Rabu, 26 Januari 2011

BADAI PASTI BERLALU / 1977

BADAI PASTI BERLALU



Ini kisah tentang Siska (Christine Hakim) yang dilukai hatinya oleh sang pacar hingga jadi "gunung es". Leo (Roy Marten), mahasiswa kedokteran, yang mencoba melumerkan gunung es itu demi sebuah perlombaan, malah jatuh cinta sungguhan. Si gunung es yang sudah lumer kembali membeku ketika mengetahui bahwa usaha Leo hanya demi uang pertaruhan dengan kawan-kawannya. Apalagi dalam canda dengan teman-temannya itu, dikatakan bahwa Leo menderita diabetes, seperti Siska. Kisah jadi tambah ruwet dengan hadirnya Helmy (Slamet Rahardjo) dalam kehidupan Siska. Pianis yang pernah belajar ke luar negeri, tapi dengan latar belakang miskin ini, memang tokoh aneh. Dialah yang akhirnya mengawini Siska dengan todongan pemerasan, karena ayah Siska mempunyai gundik, adik Helmy sendiri. Siska takut ibunya yang berpenyakit jantung, meninggal mendengar berita ini. Helmy tak mengawini secara resmi dan sebenarnya cukup menyiksa Siska dengan tetap melayani perempuan-perempuan kaya demi uang. Tapi, begitu Siska tahu bahwa usaha ayahnya dihancurkan oleh Helmy, Siska berontak. Apalagi anaknya meninggal. Ia memutuskan hubungan dengan Helmy. Leo yang sungguh-sungguh mencintainya, dan sudah jadi dokter, mendapatkan kembali cinta Siska.

note: Kegamangan Teguh tiba-tiba terhapus dengan tantangan baru, di mana film-film Indonesia mulai menjual sex dan kekerasan. Untuk mengimbangi hal tersebut, Teguh mengambil novel best seller, Badai Pasti Berlalu sebagai dasar cerita filmnya. Keterampilan teknik yang tinggi, kepekaan pada masalah artistik dan kepiawaian dalam membuat adegan, telah mengantar Badai Pasti Berlalu menjadi box office dan mengungguli film hiburan yang menjual sex dan kekerasan.Peluncuran buku ”Cerpen Kompas Pilihan” serta penganugerahan cerpen terbaik, yang beberapa tahun terakhir menjadi bagian dari acara ulang tahun harian ”Kompas”, besok malam akan diisi oleh penampilan Yockie Suryo Prayogo dan Berlian Hutauruk. Tajuknya: ”Pop Ruwatan: Badai Pasti Berlalu”.


























Keduanya, Yockie dan Berlian, telah menapaki jalan panjang, dan terlibat dalam momen-momen yang menjadi milestone dunia musik pop Indonesia. Lagu Badai Pasti Berlalu pada paruh kedua 1970-an—yang bisa kita sebut sebagai magnum opus itu—tetap menggetarkan. Ada satu hal lagi, dalam krisis negeri ini sekarang, kita juga bisa mengekspresikan diri melalui musik pop, untuk menyatakan keprihatinan sekaligus optimisme akan masa depan, dalam semacam laku ”ruwatan”. Itulah latar belakang ”Pop Ruwatan: Badai Pasti Berlalu”, dalam rangka HUT Ke-44 Harian Kompas, yang akan berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, Senin (29/6) pukul 19.00.

Yockie mengenang, bagaimana pada masa itu penyanyi Chrisye, yang juga sahabatnya, muncul di kediamannya bersama Eros Djarot (kini ”r”-nya ditambah menjadi Erros). ”Saya belum kenal benar meski saya sudah tahu, dia penyanyi lewat Barongs Band,” cerita Yockie mengenai pertemuannya dengan Erros pada masa itu.

Erros sedang merencanakan mengerjakan musik untuk ilustrasi film Badai Pasti Berlalu garapan Teguh Karya. ”Kalau saya pikir ulang, perlu ditelusuri spirit Teguh Karya, yang mencuat lewat puisi-puisi dalam Badai,” ucap Yockie.

Boleh dikata, Badai sebagian besar dilahirkan oleh semangat, spirit, greget—jauh dari naluri industrial. ”Saya terus terang mengatakan enggak usah ngomongin duit kalau mau bermusik. Yang penting happy...,” kata Yockie. ”Nyatanya ada benarnya. Memang enggak ada duitnya, alias kerja bakti, malah kadang kami bertiga (maksudnya dia bersama Chrisye dan Erros) harus nombok.”

Meledak
Dia kenang, bagaimana mereka bertiga bekerja di sebuah studio sewaan di bilangan Pluit, Jakarta Utara, yang dilukiskan oleh Yockie keadaannya lebih mirip ”kandang”. Studio itu adalah studio Irama Mas, milik produser yang biasa disapa dengan sebutan In Chung, yang dikenang Yockie sebagai sosok yang sangat kooperatif.

Tadinya, yang akan dikerjakan adalah membuat lagu untuk ilustrasi film, yang kesinambungan serta durasinya bertumpu pada gambar-gambar dari alur cerita film itu sendiri. Hanya kemudian antusiasme mereka berkembang, untuk mengembangkan lagu-lagu tadi menjadi rekaman kaset sekalian. ”Sambil menyelam minum air, kami sudah telanjur bekerja di studio,” kata Yockie.

Di studio itulah, dengan semangat avonturir semacam itu, album Badai Pasti Berlalu lahir. Ketika album selesai, Yockie masih ingat, tak ada seorang produser pun bersedia mengedarkan. Musik dalam album itu boleh jadi mereka anggap ”aneh”.

In Chung merasa iba. Produser ini menyatakan bersedia mengedarkannya, dengan memajang antara lain di toko kasetnya di Glodok, yang dikenal sebagai distributor lagu-lagu dangdut dan klenengan.

Satu bulan, dua bulan, dikenang Yockie, suasana adem-adem saja. Baru beberapa waktu kemudian, perlahan-lahan penjualan album Badai meningkat, sebelum kemudian meledak, menjadi album terlaris pada zamannya, sekaligus menjadi album dengan capaian musik yang sangat penting dalam sejarah musik pop Indonesia.

Tembang lestari
Dengan berkibarnya album Badai dalam bisnis musik pop, berkibar pula masalah. Segala hal menyangkut siapa pencipta, siapa paling berhak atas royalti Badai, bagaimana duduk soal lagu-lagu di situ sebagai ilustrasi film menjadi kaset yang beredar luas, berbuntut kasus ke pengadilan, antara Erros dengan Berlian Hutauruk.

”Saya sudah bosen ngomongin-nya,” begitu kata Berlian kalau diajak berbincang mengenai Badai.
Adapun Yockie berusaha memilah, antara sejarah artistik album itu dan sejarah industrinya. Sejarah artistik, bagi dia, masih bisa diperbincangkan karena itu menyangkut bagaimana pemusik seperti dia memandang proses kreatif dalam diri sendiri. Sedangkan mengenai sejarah industrinya, Yockie berucap, ”Itu proses masa lalu, yang harus diterima dengan lapang.”

Berlian sendiri bukan hanya kali itu terlibat dalam suatu momen, berada dalam lingkungan seniman musik yang menelurkan karya monumental. Sebelumnya, pada masa itu ia telah bekerja sama dengan pemusik Idris Sardi, menggarap musik film Karmila (sutradara Ami Prijono). Bersama Idris Sardi pula dia melahirkan Nyanyian Cinta, yang pada masa itu oleh Idris diselesaikan di studio rekaman di Jepang.

Sebut nama-nama penting dalam sejarah dunia musik kita, Berlian pernah terlibat bersama mereka. Misalnya dengan Nick Mamahit, atau Jack Lesmana, yang dia merasa banyak belajar. Tak ketinggalan tentu kakak perempuannya sendiri, Tarida Hutauruk, yang lewat vokal Berlian kita mengenal lagu pop dengan jati diri yang tegas, Dirimu Satu.

Pernah pula ia tampil bersama Leo Kristi, dalam sebuah acara musik di televisi. ”He’s so nice...” kata perempuan berbintang Libra ini mengenangkan kerja samanya dengan Leo dulu. Lagu Leo yang dibawakannya dulu, Tembang Lestari, akan menjadi salah satu nomor yang bakal ditampilkan di Bentara Budaya.

Keseragaman
Dunia masa lalu itu memang telah berlalu kini. Ada yang hilang? Jelas. Pada masa itu, dengan teknologi rekaman musik yang teramat terbatas dibandingkan kecanggihan teknologi rekaman masa kini, nyatanya telah mampu melahirkan karya-karya penting—setidaknya karya-karya yang kaya ragam. Beberapa karya dengan keragaman dan kekhasan masing-masing itu mencuat ke permukaan seperti Badai, bahkan tanpa rekayasa pasar.

Kini, semangat industrial dan keserakahan pasar seolah menyodorkan segala-galanya bagi kita. Penawaran seolah begitu banyak, bahkan berlimpah. Namun, tengoklah, di antaranya banjirnya penawaran itu, juga sebegitu luaskah pilihan?
Rasanya tidak. Yang kita lihat sekarang adalah keseragaman oleh industri

Badai yang Tidak Liris
Bulan Agustus 1977 di Studio Irama Mas, kawasan Pluit, Jakarta Kota. Eros Djarot dibantu beberapa orang dari kelompok Gipsy, antara lain Keenan Nasution, Debby Nasution, dan Chrisye, tengah sibuk mengerjakan soundtrack film Badai Pasti Berlalu garapan Teguh Karya. Mereka meminta Berlian Hutauruk membawakan tembang Badai Pasti Berlalu dan Matahari.

Album Badai Pasti Berlalu menjadi satu fenomena dalam musik pop Indonesia. Pada masanya, album ini menjadi tonggak bersejarah, ketika musik pop masa itu bergerak dengan kualitas seadanya. Badai Pasti Berlalu memberikan warna baru dalam hal musikal dan -pe-nulisan liriknya. Puluhan tahun berikutnya, orang ma-sih mencarinya, bahkan memproduksi ulang: Erwin Gutawa bersama Chrisye pada 1999, kemudian Andi -Rianto tahun ini untuk versi remake.

Andi Rianto mencoba mendekatkan lagu-lagu album- Badai Pasti Berlalu kepada anak muda sekarang. Or-kestra ditaruh di bagian belakang, sedangkan gitar a-kustik dan perangkat band lain berdampingan de-ngan vokal. Andi pun memilih nama penyanyi macam Ari -Lasso, Glenn Fredly, Andy /rif, dan Marshanda.

Badai Pasti Berlalu yang dibawakan Ari Lasso dibuka dengan distorsi gitar. Terasa lebih cair, enteng, jika dibandingkan dengan garapan Eros, yang dimulai de-ngan dentingan piano yang berlipat dengan vokal so-prano -Berlian Hutauruk. Juga lebih simpel dibanding ketika Erwin Gutawa mengaransemen ulang pada 1999. Erwin membuka lagu ini dengan kor, sebuah musik yang orkestral.

Tak ada lagi bagian Badai Pasti Berlalu yang terasa berat. Andi Rianto memangkas dua bait lirik lagu itu -(Gelisah kumenanti tetes embun pagi/Tak kuasa ku memandang dikau matahari), juga menghilangkan peng-ulangan (Kini semua bukan milikku/Musim itu telah berlalu/-Matahari segera berganti). Ya, demi menyesuaikan diri dengan aransemennya, ia telah memo-tong bagian lirik yang puitis. "Tapi saya tetap menjaga rohnya," ujar alumnus -Barklee College of Music, Boston, ini.

Bukan hanya Badai yang menjadi lebih- enteng. Merpati Putih yang dibawakan Astrid terasa kurang nglangut, berbeda- sekali dengan Chrisye-yang seakan membuat kita terlena. Lagu ini menjadi mekanis lantaran banyak menggunakan musik sampling. Musik sampling yang dominan juga terdapat pada lagu Kha-yalku dan Baju Pengantin, bahkan pada lagu Semusim sangat dominan.

Sedangkan lagu Angin Malam, yang terasa- syahdu dengan piano, diganti dengan bunyi gitar saat dibawakan Andy /rif. Glenn Fredly yang membawakan Pelangi malah terasa klop.

Eros Djarot sebagai empunya memang memberikan kebebasan tafsir kepada Andi. Eros tak mempersoalkan bagaimana hasilnya. Apa pun itu bagi Eros tetaplah bagus. Apa pendapat Eros setelah mendengar aransemen Andi banyak menggunakan sampling, bahkan penggunaan disc jockey oleh Winky Wiryawan? Eros merasa temanya masih sama, hanya pendekatannya yang berbeda. "Bedanya adalah persoalan rasa romantisismenya. Saya tentu tak mendapatkan rasa romantisisme di sini," ujarnya.

Romantisisme tiap-tiap zaman, menurut Eros, ber---beda. Bah-wa ia di zaman dulu dalam menggarap Badai banyak me-nonjolkan permainan piano dan back sound keyboard, ini karena menurut dia saat itu tengah marak musik pro-gres-sive rock. "Yah, memang itulah realita hari ini," ujar Eros.

Dalam film Teddy sendiri lagu Badai Pasti Berlalu -mulanya hanya terdengar di tengah film sebagai intro dan baru muncul utuh di akhir film. Berbeda dengan film Teguh Karya, yang sepanjang durasi "full" dengan lagu. Pada Teguh, lagu Badai Pasti Berlalu yang dibawakan Berlian Hutauruk telah terlantun di awal film. Lalu lagu Matahari terdengar saat adegan di klub malam. Lagu Baju Pengantin, juga lagu Merpati Putih saat pemakam-an Cosa, terasa menyentuh. Pemunculan lagu-lagu ini terasa sangat membantu perpindahan adegan satu ke adegan lain, sementara pada film Teddy, kekuatan lagu sama sekali tak terasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar