Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Sejuta Duka Ibu. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Sejuta Duka Ibu. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Juli 2020

GATOT SUDARTO (Komposer)


Satu lagi penata musik film Indonesia. Ia bisa dibilang setelah Idris Sardi, dan stylenya juga beda. Idris mencampur unsur klasik dan musik trend saat itu. Tapi Gatoto justru di era modern, dimana dia memakai Electronic Instrumen dengan synthesizer. Tapi kiprahnya cukup banyak musik film yang di hasilkannya, ada 138 Film.


Lahir di Mojokerto. Pendidikan : Akademi Seni Rupa (tk. II) IKIP Surabaya, Akademi Musik (tk. I) LPKJ/TIM Jakarta. Ayahnya yang pemusik semula tidak menghendaki Gatot Sudarto menjadi pemusik pula, sebab si Bapak tidak bisa hidup enak dari musik. Tapi Gatot jadi pemusik juga, dan bisa hidup enak dari musik. Tentu saja baru tahun-tahun belakangan ini. Tadinya Gatot adalah "anak band" yang memulai karirnya di "Bhatara" Surabaya pada 1967, lalu hijrah ke Jakarta pada 1969. Setelah berpindah-pindah dari band yang satu ke band yang lain, Gatot menetap pada The Beibs (sejak 1973) dan Irama Nada (sejak 1974) sampai sekarang, 1978. Sejak 1973 itu pula Gatot mulai ditarik untuk menangani illustrasi musik film "bing Slamet Dukun Palsu", atas ajakan Sutradara Motinggo Busye. Sejak itu hampir 40 film telah ditanganinya. Diantaranya "Ateng Minta Kawin" (1974), "Sayangilah Daku" (1974), "Tarzan Kota" (1975), "Sebelum Usia 17" (1975), "Buaye Gile" (1975), "Tiga Cewek Indian" (1976), "Inem Pelayan Sexy" (1976), "Menanti Kelahiran" (1976), "Cinta Abadi" (1977), "Ateng Bikin Pusing" (1977), "Akibat Pergaulan Bebas" ('77), "Sejuta Duka Ibu" (1977), "Si Genit Poppy" (1978), dll.


