Tampilkan postingan dengan label SJUMAN DJAYA 1971-1986. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SJUMAN DJAYA 1971-1986. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2011

OPERA JAKARTA / 1986

OPERA JAKARTA


Ada 4 cerita yang dihadirkan oleh Sjuman dalam film ini,

Yoko (Ray Sahetapy) sebagai bayi haram seorang babu yang bekerja di Jakarta, berasal dari desa Belonang di pinggir kota Solo. Ia tubuh dengan bakat bertinju, dan berkembang menjadi petinju bayaran terkemuka di Jakarta. Tingkah laku yang aneh berasal lagi hidupnya yang tanpa ayah dan ibu. Dan dibesarkan dengan maja oleh neneknya yang miskin di desa pinggir sungai Bengawan Solo.

Rum (Perucha) anak gadis yang hidup bebas dan tak kurang satu pun. Anak perempuan ini juga aneh, mungkin karena orang tuanya yang kaya raya. Ia dengan mudahnya meninggalkan mobilnya di pinggir jalan saat lampu merah menyala. Lalu polisis menderek mobil kerumahnya. Ia juga punya banyak pacar (dalam synopsis), walaupun dalam film tidak tampak. Ada beberapa lelaki yang senang padanya, memang, tapi sutradara hanya meyakinkan pada kita bahwa Rum cuma cinta Yoko.

Ayah (Soekarno M.Noer) dan konfliknya dengan salah seorang anaknya. Apa, siapa dan bagaimana kegiatan usahannya tidak dijelaskan lebih jauh, kita kayaknya dipaksa menerima saja asumsi umum dalam film nasional, yang selalu cenderung melihat hadirnya problem anak lawan orang tua dalam setiap keluarga kaya. (orang kaya tidak punya waktu untuk anaknya karena sibuk. Nah, konflik timbul). Begitu hebat pertarungan anak dan ayah ini sampai Hilman (Rano Karno) sampai bangun suatu kelompok bersenjata yang akhirnya sukses menteror pesata kawin kakak perempuannya sendiri.

Paman Jangkung, Jendral angkatan darat yang sepanjang film ini cuma sibuk mengurus Rum, keponakannya. Ada 2 wanita yang tampaknya istri-istrinya. Dari salah satu istri itu lah penonton bisa menduga bahwa Toko sebenarnya anak haram pak Jendral dengan babunya.

Bisa diterka ke 4 cerita ini, adegan paling kritis dari film ini larinya Rum dari kamarnya pada jam-jam menjelang perkawinannya. Jika saja cerita tentang Rum dan keluargannya digarap lebih utuh, tentulah sulit bagi kkiita menerima rencana perkawinan itu, setelah kepada penonton digambarkan Rum melakukan hubungan seks dengan Yoko -dan bukan dengan calon suaminya -dirumah keluarga Rum. Dari adegan itu tidak begitu sukar menggarkan watak Rum -serta posisinya dalam keluarganya yang menyebabkan gadis seperti itu, tentunya tidak akan begitu mudah diminta menerima tunangan pemuda lain yang tidak dicintainya dan tidak pula digambarkan punya hubungan khusus dengan keluarganya.

Terlalu banyak yang ingin disampaikan Sjuman, itu kesan yang sulit dihindarkan. Bukan cuma cerita, tapi juga cara penyampaikannya. Ini film yang penuh kilas balik (flashback) bahkan kilas balik dalam kilas balik.

Sjuman sendiri dalam suatu kesempatan konon pernah menuturkan bahwa kali ini, (Lebih dari ketika ia membuat Atheis) ia mencoba lebih setia pada novel aslinya yang dikarang Titi Nginung itu. Menurut Sjuman, kisah asli Opera Jakarta ini menampilkan adegan-adegan yang tidak urut. Ini beda dengan film yang sebelumnya.

Model alur seperti ini muda untuk menampilkan masalah terlebih dahulu, dan selain itu juga durasi film untuk menjelaskan semuannya.

Musiknya yang berat tidak seimbang dengan adegannya, kinerja kameraman Sutomo Gandasubrata tidak pula menghasilkan gambar yang bernuansa. Begitu juga saat tracking camera diantara pemain, menunjukan tidak siapnya Sjuman dalam experimen. Bahkan editor NOrman Benny, editor paling baik, tidak bisa menolong film ini, yang masih juga terasa panjang pada banyak adegan.

Film ini bisa dibilang experimen paling berani yang dilakukan Sjuman, walaupun hasilnya mengecewakan. Dedy Mizwar bermain bagus sebagai Pak Jangkung.

Ringkasan Ceritanya

 Klinem (Dewi Yull) pulang ke Bekonang, Solo untuk menyerahkan bayinya pada neneknya untuk diasuh. Oleh sang nenek bayi itu diberi nama Joko, dan dibesarkan tanpa tahu siapa ibunya. Setelah besar Joko sudah menunjukkan kegemarannya bertinju dan sering jadi pemimpin di antara kawan sebayanya. Beberapa tahun kemudian, di keluarga Yonosiswoyo yang otoriter, sedang kebingungan karena Rum (Zoraya Perucha), yang akan menikah sore harinya, pergi dari rumah tanpa ada yang tahu. Pamannya, Tony Yonokuswoyo (Deddy Mizwar) seorang jendral beristri dua pergi mencari ditemani istri tuanya dan adik Rum. Rum yang punya banyak pacar lebih memilih Yoko (Ray Sahetapy) alias Joko, petinju populer tapi liar sikap hidupnya. Rum tertarik karena keliarannya itu, apalagi setelah tahu latar belakang Yoko yang gelap waktu kecil, yang menderita sampai akhirnya tertolong karena kepandaiannya bertinju. Ketika hidupnya mulai sukses, Yoko pulang kampung tapi menjumpai neneknya sudah meninggal karena terseret arus sungai Bengawan Solo yang sedang banjir. Yoko pergi ke Jakarta, jadi tokoh populer dan lambang pembangkang dan antikemapanan bagi anak-anak muda. Karena posisinya ini maka aparat keamanan melibatkan diri. Sebagai anggota aparat keamanan, Tony tidak bisa memahami jiwa Yoko ini, meski istri tuanya telah mengingatkan bahwa Yoko persis seperti dirinya di waktu muda. Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak untuk menjatuhkan Yoko. Yoko dituduh sebagai dalang kerusuhan sosial, dan terakhir dituduh sebagai pemerkosa. Ia berhasil membuktikan bahwa dirinya bersih.

Rum akhirnya pulang dan bersiap menghadapi upacara pernikahannya dengan Santoso (Mathias Muchus) yang dijodohkan orangtuanya, tapi tidak dicintainya. Di tengah upacara, segerombolan pemuda datang mengacaukan upacara. Penganten disandera. Mereka minta Yoko didatangkan yang bertujuan untuk menghindarkan Yoko dari pertandingan malam harinya yang akan dijadikan ladang pembantaian untuk menghancurkan reputasi Yoko. Teror berhasil digagalkan oleh Tony, para teroris terbunuh. Pemimpinnya ternyata Himan (Rano Karno), adik kandung Rum. Peristiwa ini membuat Yoko nekat menghadapi petinju Korea yang dihadapinya secara habis-habisan. Yoko menang. Keesokan harinya Rum menemuinya dan menyatakan akan kawin dengan Demas (A. Nugraha), rekan sekantornya yang diam-diam mencintainya

NB: Film ini ada tulisan film terakhir Sjuman JAya. Film ini kepanjangan menurut saya, Sjuman terlalu banyak ingin bercerita dalam film ini. Mulai dari pengantin Wanita yang hilang, dari situ kita diceritakan satu persatu tokoh yang ada. System penceritaan ini non limier, tetapi menurut saya bukan flashback. Karena sang sutradaralah yang memberikan informasi-satu persatu itu kepada penontonnya disaat yang tepat menurutnya. Kapan dan mulai saat apa sang sutradara memberika informasi pada penontonnya. Tetapi Sjuman terlalu banyak memberikan informasi yang ada, mulai saat suhu politik saat itu, suasan tinju yang lagi hangat saat itu (mungkin ada kaitanya dengan tinju yang digemari saat itu), generasi muda dalam kehidupannya, percintaan dan status kehormatan jabatan. Hingga ke aliran politik garius keras dan terorisme.

Semua yang diinformasikan Sjuman adalah hal yang nyata saat itu terjadi. Tetapi terlalu banyak sehingga memerlukan 3 jam durasi film itu. Persoalan intinya adalah perjodohan yang sudah diatur oleh Tuhan. Walaupun Sjuman tidak membawa-bawa nama Tuhan sebagai jodoh di dalam film ini. Tetapi yang paling tepat adalah film ini menggambarkan kehidupan anak muda di Indonesia yang sedang kebingungan dengan kehidupannya. Kasusnya adalah doktrin dari orang tua, kebebasan dan juga arti cinta.

Tokoh yang paling menarik adalah si Paman Jendral ini yang dimainkan Dedy Mizwar. Enah kenapa film saat itu boleh menyinggu aparat militer yang berpangkat tinggi sekalipun. Senak sekali rasanya bebas bercerita tentang apa saja ke dalam film. Sampai-sampai sang Paman ini sangat menarik sekali karakternya (mungkin ditonton saat ini karena adanya pelarangan, atau mungkin biasa saja ketika film itu di putar di saat itu.). Bagaimana bisa sebuah keluarga pejabat militer di gambarkan dalam film ini, itu mungkin sulit untuk di buat saat ini.

P.T. GRAMEDIA FILM

DEDDY MIZWAR
ZORAYA PERUCHA
RAY SAHETAPY
SUKARNO M. NOOR
NANI WIDJAJA
IDA KUSUMAH
RANO KARNO
MINATI ATMANEGARA
PITRAJAYA BURNAMA
JOICE ERNA
RATNA RIANTIARNO
DEWI YULL











 
NEWS
OPERA JAKARTA film terakhir Sjuman Djaya (lulusan sekolah Film Moskow).
Saat Opera Jakarta selesai 50%, penyaklit leaver Sjuman kambuh lagi. Dokter dan juga produser menyarankan agar iaberistrirahat, tapi ia menolak dan terus bekerja tanpa memperdulikan kondisi badannya. Ia hanya berhasil menggarap filmnya hingga 90 sekian %, lalu meninggal 19 Juni 1985. Oleh karena itu dalam film ini di depan film ada tulisan Film Terakhir Sjuman Djaya.

Saya tidak terkejut, kata Pak Tom (Soetomoe Gandasubrata, juru kamera yang mendampinginya dalam pembuatan Opera Jakarta ini. SEbenarnya Sjuman sudah meninggal beberapa hari yang lalu, cuma semangatnya saja yang menunda ajalnya, tambah Pak Tom. Pak Tom, dokter dan produser ternyata tidak berhasil merayu Sjuman untuk beristrirahat.

Sjuman adalah orang yang bosan dengan idiom film-film Indonesia yang memfosil. Dimatanya film kita sudah sebuah bahasa yang baku, sehingga siapa pun akhirnya gampang bikin film. 

Adegan cinta mesti begini, adegan sedih harus begitu, penjahat tampak begini, adegan sedih harus begitu, orang baik tampak begitu, Sjuman mau lain. Dia berjuang untuk itu.

Banyak orang yang membenarkan bahwa ia, sebagai pemberontak dan pelopor yang berhasil membuktikan bahwa film Indonesia bisa menjadi media yang serius. Tentu saja Sjuman sudah didahului Usmar Ismail; tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Usmar kemudian berangsur-angsur mengkompromikan cita-citanya, ketika ia mengalami kepahitan pasar. Maka ketika dalam sejarah film indonesia, ada saatnya orang putus asa untuk membuat film dengan konotasi sosial yang keras, di situlah Sjuman muncul.

Sjuman meninggal dunia dan film Indonesia dengan 15 karya jadi, serta sejumlah besar skenario. Tidak semua filmnya bagus, memang. Dan kelemahannya justru berlebihannya dalam usahanya menemukan idiomi yang lebih segar. Cerita-certia dengan kritik sosial tidak dengan sendirinya menghasilkan film bagus karena pengucapan juga sama pentingnya dengan yang diucapkan. Sjuman telah mencapai satu, yakni cerita, dan mencapai setengah dalam penyampaian. Yang terakhir ini karena ia mencari bukan karena ia telah menemukan. Dan satu setengah adalah angka yang berlebih dari cukup untuk mencatat nama Sjuman Djaya dalam peta film Indonesia.


26 Juli 1986Opera terakhir 
OPERA JAKARTA Cerita: Titi Nginung Skenario; Sutradara: Sjumandjaja Pemain: Zoraya Perucha, Ray Sahetapy, Sukarno M. Noor, Deddy Mizwar, Rano Karno, Piet Burnama, Nani Wijaya, Adi Kurdi, Cok Simbara, dan lain-lain Produksi: PT Gramedia Film 

PALING sedikit ada empat cerita dalam film terakhir Sjumandjaja ini. Satu, cerita tentang Yoko (Ray Sahetapy). Yoko diperkenalkan kepada penonton sebagai bayi haram seorang babu yang bekerja di Jakarta dan berasal dari Desa Bekonang di pinggir Kota Surakarta. Ia tumbuh dengan bakat bertinju dan berkembang hingga menjadi petinju bayaran terkemuka di Jakarta. Tingkah laku aneh dan rebeli Yoko tampaknya bersumber pada riwayat hidupnya yang minus ayah dan ibu, dan dibesarkan penuh kemanjaan oleh neneknya yang miskin di tepi Bengawan Solo. Dua, cerita tentang Rum (Perucha), anak gadis yang hidup bebas dan tak kurang suatu apa. Anak perempuan ini juga aneh, meski sifat demikian barangkali saja muncul karena keluarganya yang kaya. Ia, misalnya, begitu saja meninggalkan mobilnya di persimpangan jalan ketika lampu merah sedang menyala. (Untung, polisi lalu lintas digambarkan simpatik mereka menderek mobil Rum ke rumah). Dalam sinopsis juga dikisahkan bahwa Rum punya banyak pacar, meski dalam film yang kita lihat lain.

Ada beberapa lelaki yang senang kepadanya, memang, tapi sutradara hanya sempat meyakinkan kita untuk percaya bahwa Rum hanya mencintai Yoko. Tiga, cerita tentang seorang ayah (Sukarno M. Noor) dan konfliknya dengan salah seorang anaknya. Apa, siapa, dan bagaimana kegiatan usaha sang ayah tidak dijelaskan lebih jauh. Kita tampaknya diminta menerima saja asumsi umum dalam film Indonesia, yang selalu cenderung melihat hadirnya problem anak lawan orangtua dalam setiap keluarga kaya. (Orang kaya tentu sibuk, karena itu tidak punya waktu untuk anak. Nah, konflik timbul). Begitu hebat pertentangan anak-beranak ini, sehingga Himan (Rano Karno) sampai membangun satu kelompok bersenjata yang akhirnya sukses menteror pesta kawin kakak perempuannya sendiri. Adegan teror ini amat mengingatkan saya pada adegan yang sama dalam serial TV Amerika, Dynasty. Empat, cerita tentang Paman Jangkung, jenderal angkatan darat yang sepanjang film ini cuma sibuk mengurus Rum, keponakannya. Bersama sang jenderal juga ada dua wanita yang tampaknya istri-istrinya. Dari salah satu istri itulah para penonton boleh menduga bahwa Yoko sebenarnya anak haram Pak Jenderal dengan babunya yang dari Desa Bekonang itu. Bisa diterka, keempat "anak cerita" itu diharapkan menjadi kerangka dan titik tolak pembuat film ini untuk menyampaikan pesan.



Maka, kalau tiap cerita bahkan belum merupakan sebuah kisah yang selesai, cerita rangkuman pada akhirnya tak lebih dari hasil usaha mengada-ada. Tengoklah, misalnya, adegan paling kritis film ini: larinya Rum dari kamarnya pada jam-jam menjelang perkawinannya. Jika saja cerita tentang Rum dan keluarganya digarap lebih utuh, tentulah sulit bagi kita menerima rencana perkawinan itu, setelah kepada penonton digambarkan Rum melakukan hubungan seks dengan Yoko -- dan bukan dengan calon suaminya -- di rumah keluarga Rum. Dari adegan itu tidak terlalu sukar menggambarkan watak Rum -- serta posisinya dalam keluarga -- yang menyebabkan gadis seperti itu, tentunya, tidak akan begitu mudah diminta menerima pemuda lain yang tidak dicintainya dan tidak pula digambarkan punya hubungan khusus dengan keluarganya. Terlalu banyak yang ingin disampaikan Sjuman, itu kesan yang sulit dihindarkan. Bukan cuma cerita, tapi juga cara menyampaikannya. Ini adalah film yang penuh kilas balik (flashback), bahkan kilas balik dalam kilas balik. Penonton yang kurang waspada dalam membedakan kilas balik kilas balik dalam kilas balik, dan narasi yang bukan kilas balik, bisa mendapat susah. Sjuman sendiri, dalam satu kesempatan, konon pernah menuturkan bahwa kali ini, agaknya lebih dari ketika ia membuat Atheis yang berdasarkan novel Achdiat Kartamihardja, ia mencoba setia kepada cara bercerita novel aslinya yang karangan Titi Nginung itu -- yang, menurut dia, menampilkan adegan-adegan yang tak urut walaupun secara keseluruhan padu.



Ini memang berbeda dengan caranya ketika menangani Si Doel Anak Betawi, Kabut Sutra Unggu, maupun Budak Nafsu. Model alur seperti itu memang bisa lebih mudah memunculkan masalah -- setidak-tidaknya bila film ini, yang aslinya memakan waktu putar empat jam (menghabiskan 250 can film, sementara ia biasanya memakai rata-rata 100), oleh pertimbangan pemasaran dipotong menjadi hampir tiga jam. Dengan alasan apa pun, informasi tentang tokoh-tokoh maupun logika memang terganggu. Bayangkan bila film ini nanti, di tangan pemilik bioskop, mengalami pemotongan tambahan. Betapapun, Opera Jakarta sebuah eksperimen -- tak sulit ditebak. Sjuman bahkan melangkah lebih jauh: inilah film Indonesia pertama, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, yang menggunakan direct sound -- gambar dan suara direkam simultan. Cara seperti ini, dulu, nun di tahun lima puluhan, dipakai juga oleh Usmar Ismail di Perfini -- dan jauh lebih berhasil. Jika Anda menonton film ini dan banyak kali tidak menangkap percakapan para pemain, itu bukan lantaran kerusakan sistem suara di bioskop.

Hasil rekaman suara film ini memang jauh dari memadai sedemikian rupa, sehingga untuk mengerti jalan cerita saja saya terpaksa menggunakan bahan tertulis yang disediakan produser. Juga musik. Iringan yang digarap Marusya Nainggolan terdengar cukup serius, tapi terasa berjalan tidak seirama dengan gambar. Fotografi, yang dikerjakan Sutomo Gandasubrata, tidak pula menghasilkan potret yang bernuansa. Ditambah dengan kerja kamera yang kurang rapi -- terutama kalau kamera bergerak di sekitar pemain -- dan terasa tidak seirama dengan ritme cerita, semua menunjukkan betapa tidak siapnya Sjumandjaja dengan sebuah eksperimen. Bahkan Norman Benny, editor yang baik, tidak bisa menolong film dan cenderung berpanjang-panjang pada banyak adegannya ini. Setelah Sjuman, salah satu dari sedikit orang Indonesia yang keluaran sekolah film, menyelesaikan banyak karya, membicarakan kelemahan tekms filmnya terasa menyedihkan. Yang mestinya jadi pokok pembahasan adalah cerita dan penyampaiannya. Apalagi karena sutradara yang almarhum ini terkemuka justru karena karya-karyanya yang selalu punya relevansi sosial. 

Kali ini, pada filmnya terakhir, Sjuman tidak hanya tergelincir dalam memilih cerita (aneh, memang, bagaimana ia bisa tertarik pada cerita yang begini vulgar), tapi juga dalam menyampaikannya.

Padahal, dengan cerita ringan seperti Kabut Sutra Ungu Sjumandjaja bisa menghasilkan melodrama yang cukup baik. Memang, Opera Jakarta telah berhasil menampung satu sisi dari ambisi Sjuman tentang film besar: kesan gelombang besar penonton pada pertandingan tinju, atau demonstrasi besar para pelajar menuju kantor polisi, misalnya. Maka, yang masih tetap berharga dalam film ini (produksi Gramedia Film terakhir, setelah memutuskan untuk kembali menggarap film iklan yang dulu digelutinya dengan segala sukses), tentulah keberanian Sjumandjaja untuk bereksperimen. Yang terakhir ini mutlak dipelihara jika diinginkan suatu hari depan bagi film buatan kita sendiri. Dan kalau film ini bakal meraih Piala Citra, maka itu tentulah karena permainan Deddy Mizwar (Paman Jangkung) yang cantik tapi meyakinkan. Sebagai jenderal yang tampil tidak pernah dalam pakaian seragam, ia memberikan kepada kita bukan cuma sosok, tapi juga sejarah hidup yang panjang di belakangnya. Tapi Deddy, yang berasal dari dunia teater itu, memang selalu bermain baik -- dalam kira-kira separuh dari 15 film yang diloloskan Komite Seleksi Festival Film Indonesia kali ini. Salim Said











PINANGAN / 1976

 

Icang bing Japprit dijuluki si Pincang yang karena kakinya memang pincang. Tetapi ia kaya karena itu ia terkenal dikampungnya. Soal kakinya yang pincang diselesaikan oleh Sabeni yang memberikan nasehat, pembantunya yang setia. Dengan sepatu tinggi sebelah selesailah persoalan itu. Langkah berikutnya adalah mencari istri. Sasarannya adalah perawan hampir tua, Roro Melati, putri tunggal Raden Wiro Senjoyo. Diakhir cerita nanti perkawinan memang tidak bisa dihindari, lantaran sang Raden menginginkan menantu. Jadi jalan menuju ke arah perkawinan itulah yang menjadi soal yang digarab oleh Sjuman masalah pokok dalam film.

Cerita ini bukan asing lagi kalau mereka yang nonton cerita panggung pada awal tahun enam puluhan. Dan Sjuman memang mengilhami cerita ini dari sandiwara panggung karya Anton P.Chekov.

Cerita dalam film ini tidak hanya ada soal lamaran, tapi ada cerita penyeludupan, dan punya pacar seorang gadis bisu. Dan Sjuman membagi cerita itu yang memiliki karakter yang menarik. Walhasil cerita peminangan tidak mendapat kesempatan yang cukup berkembang, sementara kisah sang penyeludup juda tiba dimata penonton secara tidak utuh. Banyak persoalan yang harus dijelaskan hingga kesan yang terpantul dari layar lebih kurang cuma kesan terpotong-potong.

Kalau saja Sjuman menyampingkan tokoh Penyeludup dan pacar gadis bisunya itu, film ini akan lebih menarik. Sjuman pernah sukses memfilm kan Si Mamad yang diilhami oleh pengarang yang sama Chekov, tetapi kali ini Sjuman tidak kokh dalam cerita Chekov sehingga ia meyimpang ke penyeludupan dan pacarnya si gadis bisu.

Jadinya film ini tanggung, 2 kisah yang dikerjakan sambil lalu. Sudah itu Sjuman juga tidak menyutradarai pemainnya dengan baik. Rima Melati (Roro Melati) hampir berteriak-teriak sepanjang film, sedangkan Benyamin (sebagai Icang) dimunculkan seperti orang yang tiudak kurang habis diserang penyakit asma.

Juru kamera Leo Fiole, ia kameraman terbaik, tapi hasilnya tidak sebagus itu. Gerak kamera kurang baik, dan warna tidak matang. Dan yang paling nampak menggangu adalah Icang sebagai orang Betawi tidak habis-habisnya memaki orang Jawa ketika bertengkar dengan Melati. Sedangkan orang Betawi habis-habisan dimaki oleh Melati.

P.T. MATARI ARTIS JAYA FILM

BENYAMIN S
RIMA MELATI
SUROTO
KARDJO AC-DC
TIZAR PURBAYA
AIDA MUSTAPHA
OSMAN ALWI
SUMIATI

SI DOEL ANAK MODERN / 1977



Dalam film dikasih judul Si Doel Anak (kata Anak di coret diganti Sok) Modern.

Lulus sekolah di kota, Si Doel hanya menganggur di kampung. Usaha penjodohan ibunya selalu ditolak. Ia sangat mencintai Nonon alias Kristin (Christine Hakim), temannya sekolah di kota, yang sudah jadi peragawati. Doel bisa merayu ibunya agar menjual tanah untuk usaha di kota. Maka ia lalu ikut usaha jual-beli mobil bersama kawannya, Sapii (Farouk Afero). Kemudian datang juga kawan lama lain, Sinyo (Wahab Abdi), yang punya banyak istri, yang mendapat obyek besar, beli tanah, tapi ingin menggunakan uang Doel. Usaha mereka ini diberi syarat, mempertemukan Doel dengan Kristin. Mereka tak menyangka Doel sungguh-sungguh, karena itu pada awalnya mempermainkan dengan mengajari Doel jadi "modern." Doel menurut. Melihat pacar Kristin, Achmad (Achmad Albar), berambut kribo, ia juga ikut. Kristin suka akan Doel yang lucu, yang selalu bisa menghiburnya saat dia kesal dengan Achmad, pemusik rock yang playboy, hingga hubungan itu putus-sambung-putus-sambung. Saat putus Doel diajak Kristin ke Bandung. Doel merasa mendapat angin. Sapii dan Sinyo yang harus membayar uang muka pembelian tanah jadi bingung. Achmad juga bingung.
 
Ia dan anak buahnya berangkat ke Bandung. Begitu juga Sapi’i-Sinyo. Doel dikerubut anak buah Achmad. Kristin melerai dan kembali ke Achmad yang mengajaknya kawin. Doel diseret Sapii-Sinyo dan menyelesaikan pembayaran tanah. Ternyata Achmad digosipkan majalah akan kawin dengan gadis lain. Kristin marah. Doel yang sudah merasa sukses, mendatangi rumah Kristin dengan arak-arakan. Kristin kaget melihat kenaifan Doel. Doel juga kaget, karena ternyata ia salah duga. Ia lari, naik mobil, masuk jurang, dan dirawat di rumah sakit. Kepada ibunya ia mengatakan kapok jadi modern, tapi kata-kata itu ditariknya kembali saat melihat Kristin datang. Sjuman memang berniat mengejek sikap modern yang dilukiskannya dengan negatif: rebutan istri, memperistri gadis kawan anaknya dlsb. Bahkan judul Si Doel Anak Modern juga dicoret dan di ganti Si Doel Sok Modern.
  P.T. MATARI ARTIS FILM

BENYAMIN S
CHRISTINE HAKIM
TUTY KIRANA
S. BONO
ACHMAD ALBAR
FAROUK AFERO
WAHAB ABDI
RD MOCHTAR
MARULI SITOMPUL
YATIE OCTAVIA
NICO PELAMONIA
URIP ARPHAN

News
Film Si Doel contoh permasalahan dan perkembangan kota Jakarta.
Dalam judul di awal filmnya, kata “Anak” dicoret dan diganti “Sok” yang menandai ketidakmampuan si Doel (Benyamin S) untuk sungguh-sungguh menjadi modern, karena sesungguhnya yang dilakukan adalah meniru-niru gambaran kemodernan yang ditampilkan oleh tokoh antagonis dalam film itu (Achmad Albar).

Kisah dalam Si Doel berawal dari sebuah “harmoni” sebuah kampung di Jakarta. Rutinitas bagi Si Doel terganggu ketika sebuah anasir asing masuk ke dalam harmoni itu dan anasir tersebut berasal dari sisi modern kota Jakarta. Anasir itu adalah seorang perempuan, Kristin alias Nonon (Christine Hakim). Perempuan ini adalah wakil dari modernitas, sebuah Jakarta yang baru. Ia adalah teman main si Doel ketika kecil, tetapi menjalani pendidikan dan kemudian bekerja sebagai peragawati (bayangkan istilah ini sekarang). Jakarta yang baru ini terbiasa dengan modernitas (baca: kehidupan urban) yang licik, licin, penuh tipu daya, beraroma narkoba dan seks (keduanya jahat), dan fesyen yang mengganggu (ingat pekerjaan Kristin adalah peragawati). Maka ketika Kristin melihat si Doel, ia terpesona akan kenyataan lain Jakarta, sebuah eksotisme yang muncul dari figur muka Janus metropolitan yang berada pada tahap infant.

Gangguan bagi harmoni inilah yang dijadikan sebagai sebuah sumber kritik sosial oleh Sjumandjaja. Ia dengan ironik memperlihatkan ketidakmampuan tokoh seperti si Doel untuk mempertahankan identitas dirinya demi memenuhi kriteria yang disarankan oleh kemodernan. Celakanya, kriteria yang ditangkap oleh Si Doel itu adalah kriteria artifisial (rambut kribo, celana cutbray) sehingga kegagalan itu menjadi lebih ironik lagi.

Dengan melihat bahwa si Doel adalah anak dari suku Betawi, maka Sjuman ingin sekaligus memperlihatkan kecemasannya akan ketidakmampuan penduduk suku asli Jakarta ini beradaptasi secara substansial dengan perkembangan modernitas yang jalan seiring dengan pertumbuhan kota. Hal ini digambarkan oleh kritikus JB Kristanto sebagai kedekatan khusus Sjumandjaja dengan Jakarta; karena selain Si Doel Anak (Sok) Modern, Sjuman juga membuat Si Doel Anak Betawi dan Pinangan, sebuah adaptasi dari naskah drama Anton Chekov yang dibuat dengan latar belakang Betawi dan pendekatan lenong, teater rakyat tradisional Betawi..






Senin, 07 Februari 2011

LAILA MAJENUN / 1975



Film ini tentang pertikaian 2 gang yang dipimpin Anton (Achmad Albar) dan Mahmud ( Parto Tegal). Maulana (Dedy Sutomo) salah seorang sahabat Anton, jatuh cinta kepada Laila (Rini S.Bono), adik Mahmud. Percintaan ini dihalangi oleh Majid (Farouk Afero), tangan kanan Mahmud. Maulana dan Laila tidak memihak salah satu gang itu, bahkan berusaha mendamaikan mereka.

Film ini amat mengingatkan kita pada karya Shakespearec Romeo dan Juliet serta film West Side Story. Dan Sjuman Djaya mengaku kedua sumber itu sebagai verita memberikan inspirasi. Tetapi tidak lantas berarti bahwa hasil inspirasi dua karya besar itu juga ikut-ikutan besar. Tragedi Laila dan Maulana itu dicoba dikisahkan dalam bentuk musikal, suatu keberanian yang patut dipuji.

Film ini mencoba menampilkan tragedi Laila dengan Maulana, dalam bentuk musikal. Memang suatu usaha yang berani, tetapi karakter film tidak jelas. Mungkin Sjuman ingin menggabungkan unsur film Bollywood kedalam karya klasik Eropha Romieo dan Juliet. Tetapi dalam hal Romieo dan Juliet Indonesia memiki cerita klasik tersendiri juga. memang kebiasaan Sjuman adalah mencari sesuatu yang lain, dan tidak mau dengan klise yang sudah ada.
 
Tetapi pujian itu buat sementara harus berakhir pada keberanian itu saja, bukan pada hasilnya. Film Laila Majenun tidak jelas karakternya, musikal atau drama. Kalau karena nyanyian-nyanyian saja, maka sebuah film disebut film musikal, maka sebagaian besar film buatan Indonesia akhir-akhir ini terpaksa digolongkan sebagai film musikal. Dengan nyanyian-nyanyian serta gerak tari yang dihadirka Sjuman Djaya ini memang terasa aneh. Tetapi dengan perkelahian yang realistis dan keras, pisau, pistol, dan darah yang berhamburan, ilusi musikal yang dicoba bangun oleh Sjuman akhirnyaporak-poranda.
 P.T. MATARI FILM
P.T. ARTIS JAYA FILM

FAROUK AFERO
ACHMAD ALBAR
RINI S. BONO
DEDDY SUTOMO
PARTO TEGAL
SOULTAN SALADIN
MEIKE SONDAKH
AEDY MOWARD
KUSNO SUDJARWADI
IDA KUSUMAH
PONG HARDJATMO
SENTOT S










LAILA MAJENUN Cerita, Skenario dan Sutradara: drs Syuman Djaya Produksi: PT Matari Film & PT Artis Jaya Film. *** FILM ini mengetengahkan suatu pertikaian antara dua kelompok gang yang dipimpin Anton (Achmad Albar) di satu pihak, dan Mahmud  (Parto Tegal) di pihak lain. Maulana (Deddy Sutomo) salah seorang sahabat Anton jatuh cinta kepada Laila (Rini S. Bono), adik Mahmud. Percintaan ini dihalangi oleh Majid (Farouk Afero), tangan kanan Mahmud. Maulana dan Laila tidak memihak salah satu gang itu, bahkan berusaha mendamaikan mereka. Tidak salah memang, film ini amat mengingatkan kita pada karya Shakespeare, Romeo dan Juliet serta film West Side Story. Dan Sjuman Djaya mengakui kedua sumber itu sebagai cerita yang memberinya inspirasi. Tapi ini tidak lantas berarti bahwa hasil inspirasi dua karya besar itu juga ikut-ikutan jadi besar. Tragedi Laila dan Maulana itu dicoba dikisahkan dalam bentuk musikal, suatu keberanian yang memang patut juga dipujikan. Tapi pujian itu buat sementara harus berakhir pada keberanian itu saja, bukan pada hasilnya. Film Laila Majenun tidak jelas karakternya, musikal atau drama. Kalau karena nyanyi-nyanyian saja maka sebuah film disebut film musikal, maka sebagian besar film buatan Indonesia akhir-akhir ini terpaksa digolongkan sebagai film musikal. Dengan nyanyian serta gerak tari yang dihadirkan Sjuman dalam karya terbarunya itu, Laiia Majenun memang terasa sedikit aneh tapi dengan perkelahian yang realistis dan keras, darah, pisau, pistol dan darah yang berhamburan, ilusi musikal yang dicoba bangun oleh Sjuman akhirnya porak poranda.

BUDAK NAFSU / 1983



Penyerbuan bala tentara Dai Nippon ke kota kecil di pantai utara Pulau Jawa merupakan awal bencana bagi keluarga janda Fatima. Demi menyelamatkan puterinya, Ija, dari pemerkosaan, Fatima bersedia menyerahkan tubuhnya. Bersama wanita-wanita muda lainnya ia diangkut tentara Nippon dan harus berpisah dengan pamannya, Waknatu. Pemuda yang diam-diam mencintainya, Janatu, dipaksa menjadi heiho.

Di kapal, Fatima dan kawan-kawannya diperkosa habis-habisan. Janatu yang ingin membela diberondong peluru. Kapal dibom pesawat Sekutu. Fatima yang berhati emas tetap menolong seorang perwira yang terapung-apung. Di Penang, perwira Nippon itu membalas budi dengan menitipkan Fatima kepada Opsir Takashi.

Pejuang-pejuang Malaya dipimpin Abdullah ingin membebaskan Tun Ramli yang tertangkap. Fatima diminta bantuannya. Ketika hal ini diketahui, Fatima disiksa oleh Kenpeitai. Takashi nekad menolongnya dan melakukan harakiri untuk menebus dosa.

Di Pasir Panjang, Fatima menderita sakit rajasinga. Penduduk mengucilkannya. Untung ada Mak Habsah, perempuan tua yang telaten merawatnya dalam hutan. Fatima berangsur sembuh.

Setelah Jepang menyerah, Abdullah mengantarkan Fatima ke Medan. Di tengah laut mereka dipergoki patroli NICA. Sekali lagi Fatima terjatuh ke dalam cengkeraman tangan-tangan buas. Ia disekap di benteng Belanda di Palembang.

Pejuang-pejuang Republik Indonesia menyerbut benteng tersebut untuk membebaskan pimpinan mereka, Bermawi. Fatima yang menderita shock dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

Tahun ’60-an, Bermawi telah menjadi seorang Panglima dan bertemu kembali dengan Fatima. Perempuan malang ini dibiayai ke Jakarta. Keinginannya cuma satu, mencari puterinya, Ija. Di Rumah sakit, Fatima bertemu dengan Dr. Ati yang sangat mirip dengan Ija. Ternyata Dr. Ati memang Ija adanya !

P.T. SORAYA INTERCINE FILM

EL MANIK
JENNY RACHMAN
ROY MARTEN
MANG UDEL
MARULI SITOMPUL
ROSMEINY RACHMAN
SOFIA WD
MUNI CADER
MINATI ATMANEGARA
BUNG SALIM
GODFRIED SANCHO
SJUMAN DJAYA

R.A. KARTINI (RADEN AJENG KARTINI) / 1983

R.A. KARTINI

 
















Raden Ajeng Kartini (dewasa, Jenny Rachman) lahir di Mayong, Jepara tanggal 21 April 1879. Ayahnya R.M. Aryo Sosroningrat (Wisnu Wardhana), wedana Jepara dan ibunya Mas Ayu Ngasirah (Nani Wijaya), selir ayahnya. Kartini mendapat pendidikan yang sama seperti adik-adiknya maupun kakak-kakaknya lain ibu. Berkat pendidikan dan rajinnya membaca, seprti buku terbitan Belanda, Max Havelar, Kartini mulai melihat kenyataan aneh di lingkungannya. Di kabupaten hidupnya dirasakan berlebihan, sementara di luar untuk sesuap nasi para wanita harus bekerja berat. Ibunya sendiri tidak berhak untuk makan bersama dengan ayahnya. Kartini merasakan dilingkupi kesewenangan laki-laki. Jiwanya menjerit. Terlebih setelah ia menginjak dewasa. Kartini bersama saudara-saudara perempuan lainnya harus menjalankan kebiasaan dipingit. Hal ini kemudian mendapat protes keras dari teman Kartini, suami-isteri Asisten Residen dan Residennya sendiri. Mereka berhasil mengeluarkan Kartini, Kardinah dan Rukmini dari pingitan. Kartini lalu bisa mengajarkan membatik kepada para wanita sekitarnya. Kartini dan Kardinah kemudian mendirikan sekolah di kabupaten Jepara untuk memajukan kaumnya. Sekolah ini mendapat sambutan dari wanita-wanita, baik kaum ningrat maupun rakyat jelata. Ketika cita-cita Kartini sebagian sudah terwujud, ia dipinang oleh Bupati Rembang Djojoadinigrat (Bambang Hermanto). Lamaran itu sebenarnya tidak dia inginkan, karena takut cita-citanya kandas, tetapi tidak lazim menolak lamaran seorang ningrat. Kartini akhirnya menerima lamaran itu dengan syarat, agar suaminya membolehkan Kartini untuk meneruskan cita-citanya. Bupati Djojoadiningrat akhirnya menyetujui syarat tersebut. Kartini kemudian kawin dengan Bupati Djojoadiningrat, setelah istrinya, Soekarmilah, meninggal. Sjuman mendekati kisah populer ini dengan sikap romantik.

RA. KARTINI Pemain: Yenny Rachan, Wisnoe Wardhana, Nani Wijaya Skenario/Sutradara: Sjumandjaya Tidak asing, bahkan bagi murid TK sekalipun, sekarang R.A. Kartini lebih diakrabkan lagi ke seluruh lapisan masyarakat lewat film yang sejudul dengan namanya. Dan sutradara menggarap tidak tanggung-tanggung: Kartini ditampilkan sejak lahir sampai meninggal -- merangkum kurun waktu 26 tahun. Mungkin baru kali ini tokoh sejarah nasional difilmkan sedemikian utuh.

Orang dalam mengatakan, film ini masa putar aslinya empat jam, tapi sesudah melewati editing berat tinggal tiga jam. Namun banyak penonton kecele karena pihak bioskop telah mempersingkat masa putarnya belasan menit. Hingga, tentu saja, ada bagian-bagian yang hilang. Kalau ini benar, adakah hak seniman film untuk menuntut pemilik bioskop? Editing tambahan semacam ini merupakan preseden berbahaya yang perlu segera dicegah. Masalah lain adalah soal missi yang terlalu membebani. Sutradara bersiteguh untuk mengangkat buah pikiran dan renungan Kartini yang terpusat pada proses pemiskinan moral dan materi di kalangan pribumi Jawa. Akibatnya muncul kesulitan: bagaimana menjalin kebesaran tokoh dengan kebesaran masalah. Aksentuasi sutradara memang masih tetap pada tokoh, namun kesinambungan jadi kurang terpelihara. Di film ini Yenny berusaha keras untuk tidak hadir sebagai dirinya sendiri, tapi dia juga tidak nampak mewakili Kartini. Banyak kritik dilontarkan, misalnya, tentang beberapa hal kecil: lafaz bahasa Jawa dan bahasa Belanda Yenny terdengar asing di telinga, close up mata yang muncul berulang-ulang, penyambutan massal kelahiran bayi Kartini, dan aureol untuk tokoh Kartini.

Semua ini cacat kecil yang mengurangi angka. Tapi, di samping itu film R.A. Kartini juga punya beberapa adegan bagus: protes bersila Sosrokartono yang berlanjut dengan awal masa pingitan Kartini, dialog di pantai ketika Sosroningrat memberi informasi tentang lamaran bupati, konflik Kartini dan suaminya Djojoadiningrat. Terlepas dari banyak kontroversi dan kelambanannya yang menggelisahkan penonton di kursi, film ini cukup bertahan dan selamat melewati minggu ke-3 yang gemilang. Jangan-jangan bisa menandingi film terlaris Sjuman terdahulu: Kabut Sutra Ungu. Dengan segala cacat kecilnya, film ini pantas dipujikan untuk pemain pria terbaik (Wisnoe Wardhana sebagai bupati Sosronigrat), pemain pembantu wanita terbaik (Nanny Widjaya sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini) dan sinefotografi terbaik (Soetomo Gandasubrata).

 P.T. NUSANTARA FILM

WISNU WARDHANA
JENNY RACHMAN
BAMBANG HERMANTO
ADI KURDI
RAE SITA
FARIDA FEISOL
DHANNY DAHLAN
CHINTAMI ATMANEGARA
NANI WIDJAJA
CORRY ROBERT
ANDY AURIC
SUTOPO HS

















Siapa sebenarnya ibu RA Kartini?  istri sah (Garwa Padmi/ Permaisuri) atau Garwa Ampil ( baca: selir) atau ‘istri muda’?
Polemik yang berkembang di masyarakat sudah terjawab kini.  Fakta Sejarah menyebutkan bahwa istri bupati Rembang ke 7 Djojo Adiningrat yang pertama R.A.A.A Sukarmilah wafat pada 13 November 1902 dan tidak mempunyai anak. Setahun kemudian tepatnya 12 November 1903,  bupati  Rembang menikahi RA Kartini  dengan cara sederhana.  RA Kartini wafat pada 17 September 1904,  4 hari sebelumnya, yaitu  pada tanggal 13 September 1904, ia melahirkan anak yang di beri nama Singgih/ RM Soesalit. Posisi saat RA Kartini meninggal atau menghembuskan nafasnya terakhir yaitu berada di pangkuan suaminya (menurut pengakuan para abdi dalem yang ada saat peristiwa itu), bukan di atas tempat tidur (seperti dalam film RA Kartini yang  di sutradarai  oleh alm Sjuman Djaya).

RM Soesalit pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III/ Diponegoro di kota Yogyakarta dan Magelang ( periode 1 Oktober 1946 – 1 Juni 1948) dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. RM Soesalit menikahi Gusti Bendoro A.A Moerjati, putri Susuhunan Paku Buono IX dan mempunyai dua putri yaitu R.A Srioerip dan R.A Sri Noerwati (putra pertama meninggal dan istri RM Soesalit meninggal saat melahirkan putri kedua). Dalam perjalanan waktu,  RM Soesalit memperistri Ray. Loewiyah Soesalit DA dan mempunyai Putra tunggal, yaitu :  RM. Boedi Setiyo Soesalit ( cucu RA Kartini) yang menikahi Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit. Dari pernikahan itu dikarunia 5 orang anak (cicit dari R.A Kartini) yakni: RA. Kartini Setiawati Soesalit, RM. Kartono Boediman Soesalit,RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM. Rahmat Harjanto Soesalit. Mayjen RM Soesalit Djojo Adiningrat sendiri  meninggal di sebuah ruangan di bangsal Pavilliun Rumah Sakit RSPAD pada 17 Maret 1962, tepat jam 05.30 WIB, di makamkan di desa Bulu, Rembang dekat dengan makam ibundanya RA Kartini. Tepat tanggal 21 April 1979, alm Mayjen RM Soesalit Djojo Adiningrat mendapat anugerah dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Tanda Kehormatan Bintang Gerilya. 




Kebangsawanan Raden Ajeng
Raden Ajeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara.Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkimpoian ( baca: perkawinan;pernikahan)  itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. 

Menyambut visit Jawa Tengah 2013 , Rembang berbenah diri untuk menjadi salah satu destinasi  wisata sejarah  di Jawa Tengah. Sejarah pengabdian dan akhir hayat RA Kartini di kota ini sangatlah kental. Jejak sejarah RA Kartini sampai saat ini masih di lestarikan, seperti : Museum Kamar Pengabdian dan Makam RA Kartini yang sudah mengalami renovasi  dan dilengkapi dengan fasilitas canggih. Museum Kamar Pengabdian berlokasi di lingkungan rumah dinas bupati Rembang ini merupakan tempat dimana RA Kartini melakukan segala aktivitas, menulis buah pikiran, termasuk  melahirkan putra sau-satunya alm RM  Soesalit. Sedangkan  makam RA Kartini terletak di desa Bulu 17 kilometer dari kota Rembang, berbentuk pesanggrahan dengan cungkup atap berbentuk joglo, di sanalah RA Kartini bersama suaminya bupati Djojo Adiningrat serta putranya di semayamkan.

WALISANGA

WALISANGA

Film ini tidak sempat dibuat karena Sjuman Sjaya dalam diskusi mendekati pembuatan film ini berkata,"Tinggal tunggu saya saja. Saya harus merasa siap secara spiritual untuk menggarap film ini" Walhasil tidak pernah siap......

Bagaimana sampai ia memiliki cerita ini? “Manu sudah pernah mengatakan pada saya bahwa ini novel bagus. Tapi saya tak ambil pusing. Namun suatu kali saya pergi Surabaya naik Bima untuk riset film saya tentang walisanga. Di kereta itu pramugari menyodorkan setumpukan novel. Saya ambil satu yang judulnya pernah saya ambil dari Manu. Saya baca habis malam itu juga. Dan saya pun tertarik”..Demikian kisah Sjuman.

Dari kisah itu bisa ditarik kesimpulan bahwa obsesi pertama dia memang film walisanga itu. Dan film ini semacam “conditioning” untuk mencapai tarap yang sudah dua tahun ditinggalkannya.

Apa yang menarik dari kisah Walisanga itu? “Saya merindukan tokoh-tokoh besar semacam itu. Tokoh yang berfikir, bertindak dan berhasil”, katanya. Untuk itu dia memang sudah melakukan banyak penelitian. Baik literature, bukan literature maupun yang “mistik”. “Saya bicara langsung dengan Sunan Kalijaga lewat guru saya”, katanya. “Dan dari penuturannya, apa yang tertulis sekarang ini ternyata salah”

Kapan kita-kita mulai mengarapnya? “Sebelumnya semuanyasudah siap. Tinggal menunggu saya saja. Saya harus merasa siap secara spiritual sebelum menggarap film itu”.


KERIKIL-KERIKIL TAJAM / 1984

KERIKIL-KERIKIL TAJAM


Wanita bukan obyek, kok, tapi subyek”, kata Sjuman Jaya. Lalu dia menyelenggarakan seminar sehari dengan judul “Nasib Wanita Desa Menuju Eksistensi Diri di Tengah Gejolak Pembangunan”. Pembicara utamanya dia sendiri. Mungkin anda segera berseru: “ah klise!” Tapi nanti dulu, Sjuman tidak berbicara lisan. Dia sebagaimana profesinya berbicara lewat media ekspresi yang namanya film. Judul seminar yang panjang itupun disesuaikan menjadi “Kerikil kerikil Tajam” Kehadiran film ini menjadi penting artinya karena Sjuman berani menjabarkan ide tentang wanita yang klise itu, lebih-lebih dengan embel-embel pembangunan, menjadi puitis. Bahkan dengan meresapi ide yang terkandung dalam film ini, sekaligus kita resapi visi pribadi Sjuman, khususnya tentang wanita-wanita di orbit pengamatannya. Siapa tahu, kita sendiri atau istri atau anak kita termasuk diantaranya.

P.T. BOLA DUNIA FILM

CHRISTINE HAKIM
WENTY ANGGRAINI
RAY SAHETAPY
ROY MARTEN
ASTRO IVO
PONG HARDJATMO
DEDDY MIZWAR
DEDDY SUTOMO
NANI WIDJAJA
COK SIMBARA
MERIAM BELLINA
RAE SITA






















Hidung belang di mana-mana
Wanita-wanita yang dimaksud Sjuman dalam film ini adalah Retno (Chistine Hakim) dan Inten (Wenty Anggraini). Kakak beradik yang saling menyanyangi ini berasal dari keluarga sederhana, di desa kecil dipinggir pantai. Namun demikian mereka berkesempatan bersekolah. Retno bahkan hampir tamat SMA. Gadis ini merencanakan menikah setelah lulus kelak. Pacarnya yang setia, Ganjar (Ray Sahetapy) juga berasal dari keluarga sederhana. Sementara itu pembangunan yang diprogramkan pemerintah telah memasuki desa mereka. Hiruk pikuknya proyek pembangunan menimpali debur ombak. Putra-putra daerah yang kebagian proyek itupun menjadi cermin keberhasilan hidup. Contohnya Gatot, kakak Ganjar. Karena bekerja di pabrik semen, dia mampu membeli televisi dan video yang menyajikan gambar-gambar lebih menarik daripada tontonan setempat yang tradisional. Joko yang bekerja di kota mampu mondar mandir dengan mobil mengkilatnya. Kota menjadi daya tarik. Sebab di sanalah sumber pembangunan. Karena itu Retno dibujuk oleh ayah dan ibunya untuk segera pergi ke kota mencari penghidupan yang lebih layak. Karena desakan itu, Retno dengan mengajak adiknya, mengadu nasib ke rantau orang. Kebetulan Joko menawari mereka pekerjaan yang katanya menarik. Tapi yang menarik itu ternyata menyakitkan. Retno dan adiknya cuma dijual kepada majikan Joko. Retno semakin sakit hati ketika Joko mengatakan bahwa dia dan adiknya dibeli dengan harga mahal dari orang tua mereka. Karena itulah Retno memutuskan untuk tidak kembali desa, tapi menurutkan hati ke mana pun pergi. Di kota pertama pelarian itu, Retno dan Inten berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan rumah makan. Di sini kembali Retno mendapat cobaan. Seorang nyonya asal metropolitan mempermalukannya didepan umum dengan tuduhan mencuri perhiasan. Selesai urusan itu, Retno nyaris diperkosa oleh anak si empunya rumah makan.

Akibatnya Retno memilih pergi. Tujuannya adalah ibu kota yang penuh harapan. Kakak beradik itu mendapat tempaan pengalaman yang “lumayan”. Dari berjualan koran disekitar lampu lalu lintas, terkena razia bersama wanita-wanita tuna susila, sampai masuk panti rehabilitasi para wts. Keluar dari sana bekerja sebagai tukang binatu pada akeluarga Santoso. Tapi karena Santoso punya bakat hidung belang, kembali Retno dan Inten minggat. Oleh Masful (Roy Marten) seorang wartawan lepas, keduanya dibantu sehingga berhasil mendapat pekerjaan di pabrik makanan. Ujian belum selesai, Retno dan adiknya terbentur pada kasus perburuhan di pabrik tempat mereka bekerja. Beberapa pegawai wanita itu dirusak “kehormatannya” oleh orang-orang yang tidak jelas. Retno berusaha menolong teman-temannya. Usaha itu terutama untuk menolong nasib adiknya dan dirinya sendiri. Cirinya? Dia harus mau tidur dengan pimpinan pabrik itu. Dalam kemelut perang batinnya,Retno melarikan diri. Terakhir dia menggantungkan harapannya pada Amangku (Deddy Mizwar), seorang pengacara, orang terakhir yang diharapkan mampu menolong nasibnya. Kali ini mau mempertaruhkan kehormatannya pada pria itu.

Selama pelarian Retno, selama itu pula Ganjar berusaha mencari kekasihnya. Di kota besar yang “keras” itu, pengalaman menempa remaja-remaja asal desa tersebut, secara lahir dan batin. Bahkan, mereka kemudian besepakat memilih desa kembali, sebagai tumpuan harapan.


Pendidikan tak hanya di kota
Pengalaman Retno dan Inten, mengingatkan kita pada cerita wayang episode Pergiwa-Pergiwati. Ada persamaan ide dasar dan falsafah. Pergiwa dan Pergiwati adalah kakak beradik putrid asal padepokan yang sepi. Karena rindu kepada ayah dan ingin memperbaiki nasib, keduanya pergi ke kota, mencari ayahanda mereka. Raden Arjuna yang telah lama tak jumpa. Namun banyak cobaan selama perjalanan dari padepokan ke Kadipaten Madukara. Cantrik Janaloka, sang pengantar menyalahgunakan kepercayaan mereka dengan memaksakan kehendaknya untuk memperistri Pergiwa. Kedua putri itupun melepaskan diri. Lepas dari satu hidung belang, jatuh kehidung belang lainnya. Di rimba raya yang buas itu, mereka menjadi buruan para Kurawa. Raden Lesmono putra pimpinan Kurawa, berminat pula memperistri Pergiwa. Malang tak dapat ditolak dalam pelarian itu. Pergiwa dan Pergiwati terjatuh kedalam jurang. Tapi mereka menjadi terbebas dari kebuasan para kurawa. Lebih penting lagi Syuman ingin mengatakan bahwa pembangunan di desa mempunyai arti penting. Bukan hanya fisik desa itu saja yang berubah, tapi juga mental masyarakatnya. Khususnya tentang Retno, harga dirinya yang tinggi sangat menonjol.

Dalam mempertahankan kehormatannya, tidak hanya sekedar karena nurani (seperti pada kebanyakan orang-orang yang kurang pendidikan), tapi dengan perhitungan. Sikap semacam ini hanya dilakukan oleh orang-orang berpendidikan cukup. Contohnya, pada waktu ia memutuskan untuk menemui pimpinan pabrik tempatnya bekerja. Tujuannya adalah “kalau aku berhasil, teman-temanku akan selamat dan adikku pun terhindar dari nasib buruk”. Juga tangisan Retno terhadap kecurigaan pimpinan rehabilitasi wts. Retno dengan marah mengatakan “Saya terbiasa bekerja keras. Dan yang terpenting saya adalah seorang pelajar”. Sikap seperti itu diperlihatkan Retno sebagai bukti bahwa dia berani karena benar. Bahkan sejak semula keberanian itu telah nyata, yakni ketika ia memutuskan untuk tidak kembali ke desanya, tapi menciba lari ke kota besar. Keberanian disini adalah cermin kemandirian. Sebab tak semua orang, lebih-lebih wanita yang mampu melepaskan diri dari lingkungan yang mapan. Seandainya mampu dan berani perlu waktu untuk beradaptasi dengan keadaan. Tapi Retno tak memerlukan itu. Sementara Inten yang mengekor kakaknya terseret begitu saja mengikuti arus yang membawa pokok tempatnya bergantung.

Namun, motivasi kepergian Retno dan Inten dari desanya agak kabur. Mengapa Retno dan Inten yang masih sekolah dan belum lulus itu harus cepat-cepat meningalkan desa? Bukankah mencari pekerjaan bisa ditunda bila Retno lulus SMA? Toh dikeluarga mereka tak terjadi apa-apa yang mendesak kedua gadis itu pergi ke kota. Agaknya, logika tergeser oleh tuntutan ceritera.

Romantisme Syuman
Meja bilyard yang menjadi “fore ground” (latar depan) pada adegan Retno dan Inten diserahkan kepada majikan Joko adalah sebuah gambaran bahwa orang kaya bisa “mengatur dunia”. Dia bisa membeli nasib seseorang dengan kekayaannya. Ketika majikan itu mengambil bola putih dan menggelindingkannya sampai masuk kedalam lubang, adalah symbol dari kekuasan itu. Contoh lain yang lebih gamblang adalah benturan social budaya barat dan timur lewat kesenian tradisional “ledek” (tari tayub) yang dihadirkan secara “parallel cutting” dengan tarian modern oleh penari bule berpakaian minim lewat pesawat video.

Pada suatu saat musik disko yang hingar bingar itu menutup suara gamelan. Dari sana tersirat pertanyaan, benarkah kebudayaan barat telah mengalahkan budaya tradisional? Bahkan tokoh utamanya sendiri. Retno dan Ganjar lebih suka menonton video itu daripada banyolan-banyolan yang dilantunkan penari “ledek” dan badutnya. Idiom-idiom sinematik semacam itu tidak”vulgar” tapi terasa menggigit. Bahkan romantisme Syuman juga dimunculkan lewat tokoh Amangku. Pria setengah umur tanpa isteri yang menyimpan lukisan naturalis seorang wanita cantik adalah symbol sepotong cinta dan kekaguman terhadap keindahan. Syuman memang pengagum wanita dan dia mau menghargai wanita itu lewat kekagumannya. Paling tidak hal itu relevan dengan keadaannya dewasa ini. Setelah dia memperisteri seorang artis baru yang berbakat. Rupanya Syuman merasa telah mapan. Agak berbeda dengan film-filmnya terdahulu, irama film “kerikil” terasa lebih lincah. Dalam arti, frame demi frame dirangkai dan disunting dengan cermat dan efisien. Misalnya, gambar adegan orang tua Retno menyerahkan anaknya untuk bekerja di kota disambung langsung dengan gambar adegan Retno dan Inten diantara Joko menghadap majikan yang kaya “membeli” orang. Demikian pula dari adegan Retno dan Inten terdampar di Purwokerto, langsung keadegan Retno dan Inten. Nani Wijaya adalah nama yang “menjanjikan” paling tidak jaminan kelarisan. Keunggulan Syuman adalah dia tidak mengadu acting artis-artisnya, karena kelebihan masing-masing itulah, mereka justru saling mengimbangi. Karena itu tak ada artis yang menonjol termasuk Christine Hakim yang biasanya demikian. Hanya saja Christine sangat beruntung dengan perannya kali ini. Setelah sukses memerankan wanita tua pada film “Ponirah Terpidana”, Christine mendapat kesempatan memerankan gadis muda di “kerikil”. Jarang sekali artis Indonesia yang punya kesempatan membawa peran bervariasi seperti itu.

Pembaharuan sikap
Bagi Syuman pribadi, nampaknya film ini merupakan pembaharuan sikapnya. Kalau pada film Si Doel Anak Modern tahun 1976. Syuman menertawakan dan mengejek para urban, di sini “kerikil” Syuman justru bersimpati pada para urban. Selamatnya nasip Retno dan Inten adalah indikasi yang jelas. Demikian pula bila kita bandingkan dengan film Syuman tahun lalu yang berjudul “Budak Nafsu”. Di sana tokoh wanitanya abis-abisan menderita dan sengsara. Di “kerikil”, Retno dan Inten selalu dihindarkan dari puncak derita. Memang ide dasarnya berbeda. Budak Nafsu berdasar novel, sedangkan “kerikil” adalah ide Syuman sendiri. Di film ini bahkan Syuman sama sekali tak menyajikan adegan buka pusar atau paha seperti pada Budak Nafsu. Agaknya Syuman ingin meralat, bahwa tanpa eksploitasi seks, film bisa menarik. Lebih dari itu tersirat juga pandangannya tentang wanita. Bukan hanya yang berasal dari kota, wanita desapun punya harga diri dan mandiri. Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan akses-aksesnya, wanita bisa menyesuaikan diri. Retno dan Inten kembali ke desa dengan selamat. Hubungan Retno dengan Ganjar yang terputus sesaat tersambung kembali. Seperti nasib Pergiwa-Pergiwati. Mereka juga selamat keluar dari hutan rimba belantara. Mereka jumpa dengan Ayahanda yang dirindukan, bahkan Pergiwa menemukan jodohnya kesatria perkasa. Raden Gatotkaca. Dan seminar sehari tentang martabat wanita itupun menjadi bahan renungan kita.ka kemudian besepakat memilih desa kembali, sebagai tumpuan harapan.

YANG MUDA YANG BERCINTA / 1977

 
Meski sudah lolos sensor (15 April 1978) dengan potongan 18 menit, film ini dilarang beredar pada bulan Mei 1978 di wilayah hukum Kodam Jaya, karena dinilai ada unsur propaganda, agitasi dan menghasut masyarakat, khususnya generasi muda. Masalah ini cukup berlarut, karena sampai dibicarakan pada tingkat Kopkamtib. Pada September 1993, film itu baru diputar di Jakarta.


Film ini sempat kontroversi. Dan ada juga adegan panasnya dalam film ini. Ternyata film Indonesia selalu berputar setiap dekade. Sekarang mungkin memasuki dekade yang ke 3. Biasanya film Indonesia hancur ketika banyaknya film Horor dan sex dan action yang sudah tidak mementingkan cerita dan mutu lagi. Semata-mata laku keras. Dari hal dagang, prinsipnya adalah modal sekecilnya, untung sebesarnya. Jadi buatlah film yang menggunakan modal kecil, tapi untung pemasarannya. Hal yang paling clasik adalah memasukan unsur sex dan adegan panas. Dari jaman 1900-1940'an (sebelum Jepang Masuk) film Indonesia serasa mau mati. Banyak yang bilang matinya karena Jepang masuk. Tetapi akhir dari kematiannya iotu adalah mutu yang itu-itu saja membuat film Indonesia sudah disebelin penontonnya. Lalu saat Jepang mulai ke buka arti tentang film, banyak yang muda-muda tumbuh termasuk Usmar Ismail dan kawan-kawan dari golongan perwira TNI. Lalu film mulai perlahan tapi pasti memperhatikan mutu, tetapi hancur lagi dengan akhir film sex dan adegan panas ketika akhir 1980'an sampai 1992. Lalu bangkit lagi dengan menjanjikan mutu yang baik lagi era 1994/1995 hingga saat ini. Cara yang mudah melihat apakah film Indonesia akan hancur lagi...dihat dipasaran..apa tema mereka yang diangkat.
 MATARI ARTIS JAYA FILM

NANI WIJAJA
YATIE OCTAVIA
W.S. RENDRA
ADE IRAWAN
MARULI SITOMPUL
RUDY SALAM
POPPY DARSONO
YAYUK SUSENO
SUKARNO M. NOOR


NEWS
Meski sudah lolos sensor pada 15 April 1978 dengan potongan 18 menit, film ini dilarang beredar pada Mei 1978 dengan wilayah hukum Kodam Jaya karena dinilai ada propaganda, agitasi dan menghasut generasi muda. Cukup berlarut, pembicaraan pada tingkat Kopkamtib, pada September 1993 baru diputar di Jakarta dan mendapat Citra pada FFI 1978 untuk pemeran pembantu terbaik, Nani Widjaya.

Yang Muda yang Bercinta Pemain: W.S Rendra, Yati Octavia, Maruli Sitompul, Soekarno M. Noer Skenario: Umar Kayam Sutradara: Sjuman Djaja Produksi: PT Raviman Films, Jakarta, 1978

Cerita bergulir dari sebuah jendela kampus di Jakarta, saat Sony (diperankan W.S. Rendra) membacakan sajak. Rambutnya agak gondrong, sorot matanya tajam, suaranya lantang meneriakkan protes lewat sajaknya. Sony muncul sebagai sosok yang bergerak di antara sejumlah kenyataan sosial.


Sony adalah seorang mahasiswa merangkap penyair. Ia datang dari keluarga priayi Jawa yang hidup pas-pasan. Ayahnya (Maruli Sitompul) seorang pensiunan juru tulis dan bekas pejuang 45 yang jujur serta bersahaja. Sang ayah sangat berambisi mendorong anaknya menjadi sarjana demi mendongkrak martabat keluarga-nya.


Demi memenuhi kebutuhannya, Sony yang melarat itu menyandarkan hidup pada pamannya (Soe-karno M. Noer) nan kaya-raya. Kebetulan, pamannya memang sangat sayang kepada Sony. Itu membuatnya begitu mengagumi dan mengidolakan pamannya.Belakangan diketahui, sang paman yang dermawan dan diido-la-kannya itu ternyata seorang germo kelas tinggi. Sony terguncang. Dan kegamangan Sony kian memuncak setelah mengetahui pacarnya hamil. Sony "lari" ke ru-mah neneknya di Yogyakarta, tapi kemudian kembali ke Jakarta. Di ujung cerita, Sony kembali ke pelukan sang pacar di Jakarta. "Delapan ratus kilometer akan kukebut untuk memelukmu!" pekik ...Sony.


Film Yang Muda yang bercinta.
karya sutradara beken Syumanjaya, yang dibintangi WS. Rendra waktu masih muda. Wuih, film itu jadi favorit ibu-ibu kamu saat remajanya. Meski konon kabarnya kontroversial, tapi film tahun 70-an itu tetap mendapat tempat anak muda di Iamannya. Bagaimanapun cinta memang berpengaruh besar dalam kehidupan.

Dan seperti nggak mau kalah dengan sukses para pendahulunya, film-film remaja saat ini sarat dengan tema cinta. Sebut Baja serial tivi seperti Dawson’s Creek, Beverly Hills 90210, atau film Iayar lebar teranyar keluaran 20th Century Fox garapan sutradara John Schultz, Drive Me Crazy. Tentu tema sentral tetap cinta. Film yang sepertinya khususan buat para remaja ini memang pinter bikin remaja kesengsem berat. Sepanjang nonton film ini, para remaja juga bakal larut dalam lagu-lagu keren’ milik Steps, Backstreet Boys dan Britney Spears. Lagi-Iagi cinta memang bikin hidup Iebih berarti, katanya.

Tapi jangan salah, kamu nggak bisa seenak udel kamu berbuat dalam hidup ini. Sebagai seorang muslim, tentu selalu terikat dengan aturan main dalam Islam. Bagaimana pun juga kamu harus terikat hukum syara. Termasuk dalam urusan cinta ini. Nggak sembarangan, Iho. Lagi pula masa remaja bukan waktu untuk sah-sah saja berhura-hura dan bebas bertingkah laku. Bisa gawat!



Jangan Mendewakan Cinta
Perlu diingat, meski cinta bisa bikin hidup asyik dan oke punya, bukan berarti cinta menjadi dewa. Segalanya hanya untuk cinta dan demi cinta. Nggak begitu, say. Walau bagaimanapun juga kamu tetap seorang muslim, yang dalam hidupnya harus selalu waspada, agar tak kecemplung ke dalam jurang maksiat.

Cinta harus dipahami sebagai sesuatu yang sakral. Sesuatu yang suci. Nggak bisa sembarangan. Karena cinta dan kasih sayang bukan cuma untuk dilampiaskan dalam gelimang kebebasan dan dosa. Nggak kawan. Nggak serendah itu. Setiap orang punya cinta. Kamu juga punya. Kita semua memiliki cinta. Tapi terus terang, cinta kan bukan cuma hubungan dua Iawan jenis Iaki dan perempuan. Bukan cuma sebagai hubungan sempit seperti itu, yang kemudian dijadikan pemuas nafsu liar kamu. Tapi cinta begitu Iuas. Karena ia merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan jenis. Yang tentu diberikan oleh Allah SWT. Kita jadi khawatir sama kamu yang menilai cinta cuma sebagai hubungan antara cowok sama cewek. Soalnya, takutnya cinta maIah menjadi malapetaka. Banyak kasus gara-gara mendewakan cinta, malah akhirnya berantakan. lya, kan? Aborsi contohnya, adalah buah dan cinta terlarang. Jauh sebelum melakukan aborsi, pelakunya pasti aktif menjalin hubungan gelap atas nama cinta. Nggak perlu mengajukan alasan macem-macem untuk memperkuat penilaian kamu dalam mendewakan cinta. Cukup, mendewakan cinta itu berbahaya.



 

Hati-hati Dengan Pesonamu
Punya tampang secute Jason Behr atau segagah James Van Der Beek dan seganteng David Beckham, jangan terlalu mengumbar pesona. Hati-hati, soalnya bagi kebanyakan kaum Hawa, tampang yang begitu bisa bikin jantung berdegup lebih kencang. Suer, tampang kamu yang seperti itu bisa bikin para cewek histeris. Tak mustahil bila kemudian mereka ingin memburu kamu dan menobatkan sebagai cowok idaman. Tentu sesuai dengan kriteria ideal para cewek itu. Makanya, rumusan lagu Backstreet Boys yang berjudul I Want it that way bisa jadi lagu kebangsaannya, meski dalam praktek nggak selalu indah. 

Bener nggak Non?
Emang yang punya pesona cuma kaum Adam? Ya, nggak dong sayang. Cewek juga bisa bikin laki-laki gemeteran. Coba, temen-temen cowok yang ngeliat cewek secantik Natalie Portman bisa bikin telap. Barangkali efek samping kopi yang bisa bikin jantung berdegup kencang pun masih kalah dengan pengaruh sorot macanya yang tajam milik aktris yang pernah main dalam The Prafesional, dan berperan sebagai Ratu Amidaia di Star Wars: Episode I-The Phantom Menace ini. Malah disebut-sebut Natalie Portman ini sebagai reinkarnasi dan Audrey Hepburn, aktris cantik yang beken banget di tahun 60-an. Bukan cuma Natalie, yang bisa bikin pusing tujuh keliling kaum cowok, tipe Katie Holmes pun bisa membuat suasana hati kaum Adam berbunga-bunga.

Jadi, kalo di sekolah kamu ada tipe cowok dan cewek yang bisa bikin kamu deg-degan seumur-umur, kamu harus menasihatinya agar jangan sembarangan mengobral pesona. Karena kata orang, dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta, dan mata turun ke hati. Jadi, pandangan mata adalah tahap awal. Bila tak dikendalikan dengan baik, bisa bikin berabe. Ujung-ujungnya bisa macem-macem. Cinta bisa membuat kamu gembira, senang, sedih, kecewa dan nyesel, termasuk rugi. Nggak percaya, yang bikin rugi itu adalah cinta terpadu alias terpaksa pakai duit. Lebih celaka lagi bila cinta kamu tak berbalas alias bertepuk sebelah tangan, bias-bisa terpadunya diplesetkan jadi terpaksa pekai dukun! Bisa gawat, Brur!

Nah, berarti sekarang harus hati-hati dengan pesona yang kamu miliki. Nggak boleh diobral kesana kemari. Bahaya!

Aduh, tapi gimana dong, kita kan ingin menikmati cinta juga. Kok sepertinya nggak boleh. Huss.. bukan nggak boleh, tapi harus dikendalikan. Jangan dibiarkan liar kagak karukaruan. Nggak baik, dan yang jelas nggak benar.

Boleh Nggak Pacaran?
Ah, kamu memang pandai dalam urusan ngotot. Begini sayang. Sekali lagi, cinta bukan untuk direndahkan nilainya dengan aktivitas seperti itu. Betul kalo cinta nggak bisa dimatikan, kita juga sependapat dengan pernyataan itu. Tapi, bukan berarti kemudian dipropagandakan dengan gencar lewat aktivitas frontal seperti itu. Pacaran, bagaimana pun juga adalah salah satu aktivitas yang bisa mendorong kamu ke dalam dosa bin maksiat. Nggak percaya? Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan yang tercela dan ialan yang buruk “(OS: Al lsra: 32).

Meski tidak secara tentulis dalam ayat itu kata-kata pacaran, tapi maksudnya jangan mendekati zina adalah perbuatan seperti pacaran itu. Coba, kamu bisa Iihat, atau bagi kamu yang masih doyan gaul bebas seperti itu bisa merasakan bahwa aktivitas pacanan itu nggak seru bila cuma ngobrol lewat telepon atau bertatap wajah dari seberang pagar sekolah. Pasti ada acara tambahan yang lain. Misalnya, janjian nonton film di bioskop, atau main ke tempat rekreasi. Tentu saja nggak pake acara bawa-bawa saudara atawa teman, apalagi tetangga. Emangnya mau selametan? Cuma kamu bendua. Di situlah aktivitas itu bisa lebih mengarah kepada penzinahan.

Percaya saja deh kalo dikatakan bahwa pacaran bisa mendekati perzinahan. Betul, Non. Ngobrol dengan lawan jenis di tempat yang sepi apalagi gelap bisa bikin setan tergoda untuk jadi provokator. Bayangkan, setan aja tergoda. Kalo sang iblis sudah menjadi provokator, pasti ia mengetuk-ngetuk pintu hatimu agar berjalan semakin jauh. Selain mengetuk-ngetuk pintu hatimu, setan aktif memblokir otak kamu agar nggak bisa berpikir dengan akal sehat untuk melihat kebenaran. Walhasil, prosesi perzinahan pun tak mustahil bila terjadi.

“Tapi kan kite pacarannya nggak bakal sejauh itu.” Ah, itu cuma alasan klise. Ngaku deh. Itu kan alasan agar aktivitas kamu yang nyerempet-nyerempet bahaya bisa tetap legal. lya, kan?

Eh, tapi kan ada juga yang pakai jilbab pacaran. Hayo, gimana tuh, boleh nggak?” Aduh, gimana sih. Mau yang pake jilbab atau nggak bukan urusan pokok. Yang penting kalo dia berbuat menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya, jelas ia melakukan dosa. Yang pake jilbab juga berdosa kalo pacaran. Jadi, pacaran itu nggak boleh, kawan!

Yang Benar Gimana?
Nan, ini baru pertanyaan. Kita seneng menjawabnya. Begini kawan. Karena celah-celah yang bisa menghantarkan kamu berbuat dosa itu salah satunya kanena akibat gaul bebas, maka peluang itulah yang harus ditutup. Paling tidak ketika kita berhubungan dengan lawan jenis. Itu ada etikanya alias ada batasannya. Nggak sembarangan, lho!

Cowok dan cewek boleh-boleh saja bengaul tapi tentu ada rambu-rambu yang harus ditaati bersama. Ada atunan yang harus diketahui barengan. Kapan boleh gaul kapan harus menjauh. Pada saat seperti apa boleh gaul dan kondisi sepenti apa yang pantang untuk barengan. Juga bagaimana upaya masing-masing dalam menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.

Nah, jadi memang Islam nggak melarang gaul. Justru Islam membolehkan gaul. Tapi ada aturan-aturan yang harus ditaati. Tentu saja aturan yang bakal menyelamatkan kamu. Pada dasarnya Islam menetapkan aturan bahwa Iaki dan perempuan itu terpisah kehidupannya, baik dalam kehidupan umum-di masyanakat, seperti di sekolah, jalan umum, bis, angkot, dan di pasar-maupun dalam kehidupan khusus-di tempat pribadi, seperti rumah atau tempat kost. Tapi Islam nggak kejam dengan membiarkan selamanya terpisah seperti itu. Ada saat-saat tertentu yang dibolehkan bagi cowok dan cewek untuk berkumpul dan berinteraksi. Malah dalam beberapa kondisi, pentemuan antara keduanya nggak mungkin dihindani.

Nah, lalu kapan dan dimana boleh bertemu dengan lawan jenis? Kamu boleh-boleh saja berkumpul dan berinteraksi dengan lawan jenis di tempat-tempat umum (tempat dimana seseorang tidak penlu minta ijin untuk masuk ke dalamnya, seperti masjid, sekolah dsb), dalam aktivitas yang dlbolehkan oleh syara. Di pasar misalnya, kamu boleh berkumpul dan berinteraksi dengan penjual lain. Tapi ingat, hanya sebatas urusan jual beli. Nggak boleh ada embel-embel lain yang keluar dan pakem jual beli. Misalkan, mentang-mentang yang jualan cabenya saperti Kate Winslet, yang cowok jadi betah ngobrol ngalor ngidul.

Kemudian tempat lain yang dibolehkan berkumpul dan berinteraksi adalah dalam belajar-mengajar, dalam urusan pengobatan dan bentuk muamalah lainnya. Tapi jangan salah, meski di tempat-tempat umum itu dibolehkan untuk berkumpul dan berintenaksi, mata kamu jangan jelalatan kayak lagi belanja. Tetap harus menjaga pandangan dan juga hal-hal yang bisa menjungkirkan kamu ke dalam jurang kemaksiatan.

Kalau untuk berkumpul di tempat khusus, seperti rumah pribadi, mobil pribadi, dan tempat-tempat pribadi lainnya, kamu nggak dibenarkan untuk berinteraksi dengan lawan jenis secara mutlak kecuali bila kamu disertai mahrom.

Misalnya, jika kamu cowok-terpaksa harus berkunjung ke rumah lawan jenismu karena ada urusan yang sangat penting (masalah dakwah, misalnya)–, pastikan bahwa temanmu disentai mahromnya, bisa bapaknya atau kakaknya, baik yang laki maupun wanita. Jangan nekat jadi slonong boy.

Nah. selanjutnya kita harus tahu apa yang semestinya diperhatikan ketika berinteraksi dengan Iawan jenis. Baik laki maupun wanita, bila keluar rumah harus menutup auratnya. Daerah aurat laki-laki adalah sebatas pusar sampai Iutut. Sedangkan wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Makanya untuk yang wanita, diwajibkan memakai pakaian sempurna yang terdiri dari jilab (pakaian luar] dan kerudung (khimar) sebagaimana perintah Allah dalam QS. Al Ahzab ayat 59 dan An Nuur ayat 31. Dan jelas konsekuensinya haram bagi wanita yang nekat keluar rumah tanpa busana yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Bener, dosa Non!

Juga bagi para wanita ada Iarangan tersendiri dalam urusan ini, yakni jangan bertabaruj/ alias tampil all out atau berlebihan. Yakni dengan memamerkan kecantikan dan perhiasan di hadapan laki-laki yang bukan mahrom. Firman Allah: ‘..dan langanlah kamu bardandan seperti, dandanan perempuan (JahiIiyah) yang dahulu… (QS.AI Ahzab 33).

Survei membuktikan bahwa kebanyakan malapetaka pelecehan seksual itu berawal dari sikap tampil nekatnya para wanita sendini.

Wajar kan? Nah, makanya bagi kamu yang wanita harap hati-hati. Tak perlu seperti burung merak yang suka pamer bulu-bulu indahnya. Soalnya kamu kan bukan merak. Kamu manusia yang punya akal, jangan sampai dandanmu membuat klepek-klepek kaum Adam.

Khusus untuk urusan busana, yang wanita nggak usah ikut-ikutan gayanya Claudia Schieffer atau Naomi Campbel yang mahir berlenggak-lenggok di atas cat walk dengan body dibalut beberapa helai benang. Apalagi sampai tampil los polos kayak aksi nekatnya Kate Winslet dalam film Titanic dan Demi Moore dalam Streptease.

Langkah berikutnya,. Kamu harus menundukan pandangan ketika interaksi dengan lawan jenismu. Menundukkan pandangan bukan berarti harus terus konsentrasi ke jalan atau ke tanah kayak orang lagi nyari cacing yang lagi ngumpet. Tapi maksudnya adalah harus bisa menahan diri dari pandangan yang diharamkan. Yakni memandang aurat atau kepada selain aurat tapi dibarengi dengan syahwat. Pokoknya kalau kamu sudah bisa menundukkan pandangan alias ghadhul bashar ini, lnsya Allah kamu bisa saling menjaga kesucian dan kehormatan diri.

Kemudian ketika kamu berbicara dengan lawan jenis harus diperhatikan intonasi dan gaya bicaranya. Bagi wanita, jangan sekali-kali ketika berinteraksi dengan anak cowok menggunakan gaya bicara yang mendayu-dayu kayak penyanyi dangdut. Suaranya dibuat merdu merayu hingga menyisakan rasa penasaran yang amat sangat bagi kaum lelaki.

Firman Allah: “Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lemah lembut (mengucapkani perkataan, nanti orang-orang yang dalam hatinya ragu ingin kepadamu. Dan berkatalah dengan perkataan yang balk. ” (QS. Al Ahzab 32).

Masalah yang harus diperhatikan juga adalah, jangan sekali-kali kamu berkhalwat atau berdua-duaan (mojok) dengan lawan jenis. Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh baginya berkhawat dengan seorang wanita sedangkan wanita itu tidak bersama mahromnya Karena sesungguhnya yang ketiga di antara mereka adalah setan. (HR. Ahmad).


Nah, meski kita main cinta-cintaan tapi harus tahu aturan mainnya dalam Islam. Walau bagaimana pun juga Islam harus jadi patokan dalam setiap aktivitas kita dalam kehidupan. Termasuk dalam urusan cinta ini. Tentu saja, agar kita nggak nyungsep dalam Iumpur maksiat. Ngeri, Non!

Jadi, cinta jangan dimatikan tapi harus dikendalikan. Syukur-syukur kalo kamu mampu untuk nikah. Nikah aja! Lebih aman. Paham kan?






9 Desember 1979
Sjumandjaja kali ini menggarap film yang “ALL STARS”
Setelah dua tahun tidak membuat film satu pun, Sjumandjaja kini tampil kembali. Filmnya yang terakhir “Yang Muda Yang Bercinta” banyak melibatkan dirinya dengan mahasiswa, karena film itu memang menceritakan kehidupan seorang mahasiswa yang sekaligus seorang penyair. Film itu sendiri mengalami banyak potongan di Badan Sensor Film. Entah karena film yang mengandung banyak protes, entah karena keterlibatannya dengan hal lain, sejak selesainya film itu, Sjuman terpaksa sering berhubungan dengan hal-hal yang bukan film. Tentu hal ini cukup banyak menyita waktu dan dirinya sendiri, karena Sjuman yang dikenal sebagai sutradara dan produser itu pun masih menjabat salah seorang pengurus PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia). Mungkin karena gabungan itu semua, maka Sjuman lalu terpaksa beberapa kali masuk rumah sakit. Hingga kini pun ia masih secara teratur mengadakan “check up” di sebuah klinik spesialis. Dan ia pun, menurut ceritanya sendiri, diminta oleh dr. Sukarto untuk dirawat dengan akupuntur elektronik. Karena itu ia pun secara teratur mengunjungi dr. Sukarto di daerah cilangkap, “Gila betul dokter itu. Setelnya yakin. Yah, kalau cuma lever saja sih, 10 kali perawatan juga lewat, katanya. Karena itu gua layanin aja”, cerita Sjuman. Yakin ! Sjuman sendiri selalu bicara dengan setel yakin. Penderitaannya secara fisik maupun psikis selama dua tahun ini tidak mengurangi gayanya itu. Begitu ditanya kenapa ia membuat film dari novel pop, spontan ia menjawab: “Jangan main-main. Ini memang novel pop. Tapi ini kelanjutan dari film saya sebelumnya: “Si Mamat”. Kalau Si Mamat saya masih mempertanyakan adakah orang-orang jujur. Maka dalam film ini saya menjawabnya. Ternyata memang masih ada. Dan kalau dalam film saya tokoh semacam itu tampil lebih dari dua orang, ini berarti masih 
banyak orang yang jujur di negeri ini”. 

Novel film yang akan difilmkan Sjuman ini adalah “Kabut Sutra Ungu” karya Ike Supomo, salah seorang novelis wanita yang banyak muncul akhir-akhir ini. Novel ini termasuk novel laris. Kabarnya telah mencapai cetakan yang keempat dalam waktu yang singkat. Menurut produser film ini, Manu Sukmadja, cerita ini sebenarnya sudah diminta oleh produser lain, tapi sang pengarang tidak memberikannya. Sang pengarang mempunyai syarat tertentu. “Dia minta agar sutradaranya Ami Prijono atau Sjumandjaja”, kata Manu. Karena itu dia dengan mudah bisa membeli kisah novel itu untuk difilmkan. “Dan hebatnya, film yang belum jadi ini (sekarang mendekati penyelesaiaan sootingnya) sudah laku disemua daerah peredaran Indonesia”, katanya. Kisah “Kabut Sutra Ungu” ini tentang seorang isteri yang ditinggal mati suaminya yang pilot. Sesudah itu, sang istrei yang bernama Miranti itu berusaha membesarkan anaknya dengan baik. Dan dia pun sukar mengelakkan bayangan suaminya yang dipujanya, hingga pria lain yang ingin mendekatinya selalu sukar. Komersil Shooting film ini memang berjalan cukup lama. Hingga minggu ini mungkin sudah berjalan sekitar dua bulan. Dan Sjuman kelihatannya juga tidak merasa harus terburu-buru “Santai saja” katanya. Santai atau tidak santai, nampaknya Sjuman memang menggarap film yang komersial ini. “Siapa bilang saya tidak pernah membuat film komersial. Saya selalu membuat film dengan perhitungan komersial. Waktu memproduksi film “Bulan Di Atas Kuburan”, saya memperhitungkan sentimen jutaan orang Batak”, katanya.Film ini memang “jatuh” di pasaran. Lalu sentimen apa yang dibangkitkan dengan film ini? “Tokoh Miranti adalah tokoh idaman. Baik pria mupun wanita. Dia cantik tapi sederhana dalam berfikir. Ini berarti hidupnya sangat intensif. Cintanya total, tidak kalkulatif”, katanya. Lalu dia menyambut lagi bahwa pengertiannya tentang komersial lain dengan pengertiannya para boker film. “Buat saya cerita adalah modal utama. Bukan seperti para booker yang mengartikan komersial sebagai kumpulan resep : sekian persen sex, sekian persen berantem”. Dan untuk “jualannya” kali ini Sjuman agaknya juga tidak tanggung-tanggung. Dia menggunakan hampir semua nama yang sekarang sedang ada di pasar. Yeni Rahman,ada Roy Marten, Roby Sugara, Rae Sita, Rima Melati, Chitra Dewi, Maruli Sitompul, dan seabrek nama lain. “All stars”lah pokoknya.