Tampilkan postingan dengan label ANTARA KOMIK & CERITA SILAT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ANTARA KOMIK & CERITA SILAT. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Agustus 2011

JAN MINTARAGA


Anak muda di era ORBA,
mengikuti Trand dalam komik Jan Mintaraga,



(Nama asli Suwalbiyanto lahir di Yogyakarta, 8 November 1942 – meninggal 14 Desember 1999 pada umur 57 tahun) adalah seorang komikus silat (Cerita silat bergambar) Indonesia. Ia sempat mengecap pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta dan di Institut Teknologi Bandung. Ia mulai menggambar komik sejak tahun 1965. Banyak karya yang sudah diterbitkan, antara lain Sebuah Noda Hitam, Tunggu Aku di Pintu Eden. Cerita-cerita silat: Kelelawar, Teror Macan Putih, Indra Bayu, dll. Ia juga menulis komik sejarah seperti Imperium Majapahit, Api di Rimba Mentaok. Selain sebagai seorang kartunis, Jan Mintaraga juga dikenal sebagai seorang ilustrator.

Jan Mintaraga adalah generasi setelah kelahiran buku komik pertama karya R.A. Kosasih dan kelompok Komik Medan yang dimotori Taguan Hardjo serta Zam Nuldyn.

Bersama Zaldy Armendaris dan Simon Iskandar, ia menjadi salah satu orang yang memulai genre komik roman pada 1965. Warsa itu adalah senjakala Orde Lama yang anti terhadap berbagai kebudayaan yang berbau Barat. Lewat komik-komik romannya, Jan menampilkan tokoh-tokoh yang “memberontak” terhadap kungkungan rezim.

“Karakter-karakter dalam komik karya Jan: anak muda dengan mata sayu, rambut bagian depan menutupi jidat, berjaket jeans, dan bersepatu kanvas. Begitulah pada era setelah tumbangnya Orde Lama yang menyikat semua ekspresi kebudayaan yang dianggap kontra revolusioner, komik semacam ini malah bisa dikatakan salah satu tonggak revolusi dalam kronik kebudayaan pop Indonesia,” tulis Bre Redana dalam Kompas, Desember 1999.

Agus Dermawan T. dalam Gatra edisi 20 Desember 1999 menyebut komik-komik Jan sebagai genre pasca-“ganyang Amerika” di Indonesia. Hal inilah menurutnya yang membuat komik-komik Jan mampu diterima pasar secara luas.

Setelah menamatkan sekolah di SMA 9 Jakarta, ia sempat belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) meski tak selesai, dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).

Seperti dikutip beberapa media, dalam membuat tokoh komiknya, Jan terpengaruhi oleh komikus Amerika, Frank Robbin, pencipta Johnny Hazard. Dalam Jurnal Kalam 16 (2000), Seno Gumira Ajidarma memperkuat pendapat itu dengan menyebut bahwa ciri yang sangat dikenal dari gaya Jan Mintraga adalah gaya Amerika.

Menurut Bre Redana, secara teknis karya Jan berbeda dengan karya-karya komikus terkenal sebelumnya. Ketika R.A. Kosasih tetap bersetia memakai sistem arsir, Jan justru membuat panel-panel dengan sistem block yang dasarnya hitam pekat.

Sementara menurut Amir Machmud dalam Suara Merdeka, karya Jan yang ekspresif kerap dibandingkan oleh para peminat komik dengan karya Teguh Santoso, komikus yang membuat serial komik Tambusa.

“Bedanya, ‘wajah’ para tokoh ciptaan Teguh lebih membumi dengan pemanfaatan ruang yang juga lebih detail,” tulisnya.

Secara popularitas, karya Jan memang bersaing dengan karya Ganesh TH, Djair, Teguh Santosa, Sim, dan Hans Jaladara. Para komikus itu adalah pembuat Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Sembung, Tambusa, Buku Harian Monita, dan Panji Tengkorak—karya-karya yang sangat membumi dalam masyarakat Indonesia.

Bahkan menurut Agus Dermawan T., Jan mengharapkan karya-karyanya mampu melampaui komik wayang R.A. Kosasih, komik Taguan Hardjo, dan komik perang Sie Djin Koei karya Siauw Tik Kwie.

Para komikus yang semasa dengan Jan, berdasarkan catatan Seno Gumira Ajidarma dalam Jurnal Kalam 16, hidup pada zaman keemasan budaya pop saat hadirnya majalah Eres yang terbit pertama kali pada 8 September 1969. Seno menambahkan bahwa kehadiran Eres yang melambungkan para komikus setara dengan Horison bagi para sastrawan, dan Aktuil bagi para musisi pop.

“Majalah itu menjadi kiblat, dan untuk pertama kalinya perbincangan tentang komik di Indonesia berlangsung di majalah tersebut,” tulisnya.

Meski transisi kekuasaan nasional membuat arah kebudayaan berubah, tapi Jan sempat menulis dalam majalah Eres No. 8 (1970) tentang kegagapan yang mengiringi masa peralihan tersebut dalam artikel bertajuk “Dalam Negara Modern Komik Mutlak Ada”. Seno menilai tulisan Jan ini sebagai manifesto para komikus.

Sikap Jan ini, jika dilihat dari catatan Alinda Rimaya dalam “Mencari Identitas Komik Indonesia”, dilatari represi aparat terhadap karya-karyanya. Pada 1967, komik-komik roman karyanya, juga karya Sim dan Zaldy yang tengah digandrungi remaja, tiba-tiba kena razia polisi karena dianggap terlalu banyak memuat adegan percintaan. Ini membuat popularitas komik-komik tersebut menurun.

Dalam tulisannya di majalah Eres, Jan mengungkapkan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintah Orde Baru yang melakukan sensor ketat terhadap komik karena dianggap akan merusak perkembangan jiwa anak-anak. Ia lalu mempertanyakan perlakuan pemerintah terhadap media lain selain komik yang ia anggap mempunyai daya rusak yang lebih hebat.

Kekuasaan Orde Baru memang dibangun di atas pedagogi moralisme. Dalam hal ini, penguasa dibayangkan sebagai "bapak" yang penuh nasihat dan rakyat diperlakukan layaknya "anak" yang senantiasa harus dibimbing. Saya Shiraishi mengungkapkan dengan baik moralisme negara Orde Baru dalam Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2001).

Pidato-pidato para pejabat, menurut Shiraishi, banyak diisi petuah moral yang sebenarnya bertendensi agar rakyat selalu tunduk kepada penguasa. Sementara kelakuan para pejabat justru berkebalikan dengan nilai-nilai moral yang mereka khotbahkan.

Dalam komik-komiknya, Jan Mintaraga menyuguhkan "realitas moral" yang berbeda dan berusaha mendobrak hipokrisi macam itu.

Lebih jauh ia bertanya dengan nada menggugat bahwa tidak semua buku, termasuk komik, mesti mempunyai unsur pendidikan di dalamnya. Sebagai contoh, Jan menyebut Romeo and Juliet karya Shakespeare, yang menurutnya tidak ada satu pelajaran pun dari kisah itu.

“Seperti Romeo and Juliet isinya adalah dua keluarga yang tak dapat didamaikan. Dua dendam! Jadi seniman bukanlah dilahirkan buat mendidik. Pendidikan sudah ada. Banyak guru-guru kita yang bijaksana. Nanti mereka merasa tak senang kalau ‘tukang komik’ ikut-ikutan mendidik,” tulisnya geram.

Mayoritas karya Jan Mintaraga dan komikus lain yang lahir setelah komik wayang populer seperti karya R.A. Kosasih, Oerip, dan Ardisoma, menurut Seno Gumira Ajidarma, adalah sebuah kondisi yang membenturkan nilai-nilai dari dua jenis komik tersebut.

“[...] ini menjelaskan sebuah situasi, bahwa komik adalah bagian dari nilai baru yang mengalami konflik dengan nilai lama. Memang, sebelumnya komik wayang sudah juga populer lewat R.A. Kosasih (Mahabharata, Ramayana) maupun Oerip dan Ardisoma (Wayang Purwa). Namun nilai-nilai dalam komik wayang adalah nilai klasik, dan komik itupun disebut komik klasik. Tidak ada sengketa nilai antara komik wayang dan masyarakat tradisional yang juga menganut nilai-nilai pewayangan,” tutur Seno.

Pada warsa itu, kehadiran komik memang mendapat pengawasan ketat. Setiap komik yang hendak diedarkan ke masyarakat mesti diperiksa dulu oleh aparat terkait. Jika dinyatakan lulus sensor maka komik tersebut akan dibubuhi stempel. Ini berlaku untuk semua komik termasuk komik tentang nikmat surga dan siksa neraka yang berhasil meneror anak-anak dengan gambar-gambar yang mengerikan.

Di luar kekecewaannya terhadap sikap pemerintah yang masih gagap terhadap derasnya kehadiran komik, sepanjang hayatnya Jan Mintaraga amat produktif membuat komik dengan berbagai tema. Selain komik roman, ia juga membuat komik sejarah, komik legenda, komik silat, komik fantasi. Tak hanya itu, Jan juga membuat ilustrasi untuk cerita pendek dan cerita bersambung di sejumlah majalah, ilustrasi sampul cerita bergambar, buku pelajaran menggambar, dan lain-lain.

“Dalam blantika komik Indonesia, popularitas Jan memang menjulang, ia merupakan tonggak, karyanya menjadi ikon,” tulis Seno.

Namun popularitas tersebut rupanya tak mengurangi keresahan Jan. Di tahun-tahun akhir hayatnya, seperti ditulis Bre Redana dalam obituari di harian Kompas (16/12/1999), Jan masih mengerjakan bidang lain di luar komik.

“Betapa pun penting posisi Jan dalam sejarah komik Indonesia berikut kronik kebudayaan pop di sini, Jan tampak tetap resah. Dia kelihatannya ingin diakui juga sebagai pelukis. Selain kegiatannya di tahun-tahun terakhir hidupnya seperti membuat naskah sinetron, membikin story board untuk produksi film, Jan juga aktif melukis dengan cat minyak. Karya lukisnya dipamerkan antara lain dalam pameran di Balai Budaya Jakarta tahun 1989,” tulisnya.

Jan Mintaraga wafat pada 14 Desember 1999 di Pamulang, Banten. Titimangsa itu membuat keresahan-keresahannya berakhir. Warsa 1983, Teguh Esha sempat meredakan keresahan Jan yang kecewa karena komik masih dianggap bastard dan sampah yang merusak morak masyarakat.

Kepada kawannya itu, Teguh Esha berkata, “Yang bastard itu mereka, Jan, yang sembarangan memvonis.”

RA KOSASIH

MENJADIKAN WAYANG SEBAGAI KOMIK SUPER HERO.


Kosasih, yang saat itu masih menjadi pegawai di Kebun Raya Bogor sebagai tukang gambar binatang dan tanaman. Penerbit itu meminta Kosasih membuat komik superhero, karena komik tersebut sedang populer di Amerika. Kosasih memenuhinya dengan membuat komik petualangan perempuan super, Sri Asih, terbit 1954. Komik pertama dalam bentuk buku itu dicetak sebanyak 3000 eksemplar.

Raden Ahmad Kosasih (Bogor, Jawa Barat, 1919) adalah seorang penulis dan penggambar komik termasyhur dari Indonesia. Generasi komik masa kini menganggapnya sebagai Bapak Komik Indonesia

Karya-karyanya terutama berhubungan dengan kesusastraan Hindu (Ramayana dan Mahabharata) dan sastra tradisional Indonesia, terutama dari sastra Jawa dan Sunda. Selain itu beliau juga menggambar beberapa komik silat yang memiliki pengaruh Tionghoa, namun tidak terlalu banyak. Kosasih mulai menggambar pada tahun 1953 lalu ia mulai berhenti dan pensiun pada tahun 1993. Kosasih terutama menggambar sketsa-sketsa hitam-putih tanpa memakai warna. Kosasih memulai kariernya pada penerbit Melodi di Bandung. Namun karya-karyanya yang terkenal diterbitkan oleh Maranatha. Akhir-akhir ini pada dasawarsa tahun 1990-an karya-karyanya diterbitkan ulang oleh Elex Media Komputindo dan penerbit Paramita di Surabaya. Karya: Sri Asih (1950)bisa dianggap sebagai superhero Indonesia yang pertama. Siti Gahara Ramayana Mahabharata

Menurut Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia, komik Sri Asih dapat dijadikan patokan bagi awal pertumbuhan komik Indonesia. “Adapun komikusnya, Kosasih, dianggap –dan memang sepatutnya– sebagai bapak komik Indonesia. Komikus muda sangat menghormatinya,” tulis Bonneff.

RA Kosasih lahir di Desa Bondongan, Bogor, pada 1919, sebagai bungsu dari tujuh bersaudara. Dia kepincut pada seni menggambar ketika sekolah di Hollandsch Inlands School (HIS) Pasundan, melihat ilustrasi buku-buku pelajaran bahasa Belanda yang bagus-bagus. Sehingga buku catatannya cepat habis karena dia gambari. Setamat HIS, dia memilih tak meneruskan sekolah, padahal dengan sekolah dia berpeluang menjadi pamong praja. Pada 1939, Kosasih melamar pekerjaan sebagai juru gambar di Kebun Raya Bogor.

Para pendidik, tulis Bonneff, menentang komik yang berasal dari Barat, bahkan produk imitasinya, Sri Asih. Mereka juga mengkritik komik, bukan dari segi bentuknya yang dianggap tidak mendidik, melainkan juga dari segi gagasannya yang berbahaya. Beberapa penerbit seperti Melodi di Bandung dan Keng Po di Jakarta mengubah haluan, dan memproduksi komik yang menggali kebudayaan nasional. Penerbit Melodi mengarahkan Kosasih untuk membuat komik wayang.

“Kosasih yang orang Sunda,” tulis Bonneff, “hanya mempunyai pengalaman sebagai penonton (wayang). Maka dia meneliti dokumen, meminta bantuan dalang, untuk mencipta komik epos besar yang berasal dari India, Mahabharata dan Ramayana.” Masyarakat menyambut hangat kehadiran komik wayang. Sehingga, para pendidik yang masih menentang komik tidak punya alasan untuk mengkritik.

Sukses komik wayang demikian besar sehingga Kosasih, dari 1955 sampai 1960, tidak pernah berhenti membuat puluhan jilid komik untuk memuaskan pembacanya. Kosasih memerlukan waktu dua tahun untuk menggambar 26 jilid Mahabharata. Dia menyelesaikan satu jilid setebal 42 halaman setiap bulannya, kemudian lakon Bharatayudha, Pendawa Seda, Parikesit, dan Udayana, masing-masing 4 jilid.

Ketika popularitas komik wayang menurun, Kosasih beralih membuat komik legenda seperti Lutung Kasarung, Sangkuriang, dan dongeng untuk anak-anak. Pada 1967-1968, penerbit Melodi sementara berhenti menerbitkan komik. Kosasih pun menerbitkan komik silat di penerbit Lokadjaja, Jakarta.

Penerbit Melodi kembali ingin menerbitkan komik wayang. Kosasih diminta bantuannya karena dia satu-satunya komikus yang paling mampu mentransformasikan mitologi itu ke komik. “Penerbit dengan tidak ragu-ragu membayarnya Rp80.000 untuk dua jilid Bomantara (masing-masing 80 halaman), komiknya yang terbaru,” tulis Bonneff. “Komik Kosasih dianggap sebagai karya klasik yang dicetak ulang berkali-kali.”

Bapak komik Indonesia menghadap Sang Khalik pada dinihari, 24 Juli 2012, di usia 93 tahun.


Sri Asih adalah karya pertama Kosasih yang bertema superhero. Komik ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1954 oleh Penerbit Melodie.

Menurut Iwan, Sri Asih digambarkan sebagai seorang pahlawan berkemben. Ini bisa dianggap sebagai adaptasi komik pahlawan super Amerika ke dalam corak Indonesia.

Ceritanya, ada tokoh bernama Nani, seorang gadis lugu yang apabila dia mengucapkan kata sakti "Dewi Asih" maka ia akan berubah menjadi pahlawan super wanita yang bisa terbang, kebal, berkekuatan super, bisa menggandakan diri, dan memperbesar tubuhnya. Kisah-kisah Sri Asih tidak hanya berlokasi di Indonesia tapi juga sampai ke Singapura dan Macao.

Siti Gahara juga komik yang bertema superhero. Menurut Iwan Gunawan, ini adalah komik kedua karya Kosasih. Ceritanya mengambil latar belakang Timur Tengah. Mirip dengan kisah 1001 malam.

Sosok Gahara adalah plesetan dari Sahara, ratu Kerajaan Turkana yang berpakaian Timur Tengah. Kostumnya, dengan perut terbuka, lengan baju sebatas siku, dan bercelana panjang. Keheroan perempuan ini, bisa terbang dan jago berkelahi. Musuh bebuyutannya, nenek sihir.

Komik ini pun laku keras. Para penerbit masih mencetak ulang karya komik ini hingga sekarang.


Ramayana adalah sebuah cerita epos dari India tentang Sang Rama yang memerintah di Kerajaan Kosala, di sebelah utara Sungai Gangga, ibukota Ayodhya. Kisah ini bercerita soal pertarungannya dengan kaum raksasa dan kisah cinta dengan Dewi Sinta.


Kisah ini kemudian dibuat dalam bentuk komik oleh Kosasih. Idenya muncul dari bacaan Bhagawat Gita terjemahan Balai Pusaka.

Hasil penjualan komik ini luar biasa. Bersama Mahabharata, angka penjualannya mencapat 30 ribu eksemplar. Tiras paling besar sepanjang sejarah komik Indonesia.

Menurut Iwan, komik-komik karya Kosasih paling sering dicetak ulang. Penggemar bacaan bergambar itu seolah tak pernah hilang meski berganti zaman.




Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa  (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.


Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Kurawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayudha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari.

Karya ini melambungkan nama Kosasih, namun yang lebih penting lagi, komik Mahabharata berhasil memperkenalkan kisah itu kepada generasi baru, yakni anak-anak dan remaja perkotaan yang jarang nonton
wayang kulit atau wayang orang. Bagi mereka, komik Kosasih adalah referensi awal ke kisah klasik asal India itu.

Walau tidak ada catatan pasti berapa jumlah komik Mahabharata yang berhasil terjual. Kosasih ingat bahwa Mahabharata dan Ramayana adalah dua karya yang kemudian berhasil membuatnya membeli rumah.

Kesuksesan sebagai komikus jualah yang membuat Kosasih berani berhenti dari pekerjaannya sebagai PNS dan total menggambar.

Menurut Iwan, di tahun-tahun selanjutnya, Kosasih tetap menguasai pasar komik Indonesia dengan kembali membuat komik wanita superhero, kisah wayang, cerita rakyat, roman, lelucon, bahkan silat. Ada ratusan judul komik yang akan membuat namanya tetap abadi.

BASTIAN TITO

Dari BASTIAN TITO, Turun Ke VINO G.BASTIAN



(23 Agustus 1945–2 Januari 2006)
Adalah seorang penulis cerita silat asal Indonesia. Karyanya yang paling terkenal adalah Wiro Sableng. Ia mulai tekun menulis sejak duduk di bangku SD kelas 3. Karyanya mulai diterbitkan sejak tahun 1964 dan Wiro Sableng sendiri, yang ditulisnya berdasarkan rekaan ditambah bacaan buku sejarah Tanah Jawa mulai terbit pada tahun 1967. Selain Wiro Sableng, karya lainnya yang ia tulis antara lain adalah Boma si Pendekar Cilik dan fiksi bernuansa Minang berjudul Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok. Bastian meninggalkan lima orang anak, yang salah satunya adalah Vino Bastian, seorang aktor film.

Selain Wiro Sableng, Bastian juga menulis cerita silat lainnya, seperti Kupu-kupu Giok Ngarai Sianok, sebuah cerita silat yang mengambil seting budaya Minangkabau, Boma si Pendekar Cilik, dan masih banyak cerita silat lainnya. Disamping menulis cerita silat dan fiksi bernuansa etnis, dia juga dikenal sebagai penulis spesialis novel bernuansa humor. Bastian sudah gemar menulis semenjak duduk dibangku sekolah dasar kelas 3, tetapi baru pada tahun 1964-lah dia mulai mengumpulkan hasil karyanya dalam bentuk buku. Sedangkan menulis novel Wiro Sableng dia lakukan sejak tahun 1967. Di luar pekerjaannya sebagai penulis, Bastian sesungguhnya juga seorang profesional. Dengan gelar, Master of Bussines Administration (MBA) yang disandangnya, dia juga pernah bekerja sebagai karyawan bagian purchasing di sebuah perusahaan swasta. Bastian dikaruniai lima orang anak, salah satu anaknya, Vino Bastian juga mewarisi darah seninya, tetapi menjalani karier sebagai pemeran untuk film-film layar lebar Indonesia.

LARUT malam di rumah keluarga Bastian Tito. Anak-anak terlelap di kamarnya, sedangkan Bastian masih terjaga di depan mesin tik ruang kerjanya. Dia mengambil kertas dan memasukkannya ke mesin tik. Jarinya lincah menekan tuts huruf.

“Suara ketikan beliau terdengar sampai ke kamar kami. Beliau mengetik kayak pakai 11 jari. Cepat sekali,” kata Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus anak bungsu Bastian Tito, bercerita tentang proses kreatif cerita silat (cersil) Wiro Sableng.

Vino mengungkapkan dirinya saat itu masih berusia anak sekolah dasar. “Tahun 80-an ya, saya ingat Bapak saya itu menulis Wiro Sableng ketika anak-anaknya mulai tidur,” lanjut Vino.

Bastian Tito lahir pada 23 Agustus 1945. Dia berdarah Minang dan merantau ke Jakarta sejak muda. Dia pindah untuk bersekolah dan mencari uang. Bakatnya berada di dunia aksara dan tumbuh sedari kelas 3 sekolah dasar.

Bastian Tito menjajak pendidikan tinggi di Jakarta. Penampilannya setiap mau ke kampus atau tempat kerja selalu enak dilihat. Kemeja panjang, celana cutbray, dan sepatu bot mengilap lekat pada dirinya. Dia menyambi sebagai jurnalis di majalah hiburan Vista pada 1960-an untuk membiayai kuliah. Dan pada dekade yang sama pula, cersil pertamanya terbit. “Wiro Sableng kali pertama terbit pada 1967,” kata Vino.

