terjungkal tak jauh dari tunggangannya.
“Bung kira ini jalanan punya bung! Seenaknya saja jalan tidak lihat-lihat,” hardik Nunung. Sang pemuda, yang belakangan diketahui bernama Toto, berusaha menolongnya. “Saudara, tidak apa-apa? Biar saya antar,” katanya. “Tidak usah, jangan pegang-pegang!” Nunung membentak pemuda itu. Toto kian kikuk, permintaan maafnya kandas, malah dihardik di depan kerumunan orang. “Ya ampun, galaknya,” ujar seseorang yang heran melihat Nunung mengamuk.
Meski Nunung menolak, Toto tak patah arang. Diam-diam Toto membuntutinya hingga ke tujuan. Tak berselang lama, Toto sudah muncul di teras rumah Nunung, berpakaian rapih lengkap dengan karangan bunga di tangannya. Nana, adik Nunung, menerima tamu itu dengan pandangan takjub. “Ada orang gagah mencarimu,” kata Nana kepada Nunung, yang masih terbaring lemas di tempat tidur.
Itulah awal kisah romantika cinta segitiga yang terjadi dalam sebuah keluarga, yang menjadi cerita utama film Tiga Dara. Kehadiran Toto menyita perhatian Nana yang agresif (diperankan oleh Mieke Wijaya). Adapun Toto sudah jelas jatuh cinta kepada Nunung (Chitra Dewi), yang ketus dan pendiam, sejak insiden tabrakan itu.
Tiga Dara, film produksi 1956 yang berkisah tentang romantika tiga anak perawan itu, kembali diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu sore lalu. Setelah puluhan tahun, film karya sineas kawakan Usmar Ismail (almarhum) itu hadir kembali sebagai penutup perhelatan Bulan Film Nasional 2010, yang digelar oleh Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta.
Meski produksi “jadul” dengan kondisi seadanya, Tiga Dara tetap menjadi kisah yang menarik. Bahkan, pada zamannya, film itu sangat fenomenal. Banyak penikmat sinema Indonesia yang meletakkan film produksi Perfini itu pada deretan film terbaik.
Konflik cinta segitiga makin seru dengan munculnya si bungsu Nenny yang cerdik. Saat cinta Toto telah berpaling dari Nunung ke Nana, Nenny (Indriati Iskak) dan sang ayah justru merencanakan siasat merebut kembali cinta Toto untuk Nunung.
Bukan karena mereka pro-Nunung, melainkan keduanya hanya ingin mewujudkan obsesi sang nenek, yang menginginkan Nunung segera menikah. “Kalau dilangkahi Nana, Nunung bisa jadi perawan tua,” kata sang nenek geram.
Sepintas, kisah garapan Usmar Ismail tersebut memang sederhana. Bahkan kita tak perlu berpikir keras untuk memahami dan menebak akhir film tersebut. Tapi, bila melihat akting para pemain dengan penokohan yang kuat dan pengambilan gambarnya yang apik, tak berlebihan jika memberikan dua acungan jempol untuk film yang juga dibintangi Bambang Irawan dan Fifi Young tersebut.
Yang membuat Tiga Dara hebat, kisah sederhana film itu juga dibungkus dengan skenario menarik dan alur cerita yang rapih serta bisa dinalar. Kesan kaku dan jadul bahkan tak muncul dalam adegan. Penggunaan bahasa sehari-hari yang luwes membuat film yang skenarionya ditulis sendiri oleh Usmar Ismail itu menjadi dekat dengan penonton. Di zamannya, film musikal hitam-putih tersebut menorehkan penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia pada 1960-an untuk tata musik terbaik. Selain itu, Tiga Dara menjadi salah satu film terlaris Indonesia era 1950-an, dari sisi kualitas gambar, film Tiga Dara yang diputar Rabu sore lalu itu masih di bawah standar, sehingga membuat mata kurang nyaman. Meski begitu, film berdurasi 116 menit tersebut tetap menarik dari segi alur cerita, karakter para tokoh, dan akting para pemainnya.
Tiga Dara boleh dibilang jauh berbeda dengan film-film nasional sekarang. Sementara sebagian besar film sekarang cenderung jauh dari realitas sosial dan menjual mimpi, Tiga Dara menyuguhkan permasalahan sosial yang nyata saat ini. Bahkan film itu jauh dari kesan membodohi masyarakat.