SALAH PENCET1992ARIZAL
Composer
BEGADANG KARENA PENASARAN 1980 LILIK SUDJIO
Composer
DIA YANG TERCINTA 1984 GATOT SUDARTO
Composer
SALAH KAMAR 1978 LILIK SUDJIO
Composer
MALU-MALU KUCING 1980 ISHAQ ISKANDAR
Composer
MUSUH BEBUYUTAN 1974 SYAMSUL FUAD
Composer
PINTAR-PINTAR BODOH 1980 ARIZAL
Composer
GAYA MERAYU 1980 WISJNU MOURADHY
Composer
SUNDEL BOLONG 1981 SISWORO GAUTAMA
Composer
DAMARWULAN - MINAKJINGGO 1983 LILIK SUDJIO
Composer
PRIMITIF 1978 SISWORO GAUTAMA
Composer
GAWANG GAWAT 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
DARI MATA TURUN KE HATI 1979 JOPI BURNAMA
Composer
KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN 1985 ARIZAL
Composer
NIKMATNYA CINTA 1980 ARIZAL
Composer
MENANTI KELAHIRAN 1976 S.A. KARIM
Composer
JANGAN PAKSA DONG 1990 CHRIST HELWELDERY
Composer
JANGAN COBA RABA-RABA 1980 JOPI BURNAMA
Composer
PELAJARAN CINTA 1979 MATNOOR TINDAON
Composer
KARMINEM 1977 NYA ABBAS AKUP
Composer
BUNG KECIL 1978 SOPHAN SOPHIAAN
Composer
BUNGA CINTA KASIH 1981 DANU UMBARA
Composer
DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN 1984 HELMUT ASHLEY Adventure Composer
BERGOLA IJO 1983 ARIZAL
Composer
KAWIN KONTRAK 1983 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
PINTAR-PINTARAN 1992 YAZMAN YAZID
Composer
TANTE SUN 1977 BUDI SCHWARZKRONE
Composer
PERKAWINAN NYI BLORONG 1983 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
SEMUA KARENA GINAH 1985 NYA ABBAS AKUP
Composer
DONGKRAK ANTIK 1982 ARIZAL
Composer
LARA JONGGRANG 1983 JIMMY ATMAJA
Composer
KESAN PERTAMA 1985 M.T. RISYAF
Composer
MERANGKUL LANGIT 1986 M.T. RISYAF
Composer
DANG DING DONG 1978 HASMANAN
Composer
SEBELUM USIA 17 1975 MOTINGGO BOESJE
Composer
INEM PELAYAN SEXY 1976 NYA ABBAS AKUP
Composer
PENGINAPAN BU BROTO 1987 WAHYU SIHOMBING
Composer
PENGANTIN BARU 1986 ARIZAL
Composer
SANGKURIANG 1982 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
LEMBAH DUKA 1981 JOPI BURNAMA
Composer
WAROK SINGO KOBRA 1982 NAWI ISMAIL
Composer
LUKA HATI SANG BIDADARI 1983 NICO PELAMONIA
Composer
ATENG BIKIN PUSING 1977 HASMANAN
Composer
ATENG MATA KERANJANG 1975 ASRUL SANI
Composer
ATENG KAYA MENDADAK 1975 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
ATENG PENDEKAR ANEH 1977 HASMANAN
Composer
ATENG SOK AKSI 1977 HASMANAN
Composer
ATENG RAJA PENYAMUN 1974 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
CEWEK JAGOAN BERAKSI KEMBALI 1981 DANU UMBARA
Composer
PLIN PLAN 1992 YAZMAN YAZID
Composer
MAJU KENA MUNDUR KENA 1983 ARIZAL
Composer
JAKA GELEDEK 1983 FRITZ G. SCHADT
Composer
ATENG SOK TAU 1976 HASMANAN
Composer
ATENG THE GODFATHER 1976 HASMANAN
Composer
PEMBALASAN RAMBU 1985 JOPI BURNAMA
Composer
INEM PELAYAN SEXY II 1977 NYA ABBAS AKUP
Composer
INEM PELAYAN SEXY III 1977 NYA ABBAS AKUP
Composer
TAHU BERES 1993 ARIZAL
Composer
TAHU DIRI DONG 1984 ARIZAL
Composer
JAKA SEMBUNG DAN BAJING IRENG 1983 TJUT DJALIL
Composer
JAKA SEMBUNG SANG PENAKLUK 1981 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
DARAH PERJAKA 1985 ACKYL ANWARI
Composer
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Composer
SEGI TIGA EMAS 1986 ARIZAL
Composer
PENCURI 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
HAMIL MUDA 1977 S.A. KARIM
Composer
BUAH HATI MAMA 1980 SOPHAN SOPHIAAN
Composer
GANTIAN DONG 1985 ARIZAL
Composer
GOLOK SETAN 1983 RATNO TIMOER
Composer
KOBOL SUTRA UNGU 1981 NYA ABBAS AKUP
Composer
MERINDUKAN KASIH SAYANG 1984 C.M. NAS
Composer
LIMA CEWEK JAGOAN 1980 DANU UMBARA
Composer
GURUKU CANTIK SEKALI 1979 IDA FARIDA
Composer
MEMBAKAR MATAHARI 1981 ARIZAL
Composer
TUAN BESAR 1977 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Composer
SATU MAWAR TIGA DURI 1986 FRANK RORIMPANDEY
Composer
KECUPAN PERTAMA 1979 ARIZAL
Composer
JERITAN SI BUYUNG 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
KEJAMNYA IBU TIRI TAK SEKEJAM IBU KOTA 1981 AZWAR AN
Composer
TARSAN KOTA 1974 LILIK SUDJIO
Composer
BISIKAN SETAN 1985 B.Z. KADARYONO
Composer
BINALNYA ANAK MUDA 1978 ISMAIL SOEBARDJO
Composer
SI GENIT POPPY 1978 JOPI BURNAMA
Composer
AKIBAT GODAAN 1978 MATNOOR TINDAON
Composer
AKIBAT PERAULAN BEBAS 1977 MATNOOR TINDAON
Composer
TRAGEDI TANTE SEX 1976 BAY ISBAHI
Composer
NONA MANIS 1990 YAZMAN YAZID
Composer
SI BUTA LAWAN JAKA SEMBUNG 1983 DASRI YACOB
Composer
PERHITUNGAN TERAKHIR 1982 DANU UMBARA
Composer
BUNGA-BUNGA PERKAWINAN 1981 ISHAQ ISKANDAR
Composer
APANYA DONG 1983 NYA ABBAS AKUP
Composer
SRIGALA 1981 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
RATU ILMU HITAM 1981 LILIK SUDJIO
Composer
BODOH-BODOH MUJUR 1981 ARIZAL
Composer
KISAH CINTA ROJALI DAN ZULEHA 1979 NYA ABBAS AKUP
Composer
SI BONEKA KAYU, PINOKIO 1979 WILLY WILIANTO
Composer
SENGGOL-SENGGOLAN 1980 DANU UMBARA
Composer
BILA HATI PEREMPUAN MENJERIT 1981 ARIZAL
Composer
TEMPATMU DI SISIKU 1980 JOPI BURNAMA
Composer
BANG KOJAK 1977 FRITZ G. SCHADT
Composer
BARANG TERLARANG 1983 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
PAK SAKERAH 1982 B.Z. KADARYONO
Composer
SEMBILAN JANDA GENIT 1977 IKSAN LAHARDI
Composer
TIGA CEWEK INDIAN 1976 AZWAR AN
Composer
TIGA COWOK BLOON 1977 AMIN KERTARAHARDJA
Composer
CINTA ABADI 1976 WAHYU SIHOMBING
Composer
FAJAR YANG KELABU 1981 SANDY SUWARDI HASSAN
Composer
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Composer
JALAL KOJAK PALSU 1977 MOTINGGO BOESJE
Composer
JALAL KAWIN LAGI 1977 MOTINGGO BOESJE
Composer
NUANSA BIRUNYA RINJANI 1989 JIMMY ATMAJA
Composer
MISTIK 1981 TJUT DJALIL
Composer
DI LUAR BATAS 1984 JOPI BURNAMA
Composer
KEMELUT HIDUP 1977 ASRUL SANI
Composer
RAHASIA PERKAWINAN 1978 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
BUSANA DALAM MIMPI 1980 IDA FARIDA
Composer
GADIS BERWAJAH SERIBU 1984 RATNO TIMOER
Composer
PEREMPUAN BERGAIRAH 1982 JOPI BURNAMA
Composer
BUMI BULAT BUNDAR 1983 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
ITU BISA DIATUR 1984 ARIZAL
Composer
TANGKUBAN PERAHU 1982 LILIK SUDJIO
Composer
LENONG RUMPI II 1992 YAZMAN YAZID
Composer
LENONG RUMPI 1991 YAZMAN YAZID
Composer
DALAM PELUKAN DOSA 1984 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
TANTANGAN 1969 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
NYI BLORONG 1982 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
TIGA SEKAWAN 1975 CHAERUL UMAM
Composer
BIRAHI DALAM KEHIDUPAN 1987 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
ALADIN DAN LAMPU WASIAT 1980 SISWORO GAUTAMA
Composer
BENYAMIN SI ABUNAWAS 1974 FRITZ G. SCHADT
Composer
BENYAMIN TUKANG NGIBUL 1975 NAWI ISMAIL
Composer
PUTRI GIOK 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
ROMANTIKA REMAJA 1979 JOPI BURNAMA
Composer
MUMPUNG ADA KESEMPATAN 1993 ARIZAL
Composer
IRA MAYA PUTRI CINDERELLA 1981 WILLY WILIANTO
Composer
USIA DALAM GEJOLAK 1984 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
POKOKNYA BERES 1983 ARIZAL
Composer
NASIB SI MISKIN 1977 JOPI BURNAMA
Composer
BAYAR TAPI NYICIL 1988 ARIZAL
Composer
DILIHAT BOLEH DIPEGANG JANGAN 1983 DANU UMBARA
Composer
SERBUAN HALILINTAR 1982 ARIZAL
Composer
JOHNY INDO 1987 JIMMY ATMAJA
Composer
BUKAN MAIN 1991 YAZMAN YAZID
Composer
GENTA PERTARUNGAN 1989 ACKYL ANWARI
Composer
BAHAYA PENYAKIT KELAMIN 1978 MOTINGGO BOESJE
Composer
KAMP TAWANAN WANITA 1983 JOPI BURNAMA
Composer
TANGAN-TANGAN MUNGIL 1981 YAZMAN YAZID
Composer
BOLEH DONG UNTUNG TERUS 1992 YAZMAN YAZID
Composer
MODAL DENGKUL KAYA RAYA 1978 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
SENYUM NONA ANNA 1977 SOEGIMAN DJAJAPRAWIRA
Composer
SUNAN KALIJAGA 1983 SOFYAN SHARNA
Composer
KAMPUS BIRU 1976 AMI PRIJONO
Composer
GEJOLAK KAWULA MUDA 1985 MAMAN FIRMANSJAH
Composer

Jumat, 16 Maret 2012

MOTINGGO BOESJE 1960-1978



Motinggo Busye sebenarnya adalah nama samaran, ia lahir dengan nama Bustami Dating di Kupangkota, Telukbetung, Bandar Lampung dari pasangan Djalid Sutan Rajo Alam dan Rabi’ah Jakub.

Ibu Bustami berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab.

Kedua orangtua Bustami meninggal saat Ia berusia 12 tahun. Dia lalu diasuh oleh neneknya di Bukittinggi, Sumatera Barat hingga menamatkan SMA di sana lalu melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, meski tidak selesai.

Dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007), Agus Sri Danardana dan Puji Santoso menjelaskan, nama Motinggo Busye dipakai sejak 1953 saat puisinya dimuat di sebuah majalah. Dikutip dari Badan Bahasa, menurut Taufik Ismail, nama Motinggo berasal dari kata bahasa Minang, mantiko yang artinya bengal, eksentrik, suka menggaduh, ada kocaknya, dan tak tahu malu.

Namun, hal itu disanggah oleh Motinggo Busye bahwa mantiko bungo artinya seperti bunga yang harum mewangi dan bukannya berkonotasi jelek. Mantiko Bungo atau disingkat menjadi MB sama dengan Motinggo Boesje bila disingkat.

Pada waktu itu, Taufik Ismail bahkan berpendapat bahwa Motinggo adalah anak ajaib di pentas sastra  Indonesia, sebab pada usia yang masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H. B. Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia.

Pada tahun 1958, Motinggo menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.

Sunardiyan Wirodono, dalam blognya menulis karya-karya Motinggo Busye pada era 1960-1970 mengajak penikmatnya untuk membebaskan pikiran dan imajinasi mereka (dengan) membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan.

Novel-novelnya yang bergenre erotis itu, antara lain terlihat dari judul-judulnya seperti; Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Kutemui Dia (1970).

Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tuliskan dalam novel Kutemui Dia tahun 1970.

"Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit."

Era sekarang, cerita yang ditulis Motinggo Busye mungkin terasa hambar dan tidak memantik hasrat seksual bagi generasi yang sudah terpapar adegan-adegan riil dalam bentuk visual. Namun pada masa ketika akses audio dan visual masih langka, rangkaian kalimat yang Ia susun dapat membuat jantung berdegup  kencang dan kepala menghangat.

Pada masa itu banyak kritikus sastra yang mengamati perkembangan karya Busye yang dianggap mengambil tema-tema vulgar.

"Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes," ujar Busye seperti diikuti dari Harian Terbit, 17 September 1994.

Selain dikenal luas sebagai novelis, Motinggo Busye  juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis. Kepiawaiannya dalam melukis ini pernah dipamerkan dalam sebuah pameran di Padang pada tahun 1954.

Kontribusi Motinggo Busye sebagai sutradara dapat dilihat dari film-film garapannya seperti, Cintaku Jauh di Pulau, Putri Seorang Jenderal, dan Si Rano. Dalam film Si Rano (1973) Motinggo mempertemukan aktor legendaris Indonesia Benyamin Suaeb dengan Rano Karno yang saat itu masih remaja.

Dalam jagat sastra Indonesia Motinggo Busye terbilang  penulis yang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi. Karya-karya tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.

Jiwa kepengaran Motinggo ia akui dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Ketika ia menulis cerita pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupassant. Dalam menampilkan watak tokoh cerita, Motinggo secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia, Anton P. Chekov dan John Steinbeck. Sementara itu, penulis Indonesia yang ia kagumi adalah Pramoedya Ananta Toer.

Sekitar tahun 1984-199, Busye mengubah pandangannya dalam berkarya. Pertama karena lesunya dunia perfilman nasional. Kedua, kritik keras dari anaknya yang disekolahkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Oleh sang anak dari hasil pernikahannya dengan Laksmi Bachtiar, Ia diingatkan untuk tidak membuat karya sastra atau film yang lebih banyak menonjolkan seksualitas. Dari sinilah Busye membuat novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984, kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985).

Novel tersebut menjadi penanda perubahan pandangan Motinggo dari hal-hal yang berbau seksualitas dan erotisme ke hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual imajinatif, serta absurditas.Terlebih setelah ia menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 1994.

Lembar-lembar kalimat yang Ia tuangkan dalam karya seni akhirnya kembali membuahkan hasil. Busye mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 melalui cerpennya berjudul Bangku Batu.

Tidak hanya itu, cerpennya berjudul Lonceng juga masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000. Karya lainnya, cerpen berjudul Dua Tengkorak Kepala juga ditahbiskan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 1999.

"Perkembangannya sangat menarik.Semakin Ia mendalami agama, semakin Ia terbuka mendengarkan pendapat orang lain," ungkap Remy Sylado mengutip arsip Gatra.
Motinggo Busye tutup usia pada 18 Juni 999 pada usia 62 tahun di Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes. Anak ajaib itu dibumikan di pemakaman umum Penggilingan, Rawamangun, Jakarta Timur. Obituari Lian Tanjung dalam majalah Gatra menuliskan bahwa Motinggo Busye adalah Master Tanpa Mahkota.


MOTINGGO BOESJE
Ia sering menulis buku-buku saku yang biasanya di jajakan di restoran-restoran. Ia pengarah akhli bercerita, ia berkecendrungan yang cukup besar untuk terlalu memperhatikan kecil-kecil pada saat ia mengabaikan peranan hal yang lebih besar dan penting dalam keseluruhan jalan cerita. Inilah ciri khas Boesje bercerita.

Nama :Bustami Djalid
Lahir :Lampung, 23 Nopember 1937
Wafat :Jakarta ……..
Pendidikan :SLA Bagian C Bukit Tinggi
Karya Novel :Bibi Marsiti (1964)

Sewaktu masih siswa SLA bagian C di Bukit Tinggi, Boesje telah giat menulis dan berdrama. Tahun 1952 mengisi acara sandiwara radio RRI studio Bukittinggi, sambil belajar melukis bersama Delsy Syamsumar pada Wakidi. Kemudian dia ikut mendirikan Himpunan Seniman Muda Indonesia-Sumatra Tengah dan menjadi Pemimpin majalah Kebudayaan organisasi itu. Karya-karya sastranya kala itu banyak dimuat dalam harian dan majalah di Bukittinggi, Padang dan Jakarta. Kegiatan seninya makin berkembang dan intensif setelah dia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta.

Karya-karya tulis dan dramanya makin dikenal di berbagai kota. Tahun 1958, Boesje memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama P&K untuk naskahnya Malam Djahanam, naskah drama ini kemudian di filmkan Pitradjaja Burnama di tahun 1970.

Karya-karya Boesje sampai terbitnya novel Bibi Marsiti”di anggap para kritisi sastra sebagai karya-karya sastra. Novel Bibi Marsiti”tahun 1964 yang dapat serangan dari kelompok Lekra ini, merupakan titik awal peralihannya kepenulisan yang lebih popular sifatnya.

Perubahan ini mendapat kritikan tajam dari kalangan sastra, sehingga Boesje “diadili” para sastrawan waktu dia berceramah tentang karya-karyanya di TIM tahun 1969. Sementara banyak pula peninjau sastra dari luar negeri yang menghargainya. Corak penulisannya ini kemudian banyak diikuti orang. Novel-novelnya dari masa inilah yang banyak difilmkan orang, antara lain Di Balik Dosa”tahun 1970, Tiada Maaf Bagimu tahun 1971 dan Insan Kesepian tahun 1971.

Boesje memasuki dunia film sebetulnya sejak tahun 1960 ketika ceritanya Si Pendek dan Sri Panggung” di filmkan Sutradara Alam Surawidjaja dan dia menjadi Pembantunya. Kemudian pada 1960 juga dia menjadi Pembantu Sutradara Rd. Arifin untuk film Di Balik Dinding Sekolah”tahun 1961. Tetapi setelah kedua film itu, Boesje kembali menulis dan berdrama.

Dia kembali ke film untuk menyutradai Biarkan Musim Berganti”tahun 1971 lebih banyak didorong ketidakpuasannya melihat film-film yang diolah dari ceritanya. Selain menulis naskah drama, cerita bersambung dan sebagai sutradara film, Boesje juga melukis. Ia sempat berpameran bersama para pelukis Jakarta di Balai Budaya dan juga di TIM. Terutama dengan HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta), sastrawan yang pelukis ini banyak mengisi waktu dan hari-harinya berdiskusi di Balai Budaya dan di salah satu kios makan di TIM. Beliau wafat karena serangan penyakit gula yang akut.


SEORANG NOVELIS

Ia terkenal lewat novel-novelnya yang bercerita tentang seks dan kehidupan malam seperti Cross Mama (1966) dan Tante Maryati (1967). Karyanya yang berjudul Malam Jahanam dipilih sebagai naskah drama terbaik oleh Departemen P & K dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah seni dan teater.  Selain dikenal luas sebagai novelis, mantan Redaktur Kepala Penerbitan Nusantara ini juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis.

Darah kecintaan pada sastra telah mengalir dari Sang Ayah kepada dirinya. Ketika masa pendudukan Jepang di tanah air sekitar bulan Maret 1942, di mana kedatangan pasukan Jepang membuat sebuah "mobil buku" milik Balai Pustaka ditinggalkan lari begitu saja oleh supirnya, sang Ayah sibuk menjarah buku-buku yang ditinggalkan sementara orang-orang lain mempreteli onderdil kendaraan tersebut.

Saat peristiwa itu terjadi, dirinya telah berumur 5 tahun. Beberapa tahun kemudian, setelah beliau mahir membaca, buku-buku Balai Pustaka seperti karya-karya Karl May dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba terjemahan Haji Agus Salim mendampinginya beranjak dewasa.

Motinggo Busye yang bernama asli Motinggo Bustami Dating, lahir di Kupangkota, Teluk Betung, Lampung, 21 November 1937. Ayahnya bernama Jalid Sutan Raja Alam, berasal dari Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Motinggo Busye harus ikhlas di usianya yang keduabelas tahun ditinggal mati kedua orang tuanya.

Motinggo Busye menggunakan nama penanya untuk pertama kali di tahun 1953 dalam majalah Nasional. Sementara novelnya yang berjudul 1949 merupakan gambaran sejarah atas kenangan buram masa revolusi fisik yang menyebabkan dirinya bersama keluarga harus mengungsi di hutan belantara.

Pernah bersekolah di Fakultas Hukum UGM Jurusan Tata Negara. Namun tidak sampai tamat, karena kecintaan pada dunia seni yang lebih besar telah menyedot seluruh perhatiannya. Bakat Montinggo Busye sudah kelihatan ketika beliau beranjak remaja. Berbagai kegiatan seni ditekuninya, seperti mengisi siaran sandiwara radio di RRI Bukittinggi, bermain drama, menjadi sustradara, melukis, menulis puisi, cerpen, novel, dan bahkan essai.

Pilihannya untuk kuliah di Kota Gudeg, Yogyakarta semakin menyuburkan bakat seninya tersebut. di Kota Pelajar inilah beliau bertemu dengan seniman-senimana kawakan seperti Rendra, Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, dan membuatnya bergabung di Sanggar Bambu.

Nama Motinggo Busye makin berkibar di dunia kesusastraan tanah air. Karya-karyanya bertebaran di media massa, seperti Minggu Pagi, Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra, dan Aneka. Naskah Dramanya berjudul Malam Jahanam memperoleh Juara I Sayembara Penulisan Drama yang diadakan oleh Kementerian P.P. dan K di tahun 1958. Cerpennya berjudul Nasehat Untuk Anakku mendapat Penghargaan dari Majalah Sastra di tahun 1962.

Perjalanan kehidupannya padat dengan kegiatan seputar seni dan kepenulisan. Beliau pernah menjadi wartawan majalah Aneka hingga menjadi redaktur. Kemudian, bakatnya sebagai sutradara semenjak remaja mengantarkannya menjadi sustradara film. 

Karya-karya Motinggo Busye menunjukkan perjalanan seni sekaligus perjalanan kehidupannya. Beliau pernah memasuki fase menulis novel-novel pop porno demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang lebih baik. Namun, hidayah kemudian datang dari sosok anaknya yang belajar di Pesantren Gontor. Selanjutnya karya-karya sastra Motinggo Busye menjadi lebih religius dan serius. Cerpen Bangku Batu menyabet Juara IV dalam Sayembara Mengarang Cerpen di Ulang Tahun ke-31 Majalah Horison tahun 1997.

Motinggo Busye merupakaan salah satu dari sedikit Penulis Indonesia yang terbilang produktif, lebih dari 200 buku, berupa novel, drama, cerpen, maupun puisi telah dihasilkannya. Karya tersebut juga telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, Korea, dan Cina.

Cerpen terakhirnya berjudul Dua Tengkorak Kepala di muat di Kompas, 13 Juni 1999, ketika beliau jatuh sakit. Pada tanggal 18 Juni 1999, dini hari, Motinggo Busye menghadap yang Kuasa, di Jakarta.


NEWS MOTINGGO
12 Juli 1975
"saya ini suka gembira"

MOTINGGO Bosye, 38 tahun, jauh sebelum terjun ke dunia film, telah menempatkan dirinya sebagai pelopor dalam penulisan cerita hiburan yang hangat, tpi tetap mempertahankan mutu bahasanya. Anak muda sekarang sering menyebut kata indehoy, namun tidak banyak di antara mereka yang tahu bahwa kata itu adalah ciptaan Boesye yang populer lewat novel-novel popnya. Tapi Boesye bukan cuma sibuk menghibur. Ketika masih di Yogyakarta sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, ia dikenal sebagai pelukis, penulis novel, cerita pendek, puisi serta drama yang cukup bernilai sastra. Sambil menulis drama, ia juga aktif di pentas, sebagai sutradara maupun pemain. "Melalui teater inilah saya terfarik kepada film", kata sutradara Boesye yang telah menyelesaikan 7 buah film. Berikut ini adalah wawancara singkat sutradara itu dengan Kepala Desk Film TEMPO, Salim Said Tanya: Film nampaknya lebih menarik anda dari menulis, mengapa? Jawab: Saya merasa film adalah dunia saya. Dalam film saya bertanggungjawab kepada banyak fihak: pada artis, pemilik uang, karyawan, penonton dan keinginan saya sendiri. Menulis? Saya masih, tapi hanya sebagai latihan.

T: Bagaimana anda melihat perbedaan menulis dan membuat film?
J: Sebagai penulis saya lebih merdeka. Saya mempunyai otoritas untuk menulis tentang apa saja yang saya sukai dan mengetik sebanyak kertas yang saya sanggup habiskan. Film jelas lain. Di sini medianya melibatkan banyak orang. Maka di sini faktor menyeleksi lebih memegang peranan penting.

T: Dalam dunia penulisan anda memulai dengan sikap serius, kemudian berakhir dalam karya-karya hiburan. Adakah dalam film juga akan berlaku hal yang sama?
J: Mungkin yang berubah itu bentuknya, tapi pengucapannya saya kira tidak. Dalam hal ini saya seolah-olah mengulangi Usmar Ismail. Ia pernah membuat Krisis, tapi kemudian juga membuat Tiga Dara. Kedila film itu toh bermutu--yang pertama film seni, yang kedua film hiburan--dan laku. Saya kira ini menyangkut soal modal. Jadi menyangkut pula usaha menarik penonton sebanyak mungkin.

T: Dalam keadaan tingkat penonton kita masih seperti ini, adakah anda melihat kemungkinan lahirnya film-film yang bermutu di Indonesia?
J: Bermutu itu bisa saja dengan cerita picisan tapi dengan pengerjaan yang baik. Contoh terbaik adalah Tiga Dara karya Usmar. Kisahnya sederhana, pengerjaannya baik. Film Indonesia sekarang ini umumnya tampil dengan kisah besar tapi kedodoran. Maunya hebat, tapi kemampuan teknis maupun intelektuil belum sampai. Dan ini terjadi ketika Wim Umboh membuat Mama.

T: Bagaimana komentar anda mengenai film Indonesia sekarang ini?
J: FIlm Indonesia sekarang ini--dari dialog, tema maupun akting para pemainnya -- hanya merupakan anak campuran bahkan anak haram. Ia cuma merupakan jiplakan dari film-film asing, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Aktr-aktris kita juga berperan bukan sebagai tokoh Indonesia melainkan salinan dari bintang luar. Ini yang menyebabkan film kita kehilangan watak. Orang tidak bisa lagi melihatnya sebagai film Indonesia.

T: Bagaimana anda melihat hari depan anda sebagai sutradara dalam masyarakat film Indonesia?
J: Dalam dunia karang mengarang, saya menghabiskan 8 tahun sebelum mantap. Di film saya mulai tahun 1971. Baru 4 tahun. Saya harus bersabar sebelum menemukan kepribadian sendiri. Soal seperti kompromi tidak jadi soal setelah kita menemukan kepribadian kita. Tapi saya tidak tinggal menanti datangnya itu semua. Saya harus berjuang, merintis dan terus menerus mencoba meninggalkan jejak saya dalam karya-karya saya.

T: Film-film apakah yang anda ingin bikin pada hari-hari mendatang?
J: Saya ini suka gembira, tapi juga suka kalau orang lain gembira. Dan nampaknya komedi itu memang dunia saya. Tapi kalau saya bikin komedi lagi, saya ingin mengerjakannya lebih sempurna dan tanpa menggunakan pelawak.


FILM-FILM MOTINGGO YANG MERANGSANG
Ada dua nama legendaris yang tak bisa dipisahkan dari lapangan penulisan berahi ini, yaitu Enny Arrow dan Fredy S. Karya-karya mereka berhasil membuat pembaca panas dingin diguyur imajinasi syur. Selain dua nama legendaris tersebut yang terkesan misterius, ada juga seorang sastrawan yang pernah berkecimpung di dunia bacaan pembangkit syahwat, yaitu Motinggo Busye. Jauh sebelum cerpennya yang berjudul “Dua Tengkorak Kepala” diganjar sebagai cerpen terbaik Kompas pada 1999, ia selama dua puluh tahun masyuk menulis kisah-kisah roman berbalut seks.

Sejak 1960-an sampai 1980-an, Motinggo Busye amat produktif menulis cerita-cerita yang digumuli oleh adegan-adegan panas. Hari ini mungkin apa yang telah ditulis olehnya terasa hambar dan tak memantik hasrat seksual. Namun, di masa ketika akses audio dan visul amat langka, rangkaian kalimat yang ia susun bisa bikin jantung berdegup kencang. Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tulis dalam novel berjudul Mbak Retno:

“Retno merengek-rengek manja sekaligus menolak setiap elusan Ramses. Retno ingin sekali memagut Ramses. Gadis dua puluh enam tahun itu selalu teringat nasihat dukun pengantin untuk menolak jika dielus. Tapi nasihat dukun itu lenyap sewaktu Ramses mengecup dadanya, dan Retno merintih, memelintirkan tubuhnya dengan liat dan akhirnya dirangkulnya Ramses. Nasihat dukun pengantin itu hirap lenyap dari kepala gadis dua puluh enam tahun itu. Dalam suatu amukan menerjang dan menggeliat, menggelinjang bermandi keringat. Meronta meringis geram.”

Karya-karya Motinggo Busye yang berbumbu esek-esek laris manis dan karenanya selalu terancam dibajak oleh mereka yang hendak mengeruk untung dengan jalan curang.

Agus Sri Danardana dan Puji Santoso dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007) menyebutkan bahwa novel triloginya yang berjudul Bibi Marsiti, Jatuni, dan Nyonya Maryono yang semuanya terbit tahun 1968 adalah format novel erotis Motinggo Busye yang kemudian dikembangkan menjadi sejumlah karya lain yang serupa, seperti Cross Mama, Tante Maryati, Sri Ayati, Retno Lestari, dan sebagainya.

Sementara itu, menurut Sony Karsono dalam disertasinya yang dipertahankan di The College of Arts and Sciences of Ohio University, yang berjudul “Indonesia’s New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins” (2013), Motinggo Busye mulai menulis novel populer setelah membaca trilogi Studs Lonigan karya pengarang Amerika, James T. Farrell. Ia sangat mengagumi karya itu dan terinspirasi, lalu menulis trilogi Bibi Marsiti, Tante Maryati, dan Retak dari Dalam.


Namun, sebelum format trilogi, Motinggu Busye sebetulnya telah menulis kisah-kisah berbalut seks sejak 1963, di antaranya Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), dan lain-lain.

Beberapa cerita yang didadarkan Motinggo Busye tak terkesan rumit, meski kerap dilatari persoalan hubungan yang berantakan. Simpul-simpul pertemuan orang-orang yang tengah bermasalah itulah yang sering menjadi pintu untuk menghadirkan adegan-adegan aduhai pemicu degup jantung.

Dalam Perempuan Paris (1968) misalnya. Seorang lelaki Indonesia berusia 33 tahun yang telah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak, karena berkonflik dengan istrinya dan keperluan akademik serta keperluan lainnya, bermukim di Paris. Selama tinggal di Paris, lelaki itu beberapa kali bertemu dengan perempuan antah berantah, mempunyai masalah relasi, saling mengenali lalu bercumbu dan bercinta.

Ating nama lelaki Indonesia itu. Sekali waktu ia dikenalkan oleh Henri, kawannya, kepada Nina Papandreou, seorang mahasiswi cantik berayah tentara Jerman yang mati ditembak tentara Jerman. Nina selalu merasa dirinya anak haram. Menurutnya, sekali waktu seorang tentara Nazi yang kesepian mencari penghiburan dan bertemu dengan seorang perempuan yang membutuhkan sepotong roti. Dan perempuan itu adalah ibunya. Maka ia selalu merasa menjadi anak Nazi dan itu haram.

Kekecewaan Nina pada asal asul, dan kegelisahan Ating terhadap hubungannya dengan sang istri dipertemukan dalam sebuah perkenalan. Kedua insan itu lalu memadu kasih. Ating dan Nina yang dalam penggambaran Motinggo Busye sebagai gadis yang tubuhnya montok dan padat serta rambut pirangnya menimbulkan selera, memacu berahi para pembaca, yang terpancing imajinasinya.

“Gemetar telunjuk-telunjukku menyelusupi rambutnya yang pirang. Kuketahui kancing baju atasku dua buah dibukanya, dan jari-jarinya menyelusupi bagai akan menghitung tiap helai bulu dadaku yang bertumbuh lebat dan rajin kuminyaki saban hari dengan mentega. Napasnya berdesah sewaktu bibirnya seakan-akan kuremas dengan keberahian penuh, ibarat kuda jantan yang lepas dari kandang, tanganku menyelusup memasuki blousenya, dan Nina Papandreou merengek dengan napasnya mengalun-ngalun, tetapi kemudian dia tersentak melepaskan pelukannya,” tulisnya.



“’Mari kita menyewa gondola’, katanya, menyeret lenganku,” tambah Motinggo.

Sampai di titik itu, Motinggo Busye telah menghamparkan rasa penasaran pembaca: bagaimana adegan selanjutnya di gondola?

Masih dalam novel yang sama, Motinggo Busye lagi-lagi mempertemukan Ating dengan seorang perempuan yang mempunyai persoalan hubungan dalam keluarga. Alkisah Ating bertemu dengan Myriam Debussy, seorang perempuan yang sudah bersuami tapi kesepian. Gabriel, suami yang telah menikahinya selama enam tahun, ia anggap telah mati sebelum ajal menjemput. Salah satu sebabnya adalah Gabriel impoten sementara Myriam menghendaki anak.

Dalam perjumpaan yang disatukan oleh curahan hati persoalan relasi masing-masing, Ating dan Myriam saling memagut hasrat. Mereka bergumul dalam berahi yang bergelombang.

“Kubenamkan kepala perempuan itu ke dalam dadaku. Kuciumi rambutnya yang coklatjingga itu. Dia menggelepar dalam pelukanku. Perlahan napasku menjalari leher dari sebalik belakang kupingnya. Dia menggelinjang, bibirnya terbuka. Entah apa suara yang menggeletar dari bibirnya itu. Kukunci suara bibirnya seketika itu juga, sehingga dia meronta-ronta, mengamuk bagaikan kuda liar dan menyeretku ke dalam,” tulis Motinggo.

Imajinasi pembaca terus dipacu olehnya.

“Aku tendang pintu kamar itu hingga terbuka. Dan kemudian dia juga menendang pintu itu kembali hingga tertutup, kemudian menguncinya dengan begitu tergesa. Diraihnya leherku, dilemparkannya bantal ke bawah tempat tidur. Aku terseret,” tambahnya.

Pada 1958 ia menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.

Setelah menikah dengan Laksmi Bachtiar, ia pindah meninggalkan Yogyakarta untuk menetap di Jakarta. Di kota inilah arah kepengarangannya berganti dan mulai menulis karya-karya erotis.

“Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes,”


 Sebelum perfilman nasional lesu pada awal 1980-an, dalam catatan Agus Sri Danardana dan Puji Santoso, Motinggo Busye sempat juga terjun ke dunia film, dengan menyutradarai film Cintaku Jauh di Pulau dan Puteri Seorang Jenderal. Dari sinilah kemudian ia mempunyai keinginan untuk kembali menulis karya-karya yang tidak lagi erotis. Kembali ke jalur penulisan sebelumnya.

Hal lain yang mendorong ia meninggalkan cerita-cerita panas adalah karena dikritik anaknya yang belajar di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. Anaknya berpendapat bahwa karya-karya bapaknya yang menonjolkan erotisme dapat meracuni generasi muda.

Maka pada 1984 ia mulai menulis novelet Sanu: Infinita Kembar—sisipan Majalah Horison yang diterbitkan Gunung Agung setahun berikutnya. Setelah itu ia mulai memenangi sejumlah penghargaan sastra, yaitu menjadi juara ke-4 pada sayembara penulisan cerpen majalah Horison tahun 1997 untuk cerpen “Bangku Batu”, masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah Horison untuk cerpen “Lonceng”.

Dalam kondisi sakit, ia masih sempat menulis cerpen “Dua Tengkorak Kepala” dan berhasil menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas pada 1999.

Pada 18 Juni 1999, hari ini atau 19 tahun yang lalu, Motinggo Busye wafat di Jakarta. Sastrawan yang sempat berkubang dalam penulisan kisah-kisah pembangkit berahi itu harus mengakhiri riwayatnya, jejaknya terhampar dalam tiga setapak periode kepengarangan.
 

TAKKAN KULEPASKAN1972MOTINGGO BOESJE
Director
SEMOGA KAU KEMBALI 1976 MOTINGGO BOESJE
Director
BING SLAMET DUKUN PALSU 1973 MOTINGGO BOESJE
Director
SEBELUM USIA 17 1975 MOTINGGO BOESJE
Director
TJINTAKU DJAUH DIPULAU 1972 MOTINGGO BOESJE
Director
BIARKAN MUSIM BERGANTI 1971 MOTINGGO BOESJE
Director
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Director
SEJUTA DUKA IBU 1977 MOTINGGO BOESJE
Director
JALAL KOJAK PALSU 1977 MOTINGGO BOESJE
Director
JALAL KAWIN LAGI 1977 MOTINGGO BOESJE
Director
SI PENDEK DAN SRI PANGGUNG 1960 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
BAHAYA PENYAKIT KELAMIN 1978 MOTINGGO BOESJE
Director
SI RANO 1973 MOTINGGO BOESJE
Director