FULL MOVIE
Linda (Lenny Marlina) melahirkan bayi hasil hubungan gelap dengan pacarnya, Alex (Andy Auric), yang meninggal karena kecelakaan. Untuk menyembunyikan aib, ayah Linda meminta adiknya agar merawat dan membawa bayi Linda ke Cirebon. Kepada Linda sendiri dikatakan bahwa bayinya meninggal. Bayi yang kemudian bernama Yatim (Rano Karno), mendapat perlakuan buruk dari pengasuhnya. Uang yang dikirim ayah Linda untuk merawat Yatim, dikorupnya, hingga ayah Linda marah ketika adiknya minta uang lagi. Linda yang mendengar percakapan itu lalu bertanya. Ayahnya menceritakan keadaan sesungguhnya. Maka Linda pergi ke Cirebon menjemput anaknya. Di kota itu, ternyata Yatim sudah kabur karena tak tahan perlakuan perawatnya. Yatim ke Jakarta untuk mencari ibunya. Ia lalu menggelandang dan jadi tukang semir sepatu. Seorang penjual mainan anak-anak yang mendengar siaran radio mencari anak hilang, lalu menganjurkan Yatim menemui orangtuanya. Yatim menolak, dan malah ketabrak mobil. Pertemuan terjadi di rumah sakit.
P.T. RAPI FILM
KUSNO SUDJARWADI DICKY ZULKARNAEN LENNY MARLINA ALAM SURAWIDJAJA TIAR MUSLIM MIEKE WIJAYA RANO KARNO ANDY AURIC WINDY DJATMIKO ROLDIAH FARADILLA SANDY |
NEWS
29 September 1973
Mencari seorang ibu
SUKSES dengan film Pemberang, sutradara Hasmanan muncul kembali dengan drama sosial. Di mana Kau Ibu. Tontonan yang berkisah tentang nasib bayi yang dipisahkan dengan ibunya sejak lahir ini, menarik untuk dilihat sebagai akibat dari suatu sikap hipokrisi seorang terpandang. Linda (Lenny Marlina) mendapatkan bayi di luar hubungan yang direstui ayahnya (Kusno Sujarwadi). Tapi jika toh hubungan itu direstui, bayi nan malang itu tetap saja mendapat musibah, sebab lelaki yang meniduri Linda telah pula meninggal sebelum sang bayi lahir. Minggat. Ditulis oleh Narto Erawan -- penulis skenario untuk film Perkawinan karya Wim Umboh -- skenario yang ceritanya disusun oleh team PT Rapi Film itu sendiri, kemudian berkisan tentang penderitaan Yatim (Rano Karno) -- nama sang bayi -- yang terdampar dalam tangan salah seorang keluarga ibunya. Kurang terang bagi penonton, berapa jauh alasan bagi nyonya Yusuf -- yang merawat Yatim dari masa bayi -- untuk bertindak bengis kepada anak malang itu. Tapi yang jelas. Yatim kemudian minggat, tepat pada saat ibunya mendapatkan kepastian masih hidupnya bayi yang pernah ia salurkan.
Hidup bebas yang lebih keras bermula di sini, di kota Jakarta, setelah dengan truk gandengan, Yatim meninggalkan Cirebon. Hidup bergelandangan, makan dari upah menyemir sepatu, Yatim juga bersahabat dengan pak Kosim (Alam Surawijaya) yang bijaksana. Tidak ada usaha yang sanggup mempertemukan anak yang hilang dengan ibu yang malang, kecuali tabrakan mobil yang nyaris disertai tabrakan maut. Berbeda dengan film Ratapan Anak Tiri Hasmanan hampir tidak mempergunakan air mata untuk memancing barang yang sama. Melalui jalan cerita yang memang tragis itulah ia berharap menggiring simpati para penonton kepada Yatim. idak semua usaha itu gagal meskipun juga tidak seluruhnya berhasil. Berlainan dengan Pemberang yang kisahnya lebih sederhana dan kompak, drama sosial macam Di mana Kau Ibu ini memang memerlukan ketelitian dalam penyusunan jalinan skenario sehingga kejadian yang saling berhubungan itu bisa pula saling mendukung. Untuk memberi alasan bagi Yatim minggat, misalnya, sudah seyogiayanya tekanan harus cukup berat di rumah keluarga Yusuf. Tekanan itu memang lebih dari hanya cukup, tapi dasar untuk kebengisan demikian yang nampaknya kurang diperhatikan Narto Erawan.
Kurangnya penggambaran bagi kegiatan Kusno juga mengurangi motif bagi keputusannya mengasingkan Yatim. Skenario. Dengan kekurangan-kekurangan kecil pada skenario, menggembirakan untuk menyebut bahwa film terbaru PT Rapi Film ini tidaklah terjatuh pada jenis tontoltan-tontonan murah yang dengan modai kecil berharap memeras banyak air mata. Sebagai sutradara, Hasmanan memamerkan kebutuhannya akan penulis skenario yang baik. Dan nampaknya kesempatan demikian tidak ia temukan dalam film terbarunya ini. Usahanya relakukan perbaikan-perbaikan setempat memang banyak menolong, tapi toh secara keseluruhan belum sesukses ketika ia menyelesaikan Pemberang. Sambil memberi kesempatan kepada Hasmanan untuk berbuat lebih banyak dalam film mendatangnya -- Sorga Biru: skenario oleh Arifin C. Noer yang juga menulis skenario untuk Pemberang -- film Di mana Kau Ibu boleh tiba dengan menyenangkan di mata dan telinga. Kamer? yang dikerjakan dengan rapi oleh Haji Syamsyuddin, tiba ke layar melalui proses editing oleh Kassim Abbas. Kalau saja Kassim bekerja dengan konstan seperti pada bagian-bagian pertama, maka film yang musiknya disusun oleh Idris Sardi ini, tentulah akan lebih sempurna adanya. Dalam keadaannya yang sekarang produksi ke empat PT Rapi Film ini boleh merasa terhormat untuk berdiri di luar arus asal jadi yang kini nampaknya sedang digemari pembuat film-film nasional. Permainan yang diperlihatkan oleh Alam Surawijaya dan Rano Karno amat mengasyikkan, tapi ini jelas karena kedua tokoh itu saja yang dikerjakan dengan selesai dan rapi oleh Narto. Kalau saja Kusno Sujarwadi diberi kesempatan bergerak tidak hanya di dalam rumah, pastilah ia akan berbuat banyak pula. Salim Said
01 Maret 1975
Ekspor kok bisa ? TIDAK usah terkejut, tapi dunia lebih kenal Malaysia dari pada Indonesia dalam bidang film. Mendongkolkan memang, sebab Jakarta sudah menghasilkan hampir seratus film berwarna ketika Malaysia baru coba-coba bikin film, berwarna tahun silam. "Partisipasi dalam kegiatan film internasional membuat mereka dikenal di mana-mana", komentar seorang sutradara sembari mengacungkan buku International Film Guide edisi terakhir (di dalamnya ada tulisan mengenai kegiatan perfilman Malaysia, Indonesia sempat dilupakan). Dan salah satu dari partisipasi itu konon pula lazim dikenal sebagai festival. Bercerita Gope Samtani: "Hampir semua festival film mengundang kita. Tapi para produser Indonesia tidak pernah menggubris undangan demikian". Booker dan importir Nurli Medan ikut bicara: "Produser kita ini gantang terhadap perfilman luar negeri. Lagi pula ongkosnya tidak kecil, sementara mereka yakin film-film Indonesia tidak bakal mengalahkan film-film using". Nurli itu tidak cuma membela produser film Indonesia, sebab kemudian ia juga bicara tentang festival yang tidak sekedar pameran mutu. "Pertemuan para produser dalam peristiwa demikian bisa menjadi awal dari serentetan transaksi", katanya pula.
01 Maret 1975
Ekspor kok bisa ? TIDAK usah terkejut, tapi dunia lebih kenal Malaysia dari pada Indonesia dalam bidang film. Mendongkolkan memang, sebab Jakarta sudah menghasilkan hampir seratus film berwarna ketika Malaysia baru coba-coba bikin film, berwarna tahun silam. "Partisipasi dalam kegiatan film internasional membuat mereka dikenal di mana-mana", komentar seorang sutradara sembari mengacungkan buku International Film Guide edisi terakhir (di dalamnya ada tulisan mengenai kegiatan perfilman Malaysia, Indonesia sempat dilupakan). Dan salah satu dari partisipasi itu konon pula lazim dikenal sebagai festival. Bercerita Gope Samtani: "Hampir semua festival film mengundang kita. Tapi para produser Indonesia tidak pernah menggubris undangan demikian". Booker dan importir Nurli Medan ikut bicara: "Produser kita ini gantang terhadap perfilman luar negeri. Lagi pula ongkosnya tidak kecil, sementara mereka yakin film-film Indonesia tidak bakal mengalahkan film-film using". Nurli itu tidak cuma membela produser film Indonesia, sebab kemudian ia juga bicara tentang festival yang tidak sekedar pameran mutu. "Pertemuan para produser dalam peristiwa demikian bisa menjadi awal dari serentetan transaksi", katanya pula.
Apa yang dikatakan Nurli nantpaknya luga disetujui ketua PPFI, Turino Djuneidi. Meskipun belum terdengar berita kapan Turino sendiri berhasrat ikut festival film internasional (kecuali tingkat Asean dun Asia), tapi ia sempat juga mendesak Gope (PT Rapi Film) untuk turut ramai pada festival kelima International Film Festival of India. Maka berangkatlah Gope akhir tahun silam untuk menyertai, pesta film yang berlangsung di New Delhi dari tanggal 30 Desember hingga 12 Januari. Dua produksinya ia sertakan: Romi dan Juli serta Di Mana Kau Ibu? Yang pertama tidak terpilih untuk dinilai para juri, yang satunya sempat bersaing dengan film-film dari 31 negara. Bukan main. Orang-orang India tidak tanggung-tanggung memilih juri. Sutradara terkemuka India, Styajit Ray sebagai ketua, dan anggota-anggotanya adalah Bert Hanstra (Belanda), Frank Capra (Italia), Oleg Tabakov (Rusia), Nagisa Oshinta (Jepang) serta beberapa tokoh film dunia lainnya. Film-film yang ikut serta juga bukan film sembarangan. Dari film-film Kuba, Mesir, Eropa Timur hingga karya Coppola sampai Fellini. Dan kalau begini, sudah jelas Indonesia tidak kebagian apa-apa. Tapi Gope Samtani tidak perlu kecewa. Selain sempat bertemu muka dengan Gina Lolobrigida serta sempat berfoto dengan Perdana Menteti Indira Gandhi. Gope juga tidak pulang hampa tangan. "Saya pulang dengan uang hampir sepuluh ribu dollar Amerika", begitu ia bercerita bangga.
Selain berhasil merundingkan suatu rencana produksi bersama dengan India ia juga berhasil menjual filmnya untuk Afrika Utara. Afrika Barat, Timur Tengah, Amerika Latin, India Barat serta India. Nah yang terakhir ini yang betul-betul bikin bangga Gope. "Anda, taliu, India tahun 1973 dun 1974 tidak mengimpor satupun film using", begitu is menerangkan arti transaksinya dengan India. Ketika Inportir India (semi penterintah dun satu-satunya badan yang bertanggung jawab memasukkan film asing) menawar film Di Mana Kau Ibu? Gope langsung menilpon Jakarta. "Berapa harga yang harus kita buka", tanyanya kepada saudaranya, Samtani yang lebih tua. "Kalau perlu, gratispun boleh, asal mereka mau putar film Indonesia", jawaban Jakarta. Eh, lakunya 4500 dollar Amerika. "Lebih dari lumayan", sambung Gope pula. Sovexport Soal memberikan film dengan gratis macam jawaban yang diterima Gope dari Jakarta itu, memang bukan hal baru. Sebelum film-film Mandarin sanggup menembus pasaran Eropa dan Amerika maupun Afrika, produser-produser Hongkong itu secara gratis menyerahkan kopi-kopi film mereka untuk diputar di berbagai penjuru dunia. Ketika penonton sudah mulai kecanduan silat dan Kung Fu, nah, baru mereka pasang harga. Kepada Gope, Mr Velodia, Presiden Sovexport (Rusia) juga menjelaskan soal yang sama ketika mereka bertemu di New Delhi. Kata, orang Rusia itu, "banyak film India tahun ini bakal memasuki pasaran Uni Soviet. Tapi film-film itu belum menghasilkan uang". Lulu untuk apa? "Yang penting", tambah orang Rusia itu pula, "adalah mempersiapkan suatu masyarakat untuk menerima suatu kebudayaan lain". Berapa jauhkah produser-produser Indonesia bersedia menanam modal untuk mempersiapkan suatu masyarakat untuk menonton film Indonesia? "Nampaknya masih belum bisa diharapkan dalam waktu dekat", kata Nurli Medan di kantor Giprodfin pekan silam, "Soalnya, mereka juga membuat film dengan memperhitungkan hanya Indonesia, Malaysia, Singapura sebagai daerah pemasaran", tambah Nurli pula. Konon kalau daerah pasaian itu bisa digarap dengan baik (kalau filmnya tidak jelek, tentu saja), untungnya sudah lebih dari lumayan. Karena itulah rupanya maka produser-produser Indonesia enggan meladeni seorang importir Australia yang kemampuannya baru pada tingkat menyewa film, sebab "membeli terlalu mahal untuk pasaran Australia". Importir yang bernama Max Millic itu tahun silam berhasil menarik banyak penonton untuk film Di Mana Kau Ibu? "Tapi sebagian besar keuntungan saya diserap pemilik bioskop", begitu Millie mengeluh bulan silam.