Minggu, 06 Februari 2011

RATNO TIMOER SANG PENDEKAR

SI BUTA DARI GOA HANTU
 
 
Pagi masih berkabut di Candi Borobudur. Seorang lelaki tua tampak tergesa membawa sebuah gulungan kertas. Ia berlari, tapi langkahnya terhenti saat mendapati sosok yang menghadangnya. Belum sempat berteriak, sebilah keris menghunjam dadanya. Matanya membeliak, tubuhnya terhuyung. Sebelum terkapar, ia masih sempat melempar gulungan kertas itu ke balik patung batu. Pagi itu, sesosok mayat menggegerkan kawasan sunyi candi itu. 

Adegan itu membuka episode Asmara di Candi Tua, sepenggal kisah perjalanan Si Buta dari Gua Hantu yang pernah ditayangkan RCTI pada 1994. Dalam episode itu, Barda Mandrawata—nama asli si buta—membongkar misteri perebutan harta sebuah keluarga kaya. Kematian kepala keluarga itu mendorong perselisihan dua anak lelakinya. Mereka berusaha merebut peta harta yang diserahkan sang ayah untuk putri kesayangannya, Sekarningsih. Berdurasi satu jam, episode itu cukup menjadi favorit para penggemar Si Buta karena di situlah Barda bertemu dengan kakeknya. 

Divisualkan oleh Herry Topan Intercine Film, episode itu merupakan salah satu bagian dari 26 episode sinetron Si Buta dari Gua Hantu yang diangkat dari komik karya Ganes T.H., yang pertama kali terbit pada 1966. Usaha menampilkan kisah silat ini ke layar kaca bukan pertama kali dilakukan Herry Topan. Kita masih ingat aksi Ratno Timoer sebagai Barda lewat film Si Buta dari Goa Hantu besutan sutradara Lilik Sudjio pada 1971. Setelah itu, muncul beberapa versi lanjutan Si Buta di layar film. 

Di tahun yang sama, Ratno Timoer kembali muncul sebagai Barda dalam Misteri Borobudur, yang ketika itu disutradarai Pietrajaya Burnama. Kisah yang diangkat sama persis dengan episode sinetron Asmara di Candi Tua yang ditampilkan RCTI. Bedanya hanya pada judul. Dalam versi komik, Ganes memberi judul Misteri Borobudur. Saat dilibatkan oleh Herry Topan sebagai penulis skenario di versi sinetron, Ganes mengubah kisah pertemuan Si Buta dengan kakeknya ini menjadi Asmara di Candi Tua.
 
Setelah sekuel kedua, muncul film lainnya yang dikembangkan jauh melampaui cerita komik aslinya. Pada 1983, Dasri Jacob membuat film Si Buta dari Goa Hantu Lawan Jaka Sembung. Imajinasi yang boleh jadi sangat berlebihan. Si Buta dipaksa hidup di masa Jaka Sembung, tokoh komik karya Jair. 

Tak tahan hanya sebagai pemeran Barda, Ratno Timoer juga ikut memproduksi film Si ButaDalam Neraka Perut Bumi pada 1986. Ratno Timoer masih memerankan Barda merangkap sutradara. Ia masih memborong pekerjaan ini saat meluncurkan film selanjutnya, Lembah Tengkorak. Bahkan Ratno turut berperan sebagai penulis skenario.

Produk-produk susulan ini lumrah muncul mengingat kesuksesan yang bisa diraup film pertama Si Buta. Sejak beredar di Jakarta pada 5 Juni 1971 sampai akhir Oktober 1971, film ini berhasil mendatangkan 45.769 penonton. Bandingkan dengan film Si Pitung Banteng Betawi karya Nawi Ismail, yang beredar dalam waktu bersamaan, yang hanya mengumpulkan 12.142 penonton. 