Wiro Sableng bercerita tentang petualangan seorang lelaki muda bernama Wira Saksana untuk mencari makna hidup. Dia lihai bersilat, hasil tempaan bertahun-tahun dari Sinto Gendeng, gurunya. Sikapnya riang sehingga punya banyak teman, laki atau perempuan. Dia menggunakan kelihaiannya bersilat untuk menolong orang lemah dan menegakkan keadilan.

Tapi di sebalik itu, Wira Saksana punya perilaku serampangan: asal bertindak dan sering bercanda dalam situasi genting, bahkan dengan musuh. Kadang dia labil, lain waktu malah kekanak-kanakan. Tingkahnya lebih mirip seorang tak waras atau sableng.

“Karakter jenaka Wiro ini mirip Bapak. Kadang serius, kadang jenaka. Tapi ini bukan berarti bahwa Wiro itu Bapak saya,” kata Vino.

Begitulah cara Bastian menampilkan jagoan utamanya. Seorang pahlawan dengan sifat-sifat urakan. Hati dan pikirannya berupaya condong pada kebenaran meski dengan cara tak lazim.

Sebagai petualang, Wira Saksana menjelajah banyak negeri. Tidak hanya Jawa, melainkan juga Sumatera, Jepang, dan Tiongkok. Penggambaran Bastian terhadap tempat, budaya, dan masyarakat di tempat-tempat tersebut sangat detail.

“Ya karena Bapak saya itu sebelum menulis, pasti riset. Tempat-tempatnya, sejarahnya, dan budayanya. Macam-macamlah. Mungkin ini terbentuk dari latar belakangnya yang seorang jurnalis,” ungkap Vino.

Bastian tak secara khusus menyediakan waktu untuk riset lapangan. “Pokoknya setiap kali dia mengajak keluarga jalan-jalan, itulah juga waktu risetnya,” lanjut Vino.

Selain riset lapangan, Bastian membaca buku tentang sejarah dan kebudayaan Jawa. “Bapak juga punya banyak kamus,” kata Vino. Ini menambah daya pikat cersil Wiro Sableng.

Kelebihan lain Bastian ialah bahasa plastis dan kreatif. Misalnya Bastian mengambil nama-nama unik untuk tokohnya seperti Pangeran Matahari, Dewa Tuak, Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila, dan Kakek Segala Tahu. Lebih menghibur lagi nama-nama jurus seperti Kunyuk Melempar Buah, Pukulan Matahari, dan Membuka Jendela Memanah Rembulan.

Kekuatan cerita silat
Semua ciri-ciri tadi mengingatkan orang pada cersil-cersil sebelum Wiro Sableng. Menurut sastrawan Ajip Rosidi cersil mempunyai sejumlah ciri antara lain ketegangan, realitas, dan bahasa yang hidup.

Ketegangan terbentuk dari konflik fisik antar tokoh di cersil. Untuk membangkitkan ketegangan, detail perkelahian menjadi unsur penting. Penulis cersil harus mampu memainkan imajinasi pembaca pada seputar bunyi dan gerakan golok, tombak, dan pukulan.

“Tapi tidak semua cerita silat itu hanya terdiri dari ketegangan melulu,” tulis Ajip dalam “Cersil yang Tegang, Plastis, dan Hidup Bahasanya Hendaknya Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia”, termuat dalam Star Weekly, 8 Februari 1958.

Hal menarik lainnya dari cersil terletak pada realitas cerita. “Semua kepandaian jago-jago adalah hasil latihan sekian puluh tahun dan bukan semata-mata keajaiban suatu ajimat,” lanjut Ajip. Segi realitas lainnya tergambar pula pada karakter para tokoh cersil. Pahlawan tak selalu sempurna. Ada juga yang kurang ajar. “Manusia-manusia dengan suka duka, percintaan, kekurangajaran, kepatriotan, tak ubahnya dengan suatu roman biasa,” catat Ajip.

Segi menarik terakhir cersil berada pada kekuatan bahasa. Ajip menyebut satu nama beken: Oey Kim Tiang. Dia keturunan Tionghoa dan penyadur mumpuni cersil negeri Tiongkok. “Para sastrawan tertarik pada cerita-cerita silat buah tangannya, terutama karena bahasanya yang plastis,” tulis Ajip. Bisa dibilang bahasanya bukan bahasa sekolahan. Sederhana tanpa banyak bunga, tapi mampu menghidupkan dialog, deskripsi tokoh, dan pertempuran.

Sementara itu, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, cersil mempunyai kekuatan pada tema pencarian makna hidup para tokohnya. “Dengan menerima kehidupan sebagai pengembara dengan segala gangguan yang diakibatkannya (jangan bicara tentang berumah tangga tetap), manusia melepaskan dirinya dari beban ruang dan mendaki jaringan yang lebih tinggi itu yang memungkinkannya melakukan kebajikan, sampai akhirnya menemukan rahasianya,” tulis Lombard. 

Apa yang diungkap oleh Ajip Rosidi dan Denys Lombard termuat dalam karya Bastian Tito. Seperti karya-karya cersil sebelumnya yang memuat unsur-unsur terbaik cersil, Wiro Sableng cepat memperoleh tempat di banyak orang. Ia bertahan lama sekali di memori pembaca.

B. Rahmanto, seorang pengajar Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, bahkan menyarankan Wiro Sableng agar masuk ke sekolah sebagai jembatan antara pengajaran dan pembelajaran sastra pada 1996. Menurutnya pengajaran berbeda dari pembelajaran. Pengajaran selalu berupa instruksi satu arah dari guru ke murid berdasarkan kurikulum, sedangkan pembelajaran turut melibatkan kreativitas siswa.

Untuk menjembatani pengajaran dan pembelajaran itu, karya seperti Wiro Sableng perlu digunakan di sekolah. “Karya itu ada dan banyak diminati orang. Mengapa tidak digunakan untuk menjembataninya,” kata B. Rahmanto dalam Pertemuan Ilmiah Nasional VII Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HIKSI) pada September 1996, termuat di Kompas, 5 September 1996. 

Saat bersamaan, Wiro Sableng mengalami ekranisasi atau pemindahan cerita bacaan ke dalam bentuk film. Wiro Sableng mulai tampil di layar kaca setiap hari Minggu pada 1996. Ini sebenarnya bukan kali pertama. Wiro Sableng pernah pula hadir di layar bioskop pada 1988, tapi kurang berhasil. Sementara sinetronnya di layar kaca berhasil menawan perhatian penonton. Ratingnya, menurut Kompas, termasuk tiga besar dalam acara Minggu.

Vino bilang ayahnya merasa terhormat dengan segala alih-media karyanya. “Bapak tidak pernah mengatur harus begini, harus begitu. Karya seni tak bisa dibatasi. Beliau memberi kebebasan pada setiap orang untuk menafsir karyanya sepanjang tidak meninggalkan karakter dan ceritanya,” kata Vino.

Meski Bastian telah meninggal dunia pada 2006, para pembaca Wiro Sableng berupaya tetap hidup bersama dengan cerita Wiro Sableng. Dan pada 30 Agustus nanti, Wiro Sableng akan menyapa para pembacanya dalam bentuk film bioskop.

Vino, sebagai aktor pemeran tokoh Wiro sekaligus anak mendiang Bastian Tito, berharap bapaknya bisa menyaksikan dari jauh di alam sana. “Saya berharap Bapak senang dan bangga ada anak-anak muda yang melestarikan kembali karyanya. Inilah wujud penghormatan kami. Terimakasih atas karya besarnya, terimakasih Bapak Bastian Tito,” tutup Vino.

SINGGIH HADI MINTARDJA (Si Api Di Bukit Menoreh)

SINGGIH HADI MINTARDJA (Si Api Di Bukit Menoreh)


Semasa hidupnya, SH Mintardja lebih banyak dikenal sebagai penulis cerita bersambung serial silat dengan setting kerajaan Mataram zaman Sultan Agung di beberapa surat kabar, seperti Harian Bernas berjudul Mendung di Atas Cakrawala dan Api Di Bukit Menoreh di Kedaulatan Rakyat. Episode terakhir yang hadir di hadapan pembaca Harian Bernas adalah episode ke 848 Mendung di Atas Cakrawala.

Setamat SMA, SH Mintardja yang lahir di Yogya 26 Januari 1933, bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan (1958), terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud DIY (pensiun 1989). Beberapa cerita roman silat yang digali dari sejarah di kerajaan Jawa telah ditulis SH Mintardja – yang oleh kerabatnya akrab dipanggil dengan nama Pak Singgih — sejak tahun 1964. Berbekal pengetahuan sejarah, ditambah mendalami kitab Babat Tanah Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra sebanyak 28 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman sejarah itu. Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam sejarah Demak.

Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa Jenar dengan pukulan “Sasra Birawa”-nya yang menggeledek. ”Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” ujar Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang Yogyakarta, edisi 1995.

Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja membuat kisah Pelangi di Langit Singasari (dimuat di Harian Berita Nasional tahun 1970-an) kemudian dilanjutkan dengan serial Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.

Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan, Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun 1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir adalah Glagah Putih dan Rara Wulan — saudara sepupu sekaligus murid Agung Sedayu.

Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang, bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya melebihi jarak Anyer – Panarukan. Asal tahu saja, kisah itu memang lebih dari 300 jilid (buku) dan hingga akhir hayatnya kisah itu belum selesai. Dan masih ada puluhan serial cerita kecil lainnya yang dibuatnya.

Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh dari kerajaan-kerajaandi Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kumpeni Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang “hanya” mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas asih.

Perkenalkan budaya
Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di desa-desa. Upacara “wiwit” yang berarti “mulai” (panen), berupa pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas ditampilkan dalam beberapa ceritanya. Adat kebiasaan “mitoni” atau “sepasaran” dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat Jawa pun dengan pas digambarkannya.

Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang terbunuh. Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman, kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam kisahnya. Jika pada kisah Nagasasara Sabuk Inten dan Pelangi di Langit Singsari masih menggunakan bahasa “tuan” untuk menyebut anda ataupun engkau, maka pada Api di Bukit Menoreh dan kisah lainnya, kata “tuan” itu sudah raib dari kamus kosa katanya.

Entah terpengaruh oleh film atau karena melihat anaknya berlatih silat, untuk menggambarkan serunya sebuah pertarungan tidak lagi digambarkan dengan angin yang menderu-deru dan desingan senjata; namun lebih masuk akal. Gambaran teknik bela diri murni digunakan di karya-karyanya yang terakhir. Bila akhir dari sebuah pertempuran memang harus dengan tenaga dalam, ya itu tadi, pembaca lagi-lagi dibawa berkhayal melihat benturan ilmu maha dahyat yang bobotnya melebihi granat. Ya, namanya saja cerita.

Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya, untuk pementasan ketoprak. Beberapa cerita sempalan seperti Kasaput ing Pedhut, Ampak-ampak Kaligawe, Gebranang ing Gegayuhan merupakan cerita serial ketoprak sayembara yang disiarkan TVRI Yogyakarta.

Karya
SH Mintardja telah menulis lebih dari 400 buku. Cerita berseri terpanjangnya adalah Api di Bukit Menorehyang terdiri dari 396 buku. Berikut ini daftar beberapa karya sang pengarang itu:

Api di Bukit Menoreh (396 episode)
Tanah Warisan (8 episode)
Matahari Esok Pagi (15 episode)
Meraba Matahari (9 episode)
Suramnya Bayang-bayang (34 episode)
Sayap-sayap Terkembang (67 episode)
Istana yang Suram (14 episode)
Nagasasra Sabukinten (16 episode)
Bunga di Batu Karang (14 episode)
Yang Terasing (13 episode)
Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode)
Kembang Kecubung (6 episode)
Jejak di Balik Bukit (40 episode)
Tembang Tantangan (24 episode)

Berpulang
Kini SH Mintardja telah tiada. Mungkin banyak penggemar karya-karyanya yang ikut sedih dan kecewa karena kisah-kisahnya masih menggantung di tengah jalan. “Tapi semua memang kehendak Yang Maha Agung. Kita tidak dapat menolaknya,” begitu sepenggal pesan moral SH Mintardja yang sering dia tulis dalam berbagai karyanya.

Penulis cerita bersambung Singgih Hadi Mintardja atau lebih dikenal dengan nama SH Mintardja, Senin (18/1/1999) lalu, meninggal dunia. Almarhum menghembuskan nafas terakhir di hadapan anggota keluarganya, Senin, pukul 11.39 WIB di Rumah Sakit Bethesda, Yogya, dalam usia 66 tahun. Jenazah SH Mintardja dimakamkan Selasa (20/1/1999) pukul 15.00 WIB di pemakaman Kristen Arimatea, Mergangsan, Yogyakarta.

Almarhum dirawat di RS Bethesda sejak Sabtu 26 Desember 1998, karena menderita sakit jantung.

GAN KH & GAN KL (SILAT CINA)

GAN KOK HWIE / GAN KH
(SILAT CINA)

Gan Kok Hwie yang lebih dikenal Gan KH lebih terlihat sebagai pribadi yang santai dan penuh canda. Gan Kok Hwie, santai dan berapi-api berbeda dengan kakaknya Gan Kok Liang. Memulai karier sebagai penerjemah karena menuruti jejak Gan KL, sang kakak, ia telah menerjemahkan tidak kurang dari 30 judul cerita silat sampai saat ini.

Gan KH saat ini tinggal di Semarang dan sehari harinya sangat aktif dalam kegiatan kelenteng di Tay Kak Sie Semarang. Ia masih sangat berapi-api ketika berbicara tentang zaman kejayaan cerita silat dulu. Ia masih mengingat satu per satu karya yang pernah diterjemahkannya. Para penggemar cersil akan selalu mengenang Gan KH sebagai salah satu penerjemah terbaik cerita-cerita karya Khu Lung atau Gu Long.
Di antaranya adalah serial Pendekar Harum dan saga Salju Merah. Pada 2005 ini Gan KH kembali menerjemahkan dan buku yang paling akhir terbit adalah masih dari salah satu karya Khu Lung yang diberi judul Pukulan si Kuda Binal. Gan KH berjanji akan terus menerjemahkan demi untuk mempopulerkan kembali cerita silat seperti di zaman jayanya dulu,

Pedang Kayu Cendana | Karya Gan K H, Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan K H Pedang Darah Bunga Iblis Karya G K H Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Tugas Rahasia Karya Gan K H Rahasia Si Badju Perak Karya G. K. H Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Karya Gan Kh
.



GAN KOK LIANG / GAN KL

Gan Kok Liang yang lebih dikenal dengan sebutan Gan KL adalah salah satu sastrawan, selain Oey Kim Tiang alias OKT, yang memperkenalkan cerita-cerita silat Tiongkok di Indonesia. Telah dibawanya ke bumi Indonesia karya-karya tiga pengarang silat Tiongkok terkenal: Jin Yong, Gu Long, dan Liang Yusheng. Gan KL merupakan anak pertama dari delapan bersaudara, putra dari Gan Swie Pie dan Phoa Leng Keng. Ia lahir di Xiamen, China, 14 Agustus 1928 silam dan dibawa orangtuanya ke Indonesia pada tahun 1938 pada usia 10 tahun, saat tentara Jepang menguasi Xiamen. Mereka mendarat di Surabaya dan kemudian menetap di Kutoarjo, Jawa Tengah. Sekitar tahun 1948 Jepang menguasai Kutoarjo dan keluarga Gan KL pun kembali harus mengungsi dan mereka akhirnya menetap di Semarang.

la tidak pernah menerima pendidikan formal, tetapi mampu berbahasa Tionghoa dan Indonesia. Sebelum menerjemahkan cersil, ia pernah melakukan bermacam-macam pekerjaan. la pernah menjadi penjual keliling, pernah juga menjadi sopir mobil. Ketika berusia tigapuluh tahun baru ia mulai menulis. Sampai 1980-an ia telah menghasilkan lebih dari 40 buah karya terjemahan. Tahun 1958, Gan KL mengirimkan karya sadurannya yang pertama berjudul Pendekar Padang Rumput (Sai Wai Qi Xia Chuan/Tjhau Goan Eng Hiong ) buah karya Liang Yusheng, yang berkisah tentang perjuangan suku minoritas di Sin Kiang melawan kaum penjajah, ke harian Sin Po tempat ia bertugas. Karena lebih muda dari Oey, kalimat-kalimat yang dipakai Gan lebih mendekati bahasa Indonesia. Dengan kata lain, "Melayu Tionghoa" Gan tidak setebal Oey. Gan Kok Liang memakai nama Gan K.L. pada karyanya.Karena lebih muda dari Oey, kalimat-kalimat yang dipakai Gan lebih mendekati bahasa Indonesia. Dengan kata lain, "Melayu Tionghoa" Gan tidak setebal Oey. Gan Kok Liang memakai nama Gan K.L. pada karyanya. Kisah sadurannya itu rupanya digemari banyak orang, sehingga Gan KL memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya saat itu sebagai auditor akuntansi PT Oei Tiong Ham Concern untuk bekerja sepenuhnya menulis cerita silat. Tahun 1961 Gan KL mulai menerbitkan karyanya sendiri dan mengedarkannya ke toko-toko buku, selain menerbitkannya di surat kabar.

Di samping menerjemahkan novel liang Yusheng, Gan K.L. juga menyalin karya Jin Yong, di antaranya: Sin Tiauw Hiap Lu, To Liong To, Siauw Go Kang Ouw, Thian Liong Pat Poh dan Soh Kim Kiam. Tidak sedikit pula ia menerjemahkan karya Gu Long. Seluruhnya ada sepuluh buah, termasuk Keajaiban Negeri Es, Pendekar Harum, Renjana Pendekar dan Pendekar Setia. Namun, karya terjemahannya yang terkenal adalah Pendekar Binal karya Gu Long yang dikerjakannya pada 1970-an. Pendekar Binal itu terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama berjumlah 20 jilid, berjudul: Pendekar Keras Kepala, bagian kedua berjumlah 18 jilid, berjudul: Kesetiaan Pendekar Keras Kepala, bagian ketiga juga berjumlah 20 jilid, berjudul: Kebahagiaan Pendekar Keras Kepala. Pada 1978 suratkabar Kompas pernah memuat resensi, tulisannya meinberikan penilaian yang tinggi. Penilai menganggap ini adalah karya Gan K.L. yang terbaik.

Karena Gan K.L. tidak mencantumkan nama Gu Long, para pembaca berbahasa Indonesia masih menganggap ini adalah karya cipta Gan K.L. (pada 1992 Pendekar Binal dicetak ulang dan nama Gu Long dicantumkan sebagai pengarang aslinya). Kebiasaan tidak mencantumkan nama penulis asli adalah warisan peninggalan sebelum PD II. Akan tetapi, kebiasaan jelek ini tidak diketahui dengan jdas, mungkin untuk meng-hindari pembayaran royalti kepada pengarang asli, mungkin demi kebebasan supaya pener-jemah tidak perlu terikat pada naskah asli.Kebiasaan tidak mencantumkan nama penulis asli adalah warisan peninggalan sebelum PD II. Akan tetapi, kebiasaan jelek ini tidak diketahui dengan jdas, mungkin untuk meng-hindari pembayaran royalti kepada pengarang asli, mungkin demi kebebasan supaya pener-jemah tidak perlu terikat pada naskah asli. Gan KL berhenti menerjemahkan cerita silat tahun 1986 seiring dengan menyurutnya minat pembaca cerita silat. Ia beralih profesi terjun ke bidang hukum dan membuka kantor konsultan hukum yang memberi jasa pengurusan naturalisasi warga negara asing menjadi warga negara Indonesia. Gan KL yang memiliki hobi membaca dan menyanyi ini dikaruniai lima orang anak dari pernikahannya dengan Tan Bie Nio. Karya penerjemah yang meninggal pada 2003 itu mencapai lebih dari 50 judul dan hampir semua ceritanya panjang. Karyanya yang akan dikenang terus antara lain adalah Tiga Dara Pendekar (Jianghu Sannuxia) karya Liang Yushen, Rahasia Putri Harum (Suqian wenshou lu) dan Hina Kelana (Xiao’ao Jianghu) karya Jin Yong, dan Pendekar Binal (Juedai shuangjiao) (1980) karya Gu Long.

Daftar Saduran Gan KL:

Pendekar Rajawali Sakti (Sin Tiauw Hiap Lu/The Return Of The Condor Heroes)
Golok Pembunuh Naga (To Liong To/Heavenly Sword And Dragon Sabre)
Pahlawan Padang Rumput (Cauw Guan Eng Hiong)
Thian San Thjit Kiam (Tujuh Pendekar Dari Thian-san)
Tiga Dara Pendekar (Kang Ouw Sam Li Hiap)
Pedang Di Sungai Es (Peng Ho Swi Kiam)
Geger Dunia Persilatan (Hong Lui Cin Kiu Cin)
Pendekar Jembel (Hiat Kut Tan Sin)
Kelana Buana
Durjana Dan Ksatria
Medali Wasiat (Hiap Kek Heng)
Hina Kelana (Siauw Go Kang Ouw)
Pedang Hati Suci (Soh Sim Kiam)
Pendekar Negeri Taylie (Thian Liong Pat Pou/Demi Gods And Semi Devils)
Pendekar Latah
Pendekar Sejati
Rahasia Peti Wasiat
Amanat Marga
Misteri Kapal Layar Pancawarna
Pendekar Baja
Renjana Pendekar
Imbauan Pendekar

Serial Pendekar Binal
1. Pendekar Binal
2. Bakti Pendekar Binal
3. Bahagia Pendekar Binal
Pendekar Harum
4. Mayat Kesurupan Roh
5. Legenda Kelelawar

Pendekar Budiman

Serial Pendekar Empat Alis

1. Pendekar Empat Alis
2. Si Bandit Ahli Bordir
3. Duel Antara Dua Jago Pedang
4. Rumah Judi Pancing Perak
5. Keajaiban Negeri Es
6. Perkampungan Hantu
7. Duel Di Butong
8. Manusia Yang Bisa Menghilang
9. Sang Ratu Tawon
10. Senyuman Dewa Pedang

Manusia Aneh Dari Alas Pegunungan (Hong San Koay Khek)
Si Pedang Kilat
Thian Ge Ciat Kiam
Pedang Darah Dan Bunga Iblis
Golok Yanci Pedang Pelangi
Jago Terpendam Di Tanah Asing
Pendekar Satu Jurus
Pengemis Berbisa
Rahasia 180 Patung Mas
Tiga Mutiara Mestika (Sam Po Tju)
Pahala Dan Murka
Balada Kaum Kelana
Kemelut Di Ujun Ruyung Emas
Pedang Kiri Pedang Kanan
Pendekar Kembar
Hikmah Pedang Hijau
Pendekar Lugu (Si Kangkung)
Tiga Pedang Tujuh Ruyung

OEY KIM TIANG (OKT)

DIBALIK NAMA SAMARAN TERJEMAHAN CERITA SILAT CINA.



Ini adalah sebuah fenomenal. Bayangkan saya yang hidup di tahun 80'an saja sudah terpikat sama buku silat ini. Banyak bertebaran kios-kios yang menyewakan buku silat ini yang berjilid-jilid. Tidak heran satu buku bisa pindah tangan ke banyak orang dalam penyewaan. Belum lagi cerita tersambung, bikin penasaran, sedangkan sambungan berikutnya lagi di pinjam orang. Prustasi, di kios penyewaan buku.

Padahal ceritanya cerita kuno, dan sudah membuat kecanduan dari generasi ke generasi. Sampai sekarang pun masih enak dibaca, cuma ejaan lama dalam bahasa Indonesia. Tidak habis pikir, buku silat cetakan lama ini, laku keras di setiap generasi-ke generasi, sampai saat di era 80'an, buku itu sudah kuning warnanya, dan agak hitam, mungkin udah ribuan tangan yang pegang dan baca buku itu. Tukang sewa buku silat pun membundel buku itu kadang hanya sampai per-sepuluh jild/seri, 1-10,11-20,21-30, begitu lah. Harga baca di tempat beda dengan bawa pulang, dengan sewa per hari. Gila kan. Dan kios penyewaan buku itu penuh dengan orang yang baca, sedah kayak taman baca, kadang tidak sadar waktu juga.

Tidak heran buku silat ini menghilhami sutradara Film Indonesia untuk membuat film dengan tema silat Indonesia, mulai lag di lirik dari legenda hingga ke sejarah untuk menampilkan silatnya. Padahal waktu jaman dulu, peranakan Tiongha telah memfilmkan cerita-cerita klasik dari Tiongkok, temannya masih seputar siluman, ular, babi dan lainnya, belum ke silat. Mungkin Karena tehnis belum punya.

Salah satu orang peranakan Tionghoa Tangerang ("Cina Benteng") yang terkenal di masyarakat penggemar cerita silat adalah Oey Kim Tiang (OKT) , yaitu yang merupakan salah satu penerjemah cerita silat terbesar dan produktif selain Gan KL (Gan Kok Liang) . OKT juga dinilai merupakan satu-satunya penerjemah syair dalam cersil (cerita silat) ke dalam bahasa Indonesia. OKT (nama yang lebih dikenalnya) lahir di Tangerang pada tahun 1903 di Tangerang dan meninggal pada tahun 1995.

Ayahnya adalah seorang mandor kebun kelapa, ia mendapatkan pendidikan dasarnya di Tangerang, lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), disana ia belajar bahasa Mandarin dan sejarah Tiongkok tetapi hanya mampu melanjutkan sekolahnya sampai ketingkat SMP. OKT pernah berkerja sebagai jurnalistik pada koran Perniagaan, dan kemudian pindah ke koran Keng Po yang baru saja berdiri pada tahun 1923. Ia berkerja dengan setia pada koran Keng Po dan bertahan disana sampai koran itu terhenti penerbitannya pada tahun 1958.

Ia dianggap sebagai salah satu orang yang berperan menyebarkan dan mempopulerkan kesusasteraan Melayu Tionghoa, karena penguasan bahasa "Melayu Tonghoa" (atau disebut juga sebagai Melayu Betawi) ini pernah mendapatkan pujian dari sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana dan Ajip Rosidi.

Selama hidupnya, OKT diperkirakan telah menerjemahkan sekitar 100 buah buku silat, dari pengarang-pengarang ternama seperti Chin Yung, Liang Ie-Shen, Wang Du Lu dll. Karya-karya terjemahan cerita silatnya yang populer antara lain adalah Kim Coa Kiam (Pedang Ular Emas), Giok Lo Sat (Wanita Gagah Perkasa), Yoe Hiap Eng Hiong (Pertentangan Kaum Persilatan), Hiap Kek Heng (Kisah Para Pendekar), Su Kiam In Lu Kiu Lok (Puteri Harum dan Kaisar), Tiat Kie Gin Pan, Go Houw Tjong Liong, dll.

Ada anggapan bahwa "Aulia" adalah nama lain atau nama pena dari OKT , padahal Aulia adalah nama cucu pertamanya yang digunakan OKT sebagai nama samarannya (pseudo-name) , ketika ia menulis untuk penerbit diluar Keng-Po. Nama Aulia hanya dipakai OKT ketika menerjemahkan "Sin Tiauw Eng Hiong saja. Pseudo-name lainnya adalah "Chandra" ketika OKT mener

Boe Beng Tjoe

Ada anggapan bahwa OKT bersama dengan Boe Beng Tjoe yang dianggap sebagai nama samaran Oey An Siok. Tidak sepenuhnya tepat untuk mengatakan nama "Boe Beng Tjoe" adalah 'nama  samaran' Oey An Siok. Nama "Boe Beng Tjoe" (dalam bahasa Hokkian, yang berarti "si tanpa nama") sebenarnya berawal sebagai nama samaran (pseudo-name) OKT sendiri, yaitu untuk karya-karya terjemahan yang almarhum kerjakan bukan untuk penerbit KengPo, misalnya untuk penerbit-penerbit Kisah Silat, Mekar Djaja, Marga Raya, dll. Karena sebagai karyawan tetap Keng Po, almarhum merasa tidak etis apabila ia menulis untuk pihak lain dengan memakai 'trade-mark' yang masyarakat mengenalnya sebagai orang Keng Po. Judul cersil yang diterjemahkan OKT dengan nama "Boe Beng Tjoe" a.l. adalah  "Sin Tjioe Eng Hiap".

Kemudian nama "Boe Beng Tjoe" juga dipergunakan sebagai pseudo-name dari kerjasama (kolaborasi) antara OKT dengan sepupunya Oey An Siok. Ini berawal dari sakitnya OKT ketika sedang menerjemahkan suatu naskah, padahal 'the show must go on', dan An Siok bersedia menggantikan sepupunya sementara dia sakit. Ketika OKT sudah sembuh, ternyata kerjasama itu dilanjutkan beberapa kali lagi. Judul cersil yang diterjemahkan OKT bersama Oey An Siok dengan nama "Boe Beng Tjoe" a.l. adalah "Sin Tiauw Hiap Lu", "Ie Thian To Liong (To Liong Too)", Hoei Ho Gwa Toan". 

Tetapi nama "Boe Beng Tjoe" juga pernah dipergunakan oleh Oey An Siok 
sendiri, tanpa berkolaborasi dengan OKT (walau dengan sepengetahuan, bahkan blessing-nya), untuk beberapa judul cersil. Judul cersil yang diterjemahkan Oey An Siok sendirian dengan nama "Boe Beng Tjoe" a.l. adalah "San Hoa Lie Hiap".

Catatan lain bahwa untuk menulis di KengPo, Oey Kim Tiang selain memakai pen-name "OKT", juga pernah memakai nama-nama "KT", "Huang", "CC Huang" dan "CH". Perlu dikemukakan juga bahwa untuk KengPo, OKT bukan hanya menulis cersil.  OKT juga banyak menerjemahkan karya klasik Tiongkok , seperti "See Yoe"  (menurut saya ini terjemahan See Yoe yang terbaik). Serta membuat narasi  komik, seperti "Sie Djin Koei" yang dilukis oleh Siauw Tik Kwie. Tetapi alur cerita dan narasi text-nya dibuat oleh OKT. Dan juga  menerjemahkan cerita detektif, seperti serial "Oey Eng - Si Burung Kenari".


Buku-buku silat karangan OKT populer pada tahun 1950-an sampai tahun 1980-an. Ada juga karya OKT yang populer di tahun 1990-an, yaitu "Kaki Tiga Menjangan  (Lu Ding Ji)". Ada anggapan bahwa  kondisi politik pada pada jaman Orba yang membatasi kebudayaan Tionghoa, maka buku-buku silat ini mengalami mati suri dan kemerosotan popularitasnya. Tetapi percaya atau tidak , pembatasan pertama pada cersil justru terjadi sejak
sebelum Orba, yaitu di jaman Bung Karno, berupa larangan memuat cersil di penerbitan berkala, seperti koran dan majalah (diterbitkan berupa buku masih boleh)! Alasannya adalah: "tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia". Untung OKT tidak sampai masuk penjara, tidak seperti Koes Ploes yang masuk penjara karena memainkan lagu-lagu yang "tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia"

PENGGEMAR
Buku-buku silat karangan OKT ini sangat digemari orang , karena menggunakan bahasa dan istilah Melayu Tionghoa yang mudah dimengerti, populer, dan umum digunakan oleh orang kebanyakan sehari- hari (vernacular), tetapi dapat menguasai emosi si pembaca, mengajak pembacanya untuk berimajinasi dan terasa hidup didunia berbeda, memikat, dan tidak menyepelekan logika pembacanya. Inilah keindahan dan kekuatan misterinya buku silat terjemahan OKT yang dapat membuat si pembaca merasa kecanduaan.

Cersil ini dapat dinikmati oleh siapa saja, tidak hanya orang Tiongoa saja, dan didistribusikan keseluruh Tanah Air, karena menggunakan bahasa Indonesia. Ada anggapan mengenai banyaknya dari cerita-cerita silat OKT ini telah difilmkan atau ditayangkan di TV. Kalau di-'satu-nafas'-kan seperti ini bisa terkesan bahwa terjemahan OKT pernah difilmkan, baik sebagai movie ataupun sebagai TV serial. Padahal yang terjadi adalah munculnya film silat merupakan trend yang diawali di Hongkong, ketika orang mulai beralih perhatiannya dari mengikuti serial cersil dalam bentuk feuilleton di koran-koran atau majalah, berpindah  ke mengikutinya di serial film bioskop atau TV (walau cersil dalam media buku tetap laku). Kecenderungan ini (orang meninggalkan baca cersil sebagai cerita bersambung  di koran dan beralih ke menonton serial film cersil) mulai berlangsung di  awal 1970-an di Hongkong itu, yang lalu meluas sampai ke Malaysia, Singapura  dan Indonesia. Namun begitu tidak pernah ada karya OKT, atau penerjemah 
cersil lainnya di Indonesia, yang sampai difilmkan.

Banyak pembaca menyukai gaya dan istilah dalam buku silat seperti, "Naga menggoyang ekor", "membuka jendela melongok rembulan", kemekmek (terkesima), temaha (tamak), menggape, merandek, memapaki, meyampok, amprok, somplak, menggibriki, mendusin, kepergok, menjublak, kosen, loteng, dan istilah-istilah lainnya yang jarang digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang dikenal pada masa kini, kecuali dalam bahasa Betawi sehari-hari.

Cerita silat ini juga pernah diberitakan digemari oleh beberapa golongan elit , seperti yang pernah di beritakan di koran Jakarta Post, mantan Presiden Gus Dur disebut mengidentifikasikan dirinya sebagai Kwee Ceng, tokoh pendekar Sia Tiaw Eng Hiong (Legend of Condor Heroes), dengan jurus Penakluk Naganya yang kesohor.

Ada yang menyebutkan bahwa penggemar lainnya yang pernah disebutkan adalah Adam Malik, Sultan Hamengkubuwono IX, Amien Rais dan mantan Menkeu Bambang Subiyanto. Tetapi tidak pernah ada catatan atau bukti tentang Adam Malik dan HB-IX sebagai penggemar cersil. Sedangkan tentang Amien Rais, yang penggemar cersil bukanlah dia, melainkan
istrinya yang penggemar berat! 'Celebrities' penggemar cersil lainnya a.l. adalah Marsillam Simandjuntak, Gunawan Mohammad dan Arifin Panigoro. Sebaliknya, tokoh-tokoh seperti Edhie Lembong (yang pendiri INTI) dan Jakob Oetama (pewaris heritage KengPo) justru tidak pernah baca cersil!

MENDAPAT PERHATIAN KEMBALI
Cersil ini bersifat universal dan mampu menyatukan semua lapisan masyarakat, suku, agama, jabatan, profesi dan apapun latar belakangnya. Cersil adalah salah satu bentuk kesusasteraan populer dan populis serta merupakan salah satu Genre kesusasteraan Indonesia yang sudah waktunya di jaman reformasi ini mendapatkan perhatian kembali walaupun sebagai sastra Indonesia, dalam arti karya tulis, hal ini tidak mudah!

Persaingan dari cersil dalam media film (movie dan TV) dan komik yang
semuanya buatan luar negeri (Hongkong dan RRT untuk film, dan Amerika 
Serikat untuk komik), walaupun dalam bahasa Inggris atau dengan subtitle 
bahasa Inggris, jaman sekarang ini sangat berat untuk dilawan oleh cersil 
dalam media buku buatan dalam negeri, walaupun dalam bahasa Indonesia.

Namun demikian, upaya gigih beberapa orang telah mulai menampakkan hasilnya. Dalam dua tahun terakhir, sudah hampir seratus judul cersil yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Jakarta, Bandung, Semaran dan Surabaya. Sebagian merupakan cetak ulang judul-judul lama, sebagian merupakan terbitan/terjemahan baru atas karya pengarang asli Tionghoa yang lama (yang notabene sudah meninggal), sebagian lagi merupakan terbitan/terjemahan baru atas karya pengaran asli baru.

Suasananya memang belum kembali ke jaman 'wabah cersil' di tahun 1960-an, dan mungkin tidak akan itu terulang lagi. Tetapi kalau hanya untuk sekedar memenuhi sasaran "mendapatkan perhatian  kembali" sudah jauh lebih daripada itu! Bahkan dengan pretext bahwa cersil adalah suatu genre sastra Indonesia,  sedang dipersiapkan suatu seminar internasional tentang genre sastra cersil  pada Imlek 2008, dengan kegiatan 'pemanasan' berupa seminar nasional pada  pertengahan 2007.

Uniknya, semua upaya revival cersil yang berlangsung gencar pada beberapa tahun terakhir ini, dimulai dari suatu milis yang mirip milis Budaya Tionghoa ini...


TENTANG GAYA BAHASA YANG DIPAKAI

Penggunaan bahasa dalam cerita silat terjemahan tersebut bahasanya sangat lentur dan hidup dalam menuturkan (menceritakan) kisah-kisah yang penuh aksi, dan pembaca dibawa dalam imajinasinya, sehingga seolah-olah pembacanya mengalami sendiri kejadian lepas kejadian dalam kisah silat tersebut. Meskipun Oey cuma berpendidikan setingkat SLTP di Tiong Hoa Hwee Koan dan tidak melanjutkan lagi, tetapi dasar bahasa Tionghoanya tidak lemah. Di antara penerjemah cersil Tionghoa peranakan, Oey satu-satunya penerjemah syair dalam cersil ke dalam bahasa Indonesia.

Kalau diperhatikan, O.K.T seringkali tidak menganut kaidah bahasa Indonesia, tetapi justru hal tersebutlah yang membuat pembaca mengalami pengayaan dan menambah wawasan dalam pengenalan kosakata dari bahasa Sunda dan Jawa. Terjemahannya berusaha mempertahankan makna syair aslinya. Akan tetapi, demi irama sajaknya, ia kadang-kadang memakai cara terjemahan tidak lazim. Misalnya ia mener-jemahkan "San Qiu" menjadi "di musim TJioe", yang sebenarnya, "di musim gugur" atau "di musim rontok". Demi mempertahankan irama sajaknya, ia menerjemahkan "Changjiang" menjadi "sungai Tiang Kang", yang sesungguhnya, "sungai Yang Tse" yang lebih dikenal orang. Meskipun demikian, Oey telah membuang banyak waktu untuk mengerjakan terjemahan syair-syair dalam karyanya.

Di samping menerjemahkan karya-karya Liang Yusheng dan Jin Yong, Oey juga meneijemahkan cersU Ti Feng dan Wang Du Lu. la berpendapat, karya-karya Wang Du Lu sebaik karya Jin Yong. Ketika bekerja di Keng Po, Oey meneijemahkan lima buah karya Wang Du Lu (yaitu Po Kiam Kim Tje, Kiam Kie Tjoe Kong, Go Houw Tjhong Liong, Tiat Kie Gin Pan dan Ho HengKoen Loen) dan dimuat secara bersambung di suratkabartersebut Setelah tamat cersil-cersil itu segera diterbitkan dalam bentuk buku saku.

Bersama saudaranya, Oey An Siok, dengan nama Boe Beng Tjoe, ia meninggalkan monumen Trilogi Rajawali Kim Yong (Jin Yong) jang telah menguasai emosi jutaan orang pembaca di seluruh dunia.

TJAN ID

 Trims koreksinya langsung dari suhu Tjan ID sekaligus kiriman fotonya


Tjan Ing Djoe, spesialis karya Khu Lung. Tjan Ing Djoe lebih dikenal dengan Tjan ID. Dari jumlah buku yang pernah disadur atau diterjemahkan dari bahasa aslinya, Tjan ID menerjemahkan tidak kurang dari 93 judul yang setara dengan hampir 2.188 jilid cerita silat. Lahir pada 1949, pernah masuk sekolah dasar Tionghoa 6 tahun. Ibunya guru sekolah Tionghoa. Sesudah sekolah Tionghoa ditutup, Tjan pindah ke sekolah Indonesia. Setelah lulus SLTA, ia masuk perguruan tinggi di Semarang. Tjan mulai menerjemahkan cerita silat di usia 19 saat kuliah di Fak. FISIP Universitas Diponegoro Semarang. 

Pada awal karier penulisannya Tjan banyak dibantu oleh OKT yang juga mengajarinya teknik menerjemahkan dari bahasa Cina.

"Karya terjemahan saya yang pertama bukan Golok Kumala hijau di tahun 1974, tapi "Tujuh Pusaka Rimba Persilatan" di tahun 1969. Selain OKT, pertama kali menulis saya banyak belajar dari Kho Ping Ho, sering saya datang ke villa nya di Tawangmangu untuk menimba ilmu darinya. Terima kasih atas perhatiannya : koreksi dari suhu Tjan ID "

Tjan ID juga seorang yang unik. Tak seperti para penerjemah lainnya, walau produktif, Tjan tidak pernah memakai kertas karbon ketika mengetik untuk naskah terjemahannya. Akibatnya ketika gelora penerjemahan cerita silat kembali muncul, Tjan ID harus kehilangan sebagian besar naskah karyanya yang hilang atau habis dimakan rayap. 

Sekitar 20 karya Khu Lung telah diterjemahkannya sekaligus membawanya sebagai penerjemah spesialis karya Khu Lung. Ia terkenal sebagai penerjemah yang sangat setia pada naskah aslinya. Karya terjemahan cerita silat terakhirnya baru saja diluncurkan Oktober ini atas kerja sama dengan Masyarakat Tjersil, berjudul Bunga Pedang, Embun Hujan, Kanglam, masih terjemahan dari karya Khu Lung. yang terakhir Pedang Tetesan Air Mata, terbitan 1982. Karya terjemahannya ada 7-80 buah, termasuk karya-karya yang ditulis oleh Qm Hong, Gu Du Hong, Wo Long Sheng, dan Chen Jing Yun. Namun, di antaranya masih karya Gu Long yang terbanyak.
 
Ada yang mengatakan, terjemahan Tjan I.D. masih sangat banyak mengandung unsur bahasa Tionghoa. Oleh sebab itu, pembacanya yang begitu banyak adalah orang keturunan Tionghoa yang masih menguasai sedikit bahasa Tionghoa. Bagi orang yang sudah tidak mengenal bahasa Tionghoa akan mengalami sedikit kesulitan membaca karya terjemahan Tjan I.D. Pada kenyataannya, Tjan I.D. pernah selama enam tahun mendapat pendidikan sekolah lanjutan Indonesia. Jadi, penggunaan bahasa Indonesianya tidak lemah. Dibandingkan dengan karya Oey Kim Tiang, bahasa Tjan lebih mendekati bahasa Indonesia membuat terjemahannya lebih dekat dengan pembaca muda. Akan tetapi, bahasa terjemahan Tjan sering memakai terlalu banyak istilah Tionghoa, lagipula ditambah dengan masalah penerbitnya yang tidak mementingkan kualitas (misalnya, cetakan dan tanda-tanda baca yang tidak jelas, seakan-akan seperti tidak melalui proses "editing"). Tetapi masalah penerbitan bukan kesalahan Tjan. 

Saat ini Tjan ID tinggal di Semarang. Kini ia berkarya lagi untuk mengangkat kembali popularitas cerita silat di tanah air. Sembari menerjemahkan, ia sibuk beternak ayam.

KHU LUNG (SUKMA BEBAS)

GU LONG
yang memiliki nama asli Xiong Yaohu (1937-1985), merupakan penulis cerita silat terpopuler di Taiwan. Keluarganya berasal dari propinsi Jiangxi, China, dan Gu Long lahir di Hong Kong pada tahun 1937.

Pada saat berumur 13 tahun, ia pindah ke Taiwan bersama kedua orangtuanya, yang bercerai tidak lama setelah itu. Pada masa awal hidupnya di Taiwan, Gu Long tinggal di sebuah kota tua bernama Ruifang di pinggir kota Taipei, dan mengambil studi di jurusan Inggris sebuah akademi terkemuka Tamkang English Junior College (sekarang bernama Universitas Tamkang). Tidak seperti kebanyakan orang yang berusaha keras menyelesaikan studinya agar dapat bekerja di kota besar, Gu Long tidak menyelesaikan studinya dan malah kembali ke kota kecilnya untuk menjalani kehidupan tenang dan mewujudkan impian hidupnya: mengarang buku. Gu Long mulai menulis novel di usia 11 tahun dan memperoleh royalti tulisannya yang pertama di usia 19 tahun. Tema utama novel dan prosanya pada awalnya adalah cinta, namun namanya baru melambung dan dikenal orang saat teman-temannya mendorongnya untuk menulis novel cerita silat.

Pada awal tahun 60-an Gu Long, di usianya yang ke-23, berkonsentrasi penuh menulis cerita silat. Kisah cinta dalam novel-novel silatnya begitu realistis, mungkin karena pengalamannya sekian tahun menulis kisah cinta, dan gaya penulisannya begitu unik dan orisinil. Karir Menulis Karya Gu Long muncul pada waktu yang tepat saat novel cerita silat sedang digemari baik di Taiwan maupun di Hong Kong. Karir menulisnya yang berlangsung lebih dari 20 tahun secara kronologis dapat dibagi ke dalam 3 periode utama. Karya-karyanya yang ditulis pada periode pertama, seperti Cangqiong Shen Jian dan Piao Xiang Jian Yu, tidak berbeda dengan karya-karya novelis-novelis umum lainnya. Pada periode yang kedua barulah Gu Long mengekspresikan gayanya yang khas dan unik serta pemikirannya yang dalam. Karyanya seperti Da Qi Yingxiong Zhuan dan Juedai Xuang Jian (Pendekar Binal/The Remarkable Twins) telah mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tiga novelis utama Taiwan, Zhu Qingyun, Wo Longsheng, dan Si Maling; mereka berempat disebut dengan “The Four Masters of Taiwan”. Setelah itu muncullah karya-karyanya yang paling terkenal, seperti Chu Liu Xiang (Pendekar Pencabut Nyawa) dan Duoqing Jianke Wuqing Jian (Pendekar Budiman/Romantic Swordsman). Cerita Chu Liu Xiang yang menggabungkan cerita silat, detektif, dan tema cinta, begitu mempesona dan diakui sebagai kisah Sherlock Holmes-nya Asia. Meski Gu Long tidak pernah berhenti menemukan ide-ide baru untuk menghibur para pembacanya, cerita-cerita yang dibuatnya di periode yang terakhir dalam perjalanan karirnya tidak disambut sebaik buku-buku yang ia tulis sebelumnya.

Setelah tahun 1975 karyanya menjadi semakin buruk, dan gayanya telah banyak ditiru oleh para penulis pendatang baru. Saat gayanya memudar, kejayaan novel-novel cerita silat pun turut surut bersamanya. Sebuah Pribadi yang Kontroversial Gu Long merupakan seorang yang berkepribadian unik dan kontroversial. Ia hanya mau berbicara dengan mereka yang dikenalnya dengan baik. Ia selalu memulai penulisannya dengan memotong kukunya terlebih dahulu (temannya menjelaskan bahwa sesungguhnya Gu Long menggunakan waktu tersebut untuk menyusun dalam benaknya alur cerita yang akan ditulisnya). Ia kadang duduk dan berbaring di atas sebuah papan tulis, karena percaya dengan melakukan itu inspirasi akan mengalir memasukinya. Gu Long sangat suka minum alkohol dan merupakan seorang perokok berat. Ia dapat menghabiskan rata-rata 2 bungkus rokok dalam semalam penyusunan novelnya. Ia juga memiliki reputasi yang buruk di mata penerbit-penerbit, karena ia meminta pembayaran royalti yang tinggi di muka kepada penerbitnya, namun kemudian gagal menyelesaikan novelnya sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan.

Akan tetapi penerbit-penerbitnya tersebut menerima saja dari waktu ke waktu, karena mereka takut kehilangan Angsa Emas mereka tersebut. Kisah Cinta Kesempurnaan hidup di mata Gu Long terdiri dari pena, alkohol, dan wanita cantik. Ia menikah 2 kali dan keduanya berakhir dengan perceraian. Dari ke-2 pernikahannya itu ia dikaruniai 3 orang putra dan sebuah luka batin yang mendalam. Kegagalannya dalam membina keluarga mungkin dapat dikatakan karena sifatnya yang suka berfoya-foya. Namun meski gagal dalam 2 pernikahannya tersebut, Gu Long tidak pernah kekurangan wanita cantik dalam hidupnya. Dunia literatur pada waktu itu begitu penasaran mengapa seorang Gu Long yang tampangnya biasa-biasa saja dapat memikat begitu banyak wanita cantik. Sebagian mengatakan bahwa itu dikarenakan kekayaannya, namun Ding Qing murid dari Gu Long, yang mengenalnya dengan baik, mengatakan bahwa karisma Gu Long ada dalam kesepiannya – dan itulah yang telah memikat begitu banyak wanita cantik. Wanita-wanita yang mengenal Gu Long mengerti bahwa ia adalah seorang laki-laki kesepian yang mengejar hal-hal yang baru karena hatinya yang penuh dengan kesepian. Karenanya, Gu Long telah mencintai banyak wanita, namun tidak ada satu hubungan pun di antaranya yang berlangsung lama. Meski Gu Long tidak dapat hidup tanpa teman wanita, ia seringkali mengabaikan wanita yang dicintainya untuk bisa bersama-sama dengan teman-temannya. Sikapnya ini, yang menganggap teman wanita mudah dicari namun sahabat baik sulit untuk ditemukan, telah menimbulkan kebencian di hati teman-teman wanitanya, begitu juga sikapnya yang menganggap hidup ini dengan tidak serius. Akibatnya ke-2 wanita yang menceraikannya dan wanita-wanita lain yang pernah dekat dengannya semua berakhir dengan tidak pernah dapat mengampuni sikapnya itu.

Gu Long sebenarnya ingin mengubah cara hidupnya, namun ia tidak mampu. Ia tidak ingin orang lain seperti dirinya. Ia sadar betapa banyak hutang cinta yang dimilikinya. Kehidupannya yang Singkat Gu Long menjadi termasyur di usia muda, namun ia juga meninggal di usianya yang masih muda, pada umur 48 tahun, tanggal 21 September 1985. Ia mati karena alkohol. Alkohol telah menjadi sahabatnya melewati masa susah dan senangnya, namun juga telah menjadi penyebab kerusakan hatinya (Gu Long mengidap sakit pengerasan di hatinya/hepatocirrhosis). Pada tanggal 21 September 1985 Gu Long jatuh koma, dan kata-kata terakhirnya adalah: “Mengapa tidak ada salah seorang teman-teman wanitaku yang datang mengunjungi aku?” Malam itu pukul 6:06pm, di rumah sakit Tri-service Taipei, Gu Long mengakhiri penjalanan hidupnya, meninggalkan lingkaran karya tulisnya dan dunia ini untuk selamanya. Para penggemar karya-karyanya terkejut dengan berita tersebut. Teman-teman baiknya menitikkan air mata di depan batu nisannya, tidak mempercayai kepergian Gu Long yang begitu cepat tersebut. Namun, hampir tidak ada seorang pun sanak-saudara, termasuk wanita-wanita yang pernah pernah satu waktu dekat dengannya, hadir pada acara penguburannya. Para profesional menulis untuk mengungkapkan penyesalan mereka akan perginya Gu Long: Ngai Hong berkata, orang menggunakan Jin Yong sebagai panutan sebelum munculnya novel-novel Gu Long. Hanya Gu Long yang dapat mendobrak keteladanan Jin Yong tersebut dan menciptakan sebuah gaya yang baru. Insan televisi dan dunia film berkomentar bahwa karya Gu Long merupakan sebuah terobosan dalam sejarah novel-novel cerita silat. Gu Long tidaklah mati, karena karya-karyanya akan tetap bersama dengan kita, teristimewa kreativitasnya yang telah memberi kita cara berpikir yang baru.

English : Swordman Journey
Judul Asli: Wu Qing Bi Jian
Karya : Khu Lung / Disadur : Gan KL

Apa jadinya jikalau sebuah Kitab yang berisikan gambar-gambar porno/cabul ternyata adalah kitab So-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip (Kitab pusaka Buddha pengunci tulang dan penggetar sukma) yang berisikan sebuah ilmu sakti. Kitab yang isinya hanya sebuah buku yang isinya bergambar wanita telanjang ini ternyata bisa membuat setiap orang tak terkecuali yang melihatnya bisa terangsang sampai sampai kehilangan kendali.

Ketika tersekap orang disebuah gua yang gelap tanpa disengaja Tian Pek bisa memecahkan rahasia kitab So-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip ini yang akan menjadi modalnya dalam menuntut balas atas kematian ayahnya.

Ayahnya yang adalah pentolan dari Kanglam-jit-hiap (7 pendekar dari Kang lam) dikeroyok 5 orang saudara angkatnya gara-gara persoalan harta karun yang mereka dapatkan. Ke empat saudara angkatnya kini sudah terkenal sebagai 4 keluarga besar dunia persilatan yang memiliki jago-jago sakti.

Sebuah dilemma besar terjadi tatkala anak-anak gadis musuh besarnya itu mencintai jagoan kita ini yang kalau boleh dibilang sedikit bangoran. Konflik terjadi antara sesama wanita ini cantik ini yang saling cemburu membuat Tian Pek sakit kepala juga, belum lagi dengan kemunculan jago-jago yang datang dari Lam Hay yang sudah mengobrak abrik Bu Lim….

Bagaimana kelanjutan dari lima wanita cantik ini apakah mereka bisa mendapatkan cinta Tian Pek dan dapat hidup berdampingan ?…. Belum lagi wanita yang memimpin jago-jago dari Lam Hay yang bernama Lam-hay-liong li yang naga-naganya menyukai juga sang jagoan kita ini…..Buku yang ada saat ini berupa ebook.

Hikmah Pedang
English : Swordman Journey
Judul Asli: Wu Qing Bi Jian
Karya : Khu Lung / Disadur : Gan KL

Apa jadinya jikalau sebuah Kitab yang berisikan gambar-gambar porno/cabul ternyata adalah kitab So-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip (Kitab pusaka Buddha pengunci tulang dan penggetar sukma) yang berisikan sebuah ilmu sakti. Kitab yang isinya hanya sebuah buku yang isinya bergambar wanita telanjang ini ternyata bisa membuat setiap orang tak terkecuali yang melihatnya bisa terangsang sampai sampai kehilangan kendali.

Ketika tersekap orang disebuah gua yang gelap tanpa disengaja Tian Pek bisa memecahkan rahasia kitab So-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip ini yang akan menjadi modalnya dalam menuntut balas atas kematian ayahnya.

Ayahnya yang adalah pentolan dari Kanglam-jit-hiap (7 pendekar dari Kang lam) dikeroyok 5 orang saudara angkatnya gara-gara persoalan harta karun yang mereka dapatkan. Ke empat saudara angkatnya kini sudah terkenal sebagai 4 keluarga besar dunia persilatan yang memiliki jago-jago sakti.

Sebuah dilemma besar terjadi tatkala anak-anak gadis musuh besarnya itu mencintai jagoan kita ini yang kalau boleh dibilang sedikit bangoran. Konflik terjadi antara sesama wanita ini cantik ini yang saling cemburu membuat Tian Pek sakit kepala juga, belum lagi dengan kemunculan jago-jago yang datang dari Lam Hay yang sudah mengobrak abrik Bu Lim….

Bagaimana kelanjutan dari lima wanita cantik ini apakah mereka bisa mendapatkan cinta Tian Pek dan dapat hidup berdampingan ?…. Belum lagi wanita yang memimpin jago-jago dari Lam Hay yang bernama Lam-hay-liong li yang naga-naganya menyukai juga sang jagoan kita ini…..Buku yang ada saat ini berupa ebook.

Kedele Maut
Karya: Khu Lung
Penyadur: ???


Disebuah tempat yang berpemandangan sangat indah dibukit Eng tong coa, berdiri belasan orang kakek bertubuh kekar. Mereka semua adalah ketua dari perguruan kenamaan serta mempunyai nama besar dalam dunia persilatan, tapi saat itu semuanya berdiri tenang disitu sambil melelehkan air mata bercampur darah.

Apakah kawanan jago lihai ini telah mengalami suatu tragedy yang memedihkan hati?
Mengapa mereka mengucurkan air mata bercampur darah…..?
Tidak! Mereka bukan sedang menangis, tapi nyawa mereka telah melayang meninggalkan raganya. Tempat yang mematikan persis diatas mata, diantara cucuran darah tampak dua butir kedele menancap dalam dalam disana.

Hanya saja mayat-mayat itu tidak roboh ketanah seolah-olah mereka tak rela untuk mati, sukma mereka seolah-olah tak mau buyar. Sekalipun pemandangan yang aneh, keji dan misterius ini Belum bisa dibilang sebagai suatu pemandangan luar biasa, paling tidak belum pernah terjadi sebelum ini….

Peristiwa aneh ini baru diketahui orang sebulan kemudian, dunia persilatan segera dibuat gempar. Tak seorangpun tahu mengapa tokoh-tokoh silat yang berdiam tersebar disegala penjuru dunia persilatan ini bisa berkumpul semua disitu? Tentu saja tiada yang mengetahui siapa pembunuhnya.

Yang membuat orang lebih keheranan adalah tidak ditemukannya tanda-tanda perlawanan dari kawanan tokoh sakti yang berilmu silat tinggi ini, ataukah mereka rela dirinya dibantai orang? Berita pembunuhan ini tersebar diseluruh negeri dalam waktu singkat, menyusul kemudian peristiwa pembunuhan dengan senjata kedelepun berlangsung disetiap wilayah.

Nyawa demi nyawa melayang meninggalkan raga. Perasaan ngeri dan ciut makin pula mencekam perasaan tiap umat persilatan. Maka para jago dari golongan putih dan hitam pun bersama-sama menyebar kartu undangan Bu lim tiap untuk mengundang segenap umat persilatan agar merundingkan persoalan ini, serta menyelidiki siapakah pembunuh keji itu.

Oleh karena tak ada yang tahu identitas pembunuhnya sedang pembunuh tersebut gemar membunuh orang dengan memakai kacang kedele, maka orangpun menyebutnya dengan

“Kedele Maut”.
HARKAT PENDEKAR
Karya: Khu Lung / Disadur: Gan KH

Darah Ksatria merupakan karya Gu Long. Gan K. H. menerjemahkan cerita silat ini dengan judul Harkat Pendekar.

Menurut penilaian orang, dalam tiga ratus tahun ini, orang yang paling beruntung di dunia Kang-ouw adalah putera sulung keluarga Toan di Kim-tan, Toan Giok. Di Kim-tan, keluarga Toan adalah keluarga ternama. Di dunia Kang-ouw, keluarga Toan juga merupakan keluarga persilatan yang termasyur.

Walaupun ilmu golok yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga itu bersifat lembut dan serasi, tanpa menggunakan racun atau cara-cara licik lainnya, tapi ilmu tenaga dalam mereka amat murni dan mendalam. Juga luar biasa. Dan karena itu, persis seperti sifat Toan Giok sendiri, ilmu golok mereka tidak membangkitkan perasaan takut di hati orang lain, tapi menimbulkan perasaan hormat.

Senjata warisan keluarga itu, Bik-giok-to (Golok Kemala), juga termasuk senjata pusaka. Golok itu mempunyai riwayat yang hebat dalam sejarah persilatan. Tapi kisah yang akan kita ceritakan ini tentu saja bukan mengenai Bik-giok-to.

Di dunia Kang-ouw, juga ada sebuah mustika yang disebut Bik-giok-je (Tusuk Konde Kemala). Bila Bik-giok-to membawa pemiliknya kepada nasib baik dan kemakmuran, Bik-giok-je ini justru membawa kemalangan dan bencana.

Menurut cerita, siapa pun yang memiliki Bik-giok-je ini, suatu bencana tentu akan segera menimpa dirinya.

Menurut cerita itu juga, setiap pemiliknya akan mengalami kematian yang tragis, tanpa terkecuali.

Di dunia Kang-ouw, banyak beredar cerita dongeng yang berhubungan dengan Bik-giok-je. Ada yang lebih mirip mitos, penuh takhyul dan khayalan belaka. Tapi kisah kita ini juga bukanlah cerita tentang Bik-giok-je.

Kisah yang akan kita ceritakan sekarang adalah tentang Bik-giok-cu.

Apakah Bik-giok-cu itu? Apakah seorang manusia? Sejenis senjata? Sejenis pusaka? Atau semacam obat yang mujarab?

Pisau Terbang
Karya: Khu Lung
Disadur : Liang Y L / Adhi
Penerbit: SeeYan TjinDjin


Dahulu di jaman penuh kekerasan, jaman ketika tidak ada rasa aman; di dunia persilatan tiba-tiba muncul suatu senjata yang di sebut Hui To atau Pisau Terbang. Tidak ada yang tahu bagaimana bentuk dan modelnya, juga tidak ada orang yang bisa melukiskan kecepatan dan kekuatannya.

Dalam hati setiap orang, senjata ini dianggap sebagai senjata yang bisa melenyapkan kejahatan dan penindasan, sekaligus menjadi lambang kebenaran dan kehormatan. Kekuatannya sangat besar dan berwibawa; bila dia sudah beraksi, tidak satu pun musuh bisa menghalangi segala sepak terjangnya.

Kemudian setelah kekacauan mulai mereda, pisau terbang ini seperti ikut menghilang, seperti gelombang laut yang menghilang di samudera luas. Tapi siapa pun tahu, bila di dunia persilatan terjadi kekacauan kembali, pisau terbang ini akan segera muncul kembali; dia akan membawa kepercayaan dan harapan kepada setiap umat manusia.
Karya Lengkap Gu Long
ThnPin YinInggrisIndonesiaCatatan
1.1960Cangqiong Shen JianDivine Sky SwordBuku pertama Gu Long
2.1960Yue Yi Xing XeiEerie Moon and Evil Star
3.1960Jian Qi Shu XiangThe Aura of the Sword and the Fragrance of the BookBagian kedua ditulis oleh Mo Yusheng
4.1960Xiang Fei JianLady Xiang's Sword
5.1960Jian Du Mei XiangThe Poisonous Sword and the Fragrant Plum BlossomKebanyakan ditulis oleh Shangguan Ding
6.1960Guxing ZhuanThe Lonestar Swordsman
7.1961Shi Hun YinThe Story of the Lost Soul
8.1961You Xia LuThe Tale of a Wandering Swordsman
9.1962Hu Hua LingFlower-Guarding BellAmanat Marga
10.1962Cai Huan QuTune of the Colourful Ring
11.1962Can Jin Que YuBroken Gold and Incomplete Jade
12.1963Piao Xiang Jian YuLingering Fragrance in the Rain of Sword
13.1963Jian Xuan LuThe Tale of a Remarkable Sword
14.1963Jianke XingThe Journey of a Swordsman
15.1964Huan Hua Xi Jian LuThe Tale of Refining the Sword Like Cleansing the FlowerMisteri Kapal Layar Panca Warna
16.1964Qingren JianThe Lover's Sword
17.1965Da Qi YingXiong Zhuan (Tie Xie Da Qi)The Legend of the Passionate Daqi Hero
18.1965Wulin Wai ShiA Fanciful Tale of the Fighting WorldPendekar Baja
19.1966Ming Jian FengliuA Graceful SwordsmanRenjana PendekarBagian penutupnya ditulis oleh Qiao Qi
20.1967Jueidai Xuang JianThe Remarkable TwinsPendekar Binal
21.Chu LiuXiang ChuanqiThe Legend of Chu LiuXiangPendekar Pencabut Nyawa
22.1968Xie Hai Piao XiangLingering Fragrance in the Sea of BloodMaling Romantis
23.1969Da ShamoThe Great DesertRahasia Ciok Kwan Im
24.1970Huamei NiaoThe ThrushPeristiwa Burung Kenari
25.Chu Liu XiangSequel to Chu Liu Xiang
26.1970Gui Lian Xia QingThe Love Story of A Ghost and a SwordsmanPendekar Harum
27.1970Duoqing Jianke Wuqing JianThe Sentimental Swordsman and the Ruthless SwordPendekar BudimanDikenal juga sebagai Little Lee's Flying Dagger/Romantic Swordsman
28.1971Bianfu ChuanqiThe Legend of the Bat
29.1971Huanle YingXiongA Merry HeroPendekar Riang
30.1971Da RenwuA Big ShotTokoh Besar
31.1972Taohua ChuanqiThe Legend of the Peach Blossom
32.1973Xiao Shiyi LangThe Legend of the Deer-Carving SabreCinta Kelabu Seorang PendekarDikenal juga sebagai Treasure Raiders
33.1973Liuxing, Hudie, JianShooting Star, Butterfly, Sword
34.1974JiuYue Ying FeThe Eagle Flying in SeptemberGadis Boneka
35.Qi Zhong WuQiSeven Kinds of Weapons
36.1974Changsheng JinLongevity SwordPedang Panjang Umur
37.1974Biyu DaoJade SabreGolok Kemala Hijau
38.1974Kongque LingPeacock FeatherBadik Merak
39.1974Duoqing HuanSentimental Ring
40.1975Bawang CIANGKing Spear
41.1975Tianya, Mingyue, DaoThe End of the World, The Bright Moon, The SabrePeristiwa Bulu Merak
42.1975Qi ShashouSeven Assassins
43.1975JiAn, Hua, Yianyu, Jiang NanSword, Flower, Misty Rain, South of the Yangzi River
44.1975Ciangshou, ShouqiangThe Gunman and the Pistolcerita pertarungan modern menggunakan pistol
45.1975San Shaoye De JianThe Sword of the third little masterPendekar Gelandangan
46.1976huopin xiao shiyi langthe sequel to the deer-carving sabre
47.1976QuantouFists
48.1976Lu XiaoFeng ChuanqiThe Legend of Lu XiaoFeng
49.1976Xiuhua Da DaoThe Bandit who did needlework
50.1976Juezhen qian houBefore and after the final duel
51.1976Bian Cheng LangziThe Black SabrePeristiwa Merah Salju
52.1976Xie YingwuThe Bloody Parrot
53.1976Bai yu laohuwhite-jade tigerharimau kemala putih
54.1976dadi fei yingland of the condors
55.1977Yin gou dufangsilver-hook gambling house
56.1977youling shanzhuangphantom manor
57.1977yuan yue wan daofull moon curved sabreGolok bulan sabit/dewa goloksebagian besar ditulis oleh sima ziyan
58.1977Bi Xie xi yin cianggreen-blood silver-cleansing spear
59.1977fei dao, you jian fe daoflying knife, flying knife returnssekuel dari flying dagger atau romantic swordsman
60.1978Xin yue chuanqithe legend of the new moon
61.1978Libie GouParting Hook
62.1978Feng wu jiu tianthe phoenix dancing on the ninth level of the heavenmanusia tanpa wujud
63.1978Yingxiong wu leia hero without tears
64.1978qi xing long wangseven-star dragon king
65.1979wuye lanhuathe orchid at midnight
66.1980feng ling zhong di dao shengthe sound of the sabre accompanied by wind chimespenutupannya ditulis oleh yu donglou
67.1981bai yu diao longwhie-jade carved dragonLencana pembunuh nagasebagian besar ditulis oleh zhong suimei
68.1981jian shen yi xiaothe smile of the sword god
69.1982nu jian kuang huafurious sword and mad flowerssebagian besar ditulis oleh ding qing
70.1982na yi jian de fengqingthe subtle touch of the swordsebagian besar ditulis oleh ding qing
71.1983bian cheng dao shengthe sound of the sabre in a border townsebagian besar ditulis oleh ding qing
72.1984lieying, dujuhunting hawk, gambling gamecerita pendek