Tampilkan postingan dengan label TEGUH KARYA 1960-1992. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TEGUH KARYA 1960-1992. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Januari 2011

USIA 18 / 1980


 
Pertemuan Edo (Dyan Hasri) dan Ipah (Yessy Gusman) di sebuah kampus perguruan seni berlanjut dengan keduanya saling jatuh cinta. Hubungan mereka tampak begitu murni hingga seolah tidak berjarak, meskipun ayah Ipah (Zainal Abidin) tak menyukai hubungan Edo dan Ipah.

Ayah Edo yang bekerja di dinas kereta api, meninggal karena kecelakaan. Sebagai anak tertua Edo terpanggil untuk membantu nafkah keluarga dan bekerja di dinas kereta api di kota lain. Oleh karena itu Edo meninggalkan kuliah dan Ipah. Namun masing-masing berusaha untuk saling setia.
  
Setelah sukses dengan November 1828, Teguh mencari bentuk lain dari perjuangan di alam kemerdekaan. Problem generasi muda menjadi pilihan. Melalui Usia 18, Teguh, menampilkan bentuk lain dari perjuangan anak muda yang berjuang melawan tantangan masa puber yang penuh jebakan ke arah hidup yang buruk. Usia remaja adalah usia yang penuh tantangan. Sekali salah melangkah, masa depan akan hancur berantakan.

USIA 18 Saya hanya mengetengahkan persoalan yang 'biasa'. Memang, saya ingin mengatakan sesuatu. Tentang para remaja. Tapi dengan cara sederhana saja. -- Teguh Karya EDO (Diyan Hasri), 18 tahun, ditinggal mati ayahnya. Ia terpaksa berhenti kuliah dan bekerja di bagian mesin di bengkel kereta api -- pekerjaan yang sama dengan pekerjaan mendiang ayahnya. Sebab ia harus membantu ibu dan ketiga orang adiknya. Adalah Ipah (Yessy Gusman) -- gadis sebaya, pacar Edo -- yang menyebabkan si cowok tetap memiliki semangat. Untuk suatu ketika bisa kuliah lagi. Ayah Ipah (Zaenal Abidin, duda) adalah kawan ayah Edo. Sebagai orang mampu -- direktur sebuah biro perjalanan - ia ingin membantu Edo. Tapi entah bagaimana juntrungnya, tiba-tiba Edo digambarkan sangat tersinggung oleh uluran tangan itu. Rasa sakit hati -- yang tak jelas -- itu kemudian ternyata menjadi sebagian dari konflik yang ingin dikembangkan Teguh Karya, sutradara dan penulis skenario film Usia 18 itu. Karena itu, kurang meyakinkan. Di samping, pada dasarnya ceritanya tak memiliki konflik yang berarti yang bisa membangun situasi dramatik. Mudah dibayangkan, bagaimana jadinya sebuah cerita tanpa konflik. Tak usah disangsikan, Teguh Karya adalah sutradara yang sudah terbukti memiliki banyak kelebihan.

Kekurangannya agaknya hanya satu itu -- sebagaimana juga terlihat dalam filmnya terdahulu November 1828. Ia tak bisa menciptakan konflik dalam cerita bikinannya sendiri. Sehingga yang muncul hanya sekedar kerapian dan potret meyakinkan dari suatu ketrampilan kerja teknis saja. Apa yang ingin dikatakan Teguh lewat kedua remaja itu pun jadi kabur. Yang menonjol malah suasana percintaan bagai dalam mimpi pubertas. Indah, damai dan penuh kesetiaan. Sayang. Padahal, dalam film terbarunya ini, Teguh masih terlihat sanggup memberi pengarahan akting yang hidup pada para pemainnya. Sofia WD misalnya yang memainkan tokoh nenek dalam film ini cukup patut diperhitungkan untuk sebuah Citra.









PERKAWINAN DALAM SEMUSIM / 1976

PERKAWINAN DALAM SEMUSIM


Yang menarik dari film ini adalah ceritanya, meninggalkan cerita plot tunggal pada film sebelumnya, dalam film ini menapilkan plot majemuk.

Disini ada cerita mengenai Kooswara (Slamet Raharjo) yang ditinggal mati oleh istrinya setelah diperkosa oleh Kardiman (Rachmat Hidayat). Kardiman sendiri punya cerita sendiri yang dipenuhi dengan kebuasan seks. Agus (Hermana Masduki) putra tunggal Kardiman, selain mengikuti jejak seks ayahnya ia sekaligus menjadi pemeras sang Ayah. Lain pula cerita Ipik (El Manik) yang mengkaryakan adik perempuannya dengan harapan bisa mendapatkan kedudukan dan tentu saja uang. Nyonya Kardiman (Tuty Indra Malaon) juga bukan tanpa kisah agak cukup rumit.

Tokoh-tokoh dalam film ini ibarat beraneka ragam bunga yang hinggap di tangan Penata Kembang Teguh Karya. Sebagai penulis cerita dan skenario, Teguh tampaknya terlalu sadar akan keterbatasannya sebagai sutradara dalam mencobakan tangannya terhadap film dengan plot majemuk. Karena itulah maka tokoh-tokoh itu dilokalisasikan saja di seputar Kardiman. Keadaan ini menimbulkan kesan penyutradaraan. Cukup mengganggu.

Cerita ini berbeda dengan kebiasaan Teguh, cara cerita kronologis ditinggalkan sama sekali. Kejadian masa lalu dicampur baurkan dengan masa sekarang. Film-film modern memang terbiasa dengan cara ini. Disini penonton diberi kesempatan berperan aktif dalam mengikuti cerita.

Dalam film ini, pemain harus menggunakan otaknya, nampaknya ini disebabkan oleh terlalu panjangnya persiapan ke arah pengungkapan puncak konflik. Disamping itu penataan cerita terasa dikerjakan tidak begitu rapi. Tanpak tidak semua adegan merupakan kesatuan yang utuh yang mendukung cerita. Seringkali dalam adegan-adegan itu muncul hal-hal yang kemudian ditinggalkan begitu saja oleh Teguh. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan di kepala penonton. Tokoh Uci dan tokoh yang dimainkan oleh Sari Narulita mempunyai potensi yang mengasyikan, tetapi mereka ditinggalkan begitu saja.

Selain editing film ini memabng kurang apik -sehingga etrasa cerita tidak berjalan lancar, juga terasa adanya kekurangan shot dalam film kelebihan adegan ini. Efek dramatis penguburan istri Kooswara barangkali akan terasa seandainya shot pada adegan itu diperbanyak dan editor bisa bekerja lebih dinamis.

Film kali ini lebih merangsang dari film sebelumnya. Seperti Wim yang sudah tidak mau dengan cerita konvesional, Teguh juga melakukan haln yang sama. Modal terpenting untuk film jenis ini skenario harus rapi, agar adanya teka-teki itu bisa baik.

Inilah film Teguh yang memeras pikiran bagi penontonnya. Dengan cerita yang masih seputar perkawinan, bagi sutradara yang terus membujang ini, perkawinan adalah sumber malapetaka. Tokoh dalam film-film Teguh semua menderita lantaran perkawinan. Bahkan pertemuan antara Kooswara dan Nana (Anissa Sitawati) di akhir cerita, oleh Teguh cukup dianggap ilusi belaka. Akan hal adegan yang terakhir ini penonton memang terpaksa bingung, sebab usaha Teguh membuat ilusi ternyata tiba dilayar sebagai kejadian yang sebenarnya. Karena demikian merentetlah sejumlah pertanyaan lagi, begitu mudah Nana meninggalkan pacarnya, begitu mudah ibunya menyuruh ia menyusul Kooswara dan sebagainya.

