Wajah Teguh Karya dalam Film Pertamanya, Film pertama Teguh Karya, Wajah Seorang Laki-Laki, dibuat tahun 1971. jadi usianya sekarang sudah 27 tahun. Sebuah rentang yang cukup panjang. Selama 18 tahun berikutnya, Teguh sudah membuat 13 film. Kalau hanya dilihat dari jumlah karya film, mungkin bisa dikatakan tidak terlampau banyak, meski juga tidak bisa dikatakan terlampau sedikit. Dengan jumlah itu, berarti setiap tahun Teguh membuat tiga perempat film. Apalagi bila dilihat bahwa kegiatan Teguh Karya bukan hanya film, tapi juga teater dan apa yang sekarang popular dengan sebutan sinetron. Kalau ditambah dengan dua kegiatan terakhir ini, maka Teguh Karya boleh dikatakan sangat produktif. Lihat saja catatan dua macam kegiatan di luar film itu: 26 pentas teater dari 1968-1991 dan lebih dari 20 sinetron sejak 1969.
Teguh Karya menarik orang teater Populer kedalam film, ini yang menarik. Dan ia sebagai pemula suatu tradisi baru. maka mudah dibayangkan mencapai kelancaran kerja serta kesatuan bahasa diantara orang teater yang sejak lama membina kelompok tetap. Tetapi justru karena itu, maka prasangka senantiasamembayangkan pembuatan film yang menampilkan PT Sarimande Film sebagai produsernya.
Ini karya pertama Teguh dalam film, cukup memuaskan. Penonton manapun penggemar teater Popular, keduanya mendapat bagian. Yang pertama mendapatkan tontonan yang lumayan, sedang yang terakhir bukannya tidak menemukan ciri Teater Populer dalam film-film berwarna dan layar lebar tersebut. Walaupun begitu, kehebatan teater populer dipentas tidak ditemukan dalam film ini. Yang tetap tidak hilang adalah tradisi yang selalu menampakan diri dalam kostum yang sempurna dan manis, kendati kali ini tidak ditemani oleh rias muka yang teliti.
Teguh sendiri penuils cerita dan skenarionya, tidak tanggung, kisahnya adalah kejadian abad silam di suatu tempat di kawasan kota Batavia, tempat menetapnya keturunan Portugis. Yang ingin diangkat adalah pergolakan dan penemuan diri seorang anak muda, Amello (Slamet Rahardjo). Melalui kematian Amallo oleh peluru dari laras bedil ayahnya, sesungguhnya sebuah suasana tradisi sangat diharapkan Teguh Karya.
Kurangnya pewatakan Amallo yang tokoh ini menjadi pusat ceritanya besar kemungkinan keadaa yang mengarah pada monotoni itu bersumber pada masih kurangnya penguasaan Teguh terhadapa media baru ini, Film. Ada kesan bahwa film ini kekurangan shot atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan bahwa dengan memecah beberapa shot panjang menjadi beberapa shot pendek (dekopase), yang pasti adalah kurangnya long shot menyebabkan film ini kurang suasana lingkungan yang digambarkan, sekaligus membuat kesumpekan, kekurangan ruang gerak.
Walaupun ceritanya menarik, tapi Teguh tidak berhasil menulis skenario dengan rapi. Disini justru terlihat pengaruh panggung yang jelas, dimana sebuah dialog pendek bisa membuka suatu misteri besar. Dengan disinggungnya pemberontakan di Banten, hubungan gelap ayah Amallo dengan ibu Runtuh, maka perhatian penomnton bukannya tidak terbagi.
Tapi karya film Teguh yang pertama ini pantas untuk ditonton. Selama bertahun-tahun sebagai orang panggung membawa Teguh ke suatu taraf penguasaan ketelitian yang merupakan pernyaratan para pembuat film. Dan para pemain seperti Slamet Raharjo, Tuti Indra, Malaon dan Riantiarno sama sekali tidak mengecewakan, walaupun mereka baru berhadapan dengan lensa kamera. Sedangkan Rima Melati dan WD.Mochtar semakin menampakan mereka sebagai aktor yang matang.
Teguh Karya menarik orang teater Populer kedalam film, ini yang menarik. Dan ia sebagai pemula suatu tradisi baru. maka mudah dibayangkan mencapai kelancaran kerja serta kesatuan bahasa diantara orang teater yang sejak lama membina kelompok tetap. Tetapi justru karena itu, maka prasangka senantiasamembayangkan pembuatan film yang menampilkan PT Sarimande Film sebagai produsernya.
Ini karya pertama Teguh dalam film, cukup memuaskan. Penonton manapun penggemar teater Popular, keduanya mendapat bagian. Yang pertama mendapatkan tontonan yang lumayan, sedang yang terakhir bukannya tidak menemukan ciri Teater Populer dalam film-film berwarna dan layar lebar tersebut. Walaupun begitu, kehebatan teater populer dipentas tidak ditemukan dalam film ini. Yang tetap tidak hilang adalah tradisi yang selalu menampakan diri dalam kostum yang sempurna dan manis, kendati kali ini tidak ditemani oleh rias muka yang teliti.
Teguh sendiri penuils cerita dan skenarionya, tidak tanggung, kisahnya adalah kejadian abad silam di suatu tempat di kawasan kota Batavia, tempat menetapnya keturunan Portugis. Yang ingin diangkat adalah pergolakan dan penemuan diri seorang anak muda, Amello (Slamet Rahardjo). Melalui kematian Amallo oleh peluru dari laras bedil ayahnya, sesungguhnya sebuah suasana tradisi sangat diharapkan Teguh Karya.
Kurangnya pewatakan Amallo yang tokoh ini menjadi pusat ceritanya besar kemungkinan keadaa yang mengarah pada monotoni itu bersumber pada masih kurangnya penguasaan Teguh terhadapa media baru ini, Film. Ada kesan bahwa film ini kekurangan shot atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan bahwa dengan memecah beberapa shot panjang menjadi beberapa shot pendek (dekopase), yang pasti adalah kurangnya long shot menyebabkan film ini kurang suasana lingkungan yang digambarkan, sekaligus membuat kesumpekan, kekurangan ruang gerak.
Walaupun ceritanya menarik, tapi Teguh tidak berhasil menulis skenario dengan rapi. Disini justru terlihat pengaruh panggung yang jelas, dimana sebuah dialog pendek bisa membuka suatu misteri besar. Dengan disinggungnya pemberontakan di Banten, hubungan gelap ayah Amallo dengan ibu Runtuh, maka perhatian penomnton bukannya tidak terbagi.
Tapi karya film Teguh yang pertama ini pantas untuk ditonton. Selama bertahun-tahun sebagai orang panggung membawa Teguh ke suatu taraf penguasaan ketelitian yang merupakan pernyaratan para pembuat film. Dan para pemain seperti Slamet Raharjo, Tuti Indra, Malaon dan Riantiarno sama sekali tidak mengecewakan, walaupun mereka baru berhadapan dengan lensa kamera. Sedangkan Rima Melati dan WD.Mochtar semakin menampakan mereka sebagai aktor yang matang.
Note: Kehadirannya di perfilman memberikan warna baru bagi film Indonesia. Sebagai teaterawan yang menguasai dramaturgi, teknik penyutradaraan dalam filmnya membuat setiap adegan tampak hidup dan dinamis serta memiliki dimensi yang lebih dalam. Wajah Seorang Laki-Laki, memiliki nilai teknik & artistik tinggi, tetapi masyarakat belum bisa menikmatinya. Dipuji kritisi tapi kurang sukses di pemasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar