OPERA JAKARTA
Ada 4 cerita yang dihadirkan oleh Sjuman dalam film ini,
Yoko (Ray Sahetapy) sebagai bayi haram seorang babu yang bekerja di Jakarta, berasal dari desa Belonang di pinggir kota Solo. Ia tubuh dengan bakat bertinju, dan berkembang menjadi petinju bayaran terkemuka di Jakarta. Tingkah laku yang aneh berasal lagi hidupnya yang tanpa ayah dan ibu. Dan dibesarkan dengan maja oleh neneknya yang miskin di desa pinggir sungai Bengawan Solo.
Rum (Perucha) anak gadis yang hidup bebas dan tak kurang satu pun. Anak perempuan ini juga aneh, mungkin karena orang tuanya yang kaya raya. Ia dengan mudahnya meninggalkan mobilnya di pinggir jalan saat lampu merah menyala. Lalu polisis menderek mobil kerumahnya. Ia juga punya banyak pacar (dalam synopsis), walaupun dalam film tidak tampak. Ada beberapa lelaki yang senang padanya, memang, tapi sutradara hanya meyakinkan pada kita bahwa Rum cuma cinta Yoko.
Ayah (Soekarno M.Noer) dan konfliknya dengan salah seorang anaknya. Apa, siapa dan bagaimana kegiatan usahannya tidak dijelaskan lebih jauh, kita kayaknya dipaksa menerima saja asumsi umum dalam film nasional, yang selalu cenderung melihat hadirnya problem anak lawan orang tua dalam setiap keluarga kaya. (orang kaya tidak punya waktu untuk anaknya karena sibuk. Nah, konflik timbul). Begitu hebat pertarungan anak dan ayah ini sampai Hilman (Rano Karno) sampai bangun suatu kelompok bersenjata yang akhirnya sukses menteror pesata kawin kakak perempuannya sendiri.
Paman Jangkung, Jendral angkatan darat yang sepanjang film ini cuma sibuk mengurus Rum, keponakannya. Ada 2 wanita yang tampaknya istri-istrinya. Dari salah satu istri itu lah penonton bisa menduga bahwa Toko sebenarnya anak haram pak Jendral dengan babunya.
Bisa diterka ke 4 cerita ini, adegan paling kritis dari film ini larinya Rum dari kamarnya pada jam-jam menjelang perkawinannya. Jika saja cerita tentang Rum dan keluargannya digarap lebih utuh, tentulah sulit bagi kkiita menerima rencana perkawinan itu, setelah kepada penonton digambarkan Rum melakukan hubungan seks dengan Yoko -dan bukan dengan calon suaminya -dirumah keluarga Rum. Dari adegan itu tidak begitu sukar menggarkan watak Rum -serta posisinya dalam keluarganya yang menyebabkan gadis seperti itu, tentunya tidak akan begitu mudah diminta menerima tunangan pemuda lain yang tidak dicintainya dan tidak pula digambarkan punya hubungan khusus dengan keluarganya.
Terlalu banyak yang ingin disampaikan Sjuman, itu kesan yang sulit dihindarkan. Bukan cuma cerita, tapi juga cara penyampaikannya. Ini film yang penuh kilas balik (flashback) bahkan kilas balik dalam kilas balik.
Sjuman sendiri dalam suatu kesempatan konon pernah menuturkan bahwa kali ini, (Lebih dari ketika ia membuat Atheis) ia mencoba lebih setia pada novel aslinya yang dikarang Titi Nginung itu. Menurut Sjuman, kisah asli Opera Jakarta ini menampilkan adegan-adegan yang tidak urut. Ini beda dengan film yang sebelumnya.
Model alur seperti ini muda untuk menampilkan masalah terlebih dahulu, dan selain itu juga durasi film untuk menjelaskan semuannya.
Musiknya yang berat tidak seimbang dengan adegannya, kinerja kameraman Sutomo Gandasubrata tidak pula menghasilkan gambar yang bernuansa. Begitu juga saat tracking camera diantara pemain, menunjukan tidak siapnya Sjuman dalam experimen. Bahkan editor NOrman Benny, editor paling baik, tidak bisa menolong film ini, yang masih juga terasa panjang pada banyak adegan.
Film ini bisa dibilang experimen paling berani yang dilakukan Sjuman, walaupun hasilnya mengecewakan. Dedy Mizwar bermain bagus sebagai Pak Jangkung.
Ringkasan Ceritanya
Klinem (Dewi Yull) pulang ke Bekonang, Solo untuk menyerahkan bayinya pada neneknya untuk diasuh. Oleh sang nenek bayi itu diberi nama Joko, dan dibesarkan tanpa tahu siapa ibunya. Setelah besar Joko sudah menunjukkan kegemarannya bertinju dan sering jadi pemimpin di antara kawan sebayanya. Beberapa tahun kemudian, di keluarga Yonosiswoyo yang otoriter, sedang kebingungan karena Rum (Zoraya Perucha), yang akan menikah sore harinya, pergi dari rumah tanpa ada yang tahu. Pamannya, Tony Yonokuswoyo (Deddy Mizwar) seorang jendral beristri dua pergi mencari ditemani istri tuanya dan adik Rum. Rum yang punya banyak pacar lebih memilih Yoko (Ray Sahetapy) alias Joko, petinju populer tapi liar sikap hidupnya. Rum tertarik karena keliarannya itu, apalagi setelah tahu latar belakang Yoko yang gelap waktu kecil, yang menderita sampai akhirnya tertolong karena kepandaiannya bertinju. Ketika hidupnya mulai sukses, Yoko pulang kampung tapi menjumpai neneknya sudah meninggal karena terseret arus sungai Bengawan Solo yang sedang banjir. Yoko pergi ke Jakarta, jadi tokoh populer dan lambang pembangkang dan antikemapanan bagi anak-anak muda. Karena posisinya ini maka aparat keamanan melibatkan diri. Sebagai anggota aparat keamanan, Tony tidak bisa memahami jiwa Yoko ini, meski istri tuanya telah mengingatkan bahwa Yoko persis seperti dirinya di waktu muda. Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak untuk menjatuhkan Yoko. Yoko dituduh sebagai dalang kerusuhan sosial, dan terakhir dituduh sebagai pemerkosa. Ia berhasil membuktikan bahwa dirinya bersih.
Rum akhirnya pulang dan bersiap menghadapi upacara pernikahannya dengan Santoso (Mathias Muchus) yang dijodohkan orangtuanya, tapi tidak dicintainya. Di tengah upacara, segerombolan pemuda datang mengacaukan upacara. Penganten disandera. Mereka minta Yoko didatangkan yang bertujuan untuk menghindarkan Yoko dari pertandingan malam harinya yang akan dijadikan ladang pembantaian untuk menghancurkan reputasi Yoko. Teror berhasil digagalkan oleh Tony, para teroris terbunuh. Pemimpinnya ternyata Himan (Rano Karno), adik kandung Rum. Peristiwa ini membuat Yoko nekat menghadapi petinju Korea yang dihadapinya secara habis-habisan. Yoko menang. Keesokan harinya Rum menemuinya dan menyatakan akan kawin dengan Demas (A. Nugraha), rekan sekantornya yang diam-diam mencintainya
NB: Film ini ada tulisan film terakhir Sjuman JAya. Film ini kepanjangan menurut saya, Sjuman terlalu banyak ingin bercerita dalam film ini. Mulai dari pengantin Wanita yang hilang, dari situ kita diceritakan satu persatu tokoh yang ada. System penceritaan ini non limier, tetapi menurut saya bukan flashback. Karena sang sutradaralah yang memberikan informasi-satu persatu itu kepada penontonnya disaat yang tepat menurutnya. Kapan dan mulai saat apa sang sutradara memberika informasi pada penontonnya. Tetapi Sjuman terlalu banyak memberikan informasi yang ada, mulai saat suhu politik saat itu, suasan tinju yang lagi hangat saat itu (mungkin ada kaitanya dengan tinju yang digemari saat itu), generasi muda dalam kehidupannya, percintaan dan status kehormatan jabatan. Hingga ke aliran politik garius keras dan terorisme.
Semua yang diinformasikan Sjuman adalah hal yang nyata saat itu terjadi. Tetapi terlalu banyak sehingga memerlukan 3 jam durasi film itu. Persoalan intinya adalah perjodohan yang sudah diatur oleh Tuhan. Walaupun Sjuman tidak membawa-bawa nama Tuhan sebagai jodoh di dalam film ini. Tetapi yang paling tepat adalah film ini menggambarkan kehidupan anak muda di Indonesia yang sedang kebingungan dengan kehidupannya. Kasusnya adalah doktrin dari orang tua, kebebasan dan juga arti cinta.
Tokoh yang paling menarik adalah si Paman Jendral ini yang dimainkan Dedy Mizwar. Enah kenapa film saat itu boleh menyinggu aparat militer yang berpangkat tinggi sekalipun. Senak sekali rasanya bebas bercerita tentang apa saja ke dalam film. Sampai-sampai sang Paman ini sangat menarik sekali karakternya (mungkin ditonton saat ini karena adanya pelarangan, atau mungkin biasa saja ketika film itu di putar di saat itu.). Bagaimana bisa sebuah keluarga pejabat militer di gambarkan dalam film ini, itu mungkin sulit untuk di buat saat ini.
P.T. GRAMEDIA FILM |
DEDDY MIZWAR ZORAYA PERUCHA RAY SAHETAPY SUKARNO M. NOOR NANI WIDJAJA IDA KUSUMAH RANO KARNO MINATI ATMANEGARA PITRAJAYA BURNAMA JOICE ERNA RATNA RIANTIARNO DEWI YULL |
NEWS
OPERA JAKARTA film terakhir Sjuman Djaya (lulusan sekolah Film Moskow).
Saat Opera Jakarta selesai 50%, penyaklit leaver Sjuman kambuh lagi. Dokter dan juga produser menyarankan agar iaberistrirahat, tapi ia menolak dan terus bekerja tanpa memperdulikan kondisi badannya. Ia hanya berhasil menggarap filmnya hingga 90 sekian %, lalu meninggal 19 Juni 1985. Oleh karena itu dalam film ini di depan film ada tulisan Film Terakhir Sjuman Djaya.
Saya tidak terkejut, kata Pak Tom (Soetomoe Gandasubrata, juru kamera yang mendampinginya dalam pembuatan Opera Jakarta ini. SEbenarnya Sjuman sudah meninggal beberapa hari yang lalu, cuma semangatnya saja yang menunda ajalnya, tambah Pak Tom. Pak Tom, dokter dan produser ternyata tidak berhasil merayu Sjuman untuk beristrirahat.
Sjuman adalah orang yang bosan dengan idiom film-film Indonesia yang memfosil. Dimatanya film kita sudah sebuah bahasa yang baku, sehingga siapa pun akhirnya gampang bikin film.
Adegan cinta mesti begini, adegan sedih harus begitu, penjahat tampak begini, adegan sedih harus begitu, orang baik tampak begitu, Sjuman mau lain. Dia berjuang untuk itu.
Banyak orang yang membenarkan bahwa ia, sebagai pemberontak dan pelopor yang berhasil membuktikan bahwa film Indonesia bisa menjadi media yang serius. Tentu saja Sjuman sudah didahului Usmar Ismail; tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Usmar kemudian berangsur-angsur mengkompromikan cita-citanya, ketika ia mengalami kepahitan pasar. Maka ketika dalam sejarah film indonesia, ada saatnya orang putus asa untuk membuat film dengan konotasi sosial yang keras, di situlah Sjuman muncul.
Sjuman meninggal dunia dan film Indonesia dengan 15 karya jadi, serta sejumlah besar skenario. Tidak semua filmnya bagus, memang. Dan kelemahannya justru berlebihannya dalam usahanya menemukan idiomi yang lebih segar. Cerita-certia dengan kritik sosial tidak dengan sendirinya menghasilkan film bagus karena pengucapan juga sama pentingnya dengan yang diucapkan. Sjuman telah mencapai satu, yakni cerita, dan mencapai setengah dalam penyampaian. Yang terakhir ini karena ia mencari bukan karena ia telah menemukan. Dan satu setengah adalah angka yang berlebih dari cukup untuk mencatat nama Sjuman Djaya dalam peta film Indonesia.
26 Juli 1986Opera terakhir
OPERA JAKARTA Cerita: Titi Nginung Skenario; Sutradara: Sjumandjaja Pemain: Zoraya Perucha, Ray Sahetapy, Sukarno M. Noor, Deddy Mizwar, Rano Karno, Piet Burnama, Nani Wijaya, Adi Kurdi, Cok Simbara, dan lain-lain Produksi: PT Gramedia Film
PALING sedikit ada empat cerita dalam film terakhir Sjumandjaja ini. Satu, cerita tentang Yoko (Ray Sahetapy). Yoko diperkenalkan kepada penonton sebagai bayi haram seorang babu yang bekerja di Jakarta dan berasal dari Desa Bekonang di pinggir Kota Surakarta. Ia tumbuh dengan bakat bertinju dan berkembang hingga menjadi petinju bayaran terkemuka di Jakarta. Tingkah laku aneh dan rebeli Yoko tampaknya bersumber pada riwayat hidupnya yang minus ayah dan ibu, dan dibesarkan penuh kemanjaan oleh neneknya yang miskin di tepi Bengawan Solo. Dua, cerita tentang Rum (Perucha), anak gadis yang hidup bebas dan tak kurang suatu apa. Anak perempuan ini juga aneh, meski sifat demikian barangkali saja muncul karena keluarganya yang kaya. Ia, misalnya, begitu saja meninggalkan mobilnya di persimpangan jalan ketika lampu merah sedang menyala. (Untung, polisi lalu lintas digambarkan simpatik mereka menderek mobil Rum ke rumah). Dalam sinopsis juga dikisahkan bahwa Rum punya banyak pacar, meski dalam film yang kita lihat lain.
Ada beberapa lelaki yang senang kepadanya, memang, tapi sutradara hanya sempat meyakinkan kita untuk percaya bahwa Rum hanya mencintai Yoko. Tiga, cerita tentang seorang ayah (Sukarno M. Noor) dan konfliknya dengan salah seorang anaknya. Apa, siapa, dan bagaimana kegiatan usaha sang ayah tidak dijelaskan lebih jauh. Kita tampaknya diminta menerima saja asumsi umum dalam film Indonesia, yang selalu cenderung melihat hadirnya problem anak lawan orangtua dalam setiap keluarga kaya. (Orang kaya tentu sibuk, karena itu tidak punya waktu untuk anak. Nah, konflik timbul). Begitu hebat pertentangan anak-beranak ini, sehingga Himan (Rano Karno) sampai membangun satu kelompok bersenjata yang akhirnya sukses menteror pesta kawin kakak perempuannya sendiri. Adegan teror ini amat mengingatkan saya pada adegan yang sama dalam serial TV Amerika, Dynasty. Empat, cerita tentang Paman Jangkung, jenderal angkatan darat yang sepanjang film ini cuma sibuk mengurus Rum, keponakannya. Bersama sang jenderal juga ada dua wanita yang tampaknya istri-istrinya. Dari salah satu istri itulah para penonton boleh menduga bahwa Yoko sebenarnya anak haram Pak Jenderal dengan babunya yang dari Desa Bekonang itu. Bisa diterka, keempat "anak cerita" itu diharapkan menjadi kerangka dan titik tolak pembuat film ini untuk menyampaikan pesan.
Maka, kalau tiap cerita bahkan belum merupakan sebuah kisah yang selesai, cerita rangkuman pada akhirnya tak lebih dari hasil usaha mengada-ada. Tengoklah, misalnya, adegan paling kritis film ini: larinya Rum dari kamarnya pada jam-jam menjelang perkawinannya. Jika saja cerita tentang Rum dan keluarganya digarap lebih utuh, tentulah sulit bagi kita menerima rencana perkawinan itu, setelah kepada penonton digambarkan Rum melakukan hubungan seks dengan Yoko -- dan bukan dengan calon suaminya -- di rumah keluarga Rum. Dari adegan itu tidak terlalu sukar menggambarkan watak Rum -- serta posisinya dalam keluarga -- yang menyebabkan gadis seperti itu, tentunya, tidak akan begitu mudah diminta menerima pemuda lain yang tidak dicintainya dan tidak pula digambarkan punya hubungan khusus dengan keluarganya. Terlalu banyak yang ingin disampaikan Sjuman, itu kesan yang sulit dihindarkan. Bukan cuma cerita, tapi juga cara menyampaikannya. Ini adalah film yang penuh kilas balik (flashback), bahkan kilas balik dalam kilas balik. Penonton yang kurang waspada dalam membedakan kilas balik kilas balik dalam kilas balik, dan narasi yang bukan kilas balik, bisa mendapat susah. Sjuman sendiri, dalam satu kesempatan, konon pernah menuturkan bahwa kali ini, agaknya lebih dari ketika ia membuat Atheis yang berdasarkan novel Achdiat Kartamihardja, ia mencoba setia kepada cara bercerita novel aslinya yang karangan Titi Nginung itu -- yang, menurut dia, menampilkan adegan-adegan yang tak urut walaupun secara keseluruhan padu.
Ini memang berbeda dengan caranya ketika menangani Si Doel Anak Betawi, Kabut Sutra Unggu, maupun Budak Nafsu. Model alur seperti itu memang bisa lebih mudah memunculkan masalah -- setidak-tidaknya bila film ini, yang aslinya memakan waktu putar empat jam (menghabiskan 250 can film, sementara ia biasanya memakai rata-rata 100), oleh pertimbangan pemasaran dipotong menjadi hampir tiga jam. Dengan alasan apa pun, informasi tentang tokoh-tokoh maupun logika memang terganggu. Bayangkan bila film ini nanti, di tangan pemilik bioskop, mengalami pemotongan tambahan. Betapapun, Opera Jakarta sebuah eksperimen -- tak sulit ditebak. Sjuman bahkan melangkah lebih jauh: inilah film Indonesia pertama, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, yang menggunakan direct sound -- gambar dan suara direkam simultan. Cara seperti ini, dulu, nun di tahun lima puluhan, dipakai juga oleh Usmar Ismail di Perfini -- dan jauh lebih berhasil. Jika Anda menonton film ini dan banyak kali tidak menangkap percakapan para pemain, itu bukan lantaran kerusakan sistem suara di bioskop.
Hasil rekaman suara film ini memang jauh dari memadai sedemikian rupa, sehingga untuk mengerti jalan cerita saja saya terpaksa menggunakan bahan tertulis yang disediakan produser. Juga musik. Iringan yang digarap Marusya Nainggolan terdengar cukup serius, tapi terasa berjalan tidak seirama dengan gambar. Fotografi, yang dikerjakan Sutomo Gandasubrata, tidak pula menghasilkan potret yang bernuansa. Ditambah dengan kerja kamera yang kurang rapi -- terutama kalau kamera bergerak di sekitar pemain -- dan terasa tidak seirama dengan ritme cerita, semua menunjukkan betapa tidak siapnya Sjumandjaja dengan sebuah eksperimen. Bahkan Norman Benny, editor yang baik, tidak bisa menolong film dan cenderung berpanjang-panjang pada banyak adegannya ini. Setelah Sjuman, salah satu dari sedikit orang Indonesia yang keluaran sekolah film, menyelesaikan banyak karya, membicarakan kelemahan tekms filmnya terasa menyedihkan. Yang mestinya jadi pokok pembahasan adalah cerita dan penyampaiannya. Apalagi karena sutradara yang almarhum ini terkemuka justru karena karya-karyanya yang selalu punya relevansi sosial.
Kali ini, pada filmnya terakhir, Sjuman tidak hanya tergelincir dalam memilih cerita (aneh, memang, bagaimana ia bisa tertarik pada cerita yang begini vulgar), tapi juga dalam menyampaikannya.
Padahal, dengan cerita ringan seperti Kabut Sutra Ungu Sjumandjaja bisa menghasilkan melodrama yang cukup baik. Memang, Opera Jakarta telah berhasil menampung satu sisi dari ambisi Sjuman tentang film besar: kesan gelombang besar penonton pada pertandingan tinju, atau demonstrasi besar para pelajar menuju kantor polisi, misalnya. Maka, yang masih tetap berharga dalam film ini (produksi Gramedia Film terakhir, setelah memutuskan untuk kembali menggarap film iklan yang dulu digelutinya dengan segala sukses), tentulah keberanian Sjumandjaja untuk bereksperimen. Yang terakhir ini mutlak dipelihara jika diinginkan suatu hari depan bagi film buatan kita sendiri. Dan kalau film ini bakal meraih Piala Citra, maka itu tentulah karena permainan Deddy Mizwar (Paman Jangkung) yang cantik tapi meyakinkan. Sebagai jenderal yang tampil tidak pernah dalam pakaian seragam, ia memberikan kepada kita bukan cuma sosok, tapi juga sejarah hidup yang panjang di belakangnya. Tapi Deddy, yang berasal dari dunia teater itu, memang selalu bermain baik -- dalam kira-kira separuh dari 15 film yang diloloskan Komite Seleksi Festival Film Indonesia kali ini. Salim Said