Pertanyaan yang kelihatannya banyak juga dari penonton tentu saja tidak harus membuat Teguh kecil hati. Sutradara didikan ATNI (akademi Teater Nasional) ini baru saja memasuki suatu cara baru dalam kebaharuannya, Teguh toh sempat menampilkan Rahmat Hidayat secara amat meyakinkan. Slamet Rahardjo seperti biasanya selalu bermain baik. Tuty Indra Malaon pada film ini memperlihatkan kebolehannya scara amat meyakinkan.

NOTE: Sebagai pribadi seorang seniman memiliki kejenuhan dalam rutinitas produksi. Semua keputusan diambil secara gamang. Perkawinan Dalam Semusim mengalami berkali-kali perubahan judul. Pada awalnya berjudul Serigala-Serigala. Kemudian diganti menjadi Manusia Serigala. Pada akhirnya film ini berjudul Perkawinan Dalam Semusim. Film ini menampilkan adegan-adegan yang berakhir fatal dan sia-sia, sebagai puncak dari kesalah-pahaman.
 P.T. SUPTAN FILM

TUTI INDRA MALAON
ANISSA DIAH SITAWATI
SLAMET RAHARDJO
HERMAN MASDUKI
MIEKE WIJAYA
RACHMAT HIDAYAT
SUTOPO HS
SERI NARULITA
ALAM SURAWIDJAJA
ROLDIAH
BRAM MD







KAWIN LARI / 1974

KAWIN LARI


Membuat film komedi tentang seorang ibu yang mencari menantu bagi anak gadisnya yang telah perawan tua adalah ide yang mendorong Teguh membuat film ini. Maunya sutradara Willy (Herman Masduki) telah menjadi perjaka tua, demikian pula adiknya (Christien Hakim), ketika film dimulai. Tetapi baik fisik maupun tingkah laku serta cara dan teman bergaulnya si Willy tidak bisa mendesak kita untuk yakin bahwa ia jejaka tua. Dan Anna yang lewat dialoq ibunya diperkenalkan sebagai gugup dan merasa tidak berharga lagi sebagai seorang wanita. Tingkah laku dan gerak polanya ternmyata hanya mengingatkan kita pada orang-orang yang IQ-nya sedikit dibawah normal.

Seorang jejaka muda yang normal, tidak jelek -meskipun dipaksa berpakaian agak arkhaik oleh si pembuat film -cukup terpelajar, jatuh cinta pada si Anna. Ini kasus memang istimewa, kendati sediit sulit di mengerti, cinta atau kasihan, itu kurang jelas, tetapi Jaka (Slamet Rahadjo) disini digambarkan betul-etul suka pada Anna. Pada suatu hari, ibu (Tuti Indra Malaon) mengetahui bahwa Jaka adalah anak Rd.Tatang dari perkawinannya dengan Nyi.Saodah; seorang perempuan yang dalam kehidupan si ibu merupakan duri semasa suaminya masih hidup. Van Nijs yang dikiranya setia, beberapakali kedapatan menyeleweng dengan istri Rd.Tatang ini, Ibu menolak Jaka? Ada alasan dong. Tetapi berapa sebenarnya umur kedua anak Van Nijs itu ketika film ini dibikin? Melihat -flashbacknya jelas kedua anak itu lahir sebelum perang, sementara kisah ini berlangsung di tahun 1975 (perhatikan model mobil toyota yang ditumpangi Mike Wijaya dan Slamet Raharjo). Umur mereka yang sudah cukup gawat itu, ternyata tidak kompak dengan penampilan dalam gambar hidup. Baik si willyt, Anna, Jaka maupun ibu yang masih kelihatan amat lincah dan gesit.

Kisah yang disadur dari karya pengarang Amerika ini amat terkenal dan bukan barang baru lagi baru Teguh Karya. Sekitar sepuluh tahun silam, sandiwara Permainan Gelas karya Tennessee Williams ini telah di pentaskan oleh Teguh Karya. Di sana cerita itu bernada sayu. Kalau saja Teguh juga suka melihat Kawin Lari sebagai melodrama dan tidak memaksa pemainnya untuk memancing ketawa, karyanya ini bisa akan jaya lagi macam yang dulu-dulu. Karena mau membuat komedi itu, makanya pemainnya terasa dibuat-buat. Christien Hakim mungkin salah penafsiran Teguh pada sosok peran Anna ini.

Kemasyuran Teguh, ketelitian, kecermatan dalam karyanya hanya terlihat pada dekor dan set studionya saja dalam film ini. Di film ini juga banyak orang yang bilang, setiap Empuh tidak selalu menghasilkan masterpiese kan????.

Ringkasan Ceritanya.
Oleh sutradaranya film ini disebut komedi pahit. Agaknya Teguh Karya bermaksud membuat film komedi yang "sungguhan", di tengah banyaknya film banyolan. Kisahnya berawal dari Ibu Sumirah (Tuti Indra Malaon), janda dan bekas kembang Padalarang, yang sangat khawatir akan anaknya Anna (Christine Hakim), yang sangat pemalu dan minder. Sumirah sibuk mencarikan jodoh, hingga ia mendorong-dorong kakak Anna, Willy (Herman Masduki) untuk membawa teman pabrik pakaiannya datang berkunjung ke rumah. Perubahan terjadi setelah kenalan dengan Jaka, seorang guru bahasa Inggris yang tinggal di dekat rumahnya. Ketika percintaan mereka mulai berjalan, ketahuan bahwa Jaka adalah anak Saodah, yang pernah menyeleweng dengan suami Sumirah, Van Nijs. Sumirah berbalik pendirian. Anna dan Jaka akhirnya lari.

NOTE: 
Nama Teguh Karya selalu dihubungkan dengan nama Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, Niniek L. Karim, Erros Djarot dan Idris Sardi yang selalu mendominasi Festival Film Indonesia. Nama Teguh Karya dan kelompoknya telah menjadi simbol dari kreativitas dan prestasi yang dicapai dengan kerja keras serta kecintaan pada profesinya.
P.T. ELANG PERKASA FILM
KONSORSIUM FILM MANDARIN


CHRISTINE HAKIM
SLAMET RAHARDJO
TUTI INDRA MALAON
HERMAN MASDUKI
MIEKE WIJAYA
HENKY SOLAIMAN
GEORGE KAMARULLAH
DELIANA SURAWIDJAJA
GINO MAKASUTJI
SAODAH
EDOWATI







RANJANG PENGANTIN / 1975













Nona Kawilarang (Lenny Marlina) mencintai Bram Tanamal (Slamet Raharjo) "Aku bukannya tidak setuju kau kawin dengan Bram, tapi apakah dia akan menjadi bapak yang baik buat anak-anak mu?" tukas pak Kawilarang (Aedy Moward). Tetapi karena Bram dan Nona terlanjur berbuat di alang-alang Bina Ria, tidak ada pilihan lagi buat Nona. Perkawinan tanpa restu orang tua berlansung diruang tengah tatkala pa Kawilarang menutup diri di ruang atas. Dari balik tirai Pak Kawilarang masih sempat mengikuti perjalanan putrinya ke sebuah ranjang pengantin, nun di sebuah gubuk kecil di bilangan mskin Jakarta. Apakah Nona yang anak orang kaya bisa hidup di kampung? Kalau cinta? inilah pernyataannya.


Nona memang mencintai Bram, makanya ia tinggal di gubuk bertingkat ini, tanpa mengeluh. Bram yang buruh bengkel, bahkan ia mencari tambahan sebagai supir truk. Hidup mereka harmonis, dan tidak ada keluh kesah. Tetapi ketika paru-paru Bram terserang parah, Bram tetap ingin melakukan kerjaannya guna mendapatkan uang demi istri dan anak-anaknya. Ia rela menderita dari pada dompetnya ke dokter. Disinilah konflik mulai terjadi.



Kisah sebuah keluarga dari bagian kumuh kota. Bram (Slamet Rahardjo) mengawini Nona (Lenny Marlina), tanpa restu orangtua Nona, karena sudah dijodohkan dengan Paul (George Kamarullah). Kehidupan suami-istri yang hidup dengan gaji Bram yang pas-pasan ini, masih ditambah masalah karena hubungan tak intim mereka dengan Nien (Mieke Wijaya), kakak Bram yang perawan tua. Peristiwa sehari-hari yang dilukiskan dengan sangat realis menunjukkan perjalanan keluarga ini hingga akan lahir anak ketiga. Bram terkena sakit paru-paru, tapi memaksakan diri untuk bekerja terus. Nona mencoba meringankan beban keluarga dengan menerima jahitan dari Lili (Christine Hakim), istri muda pemilik bengkel tempat kerja Bram. Hubungan ini memperuncing konflik keluarga tadi. Kisah kemudian menjadi melodrama: Bram bunuh diri dengan mengerat nadi tangannya sembari menulis surat untuk Nona

Cerita lebih menarik lantaran yang punya kisah sudah lebih dulu menyediakan tokoh-tokoh lain guna mendukung konflik. Hidup bersama Bram adalah kakak perempuannya, seorang pewawan tua yang bernama Nien (Nike Wijaya). Bertetanggaan dengan keluarga Bram adalah Lili (Christien Hakim), perempuan cantik yang mundar-mandir dengan taxi (ia sebenarnya istri muda majikan Bram) dalam keadaan susah, Nona mendapat bantuan Lili dan Nien mencurigai perempuan bertaxi itu menghasut adiknya sembari memfitnah iparnya. Bukti-bukti yang dilaporkan oleh Nien memang logis, tetapi penggambarannya dilayar terasa agak terencana. Ketika Nona bersama Lili mengunjungi kantor Sasmita (Muni Carder) untuk pijam uang, Sasmita menyempatkan menutup pintu kantor setelah merangkul masuk Nona dan Lili. Adegan ini terlihat jelas oleh Nien yang atas suruhan adiknya datang ke kantor itu mengantarkan surat pemberitahuan sakit. Dalam keadaan bingung Nona sempat diundang pesta oleh Lili dan Sasmita. Kunjungan Nona ke pesta Sasmita (merangkul nona disaksikan Bram) sore itu jugalah yang amat menyakitkan Bram -setelah sebelumnya terhasut oleh kakaknya -bahwa istrinya memang menyeleweng.

ketika Bram mengakhiri hidupnya setelah menyaksikan anak sulungnya tewas terjatuh dari tangga -yang kelihatannya terlalu tinggi -nyatalah bahwa tragedi ini benar yang ingin dikejar oleh Teguh Karya yang menulis dan menyutradarai film ini. Untuk ukuran film Indonesia cara Teguh mencapai niatnya memang masih tetap tidak tercela. Tetapi bagi penonton yang terbiasa dengan selera tinggi, masih terasa kerikil dalam perjalanan kisah ini.

Teguh memang telah berusaha keras. Pemain tampil dengan meyakinkan. Dari awal hingga akhir film ia tetap menyajikan skenario dengan baik. Dan kematian Bram karena batuk darah, bukan karena kerja keras Bram siang dan malam, ini karena keturunan yang bapaknya juga mati dalam penyakit ini. Juga pisau cukur, sebelum memutuskan nadi Bram, penonton telah diperkenalkan (planting Information) dua kali, Bram bercukur, dan pisau cukur diketemukan tersembunyi oleh putra mereka. 

Kecuali adegan Nona bersama Sasmita dan Lili tubuh cerita terjalin rapi. Teguh yang terkenal apik sejak di panggung menempatkan kisahnya dalam kalangan keluarga Menado, dan Ambon. Betapa mengenalnya betul mengenaknya Teguh dengan tokoh-tokoh dan lingkungan yang ia gambarkan.

Dalam film ini dan ketiga filmnya yang lain. Teguh memang terlihat berani memainkan darah dalam filmnya, mungkin untuk menyamai dramatik dalam filmnya. Kalaupun makin ada yang tidak dikerjakan secara wajar oleh Teguh, film ini justru tokoh utama film adalah Bram. Tragedi Bram biasa-biasa menakutkan para pemuda terutama yang miskin-miskin untuk kawin.











Note: Melalui film ini Teguh Karya memantapkan dirinya sebagai sutradara langganan Piala Citra dan mampu mencetak pemain dan pekerja kreatif terbaik Indonesia. Kemenangan Teguh di Festival Film Indonesia, telah membentuk kepercayaan bahwa film-film Indonesia yang baik dihasilkan oleh sutradara film yang menguasai dramaturgi. Kelompok Teater Populer, sanggar kreatifnya menjadi "pabrik" sumber daya manusia perfilman Indonesia.

WADJAH SEORANG LAKILAKI / 1971



 
Wajah Teguh Karya dalam Film Pertamanya, Film pertama Teguh Karya, Wajah Seorang Laki-Laki, dibuat tahun 1971. jadi usianya sekarang sudah 27 tahun. Sebuah rentang yang cukup panjang. Selama 18 tahun berikutnya, Teguh sudah membuat 13 film. Kalau hanya dilihat dari jumlah karya film, mungkin bisa dikatakan tidak terlampau banyak, meski juga tidak bisa dikatakan terlampau sedikit. Dengan jumlah itu, berarti setiap tahun Teguh membuat tiga perempat film. Apalagi bila dilihat bahwa kegiatan Teguh Karya bukan hanya film, tapi juga teater dan apa yang sekarang popular dengan sebutan sinetron. Kalau ditambah dengan dua kegiatan terakhir ini, maka Teguh Karya boleh dikatakan sangat produktif. Lihat saja catatan dua macam kegiatan di luar film itu: 26 pentas teater dari 1968-1991 dan lebih dari 20 sinetron sejak 1969.

Teguh Karya menarik orang teater Populer kedalam film, ini yang menarik. Dan ia sebagai pemula suatu tradisi baru. maka mudah dibayangkan mencapai kelancaran kerja serta kesatuan bahasa diantara orang teater yang sejak lama membina kelompok tetap. Tetapi justru karena itu, maka prasangka senantiasamembayangkan pembuatan film yang menampilkan PT Sarimande Film sebagai produsernya.

Ini karya pertama Teguh dalam film, cukup memuaskan. Penonton manapun penggemar teater Popular, keduanya mendapat bagian. Yang pertama mendapatkan tontonan yang lumayan, sedang yang terakhir bukannya tidak menemukan ciri Teater Populer dalam film-film berwarna dan layar lebar tersebut. Walaupun begitu, kehebatan teater populer dipentas tidak ditemukan dalam film ini. Yang tetap tidak hilang adalah tradisi yang selalu menampakan diri dalam kostum yang sempurna dan manis, kendati kali ini tidak ditemani oleh rias muka yang teliti.

Teguh sendiri penuils cerita dan skenarionya, tidak tanggung, kisahnya adalah kejadian abad silam di suatu tempat di kawasan kota Batavia, tempat menetapnya keturunan Portugis. Yang ingin diangkat adalah pergolakan dan penemuan diri seorang anak muda, Amello (Slamet Rahardjo). Melalui kematian Amallo oleh peluru dari laras bedil ayahnya, sesungguhnya sebuah suasana tradisi sangat diharapkan Teguh Karya.

Kurangnya pewatakan Amallo yang tokoh ini menjadi pusat ceritanya besar kemungkinan keadaa yang mengarah pada monotoni itu bersumber pada masih kurangnya penguasaan Teguh terhadapa media baru ini, Film. Ada kesan bahwa film ini kekurangan shot atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan bahwa dengan memecah beberapa shot panjang menjadi beberapa shot pendek (dekopase), yang pasti adalah kurangnya long shot menyebabkan film ini kurang suasana lingkungan yang digambarkan, sekaligus membuat kesumpekan, kekurangan ruang gerak.

Walaupun ceritanya menarik, tapi Teguh tidak berhasil menulis skenario dengan rapi. Disini justru terlihat pengaruh panggung yang jelas, dimana sebuah dialog pendek bisa membuka suatu misteri besar. Dengan disinggungnya pemberontakan di Banten, hubungan gelap ayah Amallo dengan ibu Runtuh, maka perhatian penomnton bukannya tidak terbagi.

Tapi karya film Teguh yang pertama ini pantas untuk ditonton. Selama bertahun-tahun sebagai orang panggung membawa Teguh ke suatu taraf penguasaan ketelitian yang merupakan pernyaratan para pembuat film. Dan para pemain seperti Slamet Raharjo, Tuti Indra, Malaon dan Riantiarno sama sekali tidak mengecewakan, walaupun mereka baru berhadapan dengan lensa kamera. Sedangkan Rima Melati dan WD.Mochtar semakin menampakan mereka sebagai aktor yang matang.

Note: Kehadirannya di perfilman memberikan warna baru bagi film Indonesia. Sebagai teaterawan yang menguasai dramaturgi, teknik penyutradaraan dalam filmnya membuat setiap adegan tampak hidup dan dinamis serta memiliki dimensi yang lebih dalam. Wajah Seorang Laki-Laki, memiliki nilai teknik & artistik tinggi, tetapi masyarakat belum bisa menikmatinya. Dipuji kritisi tapi kurang sukses di pemasaran.

SECANGKIR KOPI PAHIT / 1984

SECANGKIR KOPI PAHIT


Togar (Alex Komang), mahasiswa dari Sumatera Utara, sangat diharapkan orang tuanya untuk menjadi sarjana ekonomi. Karena bakatnya di bidang jurnalistik, Togar kandas dan menjadi buruh kasar di sebuah pabrik semen. Atas bantuan Buyung (Ray Sahetapy) Togar mulai aktif menulis di surat kabar, dan lalu minta berhenti dari pabrik semen. Sewaktu bekerja di pabrik, Togar pernah bergaul dengan seorang janda beranak tiga, Lola (Rina Hassim). Dalam keadaan kehilangan pegangan, Togar pernah meniduri Lola. Menjalankan tugas jurnalistiknya, Togar ingin meliput kisah Karsih, gadis yang terjebak ketika hendak mencari kerja ke Jakarta. Malang bagi Togar. Ia dituduh melarikan Karsih, sehingga ditahan. Dalam tahanan, muncul janda Lola yang sudah hamil oleh Togar. Dengan pasrah, Togar menerima Lola sebagai isteri, tapi untuk pulang ke kampung, Togar tak berani dan malu. Perasaan itu ia hilangkan tatkala ia harus pulang karena ayahnya meninggal. Kampungnya ternyata tak sekejam yang ia bayangkan. Lola dan anak-anaknya diterima dalam marga, sebagai keluarga yang sah. Kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kecelakaan terjadi akibat kelalaian Togar yang melarikan perahu motor terlalu kencang. Lola tak dapat berenang dan tenggelam di danau Toba. Togar lebih tertempa lagi hidupnya.

 
 

Note: Seperti halnya film Perkawinan Dalam Semusim, Teguh kembali jenuh dengan produksi yang beruntun dan terasa rutin. Kegelisahan dan kegamangan Teguh dapat terbaca dari pemilihan judul filmnya yang terkesan menampilkan kegetiran. Dalam film ini, konflik adegannya terasa lemah motivasinya dan yang terasa hanyalah kemarahan emosional yang tanpa sebab. Secangkir Kopi Pahit ternyata menggambarkan kegetiran dalam kerja rutin.

P.T. SUKMA PUTRA FILM


RINA HASSIM
ALEX KOMANG
DEWI YULL
RAY SAHETAPY
SYLVIA WIDIANTONO
LINA BUDIARTI
ZAINAL ABIDIN DOMBA
MARULI SITOMPUL
ETTY SUMIATI
DHALIA
MUSSOLINI MUSLICH

BADAI PASTI BERLALU / 1977

BADAI PASTI BERLALU



Ini kisah tentang Siska (Christine Hakim) yang dilukai hatinya oleh sang pacar hingga jadi "gunung es". Leo (Roy Marten), mahasiswa kedokteran, yang mencoba melumerkan gunung es itu demi sebuah perlombaan, malah jatuh cinta sungguhan. Si gunung es yang sudah lumer kembali membeku ketika mengetahui bahwa usaha Leo hanya demi uang pertaruhan dengan kawan-kawannya. Apalagi dalam canda dengan teman-temannya itu, dikatakan bahwa Leo menderita diabetes, seperti Siska. Kisah jadi tambah ruwet dengan hadirnya Helmy (Slamet Rahardjo) dalam kehidupan Siska. Pianis yang pernah belajar ke luar negeri, tapi dengan latar belakang miskin ini, memang tokoh aneh. Dialah yang akhirnya mengawini Siska dengan todongan pemerasan, karena ayah Siska mempunyai gundik, adik Helmy sendiri. Siska takut ibunya yang berpenyakit jantung, meninggal mendengar berita ini. Helmy tak mengawini secara resmi dan sebenarnya cukup menyiksa Siska dengan tetap melayani perempuan-perempuan kaya demi uang. Tapi, begitu Siska tahu bahwa usaha ayahnya dihancurkan oleh Helmy, Siska berontak. Apalagi anaknya meninggal. Ia memutuskan hubungan dengan Helmy. Leo yang sungguh-sungguh mencintainya, dan sudah jadi dokter, mendapatkan kembali cinta Siska.

note: Kegamangan Teguh tiba-tiba terhapus dengan tantangan baru, di mana film-film Indonesia mulai menjual sex dan kekerasan. Untuk mengimbangi hal tersebut, Teguh mengambil novel best seller, Badai Pasti Berlalu sebagai dasar cerita filmnya. Keterampilan teknik yang tinggi, kepekaan pada masalah artistik dan kepiawaian dalam membuat adegan, telah mengantar Badai Pasti Berlalu menjadi box office dan mengungguli film hiburan yang menjual sex dan kekerasan.Peluncuran buku ”Cerpen Kompas Pilihan” serta penganugerahan cerpen terbaik, yang beberapa tahun terakhir menjadi bagian dari acara ulang tahun harian ”Kompas”, besok malam akan diisi oleh penampilan Yockie Suryo Prayogo dan Berlian Hutauruk. Tajuknya: ”Pop Ruwatan: Badai Pasti Berlalu”.


























Keduanya, Yockie dan Berlian, telah menapaki jalan panjang, dan terlibat dalam momen-momen yang menjadi milestone dunia musik pop Indonesia. Lagu Badai Pasti Berlalu pada paruh kedua 1970-an—yang bisa kita sebut sebagai magnum opus itu—tetap menggetarkan. Ada satu hal lagi, dalam krisis negeri ini sekarang, kita juga bisa mengekspresikan diri melalui musik pop, untuk menyatakan keprihatinan sekaligus optimisme akan masa depan, dalam semacam laku ”ruwatan”. Itulah latar belakang ”Pop Ruwatan: Badai Pasti Berlalu”, dalam rangka HUT Ke-44 Harian Kompas, yang akan berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, Senin (29/6) pukul 19.00.

Yockie mengenang, bagaimana pada masa itu penyanyi Chrisye, yang juga sahabatnya, muncul di kediamannya bersama Eros Djarot (kini ”r”-nya ditambah menjadi Erros). ”Saya belum kenal benar meski saya sudah tahu, dia penyanyi lewat Barongs Band,” cerita Yockie mengenai pertemuannya dengan Erros pada masa itu.

Erros sedang merencanakan mengerjakan musik untuk ilustrasi film Badai Pasti Berlalu garapan Teguh Karya. ”Kalau saya pikir ulang, perlu ditelusuri spirit Teguh Karya, yang mencuat lewat puisi-puisi dalam Badai,” ucap Yockie.

Boleh dikata, Badai sebagian besar dilahirkan oleh semangat, spirit, greget—jauh dari naluri industrial. ”Saya terus terang mengatakan enggak usah ngomongin duit kalau mau bermusik. Yang penting happy...,” kata Yockie. ”Nyatanya ada benarnya. Memang enggak ada duitnya, alias kerja bakti, malah kadang kami bertiga (maksudnya dia bersama Chrisye dan Erros) harus nombok.”

Meledak
Dia kenang, bagaimana mereka bertiga bekerja di sebuah studio sewaan di bilangan Pluit, Jakarta Utara, yang dilukiskan oleh Yockie keadaannya lebih mirip ”kandang”. Studio itu adalah studio Irama Mas, milik produser yang biasa disapa dengan sebutan In Chung, yang dikenang Yockie sebagai sosok yang sangat kooperatif.

Tadinya, yang akan dikerjakan adalah membuat lagu untuk ilustrasi film, yang kesinambungan serta durasinya bertumpu pada gambar-gambar dari alur cerita film itu sendiri. Hanya kemudian antusiasme mereka berkembang, untuk mengembangkan lagu-lagu tadi menjadi rekaman kaset sekalian. ”Sambil menyelam minum air, kami sudah telanjur bekerja di studio,” kata Yockie.

Di studio itulah, dengan semangat avonturir semacam itu, album Badai Pasti Berlalu lahir. Ketika album selesai, Yockie masih ingat, tak ada seorang produser pun bersedia mengedarkan. Musik dalam album itu boleh jadi mereka anggap ”aneh”.

In Chung merasa iba. Produser ini menyatakan bersedia mengedarkannya, dengan memajang antara lain di toko kasetnya di Glodok, yang dikenal sebagai distributor lagu-lagu dangdut dan klenengan.

Satu bulan, dua bulan, dikenang Yockie, suasana adem-adem saja. Baru beberapa waktu kemudian, perlahan-lahan penjualan album Badai meningkat, sebelum kemudian meledak, menjadi album terlaris pada zamannya, sekaligus menjadi album dengan capaian musik yang sangat penting dalam sejarah musik pop Indonesia.

Tembang lestari
Dengan berkibarnya album Badai dalam bisnis musik pop, berkibar pula masalah. Segala hal menyangkut siapa pencipta, siapa paling berhak atas royalti Badai, bagaimana duduk soal lagu-lagu di situ sebagai ilustrasi film menjadi kaset yang beredar luas, berbuntut kasus ke pengadilan, antara Erros dengan Berlian Hutauruk.

”Saya sudah bosen ngomongin-nya,” begitu kata Berlian kalau diajak berbincang mengenai Badai.
Adapun Yockie berusaha memilah, antara sejarah artistik album itu dan sejarah industrinya. Sejarah artistik, bagi dia, masih bisa diperbincangkan karena itu menyangkut bagaimana pemusik seperti dia memandang proses kreatif dalam diri sendiri. Sedangkan mengenai sejarah industrinya, Yockie berucap, ”Itu proses masa lalu, yang harus diterima dengan lapang.”

Berlian sendiri bukan hanya kali itu terlibat dalam suatu momen, berada dalam lingkungan seniman musik yang menelurkan karya monumental. Sebelumnya, pada masa itu ia telah bekerja sama dengan pemusik Idris Sardi, menggarap musik film Karmila (sutradara Ami Prijono). Bersama Idris Sardi pula dia melahirkan Nyanyian Cinta, yang pada masa itu oleh Idris diselesaikan di studio rekaman di Jepang.

Sebut nama-nama penting dalam sejarah dunia musik kita, Berlian pernah terlibat bersama mereka. Misalnya dengan Nick Mamahit, atau Jack Lesmana, yang dia merasa banyak belajar. Tak ketinggalan tentu kakak perempuannya sendiri, Tarida Hutauruk, yang lewat vokal Berlian kita mengenal lagu pop dengan jati diri yang tegas, Dirimu Satu.

Pernah pula ia tampil bersama Leo Kristi, dalam sebuah acara musik di televisi. ”He’s so nice...” kata perempuan berbintang Libra ini mengenangkan kerja samanya dengan Leo dulu. Lagu Leo yang dibawakannya dulu, Tembang Lestari, akan menjadi salah satu nomor yang bakal ditampilkan di Bentara Budaya.

Keseragaman
Dunia masa lalu itu memang telah berlalu kini. Ada yang hilang? Jelas. Pada masa itu, dengan teknologi rekaman musik yang teramat terbatas dibandingkan kecanggihan teknologi rekaman masa kini, nyatanya telah mampu melahirkan karya-karya penting—setidaknya karya-karya yang kaya ragam. Beberapa karya dengan keragaman dan kekhasan masing-masing itu mencuat ke permukaan seperti Badai, bahkan tanpa rekayasa pasar.

Kini, semangat industrial dan keserakahan pasar seolah menyodorkan segala-galanya bagi kita. Penawaran seolah begitu banyak, bahkan berlimpah. Namun, tengoklah, di antaranya banjirnya penawaran itu, juga sebegitu luaskah pilihan?
Rasanya tidak. Yang kita lihat sekarang adalah keseragaman oleh industri

Badai yang Tidak Liris
Bulan Agustus 1977 di Studio Irama Mas, kawasan Pluit, Jakarta Kota. Eros Djarot dibantu beberapa orang dari kelompok Gipsy, antara lain Keenan Nasution, Debby Nasution, dan Chrisye, tengah sibuk mengerjakan soundtrack film Badai Pasti Berlalu garapan Teguh Karya. Mereka meminta Berlian Hutauruk membawakan tembang Badai Pasti Berlalu dan Matahari.

Album Badai Pasti Berlalu menjadi satu fenomena dalam musik pop Indonesia. Pada masanya, album ini menjadi tonggak bersejarah, ketika musik pop masa itu bergerak dengan kualitas seadanya. Badai Pasti Berlalu memberikan warna baru dalam hal musikal dan -pe-nulisan liriknya. Puluhan tahun berikutnya, orang ma-sih mencarinya, bahkan memproduksi ulang: Erwin Gutawa bersama Chrisye pada 1999, kemudian Andi -Rianto tahun ini untuk versi remake.

Andi Rianto mencoba mendekatkan lagu-lagu album- Badai Pasti Berlalu kepada anak muda sekarang. Or-kestra ditaruh di bagian belakang, sedangkan gitar a-kustik dan perangkat band lain berdampingan de-ngan vokal. Andi pun memilih nama penyanyi macam Ari -Lasso, Glenn Fredly, Andy /rif, dan Marshanda.

Badai Pasti Berlalu yang dibawakan Ari Lasso dibuka dengan distorsi gitar. Terasa lebih cair, enteng, jika dibandingkan dengan garapan Eros, yang dimulai de-ngan dentingan piano yang berlipat dengan vokal so-prano -Berlian Hutauruk. Juga lebih simpel dibanding ketika Erwin Gutawa mengaransemen ulang pada 1999. Erwin membuka lagu ini dengan kor, sebuah musik yang orkestral.

Tak ada lagi bagian Badai Pasti Berlalu yang terasa berat. Andi Rianto memangkas dua bait lirik lagu itu -(Gelisah kumenanti tetes embun pagi/Tak kuasa ku memandang dikau matahari), juga menghilangkan peng-ulangan (Kini semua bukan milikku/Musim itu telah berlalu/-Matahari segera berganti). Ya, demi menyesuaikan diri dengan aransemennya, ia telah memo-tong bagian lirik yang puitis. "Tapi saya tetap menjaga rohnya," ujar alumnus -Barklee College of Music, Boston, ini.

Bukan hanya Badai yang menjadi lebih- enteng. Merpati Putih yang dibawakan Astrid terasa kurang nglangut, berbeda- sekali dengan Chrisye-yang seakan membuat kita terlena. Lagu ini menjadi mekanis lantaran banyak menggunakan musik sampling. Musik sampling yang dominan juga terdapat pada lagu Kha-yalku dan Baju Pengantin, bahkan pada lagu Semusim sangat dominan.

Sedangkan lagu Angin Malam, yang terasa- syahdu dengan piano, diganti dengan bunyi gitar saat dibawakan Andy /rif. Glenn Fredly yang membawakan Pelangi malah terasa klop.

Eros Djarot sebagai empunya memang memberikan kebebasan tafsir kepada Andi. Eros tak mempersoalkan bagaimana hasilnya. Apa pun itu bagi Eros tetaplah bagus. Apa pendapat Eros setelah mendengar aransemen Andi banyak menggunakan sampling, bahkan penggunaan disc jockey oleh Winky Wiryawan? Eros merasa temanya masih sama, hanya pendekatannya yang berbeda. "Bedanya adalah persoalan rasa romantisismenya. Saya tentu tak mendapatkan rasa romantisisme di sini," ujarnya.

Romantisisme tiap-tiap zaman, menurut Eros, ber---beda. Bah-wa ia di zaman dulu dalam menggarap Badai banyak me-nonjolkan permainan piano dan back sound keyboard, ini karena menurut dia saat itu tengah marak musik pro-gres-sive rock. "Yah, memang itulah realita hari ini," ujar Eros.

Dalam film Teddy sendiri lagu Badai Pasti Berlalu -mulanya hanya terdengar di tengah film sebagai intro dan baru muncul utuh di akhir film. Berbeda dengan film Teguh Karya, yang sepanjang durasi "full" dengan lagu. Pada Teguh, lagu Badai Pasti Berlalu yang dibawakan Berlian Hutauruk telah terlantun di awal film. Lalu lagu Matahari terdengar saat adegan di klub malam. Lagu Baju Pengantin, juga lagu Merpati Putih saat pemakam-an Cosa, terasa menyentuh. Pemunculan lagu-lagu ini terasa sangat membantu perpindahan adegan satu ke adegan lain, sementara pada film Teddy, kekuatan lagu sama sekali tak terasa.

CINTA PERTAMA / 1974

 


Ade dan kawan kawannya bertemu dengan Bastian di kereta yang membawa mereka ke Jakarta. Bastian bermaksud memenuhi panggilan lamaran kerja, sementara Ade dan kawan kawannya baru pulang dari bepergian. Ternyata Bastian bekerja pada kantor ayah Ade. Tumbuhlah cinta diantara mereka, namun terhadang dua permasalahan. Ade dijodohkan dengan Johny, anak dari rekan kerja ayah Ade yang baru saja kembali dari Jerman, namun Ade menolaknya. Permasalahan lain muncul ketika seseorang yang mengaku mertua Bastian datang ke kantor ayah Ade dan melaporkan bahwa Bastian adalah mantan napi, karena telah membunuh anaknya. Ade hanya bisa bersikap pasrah apalagi Bastian tiba tiba menghilang hanya meninggalkan sepucuk surat. Ternyata Bastian kembali menekuni pekerjaan bertani bunga membantu orang tua angkatnya. Pada waktu Bastian mengantar bunga ke Jakarta bertemulah ia dengan Ade dan calon suaminya Johny. Bastian marah karena tidak rela Ade bersanding dengan Johny. Bastian mempunyai dendam dengan Johny karena penyebab kematian istrinya adalah Johny. Johny pernah memperkosa istrinya sehingga timbul perkelahian, tapi justru istrinya yang menjadi korban terbunuh oleh suaminya sendiri. Bastian menceritakan semua kejadian dengan mengirim surat yang dibawa oleh sahabat Ade. Ade akhirnya kembali ke Bastian dan melarikan diri pada saat hari pernikahan Ade dengan Johny. Ade dan Bastian akhirnya menikah, sementara Johny dan Herman meninggal saat perkelahian menyelamatkan Ade dan Bastian.

NOTE: Belajar dari film pertamanya yang tidak dekat dengan masyarakat, maka melalui film keduanya Teguh secara sadar mengemas filmnya dalam bentuk hiburan sehat yang memiliki mutu teknik dan artistik yang baik. Cinta Pertama menjadi film box office dan telah menempatkan dirinya sebagai sutradara yang mampu menghibur tapi sekaligus berprestasi sebagai sutradara terbaik.

NOPEMBER 1828 / 1978


 
 
Film ini menceritakan tentang sebuah kelompok penduduk desa di Jawa yang memberontak melawan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Film ini mengandung tema loyalitas dan pengkhianatan.

Jalinan kisah November 1828 ini dimulai ketika Kapten van der Borst, disertai pasukannya, berusaha mengorek informasi tentang lokasi persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro. Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa Kromoludirolah yang mengetahui informasi tersebut. Kromoludiro pun ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan berbagai upaya dipaksa membuka mulut.

Sepanjang proses interogasi dan mata rantai peristiwa yang ditimbulkannya, terlihat bahwa dibalik konflik antara Belanda dan rakyat Jawa ini sebenarnya berkecamuk konflik internal yang tak kalah dahsyat dalam diri tokoh-tokohnya. Film ini mengingatkan bahwa permusuhan atau sikap agresif berlebihan terhadap orang lain seringkali merupakan ungkapan yang tak disadari dari ketegangan dalam diri orang itu sendiri.

Hal kontras yang menarik juga diperlihatkan dalam sosok Kapten de Borst dan Letnan van Aken. Kapten de Borst pada film ini banyak disulut oleh ambisi pribadi. Ia gerah karena perwira lain yang lebih muda dari dia, ternyata sudah meraih pangkat lebih tinggi. Alasannya karena ia merasa mereka orang Belanda tulen, dan van Aken hanya seorang Indo. Sebaliknya, Letnan van Aken, yang juga seorang Indo, diam-diam bersimpati terhadap rakyat Jawa, dan menolak untuk menghalalkan segala cara.

Kalau dicermati, pihak-pihak yang berkonflik secara frontal adalah para bawahan. Para atasan -- dalam hal ini Belanda dan Pangeran Diponegoro -- hanya berada di latar belakang. Di pihak Belanda, sebenarnya bahkan tidak ada orang Belanda; hanya ada sejumlah perwira Indo dan yang lainnya adalah prajurit bayaran. Pangeran Diponegoro sendiri hanya diperbincangkan; yang muncul di layar adalah orang kepercayaannya, Sentot Prawirodirjo. Itu pun ia ditampilkan dalam citra mesianis: muncul pada detik-detik terakhir untuk memetik hasil perjuangan gotong-royong

Teguh Karya mengambil fragmen Perang Diponegoro (1825-1830) menjadi drama di sebuah rumah seorang pengikut Sentot Prawirodirjo, panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro. Di rumah itu berlangsung perang kata-kata. Teguh bak memindahkan panggung teater ke layar perak. Meski minim adegan perang (hanya muncul di akhir), aura patriotisme dan kepahlawanan tetap muncul.
 P.T. GARUDA FILM
P.T. INTERSTUDIO
P.T. GEMINI SATRIA FILM

EL MANIK
SLAMET RAHARDJO
JENNY RACHMAN
MARULI SITOMPUL
SUNARTI RENDRA
RACHMAT HIDAYAT
SOERIP
MANG UDEL
SARDONO W. KUSUMO
GINO MAKASUTJI
 
NOTE; Upaya melawan arus film Indonesia yang menjual sex dan kekerasan sangat jauh dari nilai budaya bangsa, Teguh didaulat untuk membuat sebuah film yang dapat memberikan gambaran tentang kepahlawanan yang memiliki kesadaran berani berkorban dalam memenangkan kepentingan bangsa. Film November 1828, merupakan film spektakuler pertama tentang perjuangan kebangsaan di jalam pra kemerdekaan. Film ini sukses secara mutu dan komersial.
 

Film terbaik 1979: bukan sesuatu...
TEGUH Karya berkata: "Kalau orang dulu bisa bikin Borobudur, saya tidak percaya sekarang kita tidak bisa bikin sesuatu yang besar." Sutradara ini necis, bermuka runcing, berkacamata tipis. Ia terkenal sebagai orang yang menyukai benda-benda apik yang kecil. Tapi kali ini rupanya ia pingin berbicara tentang kebesaran. Dan "besar" memang satu ajektif yang bisa dipasang untuk filmnya yang pekan lalu menang di Festival Film VII, November 12. Setidaknya dalam ambisi dan dalam budget. Film ini digarap selama hampir setengah tahun. Biaya yang dilahapnya Rp 240 juta. 

Penelitian yang mendahuluinya mencapai pelbagai museum di tujuh kota -- dua di antaranya di Negeri Belanda. Lokasinya dipilih di sebuah desa di Yogyakarta, desa Sawahan, dan hampir seluruh penduduk terlibat. Desa itu sendiri tiba-tiba tertolong dari kemacetan ekonomi, meskipun cuma sementara.

Tak heran bila di mulut jalan yang membelahnya terpasang gagah gapura bambu bertuliskan "Lokasi November 1828" berwarna merah atas dasar putih. Sementara itu, publisitas melancar dengan gesitnya. Jauh sebelum film ini mencapai setengah, pelbagai koran sudah memuat aba-aba bahwa satu episode Perang Diponegoro di Jawa Tengah 1825-1830 akan difilmkan. Gambar bintang Slamet Rahardjo memakai uniform perwira Belanda -- yang cukup meyakinkan -- pun dipasang. Di sampingnya Yenni Rahman (kali ini tumben tak merangsang) yang tampil bagaikan gendhuk Jawa tulen. Tak lama kemudian diberitakan juga bahwa Menteri P&K Daoed Joesoef dan Menteri Dalam Negeri Malaysia Ghazali Syafei (keduanya tokoh yang suka kesenian serius) berkunjung ke tempat lokasi. Ditambah dengan reputasi Teguh Karya di belakangnya, semua itu menyebabkan orang yakin: November 1828 tak akan mengulangi kegagalan film Pahlawan Gua Selarong dulu, ketika Ratno Timur didapuk sebagai Pangeran Diponegoro (seolah-olah pahlawan harus berwajah ganteng). Dan syukurlah, November 1828 memang film yang nilainya jauh lebih di atas. 

Tapi meskipun hampir sama-sama panjang, film ini tentunya tak usah dibandingkan dengan Perang dan Damai karya sutradara Rusia Sergei Bordanchuk yang ingin membuat monumen tiga jam dari novel Tolstoi yang sudah monumental itu. Kalau sejauh itu harapan kita, bisa sangat kecewa nanti. FILM Teguh ini berhasil memperlihatkan pada kita modal banyak serta kerja penelitian yang lama dan mendalam. Detail film ini tergarap dengan baik dan begitu teliti. Sutradara film Indonesia yang lain hampir tak pernah menampilkan apa yang dicapai Teguh: adat-istiadat zaman yang lampau di Jawa Tengah, kostum serta properti, semuanya merupakan hidup kembalinya sebuah dokumentasi yang meyakinkan akuratnya. Memang ada "bahaya"nya keasyikan dengan benda-benda ini. Teguh juga nyaris tak lepas dari "bahaya" itu: pada beberapa bagian ia terasa menonjol-nonjolkan properti yang dihasilkannya, misalnya alat timba kuno dan payung-payung. Sebagai akibatnya alur besarnya jadi terhambat.

Kisah jadi terlalu berliku. Teguh Karya mengatakan bahwa filmnya punya multi-plot atau mengandung banyak alur cerita. Tapi adakah karena itu ketegangan pokok film ini tak mengalir dengan lancar? 

Film ini terasa lebih panjang dari film-film umumnya -- tapi bukan karena kebesaran masalah yang hendak digarapnya. Di sini terasa bahwa Teguh, walau ia mampu di bidang lain, belum cukup kuat untuk menulis skenario. Ia di situ perlu orang lain. SEBAB faktor yang memikat dari karya Teguh kali ini sama sekali bukan ceritanya. Tidak sebagaimana lakon Monserrat karya Emannuel Robles yang termashur itu (yang pernah disadur grup Teater Populer pimpinan Teguh dengan latar Perang Diponegoro juga, dan kata orang merupakan jantung November 1828), film ini tak didukung oleh kejutan atau permasalahan yang memukau. Juga dialognya tak menampilkan kedalaman. Ia terutama menarik karena berwarna "rakyat Jawa". Itu tak berarti film ini hatus ditinggalkan setengah main. Anda akan kehilangan misalnya adegan yang terbagus dalam film ini ketika terjadi penembakan di dalam kamar tahanan terhadap tokoh Kromoludiro (Maruli Sitompul). Tembakan terdengar, kemudian muncul gambar-gambar di luar rumah yang semuanya terpaku tanpa bunyi. Anak dioper turun dari kereta. Semua muka memandang ke dalam rumah dengan penuh anda tanya. Senyap itu menggigit. Cara ini menjadi konsep pula dalam dramatisasi adegan selanjutnya. Tapi momentnya tak sebesar saat kemudian Kromoludiro, sehingga terasa tak sampai. Teguh melakukan ini barangkali untuk mengatasi kemiskinan variasi adegan, yang hanya berputar dari ruangan ke ruangan -- paling banter ke halaman dan sekejap ke luar desa, lalu balik ke halaman. Meskipun ini cerita kepahlawanan dari sebuah perang besar, wilayh yang dijangkaunya tidak berhektar-hektar. Di sana kita bergerak dengan jarak pendek dan dekat -- dari CU ke CU, atau MCU ke MCU. Kurang sekali long shot. 

Film jadinya terasa sumpek. Barangkali memang sulit untuk mengambil gambar jarak jauh di sebuah lokasi yang sesak oleh penonton di sebuah desa Jawa yang padat, yang sudah bukan lagi cermin abad ke-19. Atau set yang disiapkan memang terbatas di markas Kapten De Borst itu saja. Entahlah. Dengan biaya yang sudah begitu siap besar tentunya soal teknis itu bisa diatasi. Tapi mungkin sekali struktur skenarionya sudah begitu rupa terbatas, tak didukung oleh semangat yang lazim untuk membikin film epis. Karena itu salah bila dikatakan November 1828 dibikin dengan ambisi spektakuler Cecil B. de Mille.

Film ini belum jauh dari kepersegi-panjangan sebuah pentas. TEGUH tampak menyadari hal itu. Ia berusaha memecahkannya dalam bloking dan akting. Dan sebagaimana dalam filmnya yang lain, semua pemain berhasil digarapnya. Yenni Rahman sebagai Laras, puteri Kromoludiro, meskipun tak menunjukkan permainan gemilang, toh jadi terasa mampu sebagai pemain baik di tangan Teguh -- jadi bukan hanya sebagai penghuni ranjang. Maruli Sitompul, yang dapat penghargaan sebagai pemeran utama terbaik 11 pekan lalu untuk perannya dalam film ini, kelihatan bakatnya yang besar. Tapi sudah waktunya ia dapat porsi karakter yang lebih besar lagi. Slamet Rahardjo sebagai Kapten De Borst rasanya sudah bermain dengan sebaik mungkin. Ia aktor di atas rata-rata dalam dunia film kita, dan di sini nampak usahanya yang teliti untuk menjiwai. Namun tokoh yang diwakili Slamet dari awal sudah terasa sebagai tokoh yang kalah. Hingga ia yang seharusnya bisa jadi sumber konflik film ini jadi datar saja. Dalam lakon Montserrat peran seperti dia sungguh dominan. Ia tokoh penjajah yang kejam, yang bisa membunuh orang tak bersalah untuk memperoleh pengakuan tentang rahasia musuh. Lawannya adalah rekannya yang berkhianat kepada korps untuk membela rakyat yang tertindas. Konflik dalam Montserrat sungguh kuat. Sayang dalam November 1828 konflik antara Kapten De Borst yang ambisius dengan Letnan Van Aken (El Manik) yang berpihak kepada rakyat tak menjadi sesuatu yang sentral. Mungkin sebab itu peran Slamet kurang "tajam". Tapi seperti kata Teguh, filmnya tak cuma mau menyoroti perkara dua perwira Belanda-Indo itu. Ia ingin bicara soal kepahlawanan lain, Kromoludiro. Melalui Maruli, Teguh juga ingin menampilkan suasana puitis lalam kepahlawanan tokoh ini. Pada suatu kali ia tampak terikat di tiang di dalam rumah, setelah tertangkap pasukan kumpeni Belanda. Anaknya, Laras, bersimpuh di depannya.