Keberhasilan film pertama ini mungkin terletak pada kesetiaan Lilik Sudjio pada pakem cerita di komik. Ia tak mengubah cerita sehingga penonton yang berharap menemukan visualisasi petualangan dan keandalan silat Barda berhasil memperolehnya. Apalagi komik Si ButaSi Buta terus cetak ulang. Waktu peluncuran film ini juga tepat. Ketika itu Indonesia tengah dihujani film-film laga Hong Kong. Tak aneh bila penonton antusias melihat produk laga dalam negeri. Apalagi tokohnya sudah mempunyai pasar. memang begitu terkenal ketika itu. Sejak diterbitkan UP Soka Jakarta pada 1966, Ingatan terhadap kesuksesan Si Buta juga tersimpan di benak Herry Topan. Terlebih, saat film itu muncul, ia masih bekerja sebagai booker di Djakarta Theater Group yang mengelola sekitar 40 bioskop di Jakarta. Saat RCTI baru saja mengembangkan sayapnya, ia mendapati banyaknya tayangan luar negeri yang ditampilkan. Ia lantas mengajukan proposal pembuatan sinetron silat ini. Usulannya langsung diterima. Bukan hanya karena reputasi lamanya di dunia film, tapi juga kesuksesan sinetron yang dibuat sebelumnya, Si Manis Jembatan Ancol, yang juga ditayangkan RCTI.
 
Begitu proposalnya diterima, Herry langsung mengontak Ganes T.H. untuk menulis skenario. "Pak Ganes langsung menyanggupi. Ia yang sebelumnya sakit-sakitnya jadi bersemangat dan sehat kembali," kata Herry. Untuk peran Si Buta, Herry memasang aktor muda Hadi Leo. Meski mengaku pengagum Si Buta, ketika itu Herry tak membaca seluruh komiknya. "Saya percaya saja sama Pak Ganes," katanya beralasan. Herry cukup puas dengan hasilnya. Tak hanya dari sisi laga, lelaki kelahiran Jakarta, 22 Desember 1948, ini sangat menyukai dialog yang diciptakan Ganes yang menurut dia berfalsafah tinggi. 

Kini sinetron itu tak lagi ditayangkan. Namun, Herry, yang setelah Si Buta sukses kemudian meluncurkan sinetron Wiro Sableng, masih menyimpan kejayaan masa lalu. Saat ini ia tengah memercikkan ide membuat versi baru Si Buta. "Saya tengah negosiasi dengan ANTV," kata Herry, yang mendirikan kantornya di daerah Tomang. 

Sama dengan sinetronnya dulu, Herry menyiapkan 26 episode. Bedanya, tanpa keberadaan Ganes T.H. yang meninggal pada 8 Desember 1995, ia akan mengembangkan cerita jauh melampaui cerita asli di komiknya. Meski untuk itu Herry harus membaca total seluruh komiknya. Saat ini, ia tengah menunggu izin dari Gienardy, putra Ganes T.H., untuk mendapatkan seluruh data cerita Si Buta

Herry merencanakan akan memulai sinetronnya dari masa 20 tahun sebelum Mata Malaikat—musuh bebuyutan Si Buta—membunuh Paksi Sakti, ayah Si Buta. Saat itu Paksi Sakti merupakan musuh bebuyutan Mata Malaikat. Dalam sebuah pertarungan, Paksi membutakan penglihatan Mata Malaikat. Balas dendam bisa ditunaikan 20 tahun kemudian dengan menghabisi tak hanya Paksi tapi juga Gandra Lelayang, ayah Murni Dewiyanthi—kekasih Barda. 

Herry juga merencanakan akan lebih mempersingkat adegan-adegan drama. Porsi laga akan ditambahnya dengan melibatkan konsultan silat dari negeri sendiri. Meski tak anti terhadap produk luar negeri, untuk urusan action, Herry lebih percaya jagoan dalam negeri.

Untuk peran Barda, Herry tak lagi memakai Hadi Leo. Ia ingin merekrut wajah baru yang sebenarnya juga dilakukannya sejak dulu. Ketika ia menempatkan Hadi Leo sebagai pemeran Barda, Herry sempat diprotes almarhum Ratno Timoer yang merasa sudah membesarkan dan identik dengan karakter Barda. Namun, kecaman itu tak dihiraukan Herry dan Ganes yang merasa lebih berhak atas cerita Si Buta. Apalagi tak ada kontrak dan perjanjian hukum antara Ganes dan Ratno Timoer. Setelah kedua orang itu tiada, kini Herry berniat meneruskan kembali pengembaraan Si Buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar