Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Dr Huyung. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Dr Huyung. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Februari 2011

DR HUYUNG 1950-1951



Dr. Huyung atau Enatsu Heitaro. Dr Huyung atau Hinatsu Eitaro, alias Hue Yong. Ia adalah prajurit Jepang keturunan Korea yang mendapat tugas “menguasai” dunia sandirwara Indonesia semasa kependudukan Jepang. Kelak, setelah kemerdekaan, Huyung menyebarkan pengetahuan teatar dan film, di antaranya kepada Usmar Ismail. Huyung yang kelahiran 1907 itu membuat empat film, terakhir adalah Bunga Rumah Makan pada 1952.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Huyung mendirikan Cine Drama Institut pada 1948 di Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibukota RI. Salah satu pengajarnya adalah Ki Hajar Dewantara. Tapi institut itu tidak tahan lama. Setelah itu, Huyung mendirikan Stichting Hiburan Mataram, tempat belajar dan prakteknya seniman muda.

Dalam kurun waktu yang tak terlalu lama, masyarakat dan pers pun mulai jengkel karena dominannya film hiburan, sementara film berkualitas tidak kebagian tempat. Oleh karenya Dr. Huyung atau Enatsu Heitaro mulai meneriakkan perlunya Undang-undang Perfilman. Sebab pada saat itu organ pemerintah yang berkaitan dengan film hanya Badan Sensor Film.

Menginjak tahun 1954, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail mulai membentuk organisasi Gabungan Producers Film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Producers Film Indonesia dan akhirnya di kemudian hari menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).


ANTARA BUMI DAN LANGIT1950DR HUYUNG
Director
BUNGA RUMAH MAKAN 1951 DR HUYUNG
Director
GADIS OLAHRAGA 1951 DR HUYUNG
Director
KENANGAN MASA 1951 DR HUYUNG
Director

Selasa, 18 Desember 2012

GRACE (Film Pertama Ciuman bibir dan bibir )

GRACE

Ciuman bibir ketemu bibir pertama dalam film Indonesia "
S. Bono dan Grace. Film Indonesia pertama yang menampilkan adegan ciuman. Setelah terganyang gelombang protes, diadakan revisi dan diedarkan dengan judul lain, Frieda, Dr Huyung adalah prajurit Jepang keturunan Korea. Nama Jepangnya Hinatsu Eitaro, sedang nama aslinya Hue Yong. Ia mendapat tugas "menguasai" dunia sandiwara Indonesia semasa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, Huyung menyebarkan pengetahuan teater dan film pada antara lain Usmar Ismail, yang dianggap sebagai bapak perfilman nasional. Lahir tahun 1907, Huyung meninggal di Indonesia tahun 1952, setelah menyelesaikan filmnya keempat, Bunga Rumah Makan.

Dalam film Kedudukan pribumi dan Belanda bagaikan bumi dan langit. Abidin (S. Bono) adalah pribumi yang dilarang bergaul dengn Frieda, gadis Indo. Setelah dipisahkan oleh situasi, Abidin, yang telah berumahtangga, bertemu lagi dengan Frieda. Meski ada benih cinta, tapi mereka berhadapan sebagai musuh. Pertemuan itu membawa tragedi bagi Frieda.


ANTARA BUMI DAN LANGIT1950DR HUYUNG
Actor
CHAIR DE MA CHAIR, LA 2014 DENIS DERCOURT Horror Actor
GADIS OLAHRAGA 1951 DR HUYUNG
Actor
KENANGAN MASA

Kamis, 18 Februari 2010

LIE GIE SAN /ALI BUKHARI 1950-1956

ALI BUKHARI


ANTARA BUMI DAN LANGIT1950DR HUYUNG
Director Of Photography
PULANG 1952 BASUKI EFFENDI
Director Of Photography
KEMBALI KE MASJARAKAT 1954 INOE PERBATASARI
Director Of Photography
BELENGGU MASJARAKAT 1953 D. SURADJIO
Director Of Photography Director
BUNGA RUMAH MAKAN 1951 DR HUYUNG
Director Of Photography
HOUSE, A WIFE AND A SINGING BIRD, A 1956 MIRIAM BUCHER
Director Of Photography
KENANGAN MASA 1951 DR HUYUNG
Director Of Photography

Kamis, 06 Agustus 2020

AGUS MULJONO (1951-1961)

AGUS MULJONO


Bintang Film yang dalam waktu singkat dapat menduduki peranan utama dalam film “Taufan” produksi Ksatrya Dharma Film Coy, tak lain dan tak bukan adalah Agus Muljono, seorang pemuda yang berasal dari Jogjakarta dan mempunyai semangat besar dan berminat dalam lapangan film Indonesia. Memang dalam mencapai cita-citanya seseorang tidak boleh putus asa dan berkecil hati, justru dapat mengatasi persoalan yang demikian. Inilah Agus Muljono dalam waktu pendek dapat menduduki tempat yang baik.

Tidak sedikit para pemain film Indonesia di Kota Jakarta ini yang hidupnya terkatung-katung, oleh karena beberapa faktor yang tak mungkin dihadapinya dengan tenaga dan pikiran zonder bantuan dan uluran tangan dari para penguasa film.  Untuk mendapatkan nama baik sebagai pelaku film, hanyalah dengan ikhtiar dan berusaha ke arah itu. Bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh banyak para pelaku film tetapi buah dan hasilnya tetap tergantung kepada nasib…..

Dalam hal ini, sekolah tinggi tidaklah menjadi syarat mutlak. Tetapi tenaga yang kreatif dan kemauan yang diujudkan dengan kenyataan akan membawanya ke arah kenamaan. Agus Muljono seorang pelawak muda yang menjadi favorit masyarakat yang gemar akan comic, tidak pula menempuh pelajaran tinggi. Akan tetapi toch mempunyai nama baik di kalangan dagelan. Ia hanya menempuh pelajaran di Schakelscool, inipun katanya sudah merupakan keuntungan baginya, karena sejak sekolah biayanya dipikul sendiri. Kesulitan-kesulitan hidup selagi kecil merupakan cambuk jiwanya untuk berbuat sesuatu guna mencapai cita-cita yang membumbung setinggi langit.

Ayahnya telah mendahului selagi masih kanak-kanak, kakaknya yang diharapkan akan dapat membantu dalam memelihara hidupnya, dipecat dari pekerjaannya karena tersangka dalam politik yang benci oleh pemerintah Belanda. Dan tak lama kakaknya inipun meninggal dunia. Mulai saat itulah Agus Muljono yang masih kecil ini belajar hidup sendiri. Justru penderitaan inilah, Agus Muljono menjadi seorang pemuda yang pendiam. Bagaimana juga ia dicetoti oleh ibunya, iapun tak menangis. Sampai ibunyapun ingin mendengarkan bagaimana kalau anaknya, Agus Muljono itu menangis.

Wataknya yang pendiam, ini berlangsung sampai ia tamat belajar. Setelah mengenal masyarakat dan bergaul dengan teman-temannya yang lain yang banyak variasinya, maka Agus Muljono tidak lagi menjadi pemuda yang pendiam. Ia menjadi seorang yang banyak humornya, banyak ceritanya yang lucu,  hingga teman-temannya banyak yang mencintainya. Dan lagi iapun senang tertawa. Sejak kecil sampai dewasa kini, ia selalu hidup atas usahanya sendiri.

Sejak banyak humornya inilah ia rupanya bangkit kebakatannya sebagai badut, pelawak, dagelan, atau comic. Bangun dari kesadarannya, bahwa penderitaan tak perlu dipikirkan dengan mengenangkan kesusahan, berdirilah ia menghibur diri sendiri, diisinya kekosongan hatinya itu dengan kata-kata yang aneh dan mentertawakan, ialah dagelan. Mulailah ia melawak pada zaman pemerintahan Belanda yang dulu. Temannya banyak yang menentang, karena pekerjaan demikian rupanya dianggap kurang pada tempatnya untuk Agus Muljono. Pekerjaan rendah dan hina. Namun meskipun demikian, Agus Muljono tetap meneruskan keciptaannya, comic adalah perbuatannya yang dianggap dapat memberikan isi hati dan cita-citanya.

IA MULAI aktif membantu perayaan di kampung-kampung sekitar Jogja, apabila ada peringatan hari Besar dan sebagainya. Ia mendagel, penonton tertawa terbahak-bahak, perutnya keras. Tidak menerima bayaran ia main sandiwara atau dagelan, hanya melulu sumbangan saja. 17 Maret 1950, berdirilah Himpunan Lelucon KAWAN RAKYAT di mana ia menjadi anggotanya, bersama dengan almarhum D. Ariffin, Widjaj, Hardjomuljo. Di sinilah ia menjumpai partner-nya, yang ajaib dan menjadi sahabat karib. Mulailah ia dikenal oleh kampung-kampung sekitar Jogja, disamping Dagelan Mataram yang telah amat populer itu.

Dalam waktu agresi Belanda yang kedua, di mana kota Jogjakarta diduduki oleh militer Belanda, Agus Muljono keluar kota ikut menggabungkan diri dengan gerilja. Namun sayang tak lama ia tertangkap dan dipenjarakan. Aneh, tak lagi ramai ia. Pemuda yang banyak dagelannya ia menjadi pendiam kembali, tak bersuara,  jiwanya tertekan oleh 4 dinding yang tebal, doanya setiap hari, semoga lekas keluar dari belenggu penjara ini.

Barangkali takut dan tidak suka, kalau disuruhnya mendagel di muka tentara KNIL dan KL. Benar juga politiknya Agus ini.

Setelah penulis ini juga keluar dati tahanan Belanda, dan tiga hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jogjakarta, Agus Muljono tampak sebagai Mantri Klantung, mondar-mandir sepanjang Malioboro, mengukur jalan raya dengan kaki, mencari pekerjaan. Cari kerjaan, tak mungkin. Kalau saat itu bukan pegawai atau militer, tetap susah hidupnya. Tetap penganggur sebagaimana halnya penulis ini. Rumahnya di Tukangan, sekampung dengan Mbak Sur yang kulihat beberapa bulan yang lalu menjadi script-girl ffilm PULANG, produksi PFN.  Dulu masih pelajar Kino Drama Artilier asuhan Dr. Huyung.

Hasratnya besar untuk ikut menjadi pelajar KDA akan tetapi karena untuk menjadi pelajar KDA diperlukan basis sekolahan menengah, maka ia tak dapat diterima. Berulang-ulang usahanya ini di iktiarkan melalui jalan lain-lain, agar dapat ikut main sandiwara asuhan almarhum Dr Huyung. Hal ini pernah pula diajukan oleh Mbak Sur (Kumala Ratih) pada almarhum Dr. Huyung, tetapi sayang juga, tak dapat diterimanya. Meskipun kemahirannya dalam comic telah dipertunjukkan kebakatannya. Akhirnya ia aktif dengan hardjomuljo main sandiwara dengan Himpunan Lelucon “KAWAN RAKYAT”

Kemudian terkacbul juga cita-citanya, setelah berusaha lama untuk menunjukkan kemahirannya dalam mendagel. Selagi Stichting Hiburan Mataram mengadakan pertunjukan di Gedung Senisono, dengan REVUE FANTASIA-nya, maka Agus Muljono dengan kedua temannya, Hardjomuldjo dan almarhum Dalimin Ariffin, ikut meramaikan. Di dalam muncul di atas panggung besar ini ternyata trio ini tidak mengecewakan khalayak. Para penonton tertarik dengan gaya  dan humornya yang tidak menjemukan dan kolot itu. Memang ketiga pelawak muda ini sedang tampak kemahirannya dalam mengeraskan perut penonton.

KEMUDIAN sering terdengar suara mereka itu di Studio RRI Jogjakarta dengan cerita sandiwara yang bersifat comic, dengan menyitir suasana masyarakat. Kejurusan itulah cita-citanya, suatu cara yang tidak menjemukan pendengar radio. Pertama kali main dalam film bersama dengan hardjomuljo pemain comic partner-nya dalam film Perfini “ENAM DJAM DI JOGJA di bawah sutradara Usmar Ismail. Ia bermain sebagai figuran saja dan bukan figuran gagah, tetapi orang yang sedikit ber-comic.

Filmnya yang kedua, EMBUN produksi Perfini juga hanya sebagai figuran. Kasihan ia, perjuangannya di dalam film dimulai dari figuran, tidak seperti bintang film Subono, yang sekaligus memulai dari epranan utama dan mendapat hadiah  film…. Tjium.

Tetapi nyatanya, ALON-ALON KELAKON lambat laun tercapailah. Ia tak sombong. Kalau bertemu kawan lama, kemudian ramai, tetapi dengan wajah yang ingat-ingit….. tampak kasihan. Kini gagah dia. Selagi malam silaturahmi artis ia pakai setelan wol kuning muda, gagah, tetapi dasar orang tak senang gagah-gagahan, ya tetap diam, ternayta dengan nyanyiannya yang diucapkan dalam perayaan malam tersebut dalam nomor anak-anak Pak Kasur. Di Jakarta, KAWAN RAKYAT berganti baju dengan  nama KAWAN RIA, corak dan aliran sama dan Agus Muljono serta Hardjomuljo sebagai pelopornya, sering terdengar nomornya dalam panggung merdeka Studio RRI Jakarta.

Kini ia sudah berhasil dapat memegang peran utama dalam film “TAUFAN” produksi Ksatrya Dharma dengan sutradara Ali Yugo. Ceritanya cocok dengan dia, comic. Jadi giginya yang ompong ini malahan menambah kocaknya film. Pernah ia mengalami keadaan yang lucu. Selagi latihan meyopir becak, datang seorang ibu menawarkan untuk membawa ke pasar Senen. Dengan hati geli, dibawanya ibu itu meluncur ke Pasar Senen, tetapi setengah jalan nafasnya kembang kempis dua kali. Sang ibu diturunkan, ia minta maaf, dan menerangkan bahwa ia sedang latihan, karena dalam memegang peranan di TAUFAN ia sebagai sopir becak. Ibu ketawa geli, ia ketawa……

Demikianlah Agus Muljono, dagelan, comic ompong, yang semakin lama semakin meningkat baik. Kini ia sedang asyik opname dalam film PULANG sayang tidak pegang peranan pertama lagi. Kapan muncul sebagai leading-man lagi, Bung. Tinggalnya di Menteng, tegalan 109 Jakarta. (***)

MEMBURU MENANTU1961AGUS MULJONO
Director
SI KEMBAR 1961 AGUS MULJONO
Director
TAMAN HARAPAN 1957 TAN SING HWAT
Actor
TAUFAN 1952 ALI YUGO
Actor
MELARAT TAPI SEHAT 1954 T.D. TIO JR.
Actor
PANGERAN KUMIS 1961 AGUS MULJONO
Director
ENAM DJAM DI DJOGDJA 1951 USMAR ISMAIL
Actor
MELATI SENDJA1956BACHTIAR SIAGIAN
Actor

Kamis, 03 Februari 2011

ANTARA BUMI DAN LANGIT (FRIEDA) / 1950











Film Indonesia pertama yang menampilkan adegan ciuman. Setelah terganyang gelombang protes, diadakan revisi dan diedarkan dengan judul lain, "Frieda". Dr Huyung adalah prajurit Jepang keturunan Korea. Nama Jepangnya Hinatsu Eitaro, sedang nama aslinya Hue Yong. Ia mendapat tugas "menguasai" dunia sandiwara Indonesia semasa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, Huyung menyebarkan pengetahuan teater dan film pada antara lain Usmar Ismail, yang dianggap sebagai bapak perfilman nasional. Lahir tahun 1907, Huyung meninggal di Indonesia tahun 1952, setelah menyelesaikan filmnya keempat, "Bunga Rumah Makan".

Ada kejutan di dunia perfilman Indonesia dalam film Antara Bumi dan Langit – diproduksi oleh Stichting Hiburan Mataram dan PFN, disutradarai oleh Dr Huyung yang sejatinya bernama Hinatsu Eitaro, yang dulunya pernah menjadi Kepala Jawa Engeki Kyokai -sebuah sandiwara yang terkenal pada masa itu . Skenario ditangani oleh pengarang terkenal Armijn Pane sehingga getar susastra terasa. Namun terjadi kehebohan sebab untuk pertama kali dalam sejarah perfilman Indonesia karena berani menampilkan adegan ciuman antara bintang tenar S Bono yang berciuman dengan Grace! Gelombang protespun membahana.

STICHTING HIBURAN MATARAN
PFN





Minggu, 05 Juli 2020

TITIEN SUMARNI 1951-1956



Setelah ROEKIAH, kini TITIEN SUMARNI

Lahir di Surabaya, Meninggal di Bandung. Melalui Harun Al Rasyid seorang pegawai pada Studio Golden Arrow di perkenalkan dengan Rd. Arifin yang ketika itu akan menggarap sebuah film.Akhirnya Titien diajak untuk main dalam "Seruni Laju" (1951), film pertama yang dibintanginya. Setelah itu menyusul filmnya, antara lain "Gadis Olah Raga" (1951) "Sepanjang Malioboro" (1951), "Dewa Dewi" (1952), "Solo Diwaktu Malam" (1952), "Putri Solo" (1953), "Lewat Djam Malam" (1954) Kian lama bintangnya kian naik.Tahun 1954 dinobatkan sebagai Ratu Layar Perak, lewat angket yang diselenggarakan oleh beberapa majalah, diantaranya Dunia Film dan Kentjana. Ditahun yang sama, Titien mendirikan perusahaan Titien Sumarni Motion Pic. Corp. yang melahirkan beberapa produksi, antara lain "Putri Dari Medan" (1954), "Sampah" (1955), "Saidjah Putri Pantai" (1956), dan lain2.Sejak membintangi filmnya yang terakhir "Djandjiku" (1956), kepopulerannya kian menurun dan menghilang sama sekali, sampai akhir hayatnya.Bintang cemerlang tahun '50-an ini meninggal dunia dalam keadaan miskin.

Titien Sumarni lahir di Surabaya pada masa kolonial Belanda. Ia berdarah Jawa-Sunda. Ayahnya, seorang pembantu wedana di Surabaya, meninggal ketika ia masih berusia tiga tahun dan saat berusia enam tahun, ia pindah ke kampung halaman ibunya, Tasikmalaya.

Beberapa kali mendapatkan karakter perempuan genit. Bahkan, dia tak menampik jika harus beradegan ciuman dengan lawan mainnya.

Semasa kecil, Titin kelewat lincah sampai harus terus digandeng ibunya jika sedang bepergian. “Kalau Ibu memegang tangan, sakitnya seperti tang menjepit,” ujar Titin dalam Rahasia Hidup Titin Sumarni karya Rd. Lingga Wisnu MS. Jika tak dipegang tangannya, dia akan segera lari dari ibunya. Dia juga lebih suka naik sepeda lelaki dari pada sepeda model perempuan. Saat itu, tentu saja belum jamak seorang gadis naik sepeda lelaki.

Saat duduk di bangku SMP di Bandung, pada usia lima belas tahun, Titien mulai belajar berlakon dari pamannya, R. Mustari.Ia kemudian menikah dengan Mustari. Hal ini dilakukan sebagai bentuk balas dendam pada kekasihnya, seorang perwira militer Indonesia, karena berselingkuh dengan istri Mustari. Setelah menikah, Titien berhenti sekolah dan memulai kariernya sebagai aktris, menghibur tentara republik yang sedang berjuang dalam perang kemerdekaan hingga ia bersama suaminya pindah ke Jakarta.

Titien Sumarni mulai tertarik pada industri film tahun 1950 setelah melihat Nana Mayo dalam film Inspektur Rachman. Dengan seizin suaminya, ia masuk industri itu tahun 1951 melalui seorang kenalan, Harun Al-Rasyid, yang bekerja pada perusahaan film Golden Arrow. Harun Al-Rasyid lalu memperkenalkan Titien pada Rd Ariffien, seorang sutradara. Dalam waktu singkat, Titien memperoleh peran dalam film debutnya Seruni Laju, Dalam debut pertama ini, dia memerankan Seruni, dan beradu peran dengan Turino Djunaedi yang membawakan tokoh Herlan. Seruni digambarkan sebagai wanita yang menikah dengan Herlan, namun belum memiliki kematangan jiwa untuk berumah tangga. Lalu diikuti dengan peran dalam film Kino Drama Atelier, Gadis Olahraga (1951), meskipun produksi film tersebut menyebabkan Titien bermasalah dalam hal kontrak.

Setelah meninggalnya Dr. Huyung, manajer dan sutradara Kino Drama Atelier, Titien dikontrak oleh Persari milik Djamaluddin Malik, tapi kemudian pindah ke Bintang Surabaja di bawah pimpinan Fred Young setelah ia mempromosikan rokok dalam sebuah pameran. Tahun 1955 ada rumor bahwa hubungannya dengan Persari mengalami ketegangan, meskipun ia kemudian berdamai dengan Djamaluddin. Akan tetapi, menurut Rd. Lingga Wisjnu dalam bukunya Rahasia Hidup R.A. Titin Sumarni (1955), Titien dicoret dari Persari lantaran bermain sandiwara yang disponsori rokok keretek. Meski akhirnya, jasa Titien kembali dipakai Persari beberapa tahun kemudian.

Produksi pertama Titien bersama Bintang Surabaja, Putri Solo (1953), sukses besar, memecahkan rekor penghasilan film tertinggi di Indonesia. Surat-surat dari penggemarnya bertambah dari 20-30 surat per hari menjadi ratusan surat. Beberapa waktu setelah ia meraih sukses itu, ia bercerai dengan Mustari dan menikah dengan Saerang, seorang pengusaha kaya dari Sulawesi Utara.

Hingga 1954, Titien Sumarni menjadi salah seorang aktris Indonesia paling populer di awal 1950-an. Ia dianggap sebagai salah satu aktris Indonesia paling cantik. Dunia Film menggambarkan ia sebagai Marilyn Monroe Indonesia. Diberitakan pula bahwa ia menjadi aktris favorit Presiden Soekarno. Titien dianggap sebagai "Ratu Layar Perak" berdasarkan angket yang dilakukan oleh beberapa majalah, termasuk Kentjana dan Dunia Film, tahun 1954.

Tahun 1954, Titien mendirikan perusahaan film sendiri, Titien Sumarni Motion Pictures. Daripada membangun studio sendiri, Titien memilih untuk menggunakan studio milik Perfini, perusahaan film Usmar Ismail, tanpa membayar sedikit pun. Perfini menganggap sewa fasilitas mereka sebagai pembayaran utang mereka pada Mustari yang timbul saat memproduksi Krisis (1953).

Titien Sumarni Motion Pictures memproduksi lima film. Film pertama, Putri dari Medan, dibintangi sendiri oleh Titien sebagai wanita tituler dari Medan. Setelah memiliki seorang putra bernama Sjarif Tommy, Titien beristirahat dari dunia peran. Meskipun demikian, perusahaannya memproduksi dua film selama Titien istirahat: Mertua Sinting dan Tengah Malam. Dua film terakhir, Sampah dan Saidjah Putri Pantai, tahun 1955 dan 1956, kembali dibintangi oleh Titien.

Film terakhir Titien adalah Djandjiku yang dibuat tahun 1956. Sejak itu, kepopulerannya menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Ia meninggal dalam keadaan miskin di Bandung, Jawa Barat, pada 15 Mei 1966. Pada saat itu, diberitakan bahwa ia hidup sendiri di sebuah rumah kecil milik muncikari dekat Stasiun Bandung. Ia menderita penyakit infeksi paru-paru. Hidup sangat melarat dan tidak memiliki biaya untuk berobat.

Terbaring tak berdaya dia mengandalkan belas kasihan orang.

Dulu sebagai aktris terkenal dengan kekayaannya, mobil lebih dari satu, beberapa bangunan rumah, tapi sesudahnya dia hanya memiliki beberapa lembar pakaian yang sudah lusuh.

Penyakit yang sudah dideritanya bertahun-tahun.
Dari artis tercantik Indonesia, Titin Sumarni meninggal dalam kemiskinan yang sangat. Dia meninggal 15 Mei 1966 dalam usia sangat muda 35 tahun.

Lingga Wisjnu dalam pengantar bukunya menulis, “dan ia pula menjadi bintang pertama dan hendaknya bintang terakhir kita yang diracun orang dengki dan jahil, dengan niat menghabiskan nyawanya.”

Baca Juga


                                                               Titien bersama Suaminya Mustari



ANTARA TUGAS DAN TJINTA           1954BACHTIAR EFFENDY
Actor
SEDARAH SEDAGING                         1954CHAIDAR DJAFAR
Actor
DEWI DAN PEMILIHAN UMUM1954RATNA ASMARA
Actor
KONDE TJIODA 1954 RD ARIFFIEN
Actor
SENJUM DERITA 1955 SIDIK PRAMOMO
Actor
ASAM DIGUNUNG GARAM DILAUT 1953 REMPO URIP
Actor
DJANDJIKU 1956 B.K. RAJ
Actor
LAGU KENANGAN 1953 L. INATA
Actor
APA SALAHKU 1952

Actor
MAIN-MAIN DJADI SUNGGUHAN 1951 L. INATA
Actor
PAHIT-PAHIT MANIS 1952 L. INATA
Actor
SAMPAH 1955 MOH SAID HJ
Actor
TERKABUL 1952 L. INATA
Actor
PERKASA ALAM 1954 M. ARIEF
Actor
SI MIENTJE 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
GARA-GARA HADIAH 1953

Actor
KASIH SAJANG 1954 L. INATA
Actor
SAIDJAH PUTRI PANTAI 1956 MOH SAID HJ
Actor
SERUNI LAJU 1951

Actor
GADIS OLAHRAGA 1951 DR HUYUNG
Actor
KLENTING KUNING 1954

Actor
DUNIA GILA 1951 MOH SAID HJ
Actor
SATRIA DESA 1952 HU
Actor
PUTRI SOLO 1953 FRED YOUNG
Actor
SEPANDJANG MALIOBORO 1951 H. ASBY
Actor
PUTRI DARI MEDAN 1954 D. DJAJAKUSUMA
Actor
AJAH KIKIR 1953 HU
Actor
KENANGAN MASA 1951 DR HUYUNG
Actor
LEWAT DJAM MALAM 1954 USMAR ISMAIL
Actor
PENGORBANAN

Selasa, 15 Februari 2011

Sejarah Festival Film Indonesia

Sejarah Festival Film Indonesia
KERDEKAAN memang membawa berkah. Tapi Proklamasi 1945 juga me”lahir”kan revolusi fisik, di kala tergonjang-ganjing hingga 1949. Tidak sedikit yang hijrah ke ibu kota perjuangan, Yogyakarta, meninggalkan Jakarta yang di”kuasai” lagi oleh (bekas) penjajah Belanda. Termasuk para seniman muda yang kemudian jadi tokoh perfilman nasional, seperti Usmar, D. Djajakusuma (1918-1987), Surjosoemanto (1918-1971), dll. Mereka belajar (teori) tentang film dari para senior. Antara lain Andjar Asmara (1902-1961), R.M. Soetarto (1914-2001) dan DR. Huyung

(1907-1952).
Sementara Djamal pada 1947 mengumpulkan pemain 2 rombongan sandiwara miliknya, masing-masing Pantjawarna (dari Solo) pimpinan M. Budhrasa (1901-1977) dan Bintang Timur (dari Yogya) yang dipimpin Darussalam (1920-1993). Pertemuan di Solo itu mengeluarkan keputusan terbentuknya badan usaha Firma Perseroan Artis Indonesia (PERSARI), yang tujuan jangka panjangnya adalah mendirikan sebuah perusahaan film. Djamal telah berpikir “jauh ke depan”, PERSARI berdiri pada 1951.

Di masa sebelum kemerdekaan, terdapat 3 perusahaan film Cina, yaitu Tan Khoen Yauw dan adiknya Tan Khoen Hian (TAN’s Film), Wong Bersaudara dan Java Industrial Film (JIF) yang dikelola Teng Chun bersama adik-adiknya. Sempat menikmati “masa panen” sehabis sukses Terang Boelan pada 1938.

• 1937 - 2 film
• 1938 - 3 film
• 1939 - 5 film
• 1940 - 14 film
• 1941 - 30 film
• 1942 - 3 film

Anjloknya produksi 1942, yang hanya sepersepuluh dibanding 1941, adalah disebabkan menyerahnya Belanda kepada Jepang (8 Maret 1942). Yang pertama dilakukan Jepang adalah menyita peralatan perusahaan film swasta, dan melarang swasta membikin film, cerita maupun dokumenter. Jepang lebih banyak membikin film non-cerita yang bersifat propaganda/penerangan. Beberapa film cerita juga dibikin, tapi melulu berisi propaganda (Berdjoang/1943, Ke Seberang/1944).

Di masa pendudukan Jepang, cuma Tan Bersaudara yang tetap di bidang film, sebab kedua kakak-adik itu adalah pengusaha dua bioskop di Jakarta yang bernama sama, Rialto (di Senen dan Tanah Abang). Teng Chun bikin rombongan sandiwara Djantoeng Hati, tapi tidak lama. Sedangkan Wong Bersaudara dagang kecap dan limun.

Pada 1948 Wong dan Tan bergabung dalam Tan & Wong Bros. dengan produksi pertamanya Airmata Mengalir di Tjitarum, yang menampilkan Sofia (Sofia WD, 1925-1986). Teng Chun, bekerja sama dengan teman sekolahnya Fred Young (1900-1977) bikin perusahaan baru, Bintang Surabaja, pada 1949. (Nama itu semula nama rombongan sandiwara yang dikelola Fred dari 1941 hingga 1948).

Dengan JIF-nya Teng Chun telah coba membangun usaha film sebagai industri. Namun Bintang Surabaja tak bertahan lama, tutup pada 1962, seiring lesunya produksi film dalam negeri. Sementara itu PERSARI muncul sebagai kekuatan baru. Djamal mendirikan kompleks studio yang luas di Polonia Jakarta Timur. Studio dibangun Djamal pada 1952, setahun sesudah berdirinya PERSARI. Juga mengikat sejumlah bintang yang semula adalah anggota rombongan Pantjawarna dan Bintang Timur.

Tindakan serba berani nyaris selalu muncul dari Djamal. “Big Boss” Persari itulah yang pada akhir 1954 melontarkan gagasan penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang pertama, Maret 1955. Dengan salah satu maksudnya adalah menyeleksi film wakil Indonesia ke Festival Film Asia (Tenggara) di Singapura, Mei 1955. Sebagaimana disampaikan panitia, sehabis rapat pada 2 Pebruari 1955 :

1. sebagai pendorong bagi perbaikan mutu/tehnik film Indonesia.
2. Membikin penonton-penonton Indonesia (ber) film-minded terhadap filmnya sendiri.
3. Sebagai pemilihan terhadap film-film Indonesia yang akan dikirimkan ke Festival Film Asia Tenggara, Mei 1955, di Singapura.
4. Merapatkan hubungan kebudayaan serta silaturahmi di antara bangsa melalui film, di Asia khususnya dan di dunia umumnya.

Panitia inti adalah Djamal (Ketua), Usmar (wakil ketua), Mansur Bogok (Sekretaris) dan The Teng Hoei (bendahara). Diperkuat oleh direksi bioskop-bioskop Metropole/Megaria (Jakarta), Broadway (Surabaya), ODB (Medan), International (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin) dan Capitol (Makasar).

Kepada pemenang aktor/aktris utama dan aktor/aktris pembantu diutus menghadiri Festival Film Asia (Tenggara), yang ongkos p.p. maupun biaya-biaya lain selama di Singapura, semua ditanggung oleh panitia.

Tapi nama hadiah banyak sekali yang diajukan/disarankan, dari hadiah “Roekiah”, “Cornel Simanjuntak”, “S. Turur”, “Ronggowarsito” hingga “Dr. Huyung.” Kemudian diputuskan nama yang panjang, yaitu hadiah Festival Film Indonesia yang pertama, karena tak satupun dari calon-calon nama itu yang disepakati.

Dalam majalah Aneka No. 5 Th. V, 10 April 1955 disebutkan bahwa panitia diperkuat/disempurnakan: Djamal (Ketua), R.M. Soetarto (wakil ketua), Mansur Bogok (sekretaris), The Teng Hoei (bendahara), Usmar Ismail (formatur dewan juri), M. Panji Anom (dekorasi), The Teng Hoei (urusan booking), M. Bogok/Ong Soen Hin (Publicity) dan D. Djajakusuma (urusan hadiah).

Sedangkan Dewan Juri terdiri dari Prof.dr. Bahder Djohan (ketua kehormatan), Sitor Situmorang (wakil ketua), Oei Hoay Tjiang (sekretaris) dengan para anggota dr. Rusmali, Basuki Resobowo, Andjar Asmara, Oei Soen Tjan, Jusuf Ganda, Armijn Pane, T. Sjahril, Lodge Cunningham, Kay Mander, Sudjatmoko dan RAJ Sudjasmin.

Festival diikuti 12 film: Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat Djam Malam (Perfini/Persari), Tarmina (Persari), Antara Tugas dan Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong & Surat (GAF Sang Saka), Djakarta di Waktu Malam (Tan & Wong), Burung Merpati (Canary), Rela (Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia) dan Belenggu Masjarakat (Raksi Seni).

Tujuh di antara film-film itu diusahakan pemutarannya serentak di 7 kota:
Jakarta (Metropole dan Cathay), Medan (Olympia), Palembang (International), Surabaya (Broadway), Makasar (Capitol) dan Banjarmasin (Kalimantan).

Pembukaan festival (di Jakarta) dimeriahkan pawai artis. Nyaris semua bintang sedia ikut. Antara lain yang ketika itu sedang popular: Rd. Mochtar, Netty Herawati, AN Alcaff, Ellya (Rosa), Ermina Zainah, Sofia Waldy (Sofia WD), Rd. Sukarno (Rendra Karno), Amran S. Mouna, Turino Djunaidi, A. Hamid Arif, S. Poniman, Nurnaningsih, Rd. Ismail, Nurhasanah, Risa Umami, Lies Noor, Mimi Mariani, Djuriah (Karno), Fifi Young, Salmah, Bambang Hermanto, Chatir Haro, S.A. Rosa, dll.

Pawai dimulai dari Gedung Olahraga (depan kantor Gubernur Jakarta-tapi sekarang telah jadi bagian dari lapangan Monas), Merdeka Selatan, Merdeka Barat, Segara (Veteran) III, Pecenongan, Krekot, Gunung Sahari/Cathay (kini pasar swalayan), Gunung Sahari/Senen, Salemba, Jalan RSCM, Metropole, Cikini, Merdeka Selatan, Gedung Olahraga. Pawai diadakan pada 30 Maret 1955, dimulai pukul 17.00. Pawai dilepas oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Prof. Moh. Yamin, SH.

Kemeriahan itu berlanjut dengan pemutaran film-film (pilihan) di Metropole dan Cathay. Malam pembukaan di Metropole dibuka resmi oleh Menteri Penerangan, dr. F.L. Tobing. Kembali Metropole menunjukkan rasa kebangsaan setelah pada 1954 berani memutar KRISIS (yang ternyata laris hingga 5 minggu) padahal terikat importir asing (MGM/Amerika). Di bioskop itu pula berlangsung kongres yang melahirkan persatuan bioskop Indonesia, 10 April 1955.

Penutupan/pengumuman pemenang festival menimbulkan suara pro dan kontra. Disebabkan terpilihnya juara-bersama untuk aktor utama AN Alcaff (Lewat Djam Malam) dan A. Hadi (Tarmina); aktris utama Dhalia (Lewat Djam Malam) dan Fifi Young (Tarmina); serta aktor pembantu Bambang Hermanto dan Awaludin (bintang Persari) dalamLewat Djam Malam.

Ada yang menyambut hasil festival sebagai kemenangan Perfini. Lalu ada yang menulis bahwa penulis itu pro Perfini. Sebaliknya si penyanggah itu kemudian dituding pro Persari. Tentu tidak lepas dari peran Djamal, yang tidak cuma jadi penggagas, tapi sekaligus men”cukongi” festival. Terlihat juga dari direbutnya gelar sutradara terbaik oleh Lilik Sudjio (Tarmina), bukan oleh Usmar (Lewat Djam Malam).

Lepas dari itu terselenggaranya festival juga dimungkinkan oleh kondisi perfilman Indonesia yang memang sedang “lancar”, produksi naik dari tahun ke tahun:
• 1949 - 8 film
• 1950 - 23 film
• 1951 - 40 film
• 1952 - 50 film
• 1953 - 41 film
• 1954 - 60 film
• 1955 - 65 film

Efek festival, yang dimaksud bersifat tahunan, pada 10 Maret 1956 lahir Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), disusul berdirinya (secara resmi) PPFI yang dipimpin Djamaludin Malik pada 16 Juli 1956. Tapi, pada 1956tidak ada festival. Kondisi film Indonesia mulai goyah, produksi 1956 (36 film) turun dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Setelah kongres, para artis langsung ber”demo” ke presiden Sukarno. Mereka diterima di Istana. Wakil artis adalah Rd. Sukarno (Rendra Karno). “Aksi” itu didukung PPFI, menunjukkan bahwa kepentingan artis dan “boss” itu sama. Sama-sama ter”gencet” film impor (di bioskop), baik yang dari Hollywood/Barat maupun Malaya/Malaysia dan India.

Gerakan “protes” artis itu seperti tak meninggalkan bekas sama sekali. Maka, kembali Djamal bertindak berani: sebagai ketua (baru) PPFI, dia umumkan “tutup studio”, mulai 19 Maret 1957. Artinya stop produksi! Pernyataan para produser itu didukung artis. Lagi-lagi terlihat bahwa produser dan artis punya kepentingan yang sama, ingin “film Indonesia jadi tuan rumah di negeri sendiri.”

Ternyata berhasil membikin pemerintah dan parlemen (DPR) terkejut. Kenapa para artis langsung menghadap presiden Sukarno, dan mengapa produser perlu “mogok”?. Karena hingga saat itu urusan film ditangani oleh berbagai Kementerian/Departemen. Pada 1950-an itu urusan pengimporan bahan baku dan peralatan di bawah Kementrian Perdagangan, urusan film impor di bawah Perdagangan/Keuangan, sensor dibawah Pendidikan & Kebudayaan, bioskop dibawah Dalam Negeri, dan PFN dibawah Penerangan. (Peresmian pawai pada FFI 1955 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan malam pertama festival diresmikan Menteri Penerangan).

Akhirnya pemerintah menyetujui untuk mengurangi/membatasi impor film India pada khususnya, dan penjatahan (quota) film impor secara umum. Namun pelaksanaan peraturan itu baru terjadi berbulan-bulan kemudian, sehingga importir film India sempat “menimbun”. Padahal PPFI segera menghentikan “pemogokan”nya pada 26 April 1957.

Sementara itu pihak kiri/PKI memancing di air keruh. Djamal dan Usmar dikenal pula sebagai tokoh-poltik, mereka pengurus Nahdatul Ulama (NU). Hal itu membikin PKI punya alas an untuk melepaskan peluru, aksi “tutup studio” PPFI dianggap tidak tepat alasannya, karena (menurut kaum komunis) yang merusak film Indonesia adalah produksi Hollywood (Amerika yang di-cap imperialis/neo-kolonialis).

Padahal film (dari) Barat itu sulit digoyang dari bioskop “atas” di kota-kota besar. Tapi di bioskop kelas dua/bioskop rakyat, film Indonesia terengah-engah di”keroyok” film Malaya/Malaysia dan India. Tak sedikit produser Indonesia yang ikut-ikutan “menyanyi dan menari” ala Malaya/India.

Bahkan Usmar/Perfini coba berkompromi, bikin film musikal Tiga Dara (1956). Film hiburan yang (tetap) bermutu itu ternyata laris. Tapi kemudian Perfini kembali ke “jalur”, membuat Pedjuang (1960) dengan prestasi best actor untuk Bambang Hermanto (1925-1991) di festival internasional Moskwa tahun 1961. Merupakan piala pertama yang digondol pemain Indonesia di ajang internasional.

“Rame-rame” yang dipicu PKI bikin tak terselenggaranya festival pada 1956 dan 1957 maupun 1958 dan 1959. Lebih-lebih si pendorong festival, Djamal dikenai tahanan rumah (masalah politik) pada 1957, tanpa diadili hingga 2 tahun kemudian. Biar situasi produksi memprihatinkan

• 1956 - 36 film
• 1957 - 21 film
• 1958 - 16 film

Namun Djamal justru melakukan “lompatan”, bikin festival pada 21-26 Pebruari tahun 1960. Golongan kiri mulai “masuk”, karya orang “mereka” TURANG terpilih sebagai film terbaik. Formatur juri Usmar dan Asrul Sani menghasilkan dewan juri Ny. Utami Surjadarma, dr. Rusmali, Sitor Situmorang, Pak Said dan Kotot Sukardi. Hasil festival dikirim ke Festival Asia (5-9 April) 1960 di Tokyo, Suzzanna terpilih sebagai aktris cilik terbaik dalam karya Usmar Asrama Dara.

• Film Center
• Penghargaan
• Kegiatan
• Komunitas

Perfilman Nasional dari Masa ke Masa (2)
Ketika Rakyat Indonesia Perlu Hiburan
Oleh Hardo Sukoyo

Minggu, 27 November 2005
Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto, lahir beberapa kebijakan perfilman yang dilakukan tujuh Menpen, yaitu; B.M. Diah (1967-1971), Boedihardjo (1971- 1975), Mashuri (1975 - 1978), Ali Moertopo (1978 - 1983), H. Harmoko (1983-1996), Hartono (1996 - 1997), dan Alwi Dahlan (1997 - 1998).

Untuk kepentingan POLEKSOSBUD saat itu, Menpen B.M. Diah (1967-1971) menempuh kebijakan di bidang politik, agar gedung bioskop tidak dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonseia (PKI) dalam melakukan agitasi. Di bidang ekonomi, dengan inflasi 600% (masuk buku Guiness Book Of Records), kegiatan produksi film jadi tidak menguntungkan, produksi berkurang. Karena itu kebutuhan film di Indonesia terus ditunjang dengan keberadaan film impor. Di bidang sosial budaya, agar rakyat Indonesia dapat melepaskan diri dari ketegangan, perlu segera diberi hiburan. Karena itu perlu diadakan pemutaran film di gedung-gedung bioskop di Indonesia.

Guna melaksanakan kebijakan memanfaatkan film impor untuk membantu tumbuhnya kembali film Indonesia, dikeluarkanlah SK Menpen No.71 tahun 1967; yang isinya antara lain; Memungut "sumbangan film impor untuk rehabilitasi film nasional", dengan ketentuan wajib setor Rp. 250.000,- untuk setiap judul film yang diimpor, dengan hanya memasukkan 2 copy film.

Pungutan itu disebut saham produksi atau dikenal dengan nama Dana SK 71 yang dikelola Yayasan Dana Film. Dan dana yang terkumpul melalui mekanisme Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), digunakan untuk memproduksi film Indonsia percontohan.

Dampak negatif dari kebijakan membuka kran impor tentu saja bertambahnya jumlah importir dan itu mengakibatkan harga film impor mahal. Dampak positifnya, jumlah gedung bioskop dan pertunjukan film bertambah di. Rakyat dapat menikmati hiburan film dengan harga murah. Kehidupan malam di sekitar bioskop menjadi marak, dan menghidupkan usaha kecil di sekitar gedung bioskop. Dihapuskannya jam malam, sehingga menimbulkan rasa aman pada masyarakat secara luas.

Di era Menpen Boediardjo (1971-1975) di bidang impor film ada dua kebijakan. Yaitu, ditetapkannya "Quota film impor" setiap tahunnya, yang membatasi jumlah film yang diimpor, tapi mengijinkan penambahan jumlah copy per judul dari 2 copy menjadi 4 copy. Dan dibentuknya Badan Koordinasi Impor Film (BKIF) sebanyak 3 buah yaitu: kelompok film Eropa Amerika, Mandarin, dan film Asia non Mandarin.

Di bidang produksi film dibuat 2 kebijakan. Yaitu, membubarkan Dewan Produksi Film Nasinal (DPFN), karena film-film percontohan yang dibuat memakan biaya banyak, namun tidak bagus dalam kualitas. Menetapkan SK Menpen tentang modifikasi dana SK 71. Yaitu, dimulainya penggunaan dana SK.71 untuk kredit produksi film, dengan ketentuan besar kredit separuh biaya produksi, maksimal Rp.7.500.000 per judul.

Dampak positif kebijakan Menpen Boediardjo adalah; adanya peluang lebih besar bagi pemasaran film Indonesia, dan memungkinkan produksi film Indonesia bertambah jumlahnya. Mengurangi jumlah importir film secara bertahap dan alamiah. Mengurangi persaingan yang tidak sehat, dan menghilangkan hal-hal negatif lainnya yang sebelumnya sering terjadi.

Dampak negatifnya, peningkatan jumlah produksi tidak diikuti peningkatan kualitas dan jumlah penonton. Akibatnya terjadilah kredit macet. Banyaknya kredit macet mengakibatkan dana tidak dapat bergulir untuk produksi film berikutnya. Effektivitas kebijakan Menpen Boediardjo pun dipertanyakan.

Kebijakan Menpen Mashuri (1975-1978) di bidang film impor diantaranya: Menghentikan ketentuan "wajib setor seham produksi" dan menghentikan dengan ketentuan "wajib produksi" untuk para importir film. Yaitu memasukkan 5 judul film dari luar negeri, importir harus terlebih dahulu memproduksi 1 judul film Indonesia.

Tahun berikutnya ketentuan "wajib produksi" diperberat, yakni 1 : 3 dan tetap membatasi jumlah film impor melalui ketentuan quota setiap tahunnya. Kemudian, membubarkan ketiga BKIF dan membentuk 4 buah Konsorsium film impor yaitu, Eropa Amerika I, Eropa Amerika II, Mandarin, dan Asia non Mandarin.

Kebijakan di bidang film Indonesia adalah diterbitkannya SK Tiga Menteri (Menpen, Mendagri, dan Mendikbud) tentang Wajib putar dan Wajib edar film Indonesia. Serta melikuidasi Yayasan Film, karena dihapuskannya wajib setor seham produksi. Sedangkan Dewan Film tidak dibubarkan, tetapi juga tidak diaktifkan.

Dampak negatif kebijakan Menpen Mashuri adalah, sebagian besar film diproduksi secara terburu-buru dan terkesan asal jadi, karena SDM dan peralatan produksi film yang tidak memadai, serta mengejar waktu agar dapat segera mengimpor film. Peningkatan jumlah produksi yang sangat besar membuat sesama film Indonesia berebut tempat pemutaran film, padahal bisokop masih lebih senang memutar film impor.

Sementara dampak positif dari kebijakan itu adalah, "wajib produksi" berhasil menaikkan jumlah produksi film Indonesia terbanyak selama Indonesia merdeka, yaitu 114 judul dalam tahun 1977. Munculnya banyak kesempatan kerja di bidang perfilman serta melahirkan tokoh-tokoh sineas yanag memiliki kualitas seperti, Wim Umboh, Teguh Karya, Wahyu Sihombing dll.

Menpen Ali Moertopo (1978-1983) yang kebijakannya menjadikan film Indonesia harus bersifat cultural edukatif itu, membubarkan keempat konsorsium Film Impor dan membentuk 3 asosiasi importir film yaitu. Asosiasi importir film Mandarin, Asosiasi importir film Asia non Mandarin, dan Asosiasi importir film Eropa Amerika.

Menpen Ali Moertopo juga menghapuskan ketentuan wajib produksi oleh importir film dan tetap mempertahankan ketentuan quota film impor untuk setiap tahunnya. Mengenakan pungutan untuk setiap judul film impor dengan nama "Dana Sertifikat Produksi" Rp. 2.500.000 perjudul. Sementara Dewan Film Nasioanal menyusun Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional dengan konseptornya Drs. Asrul Sani. Lembaga itu dimaksudkan sebagai sebuah landasan pembinaan dan pengembangan perfilman yang terpadu dan berkesinambungan.

Kebijakan Menpen Ali Moertopo itu pun selain berdampak positif juga berdampak negatif. Dampak negatif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya, para importir tidak lagi wajib memproduksi film Indonesia. Para importir film yang dapat menjamin supply film yang pasti dan berkualitas baik serta dapat menarik penonton ke bioskop, secara bertahap mulai mengendalikan para pengusaha bioskop. Gedung-gedung bioskop di kota-kota besar mulai diambil alih atau dibangun oleh importir film. Para produser film Indonesia semakin rendah daya saingnya menghadapi para importir film terutama dalam memperoleh waktu dan tempat di bioskop yang baik untuk pemutaran film-film produksi mereka.

Adapun dampak positif kebijakan Menpen Ali Moertopo di antaranya adalah secara drastis menurunkan hampir separuh jumlah importir film yang ada. Terkumpulnya "Dana Sertifikat Produksi" dari 3 Asosiasi importir film; yang selain untuk membiayai produksi film Indonesia juga untuk meningkatkan aprsiasi film Indonesia melalui penyelenggaraan Festival Film Indonesia.
* Penulis, wartawan senior di Jakarta.

Kamis, 10 Februari 2011

USMAR ISMAIL 1949-1970


USMAR ISMAIL
Film Director
Nama :Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh
Lahir :Bukit Tinggi, Sumatera Barat 20 Maret 1921
Wafat :Jakarta, 2 Januari 1971

Pendidikan :
HIS, MULO-B, AMS-A II (Barat Klasik) 1941,
Jurusan Film Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat (BA-1953)

Karya :
“Puntung Berasap”(puisi), Sedih Dan Gembira dan Tjitra”(1949),
“Liburan Seniman”(1965),
“Darah Dan Doa dan Enam Djam di Jogya”(1950),
“Dosa Tak Berampun”(1951), “Terimalah Laguku”(1952), “Kafedo”dan “Krisis”(1953),
“Lewat Jam Malam”(1954),
“Tiga Buronan”(1957), “
Jendral Kancil”(1958), “
Asmara Dara”dan “Pejuang”(1959),
“Anak Perawan Disarang Penyamun”(1962).


Karier :
Ketua PWI (1947)
Ketua PPFI (1954-1965),
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia), Usmar Ismail, dikenal sebagai seniman serba bisa yang punya nama besar pada zamannya. Usmar adalah penyair, dramawan, wartawan, sutradara, dan pembuat film terkemuka Indonesia. Bapak perfilman Indonesia ini mewariskan karya-karya dalam bidang seni dan budaya yang masih bisa dinikmati hingga saat ini. Ia adalah sosok pejuang multidimensional yang penuh warna.

Kepeloporannya dalam perfilman Indonesia ditulis oleh Tatiek Malyati, sebagai berikut : “Saya kira dia pelopor pada zaman itu. Sebelumnya belum ada film-film yang bisa memberikan cerminan dari masyarakat, masalah-masalah yang ada dimasyarakat”. Sementara Chalid Arifin, dosen film di IKJ, menambahkan : “Ciri film Usmar itu linier, tidak berdasarkan urutan waktu dan terpecah-pecah. Ada beberapa kejadian yang semula lepas-lepas tetapi kemudian kumpul menjadi satu. Itu luar biasa, sampai sekarang mungkin nggak ada film Indonesia seperti itu”.

Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Usia tujuh tahun Usmar sudah pandai mengaji. Setamat HIS dan Tawalib di Batusangkar bungsu dari enam bersaudara ini melanjutkan sekolah ke MULO di Padang Panjang. Kemudian Usmar yang pandai menggambar bersama dengan sahabatnya Rosihan Anwar merantau ke Jawa. Di Yogyakarta Usmar melanjutkan ke AMS-A II jurusan Klasik Timur. Masa sekolah Usmar Ismail yang indah di Yogyakarta terganggu oleh masuknya balatentara Dai Nippon ke Indonesia. Dengan Mengantongi ijazah darurat Usmar pergi ke Jakarta dan tinggal dengan kakaknya, Dr. Abu Hanifah. Ia kemudian bekerja di kantor pusat kebudayaan dan aktif mengembangkan bakatnya menulis cerpen, syair, dan naskah drama. Menutur Asrul Sani, dalam pengantar buku Usmar Ismail Mengupas Film, sebagai penyair ia merupakan generasi penutup yang menulis puisi dengan gaya Pujangga Baru.



AWAL
Pada tahun 1943, Usmar bersama Rosihan Anwar dan Abu Hanifah mendirikan perkumpulan sandiwara amatir Maya. Diperkumpulan sandiwara itu Usmar yang menikahi Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi dan rekan kerjanya. Menurut Nano Riantiarno, sutradara Teater Koma, apa yang diproduksi Maya boleh dibilang sebagai cikal-bakal teater modern Indonesia. Pada awal revolusi Usmar Ismail memasuki dinas ketentaraan dan aktif di bidang kewartawanan. Bersama dengan Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar dan kawannya mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika para pemimpin Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta Usmar ikut serta. Di Yogya ia mendirikan harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena. Pada tahun 1947 Usmar yang tetap aktif berkesenian terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.

Usmar pada saat pendudukan Jepang.
Tahun 1946, pemerintah RI pindah ke Yogjakarta, karena dinilai Jakarta tidak aman karena dikuasi Belanda. Mereka yang pro Republik akan mengungsi keluar Jakarta yaitu Yogjakarta mereka di sebut mengungsi ke pedalaman, yang disebut kaum Noon, Non Kooperatif. Mereka ikut pemerintah RI pindah ke Yogjakarta, juga pusat kebudayaan yang berisi Usmar Ismail, Suryo Sumanto, D.Djajakusuma, Gajus Siagian, dan Hamid T, Djamil. Di luar itu bergabung juga penyair muda Asrul Sani. Mereka di rekuit oleh Zulkiffli Lubis, bagian inteligen Propaganda. Usmar Ismail menjadi Mayor TNI, sedangkan yang lain berpangkat Kapten dan Letnan. Mereka mendirikan koran Patriot 1947. Usmar Ismail terpilih menjadi ketua umum PWI. Sedang Asrul Sani di kirim Kol, Lubis ke Jakarta dan bergabung dengan pasukan 0001, diwilayah yang dikuasi Belanda. Tugasnya untuk membantu dan menyiapkan untuk pasukan Indonesia yang menyegrap dan menyusup ke Belanda. Tugasnya mirip dengan mata-mata yang menganaisa pergerakan Belanda.

Sedangkan di tempat tinggal Usmar Ismail di Yogjakarta, ada kegiatan diskusi film, pesertanya adalah Usmar dan kawan-kawan, film yang diputar adalah Gone With the Wind, lalu mereka diskusikan film itu dari berbagai sudut. Sesekali mereka datangkan RM.Soetarto untuk mengajarkan proses pembuatan film. Usmar masih terkesan dengan makna, fungsi, dan arti film yang diberikan oleh Jepang. Mereka melihat film adalah benda seni, sedang jepang adalah benda propaganda, tetapi saat jaman Belanda film adalah sebuah hiburan belakan yang menitik beratkan pada penonton berbagai golongan, bawah, menengah, terpelajar, nigrat, Belanda totok dan lainnya, sehingga film mengikuti pasarnya.


Banyak yang mempertanyakan Usmar Ismail tiba-tiba muncul di stuio milik Belanda, sebagai asisten Andjar Asmara saat. Ini sangat aneh karena Usmar adalah seniman pemikir, Mayor TNI, Ketua PWI, bagaimana tiba-tiba ia muncul di Perusahaan film Belanda, studio Multi itu? Semua orang tahu, 1947 Usmarjuga direktur surat kabar Patriot, bertugas meliput perundingan Renville. Selanjutnya, ia di tangkap Belanda karena selain ia wartawan tapi juga Mayor TNI. Ia di jebloskan ke penjara Cipinang. Ia dibebaskan diduga karena Chairril Anwar melalui pertolongan sahabatnya berkebangsaan Belanda dan juga wartawan perang kantor Perancis. Saat muncul Komunis, beberapa seniman yang sehaluan menuding Usmar adalah pro Belanda pada masa Revolusi. Sitor Situmorang yang berhaluan kiri, menuding Usmar.

Tentu pertemuan rutin itu tidak bisa berkembang karena memang tidak ada yang paham sekali tentang proses pembuatan film. Ternyata pejabat pemerintah juga merasakan arti penting film dalam kemerdekaan Indonesia. Hal ini terbukti dari didirikannya sekolah film Kino Drama Atelier (KDA, adalah yayasan) dan Stichting Hiburan Mataram (STM) di Yogja oleh mentri penerangan. Adapun pendiri KDA adalah Dr.Huyung, Djajakusuma,D.Suraji. dan lainnya. Dr. HUyung adalah orang Jepang yang tidak mau pulang ke negerinya, ia pun ikut dalam kegiatan sandiwara. Muridnya antara lain Soemardjono. Sedangkan yang sekolah di Yogja adalah Alam Surawidjaja dan Deliana. Yang menarik dari sekolah itu adalah tidak adanya pengajar yang menguasai bidang film. Pernah datang seorang dengan membawa kamera ke dalam kelas. diletakan di depan kelas. Semua murid tentu antusias ingin mendengarkannya, sang pengajar menjelaskan alat yang ia bawa adalah kamera film, siswa jangan pegang, lalu ia cerita tentang pembuatan film pada umumnya., tidak menyinggung tentang kamera.

Sedang film Usmar memnyimpang dari model cerita film sebelum perang, karena ia berkembang dalam masa romance dan novel Balai Pustaka.


Usmar Ismail memenuhi panggilan hidupnya di dunia perfilman. Minatnya membuat film dengan kemampuan tenaga Indonesia semakin membara. Pada 1950 Usmar dan kawan-kawannya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Usmar memproduksi film pertamanya Darah dan Doa tahun 1950, Enam Djam di Yogya”tahun 1950 dan Dosa Tak Berampun”tahun 1951. Dengan keterbatasan modal, sumber daya, dan peralatan Usmar bisa membuat film-film yang setara dengan film-film dari luar negeri pada zaman itu. Film pertamanya Darah dan Doa, atau lebih dikenal dengan judul asing The Long March, yang mengisahkan Long March pasukan Siliwangi diberi kesempatan diputar perdana di depan Presiden Soekarno.

Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapat beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Usmar Ismail juga mempunyai keinginan yang kuat untuk memajukan teater modern di Indonesia. Setelah mendirikan kelompok sandiwara Maya, pada tahun 1955 Usmar mendirikan Akademi Teater Nasioanl Indonesia (ATNI), sebuah cikal-bakal “Teater sekolahan” di Indonesia. Menurut Asrul Sani ini merupakan upaya lain Usmar untuk membuka jalan baru untuk pertumbuhan teater modern di Indonesia.

Dalam dunia perfilman Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film. Beberapa karyanya mendapat penghargaaan dari pemerintah dan dalam berbagai festival film internasional. Hari pertama syuting film Darah Doa, 30 Maret, dinyatakan sebagai Hari Film Nasional. Bersama dengan tokoh-tokoh perfilman luar negeri Usmar mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia Pasifik. Dalam rangka mempromosikan film dan artis Indonesia. Usmar Ismail yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama, mendapat penghargaan tertinggi Piagam Widjayakusumah dari Presiden Soekarno. Pengurus PBNU ini lalu memasuki kiprahnya sebagai anggota DPR-Gotong Royong.

Usmar Ismail adalah cermin insan film yang bekerja dengan penuh idealisme sekaligus sejumlah kompromi. Di tengah maraknya kritik dan lesunya film nasional Usmar mengembuskan nafasnya yang terakhir pada 2 Januari 1971 dalam usia 49 tahun karena pendarahan otak. Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh adalah sosok pejuang yang pantas menjadi teladan. Dan nama Bapak Perfilman H. Usmar Ismail dibilangan Kuningan Jakarta Selatan.***


LAGI-LAGI KRISIS1955USMAR ISMAIL
Director
LARUIK SANDJO 1960 USMAR ISMAIL
Director
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Director
DOSA TAK BERAMPUN 1951 USMAR ISMAIL
Director
ANAK-ANAK REVOLUSI 1964 USMAR ISMAIL
Director
ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN 1962 USMAR ISMAIL
Director
TJITRA 1949 USMAR ISMAIL
Director
TAMU AGUNG 1955 USMAR ISMAIL
Director
AMOR DAN HUMOR 1961 USMAR ISMAIL
Director
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Director
KRISIS 1953 USMAR ISMAIL
Director
BAYANGAN DI WAKTU FAJAR 1963 USMAR ISMAIL
Director
HARTA KARUN 1949 USMAR ISMAIL
Director
KAFEDO 1953 USMAR ISMAIL
Director
SENGKETA 1957 USMAR ISMAIL
Director
ANANDA 1970 USMAR ISMAIL
Director
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Director
BIG VILLAGE 1969 USMAR ISMAIL
Director
LIBURAN SENIMAN 1965 USMAR ISMAIL
Director
TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN 1961 USMAR ISMAIL
Director
BAJANGAN DIWAKTU FADJAR 1962 USMAR ISMAIL
Director
ENAM DJAM DI DJOGDJA 1951 USMAR ISMAIL
Director
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Director
LONG MARCH, THE 1950 USMAR ISMAIL
Director
LEWAT DJAM MALAM 1954 USMAR ISMAIL
Director
JA MUALIM 1968 USMAR ISMAIL
Director


NEWS
Di Saat Usmar Ismail Tak Lelah Menghadapi Kekaburan Birokratis 1991
Sikap tidak proposional pemerintah pada saat itu, sehingga perfilman nasional mengalami kesulitan dalam peredarannya. Konsep ideal yang diselipkan Usmar Ismail, film yang dibuat harus merupakan ekspresi kesenian dan intelektual agar film Indonesia memiliki kepribadian. Usmar Ismail tak lelah menghadapi kekaburan birokratis dan mengumumkan perang di dua front, disatu Front berhadapan dengan selera pasar pembuat film nasional disisi lain harus menghadapi tantangan film-film produksi Barat yang segalanya sudah lebih canggih

Filem-filem Usmar Ismail dengan sutradara "Tempo Doeloe", belum bisa disaingi oleh orang2 filem masa kini 1987
Meskipun tokohnya dusah lama tiada, dan lambang "Banteng Ketatonnya" sudah pudar, tetapi kebesaran PERFINI yang didirikan oleh Usmar Ismail pada tanggal 30 Maret 1950 bersama teman seperjuangannya, masih tidak bisa dilepaskan dengan kebesarn Usmar Ismail. Dua nama yang lebur menjadi satu dalam lingkungan filem nasional, dan pembaharu yang melatarbelakangi sejarah perjuangan filem tempo doeloe dan masa kini.Pekan Filem Produksi PERFINI memutar sembilan buah filem yang disutradarai oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Nya Abbas Acup, merupakan retrospeksi bagi karya bermutu, yang pernah menghebohkan para pecandu filem nasiona, disaat situasi krisis menghadapi bombardir filem-filem Hollywood, yang saat itu merajalela di tanah air. Namun Usmar Ismail tidak memperdulikan hal itu, ia dan kawan tetap berjalan ever onward no retreat. Usmar Ismail terus mencari sesuatu yang bisa disumbangkan kepada bangsa dan negaranya. Usmar dan kawan-kawan menunjukkan kepada kita semua bagaimana sesungguhnya bekerja untuk filem, walau dengan peralatan sederhana namun mampu melahirkan filem berbobot.Dibandingkan dengan produksi masa kini, filem-filem Usmar dan sutradara lainnya di PERFINI masih tampak di atas.


Interview dengan Usmar Ismail : Tentang Festival Film Asia Ke-V di Manila 1958

Berdasarkan hasil kunjungannya ke Festival Film Asia Ke-V di Manila, Usmar Ismail sangatlah menyayangkan sikap Indonesia yang tidak mempergunakan kesempatan untuk mengirimkan film maupun utusan ke festival tersebut. Festival Film ini sebenarnya dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara negara-negara pembuat film di Asia dan juga memberikan dorongan kepada negara-negara yang hadir agar dapat membuat film yang lebih baik mutunya dari yang biasa dibuat. Dengan berdirinya Federation of Motion Picture Producers in Asia diperoleh manfaat bertambahnya usaha kerjasama antara berbagai negara Asia dalam rangka joint-production. Dalam Festival Film Asia ke-V ini ada 8 negara yang ikut serta dengan 22 buah film dan Hong Kong sebagai pemenangnya melalui film "Our Sister Hedy".

Mengenang kerja keras Usmar Ismail : Usmar terkadang galak soal disiplin nomor satu 1991
Syamsul Fuad assisten sutradara terakhir alm. H. Usmar Ismail berbicara tentang kesan-kesannya selama mendampingi alm. Usmar Ismail disaat menangani film Ananda. Kesan-kesan tersebut antara lain akan merasa beruntung bisa diajak bekerjasama dengan Usmar, kepemimpinan Usmar sebagai sutradara dapat mewujudkan kerjasama yang kompak diantara para karyawan PERFINI sehingga segalanya berjalan lancar, Usmar juga tidak pernah mengekang pada para pemainnya untuk berinisiatif menentukan blocking, hasil terpaan tangan Usmar Ismail berhasil mengorbitkan sederetan nama-nama artis kondang seperti Bambang Hermanto, Sukarno M. Noor, Mieke Widjaja, Lenny Marlina, dan lain-lain, Usmar memberikan petunjuk kepada para pemainnya secara jelas, terperinci, dan penuh kesabaran, dan hanya satu hal yang tidak disenangi oleh Usmar Ismail yaitu bila menghadapi pemain yang tidak disiplin. Ada juga satu kebiasaan bila Usmar sedang marah, dia akan menghendus-henduskan hidungnya, kemudian berjalan kiri-kanan sambil kedua tangannya merogoh kantong celana. Film Ananda adalah karya terakhirnya setelah dia kemudian meninggal 2 Januari 1971.


Pakar Film Indonesia Segala Zaman : untuk kesekiankalinya : Usmar Ismail 1989
Ledakan film Si Kabayan didelapan bioskop yang diserbu penoton dan berdecak kagum, terpukau oleh kebolehan El Badrun menciptakan sulapan-sulapan ajaib dalam karyanya bersama sutradara Imam Tantowi, Pesangrahan Kramat dan serial Saur Sepuh, mengingatkan kembali film Tiga Dara sebuah komedi karya Usmar Ismail. Sukses komersilnya mungkin tidak sehebat Si Kabayan. Namun menurut ukuran jamannya film yang dimainkan oleh Rendra Karno, Citra Dewi, Mieke Wijaya dan Bambang Irawan itu sebuah komedi yang sukses baik mutu maupun komersil pada jamannya.
Usmar Ismail sutradara yang dikenal sebagai wartawan, dramawan dan penyair bukan saja dihormati dinegaranya, juga di mancanegara. Film-film yang mendapat penghargaan seperti "Pejuang" dengan Bambang Hermanto sebagai aktor terbaik dalam Festival film di Moskow, Rendra Karno dinobatkan sebagai aktor pembantu dalam festival film Asia di Taiwan dan penghargaan lainnya. Sineas kelahiran Bukittinggi ini boleh dikatan serba bisa, jenis film apapun pernah digarapnya. Film perjuangan seperti, Enam Jam di Yogya, Darah dan Doa, Toha Pahlawan Bandung Selatan dan Anak anak Revolusi, dan Usmar Ismail membuat juga film-film komedi dan drama.

Penjelasan Pitradjaja Burnama : Usmar Ismail Mewariskan Cita-cita dan Dedikasi 1977
Pitradjaja Burnama menjelaskan tentang maksud dari tulisan `Momok Usmar Ismail` yang termuat dalam VISTA adalah idealisme yang Usmar Ismail pegang teguh dalam perfilman nasional, untuk sebagian produser film nasional sekarang ini, seolah-olah hanya berpegang pada masalah komersiil saja. Usmar Ismail sebagai tokoh dan guru dalam dunia perfilman nasional, yang mewariskan idealisme dan cita-cita luhur, khususnya terhadap perkembangan perfilman nasional. Dan tugas kita untuk melanjutkan cita-cita tersebut.


Pidato Usmar Ismail Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan
Usmar Ismail mengungkapkan pandangan umum tentang perfilman Indonesia, beliau dianggap mengetahui masalah seluk beluk perfilman Indonesia dan memperjuangkan film Indonesia secara keseluruhan dengan mengingat pentingnja dunia perfilman, dunia film dalam maupun luar negeri, bagi masyarakat dan negara kita. Dalam hal-hal tertentu tentu saja dia akan mendahulukan film nasional dari pada film asing yang manapun juga. Film dalam negeri tak mungkin akan maju tanpa adanya pemasukan film asing yang baik. Usmar Ismail mengusahakan supaya dalam menyusun rencana pembangunan 5 tahun, para pemimpin dan pembesar Indonesia tidak melupakan film sebagai alat komunikasi dan pembangunan kebudayaan


Saat-saat terakhir bersama Usmar Ismail 1991
Setiba dari Italia untuk mengurus copy Film Bali, hasil kerjasama Perfini dengan UGO Film dari Italia, Usmar Ismail merasa ditipu dan dia berpesan bila ingin membangun kerjasama dengan Italia harus jelas, terperinci dan zakelyk. Setelah itu dia terkena musibah lagi yang sangat memukul perasaannya, yaitu dilikwidirnya PT Ria Sari/ Miraca Sky Club yang dibangunnya sejak tahun 1967 dan harus mem-PHK karyawannya. Lewat Miraca Sky Club ini Usmar Ismail mendapat penghargaan sebagai warga teladan dari Pemda DKI, karena telah membantu Pemda dalam menarik arus wisatawan. Acara tutup tahun 31 Desember 1970 di Miraca Sky Club adalah terakhir kalinya Usmar Ismail berkumpul dengan segenap kerabat, handai tolan dan karyawan yang dikenal sangat akrab dan bersahaja, karena esok harinya dia diboyong ke rumah sakit karena pendarahan otak disusul kematiannya subuh jam 5.20 tanggal 2 Januari 1971. Usmar Ismail meninggalkan kita disaat tenaga dan pikirannya dibutuhkan oleh dunia perfilman Indonesia.


Tjeramah Usmar Ismail : Pembentukan dana film : beri harapan perusahaan-perusahaan film nasional

Usmar Ismail selaku Ketua Persatuan Importir Film Nasional menyatakan bahwa perusahaan film Indonesia sedang mengalami kendala-kendala antara lain masalah keuangan. Untuk itu dibentuk suatu Dana Film. Dana Film tersebut dikeluarkan oleh pemerintah berupa kredit sebesar 50 juta rupiah yang diberikan kepada para produsen film dan para penguasaha bioskop. Kredit tersebut dapat diharapkan dapat membantu perkembangan perindustrian film nasional

Tokoh Film Bulan Ini : Usmar Ismail 1955
Film Krisis produksi Perfini yang disutradarai oleh Usmar Ismail merupakan puncak atas daya kreasi dari dunia film Indonesia. Usmar Ismail adalah salah seorang sutradara Indonesia terbaik yang dicetak pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Bukit Tinggi, berotak pandai dan suka menulis ini tamat A.M.S bagian kesusasteraan pada usia 21 tahun. Di masa revolusi ia membentuk gerakan `seniman merdeka`, berpidato, menyanyi, main musik, agitasi, yang membangkitkan semangat patriotisme dan revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia. Kemudian Dia juga menjadi redaktur surat kabar `Harian Rakjat`, lalu di Yogyakarta menerbitkan majalah bulanan, mingguan, dan harian yang merupakan isi jiwanya sebagai seorang putera Indonesia yang sedang berevolusi. Usmar seorang mayor Tentara Nasional Indonesia, sebagai sastrawan, dan sebagai wartawan. Setelah dia keluar dari kedinasan tentara, bersama dengan S. Sumanto dan yang lainnya mendirikan Perusahaan Film Nasional yang terkenal dengan nama Perfini. Gelar BA didapatnya dari University of California atas bea siswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar drama dan cinematography. Selain sebagai sutradara, ia adalah presiden direktur perusahaan film nasional Indonesia. Usmar Ismail masih seorang putra Indonesia yang penuh rasa patriotisme diatas dasar nasionalisme yang besar, segenap jiwa dan pikirannya dicurahkan untuk nusa dan bangsanya.

Usmar Ismail angkatan 45 (1951)
Banyak orang yang menggolongkan bahwa Usmar Ismail merupakan sastrawan angkatan 45. Hal ini didasarkan atas karya-karya Usmar Ismail pada jaman penjajahan Jepang. Saat jaman pendudukan Jepang Usmar Ismail bersama teman-temannya mendirikan mingguan Tentara, Harian Patriot dan Majalah Kebudayaan Arena yang merupakan wadah tempat para seniman-seniman muda pada waktu itu. Setelah berlangsungnya aksi militer pertama Usmar Ismail menjadi wartawan Antara yang membawanya menghuni penjara dikarenakan tuduhan menjalankan gerakan bawah tanah oleh pihak Belanda. Setelah keluar dari penjara Usmar Ismail membuat film pertama dengan judul Harta Karun dan Tjitra. Berdasarkan pembuatan film inilah Usmar Ismail membuat perusahaan sendiri dengan nama Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film pertama yang dibuat Perfini adalah Long March of Siliwangi (Darah dan Doa). Seiring dengan banyaknya film-film yang diproduksi oleh Perfini pada waktu itu dibandingkan dengan perusahaan film yang lain, membuat film-film produksi Perfini tersebut dapat dikatakan menjadi film yang sudah sempurna.

Usmar Ismail : tragedi sang seniman 1988
Artikel ini mengingatkan kita semua bahwa cita-cita menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negerinya sendiri tidak selayaknya dilakukan dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang malah mematikan semangat. Pernyataan yang mengesankan semangat orang yang kalah, kalau boleh pinjam ungkapan seorang pengamat film. Seperti yang terdengar belakangan ini yang ironisnya datang dari mereka yang dianggap paling tahu masalah perfilman nasional. Untuk itulah perlunya mempelajari perjuangan dan konsep pemikiran Usmar Ismail yang barangkali bisa dijadikan pedoman wajah perfilman nasional yang sebenarnya.
Kita tidak boleh terjebak oleh pendapat yang belum pasti nilai kebenarannya. Sebab ada kalanya apa yang tertulis berbeda jauh dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hingga hari ini masih jadi tanda Tanya apakah benar masyarakat Indonesia kurang menyenangi film buatan bangsanya sendiri. Belum ada satupun studi atau penelitian yang komprehensif mengenai hal ini. Begitu pula bagaimana sebenarnya pengaruh film Barat terhadap aspek cultural, pranata-pranata sosial dan psikologis masyarakat Indonesia. Pada umumnya pendapat orang yang memojokkan film nasional hanya berdasarkan prasangka dan kesan selintas yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengkaji ulang perjalan hidup dan pikiran-pikiran Usmar Ismail kita merasakan getar daya hidup yang tak pernah berhenti dari sang seniman yang bernasib tragis ini. Sebaiknya tulisan ini kita akhiri dengan mengutip Asrul Sani, teman dekatnya: “Usmar adalah seorang tokoh yang tragis. Ia berdiri sendiri di tengah-tengah masyarakat yang mempunyai selera yang lain tentang film, selera yang dibentuk oleh berpuluh-puluh tahun pengalaman menonton film impor yang disajikan tidak lebih dari sekedar hiburan, yang sama sekali tidak menyadari kaitan antara kenyataan dan film.

Usmar Ismail dan Soerjosumanto Tokoh Perfilman Indonesia 1998
Presiden Soeharto memberikan anugerah Bintang Mahaputra Utama kepada Usmar Ismail dan Soerjosumanto atas jasa-jasa beliau memajukan perfilman di Indonesia. Usmar Ismail mendirikan suatu perisahaan film pertama yang memproduksi film-film Indonesia. Perfini (Perusahaan Film Nasional) berdiri pada tanggal 30 Maret 1950 lahir pada saat syuting pertama film yang diproduksi Perfini yaitu Darah dan Doa. Selanjutnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional. Soerjosumanto lebih dikenal sebagai pemimpin Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang berdiri pada tahun 1956. Soerjosumanto dikenal sebagai Bapak artis karena berkat jasanya PARFI terhindar dari PKI

Usmar Ismail Gigih Perjuangkan Legitimasi Film Nasional 1991
Sejarah perfilman di negeri ini tak perpisahkan dari sejarah kehidupan dan perjuangan Usmar Ismail. Almarhum bukan hanya sebagai peletak dasar perfilman Indonesia, tetapi juga seorang kreator berjiwa nasionalisme yang kental. Simbol-simbol kebangsaan selalu mewarnai gerak kehidupannya, baik dalam bidang sosial maupun kebudayaan. Sikap ini dipertahankannya hingga ia menekuni film. Itu sebabnya, Usmar Ismail adalah sineas pertama yang memperjuangkan dengan gigih diakuinya film nasional, kendati ia harus berhadapan dengan pemilik-pemilik bioskop yang diantaranya warga asing. Ia telah memancangkan tonggak terpenting dalam sejarah perfilman nasional, dengan menunjukkan tekadnya bahwa orang pribumipun mampu menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri.
Dari karya-karya film yang dibuatnya, sangat jelas betapa besar andilnya Usmar Ismail dalam merintis perfilman nasional, terutama dengan memanfaatkan semua potensi yang dimiliki sineas pribumi. Usmar, tentu saja ingin menunjukkan kepada dunia bahwa putra-putri Indonesia juga mampu membuat film yang berkualitas. Idealisme dan dedikasi Usmar yang dilandasi semangat nasionalisme, kiranya penting diaktualisasikan dalam proses kreatif sineas kita pada masa kini. Film bagi Usmar adalah bagian kebudayaan, yang harus dibuat dengan landasan moral dan tanggung jawab. Usmar juga seorang sineas yang meletakkan film inhern dengan bidang kebudayaan, bahkan dengan revolusi Indonesia. Pemikiran dan gagasan Usmar Ismail pada beberapa tulisan betapa ia dengan sangat gigihnya memperjuangkan legitimasi film nasional yang mampu menjadi alternatif bagi kemajuan manusia Indonesia. Dan menghendaki karya film Indonesia dapat menyumbangkan nilai-nilai positif bagi pembangunan bangsa dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Usmar Ismail ke Amerika Serikat Hollywood 1955
Tanggal 15 September 1955 Usmar Ismail Ketua PPFI sekaligus juga Presiden Direktur Perfini telah berangkat ke Amerika Serikat untuk mempelajari ilmu organisasi theater dan perusahaan film selama 3 bulan di Hollywood

Usmar Ismail pun pernah menggugat peredaran film 1991
Usmar Ismail pun pernah menggugat peredaran film asing pada dasawarsa 60 an. Film-film impor Amerika mendominasi masa putar sebagian besar gedung-gedung bioskop di seluruh Indonesia. Pada masa itu nasib perfilman Indonesia masih jauh dari upaya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak ada kebijakan pemerintah untuk melindungi karya anak negeri, film Indonesia pun harus bersaing keras dengan film-film impor asal India, Malaysia, dan Philipina. Pengembangan kreativitas Usmar Ismail terhalang oleh sensor yang asal gunting, iklim politik pada masa itu merupakan kendala terberat baginya dan kecaman-kecaman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat menjadi daftar keluhan Usmar Ismail sampai akhir hayatnya

Usmar Ismail tentang kesenian nasional : kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi 1966

Kesenian yang diselenggarakan oleh Front Kebudayaan Revolusioner dimana pendirinya adalah Usmar Ismail bertujuan untuk menciptakan suatu gerakan yang bersifat nasional untuk mengembangkan kesenian daerah yang ada di Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya organisasi kebudayaan yang bersifat nasional agar kesenian daerah dapat berkembang. Organisasi tersebut harus bersifat luwes, tidak ada paksaan di antara berbagai golongan agar kesenian dapat berkembang serta dapat membangkitkan semangat para seniman untuk menciptakan karya-karya seninya

Usmar Ismail, jatuh dan bangunnya 1982
Dalam usia yang relatif muda Usmar Ismail berhasil menjadi penggerak dalam berbagai organisasi di dunia teater antara lain Ketua Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Sandiwara Ganesha, Sandiwara Penggemar Maya. Selain di bidang teater Usmar Ismail juga aktif dalam dunia wartawan dan militer hingga dunia politik. Karirnya jatuh pada saat Usmar Ismail mengembangkan usaha hiburan yang mendapat protes dari kalangan pemerintah.


Usmar Ismail (berdiri, ke-3 dari kiri), foto bersama dengan Hamidy T. Djamil (ke-5), dan juru kamera Max Tera serta aktor Sukarno M. Noor (jongkok ke-2) dan Wahid Chan (ke-3)


SEMANGAT kebangsaan telah ditunjukkan oleh salah seorang tokoh perfilman Indonesia H. Usmar Ismail ketika mendirikan NV Perfini pada tanggal 30 Maret 1950. Pada tanggal dan tahun itulah Usmar memulai shooting film produksi pertama NV Perfini "Darah dan Doa" (Long March). Dalam sejarah film Indonesia, film tersebut tercatat sebagai film Indonesia pertama yang penggarapan dan modalnya oleh orang-orang pribumi. Sebelumnya memang ada film "Lutung Kasarung" (1926) yang dianggap sebagai film cerita pertama di Indonesia, tetapi digarap oleh orang Belanda.

Semula film tersebut akan menggunakan judul "Long March", dan direncanakan akan dikirim ke Festival Film Intemasional di Cannes. Sayang hanya sampai sebatas rencana, sebab penggarapannya hampir terhambat akibat menyusutnya nilai uang setelah pemerintah waktu itu melakukan pemotongan nilai uang. Modal Rp 30.000 untuk shooting film tersebut tentu saja tidak mencukupi karena nilainya turun drastis jadi separuhnya. Agar tidak rugi total, Perfini mengadakan kerja sama dengan Spektra Exchange, sehingga film "Darah dan Doa" bisa diselesaikan seluruhnya. Sutradara Usmar Ismail juga sempat menghadapi kenyataan pahit ketika film "Darah dan Doa" dilarang beredar di beberapa daerah, termasuk di Jakarta.

Melalui film "Darah dan Doa" yang menceritakan hijrahnya pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat, Usmar telah menunjukkan bahwa orang-orang pribumi pun mampu berprestasi, menjadi pengusaha film, mengurus manajemen produksi, menjadi penata kamera, menjadi editor, pokoknya seluruh film tersebut dikerjakan oleh pribumi. Usmar sendiri berasal dari Sumatra Barat, penulis skenarionya sastrawan Sitor Situmorang dari Sumatra Utara, para pemainnya antara lain Del Yuzar dan Aedy Moward, dari berbagai daerah, sedangkan ceritanya lebih bernuansa Jawa Barat. Bahkan dalam film perjuangan berikutnya, Usmar banyak sekali mengungkapkan romantika perjuangan di Jawa Barat, misalnya melalui film "Pejuang", Toha Pahlawan Bandung Selatan" dan "Anak-Anak Revolusi". Berkat jasanya terhadap kebangkitan film nasional, pemerintah memberikan penghargaan sebagai "Perintis Perfilman Nasional" kepada Usmar Ismail.

Hari Film Nasional

Tangga) 11 Oktober 1962, berlangsung konferensi kerja Dewan Film dengan berbagai organisasi perfilman, antara lain memutuskan bahwa hari shooting pertama produksi perdana NV Perfini "Darah dan Doa" dijadikan Hari Hlm Nasional. Itulah sebabnya FFI pertama berlangsung 30 Maret, sebab dianggap sebagai hari bersejarah bagi kehadiran film yang sepenuhnya merupakan karya orang pribumi. Akan tetapi dalam penyelenggaraan berikutnya, tidak lagi diselenggarakan tangga) 30 Maret.

Sebelumnya telah terjadi perbedaan pendapat sebab peristiwa bersejarah tanggal 30 Maret hanya diakui oleh kalangan orang film swasta, sedangkan kalangan pemerintah masih memilih tanggal 6 Oktober sebagai mana usulan tokoh perfilman lainnya R.M. Soetarto. Alasannya, pada tanggal 6 Oktober 1945 ada peristiwa yang dianggap lebih penting, yakni bertepatan dengan Jepang yang menyerahkan studio Nippon Eiga Sha kepada Pemerintah RI. Dari pemerintah RI sendiri diwakili oleh R.M. Soetarto. Studio itu kemudian berganti nama menjadi PPFN (Pusat Produksi Film Negara).

Upaya untuk mengajukan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional terus dilakukan. Akhirnya terwujud pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Melalui Keputusan Presiden No. 25, tanggal 29 Maret !999. yang ditandatangani langsung oleh BJ. Habibie, maka ditetapkan bahwa tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.Jika kita menyimak film-film penting dalam perjalanan sejarah film Indonesia, maka akan nampak bahwa pesona Jawa Barat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Film cerita pertama yang dibuat di Indonesia adalah film berdasarkan cerita legenda dari Jawa Barat. Film karya Albert Balink dan Mannus Franken "Pareh" (1934), yang mendapat pujian dari para pengamat film, menampilkan keindahan panorama alam tatar Sunda dengan adaptasi dan tradisinya. Dan film "Darah dan Doa" yang shooting pertamanya dijadikan sebagai tangga] Hari Film Nasional, mengungkapkan kisah hijrahnya pasukan Siliwangi ke Jawa Barat.

Maka rasa nasionalisme yang bersumber dari keragaman potensi daerah, sesungguhnya telah digaungkan oleh para sineas tempo dulu, termasuk keterlibatan pemerintah daerah dalam pembuatan film, seperti dukungan bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V. terhadap film "Lutung Kasarung" dan "Pareh". Film adalah seni mutakhir yang memiliki pengaruh luar biasa, juga bisa menjadi dokumentasi berharga dari generasi ke generasi. Kini Iata bisa menyaksikan film "Pareh" dalam rentang waktu 76 tahun, atau "Darah dan Doa" setelah 60 tahun, dalam kondisi film yang masih terawat, lalu kita bisa melihat sendiri realita alam dan manusianya pada saat itu.Melalui Hari FOm Nasional sesungguhnya kita bisa memperluas wawasan melalui film tempo dulu yang tersimpan di Sinematek Indonesia untuk mengenal masa lampau Indonesia. ( Eddy D. Iskandar, Ketua UmumFFB/Pimred "Galura").