Laras telah ditekan Kapten De Borst supaya Kromoludiro membocorkan tempat Sentot, panglima pasukan Diponegoro yang mashur itu. 

Adegan dimulai dengan tokoh Kromoludiro menembang, kemudian ia berkhotbah kepada anaknya tentang bagaimana menjadi manusia yang baik. Suasana puitis ini kita hargai sebagai keberanian bereksperimen. Sayang, entah kenapa untuk adegan ini kita terasa kurang persiapan untuk menerimanya -- mungkin karena tak cukup dipersiapkan oleh jalan cerita dan suasana sebelumnya. Hingga kehendak puitis itu tidak luluh ke dalam cerita. Juga tak membantu menajamkan konflik. Meskipun adegan menembang itu beberapa kali diulang pada beberapa tokoh, hanya pada tokoh Bambang Sumpeno (Sardono W. Kusumo) sebagai penari -- tembang itu bisa terasa "masuk". Tapi di luar tembang-tembang itu film ini kuat dalam hal musik. Ilustrasi musik yang dikerjakan Franky Raden (Ini karya pertama mahasiswa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta itu) merupakan contoh penggarapan musik yang berani. Pada adegan-adegan tertentu, gambar dibiarkannya bicara sendiri. Sedang pada bagian ketegangan yang memuncak, Franky memasukkan bunyi-bunyi sederhana dengan ritme yang monoton tapi jadi sangat kuat. Ilustrasinya mampu menarik gamhar-gambar yang kadang terlalu "apik" -- jadi lebih berdarah. DARAH" itu agaknya perlu. Teguh memang tidak membuat sebuah film perang, meskipun ada adegan perang di akhir cerita. Ia berbicara tentang kemanusiaan. Namun kemanusiaan itu, yang segera jadi masalah begitu film mulai, tidak terasa sedang gawat oleh suasana perang pemberontakan yang melanda desa-desa Jawa selama tiga tahun. Kita tak dipersiapkan untuk menyaksikan episode yang brutal dalam sejarah. Bahkan perang sengit yang secara visual ditunjukkannya di akhir film, lebih terasa molek, tidak mengiris. Tapi toh di akhir film ini ada bagian kecil yang menarik sekali. Waktu itu Kopral Dirun (Mang Udel) dan kawannya -- bekas-bekas serdadu Belanda yang kalah -- tidak diapa-apakan rakyat. Di samping kaki Kaptennya yang tewas, mereka bercakap-cakap. Seorang dari mereka berkata: "Kita ini memang tak berharga. Hidup boleh, matipun boleh sama-sama tidak dihiraukan." Selesai menonton film ini, kita tak akan bilang bahwa November 1828 bukanlah film yang dibuat boleh, tidak pun boleh. Ia layak dihiraukan.












 
19 Mei 1979
"kalau semua orang jual kembang gula"
FILM November 1828 
bisa dibuat terutama berkat kerja sama dua orang, Nyohansiang dan Teguh Karya. Yang pertama memiliki modal dan ingin membuat film "lain dari pada yang lain," sedang yang satunya sutradara yang selalu tampil dengan film-film terkenal. Karya terbaru Teguh Karya itu nampaknya harus dicatat sebagai film Indonesia terlama dalam pembuatan dan termahal dalam pembiayaan. Terhadap film yang dibuat dengan ambisi besar itu, berikut ini petikan komentar Nyohansiang dan Teguh Karya yang dipetik dari percakapan mereka dengan wartawan TEMPO, Salim Said. Nyohansiang Saya mula-mula tertarik membuat November 1828 terutama sebagai orang bisnis. Saya dari dulu ingin membuat film yang lain dari yang lain. Bukan ranjang dan bukan sadis. Ini mungkin pengalaman saya membuat film Chicha. Ini betul-betul pengalaman seorang bisnis. Kalau di satu jalan semua orang jual kembang gula, kalau saya mau buka toko di sana mestinya jangan jual kembang gula. Jual roti atau makanan lainnya. Ide cerita dari Teguh Karya. Dia lebih berat pada aspek seninya, saya segi bisnis. Pembicaraan lama. Beberapa bulan. Akhirnya akur. Saya mau karena yakin bisa untung. Pengalaman film Chicha guru yang baik. Dari modal 80 juta rupiah, bisa kembali jadi 150 juta. Tadi sudah saya katakan film ini temanya lain dari yang lain. Tapi yang lebih penting lagi, menurut saya rakyat Indonesia sekarang ini bimbang. Mau ke mana? Ekonomi maju, pembangunan jalan. Tapi segi mental? Dalam film ini dicoba kemukakan unsur patriotisme yang agak realis di tengah-tengah ramainya soal ranjang dan kekerasan. 

Dalam film ini unsur agama juga penting. Saya ini kadang-kadang bingung. Dulu itu agama Islam selalu berada di depan, seperti di Aceh, dalam melawan penjajah. Sebagai orang Jawa Tengah, saya ini mengamati dan berkesimpulan Islam itu bisa membawakan aspirasi orang-orang tertindas. Tapi sekarang ini kok agama ini banyak kali hanya diomongkan, tidak diamalkan. Saya ingin menggugah orang Islam lewat film ini. Teguh Karya Suatu kali saya menengok adik saya yang sekolah pendeta di Malang. Anak itu tadinya penjudi besar. Hanya dengan pengorbanan besarlah akhirnya yang menjadikan ia pendeta. Pengorbanan adik, pengorbanan ibu. Ini sama saja dengan pengorbanan keluarga Kromoludiro dalam November 1828. Saya tertarik membuat film tentang pengorbanan. Saya suka sejarah dan selalu berfikir kalau orang dulu bisa bikin Borobudur, saya tidak percaya sekarang kita tidak bisa bikin sesuatu yang besar. Kebetulan saya mendapat buku-buku mengenai Diponegoro. Saya kagum, ternyata pasukan kita hebat. Saya ingin kisahkan ini, tapi tidak tentang Diponegoro, karena saya tidak punya ide epis tentang pahlawan ini. Persamaan dengan lakon Monserrat? Saya tidak cuma dipengaruhi Emmanuel Robles itu, tapi juga Gandhi, Rizal, kepahlawanan Cut Nyak Din dll. Kalau secara fisik film saya dikatakan mirip ceritera Monserrat, itu tidak terlalu penting. Fisik tidak penting. Lagi pula mungkin hal itu dari bawah sadar saya. Tak bisa saya elakkan. Film ini memang diselesaikan sedikit tergesa-gesa. Mengejar FFI Palembang. Tapi kelambanan yang kau katakan itu bukan tanpa konsep. Kita tidak mau berkiblat pada nilai dramatik Barat. Dramaturgi itu ada macam-macam. Ada dramaturgi wayang, randai, ketoprak. Dramaturgi yang cocok bagi film Indonesia hingga kini masih terus dicari. Dalam film ini konflik Van Aken (El Manik) dan de Borst (Slamet Rahardjo) itu cuma cerita sampingan. Dan sebenarnya cuma untuk membangun nilai dramatis film ini. Film ini memang multi plot (mengandung banyak alur cerita), tapi tujuan utama menceritakan tentang keluarga yang mendapat malapetaka. Kalau konflik Van Aken dan de Borst diterang-jelaskan, jadinya sebuah cerita baru lahir. Itu tidak saya kehendaki.