Kamis, 03 Februari 2011

MALIN KUNDANG / 1971

MALIN KUNDANG
ANAK DURHAKA


Inilah kisah si Malin Kundang, kisah lama kisah 'rang tua-tua tetapi isinya berlaku hingga sekarang untuk jadi teladan tua dan muda (lirik tema lagu film Malin Kundang), kisahnya juga memang Si Malin KUNDANG. Skenarionya ditulis oleh Asrul Sani dan Nyonya Jamaludin Malik yang membiayai, sutradara D.Djajakusuma membuat film Malin Kundang anak Durhaka.

Diatas layar lebar penuh dengan gemerlap warna, film itu pun siap untuk dinikmati penonton. Asrul Sani menambahkan sedikit dalam ceritanya, Malin yang menjadi batu bukan karena kutukan dari ibunya, tetapi dari kutukannya sendiri. Menurut Asrul tidak mungkin seorang muslim mengutuk anaknya menjadi batu, meskipun sebesar apa pun dosanya. Bahkan ibunya sendiri tidak rela mendengar sumpah anaknya itu sampai selesai. Dan mulut Putu Wijaya (sebagai Malin) ditutup oleh Fifi Young (Istri Malin) ketika sumpah belum sempurna terucap.


Rano karno memerankan Malin saat kecil, hal ini karena ia berbakat selain itu juga ia anaknya Soekarno M.Noer, skenario bagian itu ditulis dengan teliti. Ketelitian itu hanya terpusat pada keluarga si Malin yang miskin saja. Ketika dewasa Malin sangat dendam dengan kemiskinan. Tetapi kemiskinan mereka dipulau itu kurang tergambar. Karena tidak ada bandingan dengan orang yang kaya di pulau itu. Padahal Malin kecil tidak ditampilkan seberapa menderitanya dia. sehingga ketika Putu Muncul dalam sosok Malin kundang semakin jomplang, baik fisik dan karakternya.

Dan adegan saat Malin ketemu ibunya kurang tertata baik. Karena saat pertemuan itu yang akan menjadi kunci cerita ini sangat kurang. Bahkan penyebab Malin tidak mengakui ibunya itu kurang jelas. Akankah ia malu karena ada Putri Cina istrinya, atau malu di depan para anak buahnya? Penataan kamera yang dilakukan oleh Kasdullah terlalu banyak yang kabur, tetapi sebagai hiburan ringan buat keluarga, film ini boleh lah. Banyak yang terkesan sama Rano Karno saat memerankan Malin kecil yang hidup di pulau itu bersama ibunya. Sehingga ketika Malin dewasa adegan kurang sebagus masa Malin kecil.


NEWS
30 Desember 1972

PT Remaja Elynda yang baru-pertama kali menelorkan hasil, sudah berhadapan dengan kenyataan itu, ketika Malin Kundang ditolak mentah-mentah oleh bioskop yang bernaung di bawah nama Djakarta Theater Group. Alasannya lumayan bagai jipratan cabe rawit dibiji mata: tidak komersil! Memang di maklumi itu film punya tema pendidikan. Konon keputusan komersil tidaknya satu film ditentukan oleh seorang yang berkedudukan di bawah General Manager Sudewo. Namun selera itu di ace oleh sejumlah bioskop lainnya. Bulatnya penolakan dari 10 bioskop yang tergabung dalam grup itu, bukan tidak memancing cetusan dari fihak-fihak yang berkepentingan. Dari Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), Turino Djunaedy selaku ketua, menyatakan kepada Tempo "Seharusnya mereka lebih dulu membicarakannya dengan kita sebelum menolak". Sementara itu Ketua Karyawan Film & TV (KFT) Sumardjono melihat persoalan ini dari sudut moral: dalam hubungan bahwa Malin Kundang dibuat oleh inisiatif Ny. Elly Yunara, isteri almarhum Djamaluddin Malik. Kata Sumardjono "Apa tidak bisa dilihat usaha seorang isteri yang ingin meneruskan cita-vita suaminya, yang semasa hidupnya justru malah belum lagi kesampaian mewujudkan pembuatan film Malin Kundang ini. Seraya bercerita tentang Malin -yang bagai diwasiatkan almarhum-Djamaluddin Malik ini, Sumardjono-mengingatkan betapa pengorbanan materil, yang telah dialami oleh sang nyonya sehingga harus minta kredit bank dan tidak main mata dengan kaum cukong, sejenis kaum yang konon pernah dikonstatir oleh almarhum Ketua Umum Parfi Sudo Sumanto sebagai mengandung unsur sengaja mau memerosotkan mutu film pribumi. Tepat tidaknya pengamatan Surjo Sumanto, itu, masih perlu diselidiki lagi. Tapi yang jelas Sudewo adalah tulen pribumi, bahkan berkepentingan pula selaku pimpinan Parfi mensukseskan apa yang sering diimpikan "agar produksi nasional jadi tuan rumah." Kepada Sinar Harapan Sudewo menjelaskan, bagi Djakarta Theater Group disamping menilai mutu faktor bisnis pun punya peranan. Tanpa bisnis bioskop akan gulung tikar. Ia mengambil contoh Kabut Bulan Madu: hanya bertahan 2 hari saja di Cathay, satu dari anggota grup ini. 

Hari pertama, kata Sudewo, karcis hanya terjual 428 lembar, suatu jumlah di bawah target minimum. Sudewo yang letnan kolonel itu yakin benar bahwa penolakan yang ditandatanganinya itu tidak bertentangan dengan MPRS, malahan bersesuaian dengan keputusan gubernur Ali Sadikin yang menegaskan dalam pemutaran film harus ada perimbangan mutu dan kelas bioskop. "Saya prihatin melihat produser-produser kita yang kurang memperhatikan mutu" katanya kemudian seraya menghela nafas. Cepat ditambah kannya "Tapi tidak berarti semua film nasional tidak bermutu. Ada beberapa yang bahkan melampaui film impor." Penganten Remaja, Bing Slamet Setan Jalanan dan Si Pitung, adalah judul-judul yang diporcontohkan Sudewo. Dengan begitu ukuran mutu baginya tentu banjirnya penonton di loket bioskop, satu hal yang lebih memperjelas pandangan bahwa film adalah barang dagangan. Film Hall. Memang apaboleh buat. Dan penolakan terhadap Malin ini, buat orang yang punya niat besar mewujudkan diri sebagai "tuan rumah" tadi, tentunya tuan rumah yang baik, bagai mengundang niat lain: bagaimana kalau didirikan sebuah Indonesian Film Hall, yang khas bagi memutar hanya produksi pribumi? Nampaknya langkah serupa yang telah sukses dinegaranya P. Ramlee hendak diciptakan di sini. 

Namun ada baiknya dikaji pula, kegandrungan publik film di negeri ini yang suka-suka, datang ke bioskop bukan karena ingin menonton film anu, tapi karena gedung nya mentereng Jan itu adalah sebuah lambang prestise. Sama saja keadaannya dengan corak sikap produser yang ingin filmnya diputar lebih dulu di gedung mewah: Adakah sekedar semangat gengsi-gengsian? Nampaknya jawaban adalah: ya! Sebab jika satu produksi pribumi diputar pertama kali di Jakarta, dan itu di Djakarta Theater misalnya, konon dapat berpengaruh baik bagi pemasaran didaerah-daerah. Tak pelak lagi, ini taktik dagang, dan buat si Malin, reklame serupa ini yang luput. Namun untuk mengutip Asy'an Djakfar, seorang dari staf pimpinan PT Remaja Ellynda itu, pemasaran Malin di luar Jawa termasuk Malaysia "Berjalan lancar dan masuk harga tinggi, "Apa lagi? Kenapa mesti ngotot buat diputar di Djakarta Theater cs? Soalnya yang nampak Jan jadi kekuatiran orang tentu bukan karena nasib si Malin kini, tapi andaikata penolakan itu adalah suatu test permulaan dari usaha membarikade bagi kemungkinan masuknya film Indonesia di bioskop kelas satu di negeri ini, niscaya urusannya bukan tidak serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar